Tampilkan postingan dengan label whaT i feeL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label whaT i feeL. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juni 2024

A Break in My Life

Hai, apa kabar? Kenapa ya aku selalu bertanya “Apa kabar?” saat mulai menulis? Mungkin karena ingin tahu apakah yang baca tulisan ini hidupnya juga sedang sepenat hidupku. Hahaha.. Kalau pun tidak, oh then.. you are such a tough one! Bila iya, mari bersalaman dan bergandengan tangan secara virtual.


Kini aku menulis lagi untuk.. curhat. Kata orang, menulis dapat menumpahkan emosi dan mengurangi beban hidup, maka jadinya aku menulis. Sejujurnya aku hendak mengurai beban apa saja yang sedang kutanggung. Sejujurnya juga aku sebenarnya tidak ingin menulis tulisan yang berisi curhatan, melainkan tulisan yang cukup saintifik atau mungkin review skin care usia 30-an, atau hal lainnya yang berguna bagi para pembaca sekalian. Tapi Tulisan-tulisan seperti itu butuh pikiran yang lapang, itu juga sudah jadi pekerjaan sehari-hariku dari Senin sampai Jumat kalau hanya sekedar menulis tulisan yang cukup saintifik. Di weekend ini, aku hanya ingin bercerita menumpahkan pikiran tanpa repot berpikir rumit sajalah.
 
Kemarin aku sudah menyelesaikan pembuatan CV untuk nanti kukirim dalam lamaran PhD. Hari ini rencananya aku ingin membuat cover letter yang bagus. Aku ingin bisa tembus PhD dan mendapatkan unconditional LoA dalam sekali tembak supaya hidupku tidak terlalu rumit. Jadi segalanya harus kupastikan kalau langkahku nanti tidak banyak kesalahan. Jadi aku ingin sedikit ada ‘break’ dalam proses ini sambil mereview langkah-langkah yang sudah kuambil sebelumnya dalam perjalananku lanjut ke PhD ini. Kalau dipikir-pikir hidupku lebih banyak ‘break’ daripada berlari kencang. Hahaha.. Tapi aku memang bukan pelari sprint, hidupku marathon, long run yang biasanya aku tempuh dengan jogging yang lebih banyak ‘break’-nya. My pace isn’t too fast, but I’ll make sure to reach the goal and be in the right place. Menulis tulisan ini kuanggap sebagai ‘break’. I just cannot run faster if there’re too many burdens on me. Tapi ya, biasanya kesuksesan akan suatu hal dapat kucapai ketika aku mau bertindak nekat, memaksa diri. Karena kadang aku tidak tau kapasitas diriku yang sebenarnya. Sehari-hari aku kebanyakan berpikir dan menimbang apakah aku harus maju sekarang atau nanti. Namun setelah memaksa diri sendiri dan menjalani ujiannya, kok hasilnya bagus? Sering di luar dugaan. Jadi begitulah hidupku.
 
Oh ya, tadi aku bilang mau mengurai beban dengan tulisan ini. Sebenarnya beban yang aku maksud adalah beban urusan domestik seperti yang dialami para ibu yang anaknya masih kecil-kecil itu. Hahaha.. they are actually just very very common things. Tapi tetap saja… berat juga yaa T____T ~  apalagi karena aku sedang jadi single parent di rumah. Misalnya untuk hal-hal dasar seperti aku ingin puasa sunnah atau mengganti hutang puasa wajib, itu pun masih belum bisa kulakukan karena my two-year-old boy is always fussy at sahur time and there’s no one else to calm him except his mother. Jadinya aku tidak pernah bisa beranjak dari kasur untuk bisa sahur. Huhuhu..
Hal lain misalnya ketika aku ingin jadi mentor baca Iqra’ anak pertama, namun tidak pernah bisa ketemu waktu yang pas. Ketika ada waktu, pasti bentrok dengan waktu bermain dengan anak yang kedua, kalau enggak bentrok dengan si K yang mengantuk atau sedang moody dan ingin tidur. Main dan belajar membaca tidak bisa dilakukan berbarengan karena baby T sangat hobi merobek kertas. Sehingga kegiatan belajar membaca Iqra’ si K jadi tidak konsisten and it’s a bad thing. She is in a golden age in term of her brain could absorb many good things to digest. I am useless for not being able to handle these little things.
Many goals I hardly achieve in my age right now, for instances, olahraga setiap hari untuk memperkuat otot, menurunkan persentase lemak tubuh dan menjaga kesehatan jantung.. lalu aku ingin lebih banyak makan sayur, buah dan protein daripada karbohidrat setiap hari. Seperti itu pun aku belum bisa mencapainya karena terlalu riweuh mengurus hal lain. Meskipun berat badan ideal, tapi masih tidak sesuai standard menjadikan badan mudah lelah dan berasa umur seperti tidak akan panjang. I feel like the insulin resistance in my body is on its way to happen, or the inflammation because of high glucose level in my blood is out of my sight, or the bad fat would clog my arteries sooner or later. I am again useless for not being able to keep a healthy life style.
 
Curhat kali ini adalah saat aku merasa tidak efisien sekali hidupnya. Karena ada 2 anak-anak kecil ini tadi yang sudah aku bilang bahwa aku jadi relatif tidak bisa berlari kencang dalam marathon hidup ini. Mungkin karena sehari-hari aku melihat hidup teman-teman lainnya sebidang pekerjaanku yang bisa enteng melakukan apa saja sesuai hajat hidupnya ya. 
 
Di sisi lain, aku pun sungguh amat sangat menyayangi anak-anak kecil ini hingga tidak ingin melewatkan masa kecil mereka berlalu begitu saja di luar radarku. I want to witness every inch of their steps to grow. Oleh karenanya, ini pulalah yang menghambatku untuk juga ‘growing’. Aku sedang di masa tidak menemukan cara bagaimana supaya aku ikut bertumbuh dan berkembang ketika harus menemani mereka bertumbuh dan berkembang. Being multitasking isn’t my thing. When I am with them, my life and my mind just stop and it’s a break. On the other hand, I also need to run. I miss the time when I can train my critical mind to exponentially growing. That’s the problem.
 
Akan tetapi aku sama sekali tidak menyalahkan kehadiran anak-anak kecilku atas lambatnya langkah hidup atau beban yang sedang kutanggung, because they are truly blessings in my whole life, the best gifts I have ever had and I am very grateful for their mere existence.
There is no one to blame for my heavy burdens. I just want to carry them and go on with the hope that someday in a certain occasion I can reset the bad things in my life and change them into better and ideal ones. Of course, with my two grown up kids and awesome husband beside me.

Jumat, 25 Maret 2016

A Wedding Wish


My two dear friends, congratulations!

I cannot stop smiling today, especially when I look at this photo wedding where you both, two special people, are the bride and the groom there. I am so happy to see you in the aisle and get married. Finally.

It's been a while since the first time you both were becoming close to each other, and I was there to witness all the sudden connections between you two.
You both are my best friend, we were in the same boat. The bride was my colleague, we were in the same class everyday, go for shopping, cooking, traveling, and many things together. The groom was also my senior colleague, we were ally in some ways.

Now, it comes to the happiest moment when you both are united. It is very very good news for me, and I am happy because you are happy today. I hope the love and peace between you are the timeless things to bring through the happiness and sadness in your new journey ahead.

Blessings to mas Hilal and Pita. Aamin.

Warm greetings from Nijmegen,
-NK-

Sabtu, 14 November 2015

"Pray for .."

Aku beneran anak Bapak Hanafi, ternyata. Sebuah pernyataan konyol. haha..
Betapa miripnya kami. Aku bersikap biasa saja akan suatu kejadian, tidak pernah heboh. Misalnya pada kejadian musibah Asap di Kalimantan dan Sumatera, musibah perang di Syria, perang di Palestina, atau yang baru-baru ini serangan penembakan ratusan orang di Paris.

Tadi pagi bangun tidur aku di-whatsapp temanku bahwa dia ingin membatalkan rencana kami ke Delft untuk mengambil baju-baju donasi buat refugee. Rencananya kami cewek berdua mau ke sana, tapi tidak jadi. Heran deh, kemana sih para cowok. Kenapa harus selalu cewek yang bergerak untuk hal kayak gini? Banyak cowok apatis di Nijmegen ini, sayang sekali. Kami tidak jadi ke Delft karena ada kejadian penembakan di Paris. Temanku takut pergi ke tempat-tempat umum semacam stasiun dan centrum di luar kota. Saya kurang paham karena tadi baru saja bangun tidur. Lalu aku membaca deh berita-berita di social media, dari telegraph, dailymail, bbc, dsb. Mereka bilang bahwa tersangkanya kemungkinan Muslim yang menyusup ke gelombang Refugee di Eropa Barat. Lalu di Facebook, Twitter, Path, banyak yang mengirim statement "Pray for Paris". Aku masih biasa saja.

Sedikit mencermati, sebenarnya serangan di Paris itu bukan hal baru dalam hal konflik. Dunia ini dipenuhi konflik yang ratusan tahun tak selesai. Kalau bicara kejahatan genosida, banyak korban konflik lainnya. Di Palestina, Afganistan, Irak, Syria, Afrika, Ukraine. Di Indonesia pun sampai sekarang masih berlangsung pembunuhan-pembunuhan oleh militer, yaitu di Papua. Dulu pernah ada konflik juga di Aceh, dan di Poso sampai sekarang. Jadi, kejadian di Paris mungkin bukan hal baru.

Yang membuatnya beda adalah peran media dan tempat kejadiannya. Media Internasional begitu menggemborkan kejadian ini, melakukan bias opini, menggiring pandangan publik ke arah isu SARA, membuat marah sebagian kelompok. Tidak heran, karena media Internasional yang beredar sekarang memang juga dikuasi oleh orang-orang yang destruktif. Tidak cuma media Nasional saja. Parahnya banyak penduduk dunia yang percaya saja dengan media semacam itu. Tempat kejadian juga membuat kesan berbeda dari peristiwa serangan di Paris. Paris, kota seribu turis. Bayangkan ada teror di tempat yang dianggap penduduk dunia itu tempat yang aman dan terkenal yang oleh karena itu semua orang bermimpi ingin ke sana. Tiba-tiba ada tembakan peluru dan bom di sana-sini. Tidak seperti tempat-tempat di Timur Tengah yang konfik sejak dulu. Bahkan di Paris bermukim para WNI yang hidup aman dan damai untuk kuliah dan bekerja atau berwisata.  Bisa jadi mereka adalah kolega, anaknya, istrinya, suaminya, ayahnya, ibunya, temannya penduduk dari mana saja. Tentu saja kesannya beda. Karena dua hal ini, tentu saja banyak yang heboh, banyak yang mengirimkan statement "Pray for Paris". Beda kasusnya dengan konflik di Timur Tengah yang sudah sejak dulu orang-orang menghindari berkunjung ke sana karena memang banyak peperangan. Beda pula kasusnya dengan Papua, yang tidak banyak penduduk dunia singgah ke sana, lagi pula tidak ada media yang sanggup mengabarkan pembunuhan di Papua karena suara media tersebut dimatikan oleh militer TNI.

Lagi-lagi aku cuma bersikap biasa saja dengan seluruh kejadian ini, seperti Bapak saya yang pasti juga hanya bersikap biasa saja dengan segala kejadian di luar sana. Mungkin kami menganggap dunia dari dulu memang seperti ini, nanti akan seperti itu, selanjutnya seperti apa pun boleh. Karena semua itu adalah Takdir, jadi pasrah aja. Nah, kalau anggapannya demikian, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi kan?

Rabu, 04 November 2015

Merantau

Mungkin aku sudah bercerita tentang sedikit kehidupanku di rantau. Namun aku rasa, aku belum banyak bercerita tentang pentingnya “Merantau” menurutku. Aku pikir, aku sedang sangat bersyukur karena dalam hidupku, aku dibiarkan olehNya untuk merasakan kehidupan di rantau.

Flashback dulu..Menurut hematku, aku sudah menjadi seorang perantau sejak berumur 13 tahun. Waktu itu aku dengan keputusanku sendiri, memutuskan untuk meninggalkan rumah dan hidup bersama budhe, menemaninya di hari tuanya. Waktu itu aku diminta budhe untuk tinggal bersamanya selepas pakdhe meninggal. Aku tidak pernah pulang, pulang hanya 2 bulan sekali, dan itu pun hanya 2 hari Sabtu-Minggu saja di rumah. Aneh sekali, aku tidak merasa kangen dengan ayah, ibu, dan para kakakku. Aneh sekali, sekecil itu aku sudah betah hidup di luar rumah ayah-ibu yang surgawi itu, memilih untuk tinggal bersama orang tua yang aku tidak tahu karakternya bagaimana. Di tempat budhe, aku ditempa menjadi orang yang disiplin, rajin, dan relijius. Aku membiasakan diri hidup dengan budhe yang karakternya sangat kuat dan keras. Aku tidak merasa teraniaya, aku senang aku bisa menjadi demikian. Lalu, selang 1,5 tahun kemudian, aku pun memutuskan pulang. Aku pikir aku sudah cukup kenyang dengan kehidupan bersama budhe. Aku kembali ke rumah, tapi bukan karena aku kangen dengan rumah. Entahlah, aku hanya menuruti kata hati saja, bahwa aku harus pulang. Sewaktu SMA, aku pun memutuskan untuk tidak tinggal di rumah. Jadi, selama 3 tahun itu aku hidup di sebuah kos. Meskipun jarak rumah dan sekolah tidak begitu jauh, namun aku memilih untuk tidak tinggal di rumah. Pulang hanya ketika akhir pekan saja. Pun aku juga memutuskan untuk belajar bahasa Inggris di Kediri selama sebulan penuh, tinggal di asrama, bertemu dengan orang-orang dari berbagai suku. Aku sangat senang. Beberapa waktu kemudian, aku menyadari, ternyata orang tuaku semakin lama semakin bertambah umur saja, beruban di sana-sini. Aku memutuskan untuk selalu pulang, dimana pun aku berada. Aku memutuskan untuk harus bertemu dengan ayah-ibu sesering aku bisa. Namun begitu, aku tetap menjalani kehidupan rantauku. Ayah adalah orang yang senang anaknya merantau dan berkembang. Aku pikir, aku telah hidup sesuai dengan apa yang ayah mau. Ketika kuliah, aku hidup bersama kakakku yang karakternya pun juga sangat kuat, berkenalan dengan para koleganya yang beraneka ragam, dengan kehidupan sosial tingkat tinggi karena kakakku adalah seorang aktivis. Namun aku masih selalu pulang ke rumah bertemu dengan ayah ibu. Di masa kuliah S1, aku mengumpulkan semangat dan mimpi-mimpi untuk hidup di luar negeri. Kakakkulah yang benar-benar memberikanku banyak cerita, bahwa manusia perlu merantau. Kakak iparku yang pernah tinggal di banyak negara di luar negeri, sungguh menyarankanku untuk juga merasakan kehidupan di luar negeri, merantau, sejauh yang aku bisa. Setelah itu, aku bekerja dan melanjutkan kuliah lagi.

Di masa kehidupan S2 inilah aku merasa aku benar-benar merantau, full time. Tidak bisa pulang sesering aku mau. Namun demikian, di masa inilah aku benar-benar mengalami kehidupan yang sungguh sangat berbeda, yang membuatku selalu berpikir dan berpikir ulang, tentang untuk apa aku hidup, kehidupan seperti apa yang aku cari, mengapa orang lain seperti itu, mengapa aku seperti ini, dsb dsb. 

Aku merasakan dinamika pemikiran yang lebih fluktuatif daripada sebelum-sebelumnya, yang akhirnya membuatku berpikir, bahwa benar apa yang dikatakan orang: merantau membuat kita semakin mengenal asal muasal kita. Aku sangat setuju, anak muda perlu merantau untuk mengenal berbagai karakter orang, mengenal berbagai macam situasi dan lingkungan di luar zona nyaman, berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan berbagai bidang ilmu, mengecilkan rasa takut dan mengembangkan keberanian.

Merantau membuat hidup kita sangat dinamis dengan setting cara berpikir yang sangat luas. Merantau membuat kita mudah memaklumi segala keanehan yang terjadi di dunia ini, yang kita akan memiliki argumen pribadi tentang segala keanehan tersebut, karena cara berpikir kita yang meluas itu. Cara berpikir kita yang luas sungguh sangat penting sebagai landasan dalam melakukan manajemen konflik. Kalian tahu, hidup di rantau membuatku dapat meneropong dan memetakan beberapa konflik yang ada di dunia ini, khususnya di Indonesia. Aku melihat, betapa banyak orang yang masih mudah diadu domba, betapa mudah orang-orang dipecah belah. Selain itu, merantau memberikan kita banyak ide dan landasan tentang apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Merantau dapat menyadarkan kita bahwasannya teori Relativitas itu sungguh sangat relevan bagi kehidupan manusia. Merantau dapat membuat kita mampu meredefinisi segala terminologi yang dibuat orang lain, yang mana kita mampu berpendapat sendiri tentang terminologi tersebut, sesuai standar kebenaran kita masing-masing. Merantau dapat menyadarkan kita tentang hakekat kehidupan yang sesungguhnya sejelas-jelasnya, meskipun tidak banyak perantau yang bisa meneruskan kesadaran ini dalam kehidupan praktisnya. Merantau membuat kita sadar, bahwa betapa berharganya kampung halaman kita, bahwa kita akan menemukan resonansi-resonansi kampung halaman kita di tempat-tempat tak terduga di dunia ini, yang membuat kita ingin segera pulang dan melakukan banyak hal di sana. Merantau mempertemukanku dengan kasih sayang (rahmat) Tuhan yang ternyata sungguh sangat luas sekali bagi segala ciptaanNya tanpa kecuali. Merantau tidak seperti hanya membaca buku (jendela dunia), merantau mempertemukan kita dengan kehidupan sebenarnya, bukan seperti cetakan tinta saja. Pun tidak seperti cetakan tinta dalam tulisanku ini, yang sebenarnya adalah lebih dari sekedar tulisan ini. Tulisan ini terlalu datar, tidak memiliki banyak rasa dan emosi, rasa sesungguhnya tidak dapat kuceritakan semuanya di sini. Oleh karena itu, aku setuju, setiap orang perlu merantau, untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa dan matang, dengan pemikiran yang sangat lapang.

Aku pikir aku belum menuliskan semuanya, tentang betapa pentingnya merantau menurutku. Tulisan di atas hanya mewakili sebagian kecil saja. Namun, aku akan melanjutkannya bila aku ingat, bahwa mengapa kita perlu merantau.

ditulis di Geert Groteplein
di tengah persiapan presentasi
pukul 13.32


Jumat, 11 September 2015

Cita-Cita

Cita-cita dan Ambisi. Apakah keduanya sama? Bisakah kita mempunyai cita-cita namun tanpa dibarengi ambisi? Aku sering membayangkan hal ini.
Membayangkan diriku memiliki cita-cita namun tanpa dibarengi ambisi harus terwujud. Lantas apa gunanya memiliki cita-cita kalau demikian? Aku sering membayangkan diriku tidak disibukkan dengan usahaku untuk mencapai target yang merupakan bagian dari cita-citaku. Aku sering membayangkan bagaimana caranya aku bisa hidup dengan santai, membiarkan semua berjalan apa adanya, tak usah terlalu memperhitungkan waktu maupun kondisi datangnya sebuah kesempatan. Namun seringkali aku masih ketakutan, takut bahwa aku menjadi orang yang tidak mau mencoba dan menggunakan kesempatan sebaik mungkin. Waduh.. kok jadi terkesan oportunis. Begini, seringkali aku mau mencoba dan bersusah-susah mewujudkan cita-cita adalah karena aku ingin menunjukkan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa. Itu saja. It's a matter of gaining self-confidence, perhaps. Begitulah awalnya. Semakin kesini saya merangkum daftar cita-cita saya dulu sembari membaca beberapa kitab yang membolak-balikkan pemikiranku tentang kehidupan. Kemudian menyadari, kok cita-cita saya dangkal sekali ya. Apa sih yang aku cari dalam hidup ini? Dulu saya bercita-cita ingin keliling dunia, sekolah di luar negeri bersama orang-orang yang sama sekali baru dan berbeda denganku, mempelajari ilmu alam dengan gaya a la bule-bule barat, keluar zona nyaman dari rumah ayah dan ibu, dst..dst.. sekarang? Aku menganggap hal tersebut adalah cita-cita yang dangkal. Namun hidup bagimana pun tetap saja hidup dan harus diisi dengan hal berguna bagi sesama kan. Orang lain memiliki kehidupan juga yang mungkin buatku merupakan kehidupan yang dangkal juga, biasa, layaknya orang hidup pada umumnyalah. Dari permukaan mungkin kehidupan orang lain tersebut terlihat dangkal, namun tentu aku tak tahu seberapa dalam mereka menyelami nilai-nilai kebaikan yang mereka anut di dalam kehidupan yang terlihat dangkal tersebut. Dan itu bukan urusanku, aku memiliki kepentingan sendiri dalam penerapan nilai kehidupan dalam hidupku yang sekarang kuanggap "dangkal" ini. Kehidupan manusia memang berfase, salah satu fase tersebut adalah tentang kematangan akal sehat. Di titik saya berada sekarang ini, saya berusaha mencari definisi dan nilai dari kehidupan yang tengah kujalani. Setidaknya, saat saya menjalani cita-cita saya dulu yang seperti ini membuatku sadar bahwa manusia seperti saya tetap bertanya-tanya "apa sih yang aku cari dalam hidup ini?". Setelah capek-capek berambisi mewujudkan cita-cita, saya masih saja belum menemukan "saya yang sebenarnya", belum mencapai puncak kalo boleh bilang. Malah saya merasa saya sedang berada dalam jurang. Tapi segala posisi memang relatif terhadap posisi orang lain. Bagi sebagian orang, saya mungkin sedang di dalam jurang, namun jurang di dataran tinggi. Tetap saja lebih tinggi bagi mereka yang di dataran rendah. Gambaran masa depan terkadang terasa seperti fatamorgana. Kita mengira bahwa jalan di depan kita menanjak, berjurang, dan kadang landai, tapi kalau kita melihat dari suatu perspektif yang sangat jauh sesungguhnya jalan kehidupan itu melingkar.

Sehingga, untuk saat ini saya ingin off dari segala ambisi. Baiklah, saya masih memiliki cita-cita, namun saya telah belajar bahwa terlalu berambisi akan membuat akal sehatku tidak jalan, akan kehilangan arah sendiri nantinya meskipun pada akhirnya aku menemukan jalan keluar. Namanya juga pelajaran, kalau tidak salah maka tidak tahu mana yang benar atau seharusnya. Terkadang muncul pemikiran, "lantas apa setelah saya disumpah menjadi apoteker? lantas apa setelah saya bisa meyelesaikan S2? lantas apa setelah saya bisa melihat menara Eiffel? lantas apa setelah saya bisa sampai puncak Alpen? lantas apa setelah saya memiliki teman-teman baru dari berbagai belahan dunia? lantas saya menjadi keren begitukah?" Dari permukaan mungkin terlihat iya, namun akan terasa sangat dangkal sekali kalau aku tidak menemukan nilai kebaikan dari seluruh perjalanan ini. Sekarang ini aku sampai heran, mengapa ayah-ibu mengijinkanku dan bahkan mendukungku untuk merantau jauh ke ujung dunia, padahal mereka telah memakan asam garam kehidupan dan menurutku telah sampai pada fase nol ambisiusitas. Aku belum menemukan jawabannya, aku nggak mau bertanya pada mereka karena aku tidak ingin mereka menganggapku sedang hilang arah. Aku tidak hilang arah, tapi "mencari arah" pada kebaikan. Hhh... Dari sisi ini, lantas aku heran juga bila menemukan ada orang yang berambisi untuk jadi presiden, jadi menteri, jadi bupati, atau yang sejenisnya. Jadi orang macam begituan kan bikin hidup stressed dan runyam. Kok ada ya yang mau, kok ada ya yang berambisi sedemikian. Mungkin ini akibat dari kecenderungan pola pikir "rumangsa bisa". Mengapa mereka nggak berambisi untuk memiliki hidup yang benar-benar "peaceful"? Atau jangan-jangan mereka menganggap kalau memilih untuk menjadi menteri, presiden, bupati begitu membuat kehidupan mereka "peaceful"? Kalau iya.. Waah, masyarakat salah pilih orang! Tapi kembali lagi, namanya juga fase hidup, kalau tidak menjalani yang salah maka tak tahu yang benar kan? Kayak saya donk.

Dari titik ini, aku sadar bahwa aku tak boleh menganggap remeh kepada mereka yang aku pikir hidupnya tanpa cita-cita, mungkin saja mereka sampai tahap seperti aku ini, mereka memiliki cita-cita namun tidak ambisius sehingga hidupnya terlihat datar-datar saja.

Kesimpulannya, overall, cita-cita saya sekarang adalah bahwa saya tidak ingin jadi apa-apa atau siapa-siapa melainkan bisa memungut setiap kebaikan yang saya temui di jalan. Dengan begitu saya akan berusaha untuk bisa berusaha tanpa berambisi. Saya ingin bisa memberikan porsi lebih banyak kepada tangan Tuhan di pikiran saya dalam mengatur diri saya, sehingga saya tidak kecapekan dan hilang arah lagi.

Dear Allah SWT, please guide me to the way You want me to go, to the best of me being. Aamin

Jumat, 04 September 2015

Unraveling My Past Deal

#np Bila Aku Jatuh Cinta ~ Nidji

Melewati dinginnya mimpi~
...dingin..di pegunungan Lawu...
Waktu itu ketika ada rasa sedikit aneh hinggap, ketika auramu tiba-tiba berbeda dari yang lainnya. Kamu datang tanpa aku memintanya.
"Kenapa?" Tanyamu.
"Dingin."
"Nih sarung tangan, pakai aja dulu."
...
"Hey, aku pakai ya sarung tanganmu yang hangat ini, aku ga mau balikin pokoknya soalnya aku nggak bawa."
...
"Nggak. Kembaliin! Aku perlu sarung tangan juga."

Ah, aku yang waktu itu, ternyata pernah sedikit mengharapkanmu, sambil malu-malu, sambil tidak mempedulikan itu rasa tentang apa karena aku berpikir kamu pribadi yang nyaman, itu saja. Aku bahkan tidak memprogram chemistry macam itu. Tiba-tiba datang, tiba-tiba ada tanpa permisi, dan aku tak tahu mengapa begitu kejadiannya. Aku tertolak olehmu, kali itu, maka aku menjaga jarak dengamu, sampai segitu saja, dalam waktu sangat lama.

"Kakimu kenapa?" Kulihat kamu melepas sandal gunung dan kakimu yang merah memar-memar setelah pendakian pun terlihat jelas.
"Bukan urusanmu." Jawabmu tak peduli. Aku balik arah namun aku tak peduli pada ketidakpedulianmu. Maka aku pun sesekali melihatimu dalam jarak saja.

Esoknya tiba-tiba aku mengirimimu pesan, pesan pertama yang kukirim padamu seumur-umur. Aku tak paham juga mengapa kamu yang kupilih untuk kutanya tentang pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru hari itu. Aku ijin sekolah karena kakekku meninggal dunia. Padahal semua orang tahu bahwa kamu pemalas, tapi masih saja aku percaya kamu bukanlah pemalas. Sebuah PR, menurut hematku pastilah kamu orang yang mengerjakan PR, karena bagiku kamu murid pintar.

Aku benar-benar tak punya ide apa yang ada dalam benakmu dan aku nggak mau memikirkannya. Aku ingin sedikit lebih mengetahuimu. Itu saja.

#np Hapus Aku - Nidji

"Ngapain kamu di sini?"
"Tentu saja beli makan." Jawabku. Waktu itu rambutku masih berbentuk seperti lonceng sebahu. Kamu pun tanpa seijinku, mendaratkan tangan di hidungku dan memitasnya keras sekali. Aku pun buru-buru balik muka menyembunyikan mukaku yang memerah. Agar kamu tak tahu sedikit pun tentang chemistry yang telah lama kusembunyikan darimu.

"Halo, gimana Pare?"
"Hai.. Libur masih lama ya. Gimana Bali?"
Di tengah konser entah Peterpan entah Nidji di Trikoyo yang ramai, kamu meneleponku dengan suara tak kedengeran saat liburan, untuk melepaskan kegalauan masalah cinta yang menderamu. Aku senang bisa sedikit membuatmu lega, itu saja. Di kemudian hari seseorang memberitahuku bahwa kamu baru saja putus cinta, aku pun sedikit menyayangkannya karena aku mengidolakan cara kamu menyukai seorang perempuan. Kalau kamu putus cinta, aku tak bisa melihatmu menjadi pria romantis. Kamu yang cuek padaku, bisa romantis begitu, aku menikmatinya waktu itu.

Ah iya, aku melihatmu di kejauhan bagaimana kamu menyayangi seseorang. Bagiku kamu romantis. Namun aku masih dalam ketidakpedulianku dan membiarkan semuanya terjadi apa adanya.

Sampai setahun kemudian aku masih menyimpan chemistry itu. Kulihat sekilas kamu jalan dengan kawan-kawan ke masjid untuk mendengarkan tausiah pre-UAN. Hilang-muncul-hilang-muncul di antara kerumunan. Kulihat kamu duduk bersandar di tiang masjid dengan sweater tipis coklat bergaris horizontal menutupi seragam sekolah. Kenapa kamu sangat mempesona? Kurang lebih begitulah pikirku.

Di perpisahan sekolah setelah kelulusan aku tidak sedih berpisah denganmu. Meskipun aku merindukan sosokmu setelah itu. Ternyata aku bukan perempuan yang mau berkata apa adanya. Aku masih menyimpan dan menyembunyikan chemistry itu. Aku optimis bahwa nanti akan mendapat sosok penggantimu di Jogja nanti, itu saja.

Di awal tahun perkuliahan, kamu di Jakarta, aku di Jogja. Kita sibuk dengan kehidupan masing-masing tanpa pernah mengirim pesan lagi. Aku menemukanmu di Facebook, lalu ingat kamu lagi. Ah anak ini, gimana kabarnya ya? Tanyaku dalam hati. Namun kamu masih dalam ketidakpedulianmu juga. Aku pun meninggalkanmu lagi begitu saja dalam memori, aku sibuk bermain dan berhubungan dengan para kolega baruku.

Di saat aku hampir menemukan sosok penggantimu, kamu datang, dengan kedekatan seperti sebelum kita berpisah dulu. Aneh. Kenapa kamu seperti itu? Kenapa kamu tidak melupakan bagaimana kamu bersikap di depanku? Kamu bertingkah seolah kita belum pernah berjarak setelah kelulusan dulu. Ah, kamu sungguh membingungkan.

Aku pun masih menjaga jarak denganmu ketika kamu datang, sejauh jarak yang pernah kuatur sejak pertama kamu menolakku dulu. Namun tak bisa kupungkiri bahwa kamu masih senyaman dulu, bahkan lebih nyaman dan hangat. Memori dan chemistry itu datang lagi. Setiap kali di dekatmu, aku mampu menenggelamkan segala chemistry yang lain.

Tiba-tiba saja kamu mengutarakan bahwa suatu saat kamu ingin hidup denganku dan kamu bertanya apakah aku bersedia. Anehnya aku tidak kaget dengan pertanyaanmu, tanpa berpikir panjang aku menjawab "mengapa tidak". Entah apa yang membiusku. Mungkin karena sudah cukup lama aku menunggumu. Kamu pria yang nyaman, pintar, dan romantis. Aku tak menemukan alasan untuk membuang chemistry itu selain memang aku tak bisa.

Sejak saat itu kita mengukir mimpi-mimpi baru kita bersama. Kehidupanku berjalan menyenangkan ketika bersamamu. Sampai sekarang, sampai detik ini, chemistry itu tetap terjaga, sedikit lebih kuat dan dinamis dari sebelum kita bersama. Aku bahagia dan merasa cukup ketika bersamamu, dan belum ada yang lebih membahagiakan dari itu selama ini.

Terimakasih telah datang kepadaku. Terimakasih telah menjelma menjadi pangeran seperti dalam impianku selama ini. Kamu lebih indah dari bayanganku sebelumnya.

Kamis, 18 Desember 2014

Finding Me

People here are spreading the love at this moment because they will celebrate Christmas. One week right before winter break I get some presents and treats from people around and they really are sincere to do it. Teresa said while giving the present "Niha, this is for you from us, please accept this Christmas present. It's not much but we do it with love" and we have bear hug with each other. A person from CMBI also gave me a shopping voucher as present, "This is for you Nihaya". Today Suzanne brought us some cakes, she invited me to eat some bites, I said "Really? may I?" then Prof. Geert who sit beside me replied "Of course you are more than welcome to eat every food served here". Because everyone is full of love, I will also spread the love instead of becoming a hater that makes me lose. So, today I remark some assignments as follows for myself that I have to complete during my life, at least before I'm lost in somewhere again in my upcoming journey (by which it makes me really depressed).

  • Belajar memahami lagi dan lagi, membaca manusia dengan segala pikiran, perasaan, dan kompleksitasnya.
  • Belajar mengalah pada mereka yang tidak mau memahami.
  • Belajar menerima bahwa hidup berjalan kadang tidak sesuai harapan, yang ketetapannya tidak pernah diketahui. Tidak lagi menaruh harapan terlalu tinggi, apalagi kepada manusia.
  • Belajar melepaskan sesuatu dan mencintainya tidak terlalu.
  • Belajar untuk tidak mengharapkan imbalan atas cinta atau sesuatu yang kita beri.
  • Belajar mencintai apa yang dipunyai sampai akhir waktu.
  • Belajar untuk kembali tersenyum lebar, menatap dunia dengan penuh mantap, meskipun masalah yang menyengsarakan selalu kembali datang. 
  • Make my heart empty so there will be great space for God's love, and..
  • Spreading the love everywhere and everytime! 


In this case let's not dwell on the past. People here show me that love is everywhere and it will not make me feel lonely.

I will leave Nijmegen on Saturday and go back here when the year is already changing. I hope I will find a lot of fun outside with all my trip-mates. They really care about all we need, the destination, and what we have to do.

See you next year then, Happy new year!

-Nijmegen with love-

Rabu, 17 Desember 2014

1st Culture Shock

Awal tinggal di Eropa aku nggak peduli kalau aku minoritas. Hidupku masih berjalan normal seperti aku tinggal di Indonesia, asal aku masih bisa mengurus diriku sendiri. Begitulah pikirku. Aku muslim, orang Asia, Indonesia, Jawa, orang Timur, yang mana berkebalikan sekali dengan orang Eropa baik dari cara makan, minum, bergaul, berpakaian, berbicara, tertawa, menyapa, mandi, pokoknya segala hal tentang budaya. Awalnya hidupku masih biasa, karena menurutku sejak di indonesia aku orang yang cukup toleran akan perbedaan. Orang lain mau apa terserah. Kawan-kawan mau minum bir, makan daging babi, masak daging anjing, memanggang daging menjangan, mabuk, pesta sampai malam, terserah. Yang penting aku hidup dengan caraku sendiri, tidak bisa diganggu gugat, caraku yang tidak banyak merugikan dan merepotkan orang-orang di sekitar.

Sampai tiba saatnya aku diundang pesta oleh kolega di kampus dan di apartemen. Karena yang mengundang menyangkut kehidupan inti sosialku, maka aku memenuhi undangan mereka. Sebelum-sebelumnya aku juga diundang pesta di bar dan di suatu tempat tertentu, karena yang mengundang bukan kawan dekat, maka tidak aku pedulikan. Masa bodoh kalau dianggap tidak gaul. Aku selalu mengatakan ke kawan-kawan "I don't like party, I don't like crowded place, I'm sorry". Namun aku menghargai mereka yang mengundangku, yang menyadari keberadaanku di sini (sehingga mereka mengundang). Menjelang natal ini, teman di apartemen dan laboratorium mengundang dinner party.

#1
Dinner Party bersama teman di laboratorium berlangsung di daerah Malden, desa kecil area kuliner dekat Nijmegen yang dapat ditempuh dengan bus selama 30 menit. Mereka memesan restoran Italy dan Jepang, Lime Restaurant. Hidangan yang disajikan berupa wine, red wine, cookies, sushi, salad, cocholate, ikan koolvis, daging menjangan, potato, peer, ice cream, pancake, pokoknya sampai lambung kita tidak muat menampung semuanya. Semuanya gratis karena Prof. Geert yang baik hati. Di sana kami berbagi cerita. Terutama tentang pasangan masingmasing. Aku menceritakan bagaimana aku berkenalan dengan mantan pacar dan sampai sekarang yang sudah menjadi suami saya. Ketika aku bercerita kalau aku LDR sejak kami pacaran, mereka menganggapku gila, tidak habis pikir, tidak bisa membayangkan, dan demi apa aku menjalani hidup seperti ini. Suzanna bahkan berkata "Even if I'm capable of taking my PhD in USA, I won't do that, I don't like to be separated from my boyfriend. I'd rather do something makes much sense for me". Manja, kawanku bertanya mengapa aku tidak minum wine padahal menurutnya wine sangat enak. Lalu aku bingung menjawabnya. "Just because wine usually contains much alcohol, I do not drink alcohol". Tidak puas dia bertanya, mengapa? Aku mendapat clue untuk menjawab secara ilmu medis. “You must ever read that if we drink alcohol while we are in the middle of consuming drugs, the drug effect will be more toxic, its concentration in the blood will be significantly elevated. In other words, alcohol is intoxicating. It is worse when we drink alcohol while we consume so much fatty food, or herb-rich food” Dia bilang kalau alkohol tidak dikonsumsi setiap hari, paling-paling kalau lagi pesta. “Who can guarantee me not become contagious? You said that wine is really good, I can not take for granted something like this. The same as smoking, I won’t try to smoke just for knowing how it feels like.” Teman-teman berkomentar kalau aku sungguh normal, orang yang sangat normal dan mereka tidak normal. Well, I do not say that, they do. Aku pun bertanya mengapa mereka memakan daging rusa, mereka bilang karena lezat. Aku bilang, aku tidak doyan, tidak biasa, dan merasa aneh kalau aku sampai memakannya. Aku bilang aku hanya makan daging ayam dan daging sapi, itu pun yang bercap halal. Sehingga mereka memesankanku ikan laut untuk main course-nya. Thank you! Dari obrolan selanjutnya aku baru tahu kalau teman seruanganku, orang Polandia, seorang lesbi. Satunya gay. Oh my God.. Aku kira selama ini mereka normal. Hingga detik ini aku menjadi bingung bagaimana harus bergaul dengan mereka, bingung bagaimana menyamakan cakrawala sudut pandang. Dalam hidup, it is OK if we have different perspective, but it will be easier if we have the same horizon of to where we look at, so at least we can point to somewhere or something the same. Takut juga kan bergaul sama lesbi, (dia lakinya atau dia perempuannya? Aku nggak tau momen seperti apa sehingga aku bertanya dia ini cowoknya atau ceweknya?). Trus ada gay, bagaimana aku harus memperlakukan dia? Aku memang kurang membaca buku-buku anti-mainstream tentang hal-hal semacam itu. Aku tidak berminat karena aku pikir aku tidak akan pernah tersentuh hal-hal semacam itu dalam kehidupan sosialku. Ternyata, dunia ini tidak seluas yang aku kira.

#2
Teresa (Tesa) mengundangku pesta makan malam sebelum dia pulang, sebagai Christmas dinner. Aku menyambut baik, dia bertanya apa yang akan aku masak atau bawa buat makanannya. Aku sedang tidak ada ide, maka aku spontan bilang kalau aku mau membawakan mereka Yoghurt Milbona yang enak itu. She replied “What? But we will not have breakfast, it’s dinner! Haha..” Dia tertawa, aku pun tertawa balik dengan kebingungan. Memangya ada aturan kapan harus makan yoghurt? “But why? Can we eat yoghurt at dinner? It’s really healthy anyway.” Aku jawab. Hari berikutnya Tesa mengirimiku pesan “Sorry for bothering you, but I don’t know what you will do tomorrow L at dinner party, I don’t know why you want to bring yoghurt.” Trus aku musti gimana.. Kan ya aku tidak tahu aku harus bawa apa, mereka suka makan babi dan minum anggur. Sehingga aku balsas “I’m sorry, because I never go to Christmas dinner so I don’t have idea what to bring for food or drink. Well, I was thinking to make Macaroni Schotel, I think it is good idea since we really loved Italian macaroni!” Teresa bilang, “Really? That will be fine. Just tell me if you need help”. Sehingga pagi harinya aku pergi ke took Turki membeli daging sapi cincang halal. Tentu saja HARUS halal. Aku tidak mau makan daging yang tidak halal sekalipun di Eropa, aku membeli macaroni, dan keju. Sore sepulang dari lab aku mulai meracik, 1 jam setelah dioven akhirnya jadi. Estelle membuat pancake dan waffle sebagai dessert. Teesa membuat salad, mentimun mayonnaise, salame (daging babi), terong rebus, sandwich, dan oseng paprika. Caterina membuat sekotel juga! Sekotel versi Italia tapi dicampur daging babi L. Leon membuat steak babi, Vlad dan Kevin membawa Alcohol dan Wine, Tesa dan Leon juga membuat jamu saripati red wine yang dicampur markisa dan apel, finally Jung membawa minuman yang dapat aku minum dengan lega.. Cocacola dan Juice. Aku pun harus pilih-pilih hidangan yang tersaji di meja. Jangan sampai mengambil makanan yang tidak halal. Di pesta makan malam itu pun ada ritual tukar kado. Namun Tesa mengkoreksiku “We are not exchanging Christmas presents, but we give Christmas presents”. Okay, noted.


Jadi, kali ini, setelah hidup selama 4 bulan di Eropa, aku baru benar-benar merasa culture-shocked!


Minggu, 14 Desember 2014

Nijmegen Verse

Hidup di rantau harus menjalin komunikasi dengan orang-orang yang bisa memberikan rasa tenang kepada kita. Begitulah menurut saya. Ketika SMA, saya tidak tinggal di rumah, melainkan di dormitory bersama kawan-kawan dan kakak-kakak kelas. Kita hidup seperti sebuah keluarga, sering ngobrol bareng, main gitar bareng, curhat, nonton TV bareng, berangkat dan pulang sekolah bareng, lari-lari bareng di stadion Trikoyo, makan siang dan makan malam bareng, belanja bareng di minimarket, jalan-jalan bareng di alun-alun. Mereka sangat menenangkan. Ada Titis, Fitri, Mbak Arin, Mbak Bel, Mbak Nila, Mbak Intan, Mbak Mela, Mbak Windy, Galuh, Tiara, Mbak Diah, mbak Diana, dek Lulut, dek Putri. Hidup bersama mereka menciptakan kenangan tersendiri yang tidak mungkin saya lupakan, menenangkan.

Di Belanda, saya menjalin komunikasi dengan Mbak Astri, Mbak Ainul, Mas Ferry, Fuji, Falma, Rizka, dll. Setiap kali saya merasa gundah, homesick, dan didera ketidakjelasan perasaan, saya pasti menyambangi mereka untuk becerita apa saja cerita yang ingin saya bagi. Paling sering ke Mbak Astri, ngobrol di kamarnya sampai berjam-jam. Sering merepotkan dia karena biasanya minta teh hangat, dan dia menyajikan cookies pula. Pernah datang  waktu dia masak di koridornya, sehingga sekalian makan malamlah saya di sana. Hari berikutnya gantian saya yang mengundangnya untuk makan malam di koridor saya.

Jumat sore lalu seharusnya saya menyambangi rumah Mbak Ainul di Neerbosch-Oost (distrik kecil di Nijmegen yang indah) untuk bercerita juga. Namun karena hujan angin kencang dan hari cepat gelap, saya tidak jadi ke sana. Niatnya ingin meminta cerita dia bagaimana rasanya kuliah di UCSD (University of California, San Diego), USA. Mbak Ainul adalah alumni Fulbrighter yang mengambil  Master of Peace and Justice di sana dan sekarang PhD student di Nijmegen. Entah mengapa saya bermimpi lagi untuk bisa ke San Fransisco, UCSF. Mempelajari Medicinal Chemistry sesuai apa yang saya mau. Bidang MedChem di UCSF hanya menerima PhD student di Graduate School, bukan master. Namun ditempuh selama 6-8 tahun. Yeah, bisa dibilang kalau mimpi saya benar-benar terwujud, maka saya bisa menua di San Fransisco. Sedangkan, mimpi saya yang lain adalah hidup sederhana, bahagia, menua dengan suami saya di desa di bagian Jawa Indonesia, mempunyai banyak anak. I came across my intersection again! Karena belum ada waktu ke Neerbosch Oost, saya belum bisa memecahkan telur masalah yang satu ini, masih gundah.

Hari ini adalah jadwal pertemuan saya dengan salah satu teman Latin dari Mexico, Paty. Kami berpisah di akhir kuartal pertama karena kami memiliki tema riset yang berbeda. Saya sering menjulukinya Emma Watson dari Mexico karena dia begitu mirip dengannya, cantik dan manis. Pagi hari sebelum bertemu Paty, saya mengajak Mbak Astri ke downtown of Nijmegen untuk sekedar menyaksikan sungai Waal dengan hawa dinginnya ketika Winter. Ya, tangan saya beku kembali, sakit. Namun saya mencoba menikmatinya karena saya yakin saya akan merindukan rasa dingin di sini. Nijmegen ini sangat cantik, memiliki banyak kastil tua. Namun karena saya tidak sanggup menahan dingin, saya memutuskan untuk jalan ke Centrum menghangatkan badan, belum bisa menyambangi kastil-kastilnya. Mungkin ketika salju turun atau musim semi datang, saya akan berkeliling Nijmegen. Kalau boleh saya bilang, Nijmegen bahkan lebih cantik dari Cologne, Germany. Hohenzollernbrucke bagi saya tidak lebih indah dan tidak lebih romantis daripada Waalburg. Di Koln, jembatan dan gereja gotiknya penuh orang, anak muda dengan kegelisahannya. Di Nijmegen, pinggir sungai dan jembatannya sunyi, sering terlihat kakek-nenek berdua saling berpelukan memandangi air sungai, menenangkan. It makes me wander my thought of how my old age would be while now I am here alone without family or someone I love.

Vossendijk 219 K6
Pukul 23.57
























Rabu, 03 Desember 2014

Winter is Coming

Today is the coldest day along November until now. The temperature now is reaching -2°C outside. When I got home this evening, it was -1°C and enough to make my hands freeze. Do you know how it felt? It really hurt because my veins got pressed so the peripheral nerves did not like it and tortured me. Well, perhaps I need another gloves that suitable for winter. Oh yeah, winter is coming, but it seems like there will be no snowfall in December because I heard many people said about it. They also said it's because of global warming as of last year that there was no snowfall. I do not know, but it has been snowing in Scandinavia since September.

Whatever about snow, besides my hands, my lip is the most troublesome that it gets injured because of low humidity. The Lip ice or lip balm I brought from Indonesia are not sufficient to moisturize my lip! Also, my shocks, sweater, shoes, and.. I forgot. I need to buy new ones, all in all, to face very cold weather. Since the last days in Indonesia was hot, I could not imagine how cold here in winter, neither you, right? Preparing winter season is the costliest activity. I understand why many people here spend their winter break by visiting tropical zones, they miss sunshines, of course. I turn on the heater in level 5 and sitting beside it but still not feeling warm.

While many people are now leaving their bike in the bike parking spot and choose to go by bus, I still have to take my bike to go to campus. The wind blows freezingly -7°C that you can not imagine how it can slap your face. Luckily I have thermal long shocks which people call it long john. So, only my face directly contact to the freezing air.

It's funny to see the differences in winter clothing style between the native Dutch and the foreigners especially Mediterraneans. Mediterraneans usually cover their body very tightly with very thick clothes while the native Dutch can hold on the cold weather by only wearing a layer of coat without scarf. We foreigners need sweater before wearing coat and scarf and bonnet. :))
Who cares, no one can deny how cold -2°C is. Come here, come on!

Kamis, 20 November 2014

Marriage

I want to tell you what I think about marriage. Since I am not a story teller and don’t have much occupation in long lines sentence, this story will come up in simple way. Marriage, I am a married woman and you don't have to believe me because I am saying this not to convince you about anything. Well, people keep saying that I am still as cute as teenager and I look inclusive when they chat with me, people can talk about everything without burden in front of me. Yes, I am. Why not to become an inclusive one while we live in social community? My own privacy is still here, just fine and nothing changes. Marriage is in the same stage about what I previously talk, my marriage and my privacy is still here, inside me and my husband while people are there. It’s one thing.

The other thing is that how I decided to get married. This year, special event was going on when someone recited the sacred sentence which means he changed my status, became a married woman. Perhaps, everything around was different since that time, people say. But what actually happened was that I feel as usual as the previous moment before I got married. I think, it’s because of my perspective about marriage. I decided to get married in order to have a happy and relieved life, with someone I love. Happy, because finally I can be together with him, the one I can’t take my mind off for long stretches of time. Relieved, because finally people and God witnessed us being together. I know, love is poisonous sometimes, it has it’s own concentration. But as Raima said, “love perhaps is similar to taking care of a garden. Hoping that in your garden, a beautiful flower will bloom, a cool breeze will blow in the presence of warm sunlight and occasionally a magical shower.” I am doing in simple way and do not care too much about or afraid of what future is going to be as long as I am doing the right thing, I just need to maintain the feeling, the chemistry, and not the love because the love inside me is just still the same, I fall for him almost everyday and everytime since 5 years ago. It is something beyond our mind, we together still do not know how we can be in love by this way. Especially because since 2008 we did not meet frequently as other lovers do. They say, they cannot do as I do, to live in separated place while being in love with the one. I say, It’s not something to think of, just go along with what we believe and finally we can see that everything is fine here and there, happily.

To get married, in my perspective, is not something that I have to think it over after I met him. In the moment when I decided to know him more and more I thought that I would not end up in hating him or being hearted-far from him. So, I tried to catch him up everytime he runs away, to hug him everytime it feels like we are faraway. I made it. By that way, how can I let him go simply? No, I don’t think so. Since then, I thought that we will get married after all. As of the day and the other days in the past that I will not let anyone or anything in this world become the reason of our separation on purpose. How? Just do the best as I can, believe that miracles happen almost everytime, I create it, he creates it, people do, and universe does?

Technically, it is not simple though, but I give you the big picture of how marriage for me is. Probably we have our own philosophy regarding marriage. As we can see that there are people who decided to make baby without first getting married. They live together until getting old, they finally get married when their child are adulthood already. It is something beyond my mind too because I never think to have long lasting relationship without getting married. Moreover for Javanese, it doesn’t make any sense, at least in my culture. I do not say this to only consider my marriage is a culture-business, neither does it only to abolish any rules. More than those, I decided to get married because I want to perpetuate my relationship with someone I love and perpetuate the love (to all surroundings) I have inside me. Day after day, my marriage story will give new insight for me and I still need to adapt everytime it goes up and down, I suppose. In this one side of walk of life, what a long journey, by the way.

Rabu, 29 Oktober 2014

A Year Ago

Hai,

Sudah setahun saya resmi meninggalkan Jogja dengan segala kenangannya. Meskipun selama 5 tahun Jogja tidak sepenuhnya lengkap karena kekasih saya tidak tinggal di Jogja, tetapi segala sudut-sudut kotanya terasa lengkap hanya dengan sekilas pandang dan kebersamaan dengan mereka yang pernah saya temui di Jogja.

Dimulai dari Mbak Lika, Shima, Mas Roni, Mbak Yun, Budhe Latip, tetangga rumah, para asisten rumah tangga mbak Lika, teman-teman dari berbagai kampus, teman-teman KKN, teman-teman magang, teman-teman di laboratorium, teman-teman organisasi, teman dolan (Ipah), teman dolan lain ke pantai dan ke desa-desa, para dosen, para mahasiswa, penjaja makanan di warung langganan, teman ngobrol di cafe dan di mall, teman-teman nonton film di bioskop, teman kursus, dan sebagainya yang menyaksikan aku berkembang di Jogja.

Rasanya sungguh klasik bila mengingat semua mereka di sana. Bila aku tak melalui kehidupan di Jogja, mungkin aku tak akan melalui kehidupan di tempatku sekarang.

Sudahlah.
Apakah ada kesempatan aku bisa kembali ke Jogja? Mungkin ketika aku datang, tempat itu sudah lebih baik lagi dari sebelum aku pergi.

Sekarang aku tengah bersiap untuk mengukir kenangan di sini, Nijmegen yang tua dan mungil.

Oiya, saya kangen sama keponakan saya yang masih lugu, Shima, anak umur 9 tahun. Aku bersamanya semenjak dia berumur 3 tahun, menyaksikan dia berkembang sebagai balita dan anak-anak. Sungguh menimbulkan haru bila mengingat keluguannya sebagai anak kecil tak berdosa. Segalanya indah. Baik-baik kamu di sana, Shima. Apakah 2 tahun lagi kamu masih selugu terakhir aku mencubit pipimu? :')

Vossendijk 219, Nijmegen
Pukul 21.37

Selasa, 21 Oktober 2014

The Chosen One

Suatu waktu di rumah, saya didatangi kawan-kawan SMA. Mereka berbanyak orang hendak mengklarifikasi apakah benar saya sedang menjalin hubungan dengan calon suami saya (waktu itu). Apa mau dikata, memang benar, saya jawab iya. Lalu mereka bertanya lagi, apa sih yang membuat saya menyukai calon suami saya (waktu itu)? Reflex saya menjawab karena dia pinter. Hahaha.. bahkan anak TK pun mampu menjawab jawaban seperti itu. Tapi ya memang begitulah adanya. Lalu kawanku bertanya lagi, jadi kalau Wisnu (calon suami saya waktu itu) nggak pinter, saya nggak mau sama dia? saya jawab lagi, enggak. Pokoknya saya maunya sama orang pinter, titik. Mereka menyimpulkan: "Jadi kami-kami ini nggak pinter?". saya pun tertawa, "Ya disimpulin sendiri aja, terserah" . Lalu kawan-kawanku (yang juga kawannya Wisnu) mengiyakan kalau Wisnu itu pinter, memang pinter, dia pernah ikut oliampiade, mendapat nilai tertinggi di ujian akhir, bisa masuk STAN tanpa banyak kesulitan (siapa waktu itu lulusan SMA yang kalau keterima STAN lalu nggak mengambil kesempatan itu? mana ada), apalagi.

Itu salah satu cerita.

Hari ini suami saya memberitahu hasil skor TOEFL sama TPA Bappenas dia, saya nggak terlalu kaget, dia mengalahkan skor TOEFL dan TPA Bappenas saya tanpa banyak kesulitan. Awal tahun ini saya sempat ikut 2 tes itu untuk masuk S2 ITB dan semuanya jauh memenuhi persyaratan minimal. Tapi sayangnya saya nggak jadi masuk ITB karena ternyata mendapat unconditional letter of acceptance dari Radboud University Nijmegen. Good Bye ITB. saya tahu kemampuan kognitif suami saya, dia jauh di atas rata-rata, sedangkan saya cukup rata-rata saja. Bila tes IQ, nilai saya pas-pasan. Untung saja nggak kena genetic disorder Intellectual Disability, saya sudah bersyukur. Meskipun pas-pasan, saya punya mimpi tinggi untuk bisa sekolah sampai jenjang paling tinggi. Whatever everybody might say, I won't care.

Suami saya sampai sekarang masih lulusan D3, sedangkan saya sekarang hendak menamatkan S2. Namun hal itu tidak bisa dibandingkan karena nasib kami sungguh berbeda. Gelas kami bentuknya berbeda. Gelasnya berupa Abdi Negara, gelasku berupa sekolah. Meskipun kemampuan kognitifnya melebihi saya, namun dia belum bisa melanjutkan belajar sampai seperti yang saya capai sekarang. Namun saya tetap bangga padanya..

Dia selalu menjadi seseorang melebihi apa yang saya pikirkan. Cinta yang ada padanya kepada saya, seperti menjawab tantangan lagu klasik berjudul "More Than Words". Dia lebih memilih untuk menunjukkan secara nyata bukti cintanya daripada hanya berkata-kata. Tapi sebagai perempuan saya terkadang sering nggak melihatnya kalau dia benar-benar mencintai saya. Seperti yang suami saya bilang, manusia terkadang ingin melihat apa yang tidak dilihatnya daripada apa yang benar-benar tampak di depan mata. Itu membuat saya merana sendiri dan buru-buru melihatnya dari sisi lain. Setelah itu saya sadar, suami saya sungguh cinta, sungguh dewasa, sungguh sabar, dan menyayangi saya apa adanya.

Saya beruntung menjadi seseorang yang dia cintai. Bayangkan saja, mana ada laki-laki yang mau ditinggalkan istrinya 2 tahun lamanya dengan alasan ingin sekolah. Pasti hanya sedikit dan suami saya termasuk yang sedikit itu. Bahkan dia yang mendukung saya habis-habisan, sejak saya masih S1 dulu, “Lakukan dulu, jangan bilang nggak bisa” dia bilang, hal itu mengubah pola pikirku. Kalau dia tidak seperti itu, mungkin sekarang saya masih berdiam diri di suatu tempat di Indonesia, tidak berkembang, dan stagnan. Di Eropa, saya belajar banyak hal, banyak sekali, semua sedang ada di otak saya dan belum mampu saya tumpahkan ke dimensi lain.

Sekarang, suami saya sedang sendiri di sana, saya merasa bersalah karena dia bilang bahwa dia melakukan banyak hal sendirian. Yah, tidak berbeda dengan saya, saya juga sendiri. Bahkan untuk bisa ngobrol via Skype pun kesulitan karena perbedaan waktu 5 jam, apalagi di sini lama waktu siang dan malam tidak seperti di Indonesia. Suami saya harus meluangkan waktu sampai tengah malam untuk bisa mengobrol. Tentu itu mengganggunya karena dia harus bekerja pagi harinya, pekerjaannya menuntut produktifitas dan profesionalisme sebagai abdi negara. Sampai-sampai saya berpikir, mengapa kita yang saling mencintai bisa terpisah seperti ini? Mengapa harus begitu? Sampai sekarang saya tidak habis berpikir. Suami saya pun bilang “karena ini jalan kita, dijalani saja dulu, pasti nanti akan ada waktu kita bisa bersama-sama”. Aneh kan.. Karena kami sudah memilih dan karena memang semua ini harus dijalani, apa boleh buat. Tanggal 29 Oktober nanti adalah mensiversary pernikahan kami yang ke-5, dan kami terpisah jarak yang jauh, sangat jauh. Ketika berada di dalam pesawat dalam perjalanan saya ke sini, saya selalu memperhatikan peta digital, melihat pesawat saya sedang berada di mana, yang menjauh dari posisi suami saya dan orang-orang yang saya cintai berada. Ketika saya sudah berada di sini, membuat saya ingin pulang, tidak percaya bahwa kami benar-benar jauh di benua yang berbeda.

Dear my husband, thank you for becoming the best man ever for me, thank you for becoming the one I want to annoy for the rest of my life. I’m really proud of you and do respect you as my leader. Don’t get lost in your way for the sake of ours. I’ll be your love as the best as I can.



Vossendijk 219, Nijmegen
Pukul 19.15

Sabtu, 11 Oktober 2014

Hujan dan Sepeda

Hai, kali ini aku memiliki satu quote "Barangkali, ketika kita menikmati sebuah proses, maka kita sedang bersyukur". Semakin logis ketika aku ingat bahwa hidup adalah lakon yang diperjalankanNya. Menikmati proses adalah lambang ikhlas penerimaan kita atas pemberianNya.

.... aku mau cerita juga:

Aku mengerti mengapa orang sini memang butuh minum yang tidak hanya air putih, minuman penghangat tubuh dan menyegarkan. Seperti aku sekarang, aku tak bisa hanya minum air keran seharian. Pasti aku meluangkan waktu untuk menyeduh teh (dan karena hanya itu yang aku punya) yang aku bawa dari Jawa. Teh tubruk Dandang Biru satu pak. Aku merasa bersyukur aku membawa beberapa makanan yang awet berbulan-bulan dan praktis disajikan untuk dibawa sebagai bekal ketika kuliah dari pagi sampai sore. Bukan pula itu adalah makanan berkuah. Maka, tiap makan di kampus, aku selalu memesan sup kuah kental 'vegetarish'. Untuk menyegarkan mulut, tenggorokan, lambung tentu saja, dan menghangatkan badan. Hidup di sini aku selalu gemar makanan berkuah. Bila ada waktu, aku selalu memasak makanan berkuah. Karena udara yang kering. Kau tak hendak mendapati hujan deras, yang ada hanyalah hujan gerimis singkat yang galau dan romantis. Mungkin, para bule ketika melancong ke Nusantara, mereka terkaget-kaget diterjang air yang tersiram dari langit dengan volume besar dan mendadak. Sedangkan aku di sini hanya heran, ketika hujan aku tak pernah sampai basah kuyup, bahkan aku masih bisa bersepeda menikmati titik-titik air yang segera mengering ketika aku sampai lokasi tujuan.

Yang selama ini jadi pertanyaanku ketika di jalan adalah, bagaimana negeri kincir angin ini mengawali budaya bersepeda dan membangun jalur sepeda di setiap ruas jalannya, dengan rapi, teratur dan tertib. Betapa asoi bila di kota-kota di negeriku tercinta bisa menirunya. Jakarta, misalnya. Macet dan polusinya jangan ditanya. Mungkin nomer satu di dunia. Karena selama ini, hanya Jakartalah yang aku dapati kemacetan berkilo-kilo meter. Tanah di Jakarta kan rata-rata datar, untuk bersepeda tentulah asyik, tidak seperti tanah di desa yang kadang berbukit naik turun. Tidak Jogja, karena di daerah selain kota Jogja, tanahnya sudah berbukit naik turun, katakanlah Sleman. Namun begitu aku masih mendapati mahasiswa sederhana yang bersepda dari Jalan Kaliurang KM. 13 sampai kampus UIN SuKa, karena dia tidak memiliki motor. Apa boleh buat. Seharusnya aku meminjamkan motorku yang nganggur di rumah untuk dia.. :(
Jalur sepeda dan jalur pejalan kaki, aku masih membayangkan itu ada di Jakarta. Entah siapa yang bisa menginisiasinya. Satu yang aku tangkap tentang sebab, bahwa semakin banyak manusia, semakin sulit menciptakan tata kelola yang rapi dan terstruktur. Aku sudah mewanti-wanti suami untuk mulai bersepeda ke kantor. Toh cuma dari Cempaka Putih ke Lapangan Banteng, tak lebih jauh dari Vossenveld ke Hayendaalseweg. Tiga puluh menit adalah waktu yang aku perlukan pulang-pergi setiap hari dari apartemen ke kampus dan aku tidak mengeluh sama sekali, karena semua orang beitu, sama seperti aku. Apalagi bersepeda membuat otot perutku lebih kencang dan mengecil yang pada awal di sini agak melar. Apalagi bersepeda membuatku tubuhku hangat melawan udara dingin karena pembakaran kalori.

Itulah, What I love to stay here and about the Dutch.


Nijmegen pukul 23.43

Sabtu, 05 April 2014

Adagio



Di saat tempoku mengakselerasi putar rotasiku, di saat tak bisa merasakan suka apa-apa, di saat mencoba menjalari rasa nikmat dari keresahan dan kesulitan akan kerja keras ini, ada orang datang marah-marah tak bertanggungjawab dan tak berperasaan

discouraged me suddenly, my half heart felt like flying off no where.

Di saat pandangan-pandangan buram berbulan-bulan yang entah sampai kapan ini. Pernah berkali-kali selayang pikirku, terdeskripsi bahwa aku tak ingin menyesal dengan tak menikmati ini semua. Ini semua ketika aku tak bisa bersenang-senang pergi kemana, bertemu teman, bertandang keluarga, membaca cerita, menonton drama, membeli semua disuka seperti  kebiasaan sebelum awal tahun ini. Ada orang tiba-tiba datang menghancurkan kaca bayangan. Bayangan, satu-satunya hal yang menguatkan. Bahkan itu pun turut ia hancurkan. Ternyata ada manusia sejahat itu di sekitarku dan bahkan di pikiranku. Dunia sungguh kejam.
Alangkah bahagia menjadi Marcello, dapat mengungkapkan rasa tanpa seorang pun paham bahwa itu rasa yang sedang dirasakannya. Orang lain hanya tinggal menikmati dan turut hanyut dalam nadanya. Tak sepertiku yang hanya bisa menulis ini yang terlalu jelas terbaca.

Kamu, sedang tak berarti sama sekali di sini.