Rabu, 30 Desember 2015

Faith



Suatu kali di Vienna musim semi lalu ketika sedang berjalan sendirian menyisiri jantung kota yang klasik itu, aku tiba di sebuah taman, Volksgarden namanya. Rupanya di sekitar Hofburg Palace sedang ada pertunjukan orchestra, Philharmonic. Aku pun menunggu untuk menyaksikan pertunjukan itu, sambil mengambil beberapa foto taman dan orang-orang di sana. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berkebangsaan Austria menyapa dan mengajakku ngobrol. Secara langsung dia memberi pernyataan bahwa aku seorang muslim karena memakai jilbab. Aku pun nggak terlalu terkejut, dan membenarkan penyataannya. Selanjutnya wanita itu bertanya kepadaku tentang Islam, agama yang kuanut. Beberapa pertanyaannya adalah:
  1. Mengapa kamu beragama Islam? Tidakkah karena tradisi?
  2. Apakah kamu tidak mencoba membandingkan agamamu dengan agama lain lalu mencari kebenaran di antaranya? Apakah kamu pernah membaca Bible?
  3. Apakah kau menganggap Islam agama paling benar?
  4. Bisakah kau ceritakan kepadaku tentang Muhammad?
  5. Muhammad memiliki istri yang sangat banyak. Bukankah dia orang yang disucikan? Mengapa dia berpoligami? Tidakkah itu melanggar hak asasi? Apa pendapatmu tentang itu?
  6. Aku tidak paham tentang konsep bahwa Muhammad pernah diangkat ke langit lalu kembali lagi. Bisakah kau menceritakan detailnya bagaimana seorang manusia bisa sampai surga lalu kembali ke bumi?
  7. Mengapa orang Islam menyembah sesuatu yang tidak kelihatan? Bagaimana kamu mempercayai Tuhan yang tidak ada wujudnya? Ketika kamu sembahyang, apa yang kamu sembah?
  8. Tidakkah kau tertarik untuk mengetahui siapa Jesus? Jesus berinkarnasi menjadi manusia, hidup, lalu mati untuk menebus dosa manusia. Kalau kalau berdosa, siapa yang akan menjamin surga bagimu? Bukankah Jesus sangat pengasih sehingga mau turun menjadi manusia dan menebus dosa?

Kami mengobrol cukup lama hanya untuk aku menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan wanita itu, kira-kira hampir dua jam kami berdiri sampai kakiku terasa mau copot. Bahkan ibu itu menawariku untuk duduk di bangku taman, namun ternyata tidak ada yang kosong sehingga kami harus berdiri. Jujur saja, aku tidak pernah membayangkan akan ditanya tentang keyakinanku beragama Islam secara random oleh orang yang tidak aku kenal di negeri antah berantah. Pertanyaan ibu itu sedikit banyak membuatku merombak ulang tentang bagaimana aku berkeyakinan terhadap Allah Yang Maha Tunggal. Sebenarnya tidak ada yang berubah dengan keyakinanku, malah semakin bertambah karena pertanyaan wanita itu, hanya saja, aku perlu merapikan konsep ketuhanan yang aku anut sehingga aku lebih paham bagaimana cara menjawab segala pertanyaan random dari orang yang ingin mengetahui Islam lebih jauh seperti wanita Vienna itu. Setelah aku tanya apa agamanya, dia menjawab bahwa dia penganut Christian. Jawabanku kepada wanita itu, kira-kira begini:
  1. Aku memang beragama Islam karena orang tuaku beragama Islam. Sejak kecil aku belajar untuk mengetahui bahwa Tuhan itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Allah. Sejak kecil aku belajar ilmu Tauhid, ayah memberi tahu bahwa belajar Tauhid itu wajib bagi setiap manusia. Setiap manusia wajib mengetahui bahwa Tuhan yang wajib disembah itu tunggal. Aku dan dunia seisinya ini diciptakan oleh Allah Yang Tunggal, yang Maha Kuasa, dan aku pikir itu masuk akal. Karena masuk akal, aku bersyukur sampai saat ini bahwa aku dilahirkan di tengah keluarga yang beragama Islam, agama yang dibawa Muhammad SAW, yang pernah bertemu dan berbicara sendiri dengan Allah Yang Tunggal. Jadi, memang awalnya aku beragama karena tradisi, tapi sekarang aku beragama karena keyakinanku sendiri. Aku sembahyang karena keinginan dan kebutuhanku sendiri, aku membaca Al Qur’an karena keinginan dan kesukaanku sendiri. 
  2. Aku tidak tertarik mempelajari agama lain karena aku mempunyai konsep yang sempurna tentang Tuhan maupun semesta dan seisinya yang dijelaskan lewat Al-Qur’an. Aku pernah membaca Bible. Ayahku memiliki satu Bible di rumah, entah Bible Markus, Mathius, Lukas, atau yang lain aku tidak tahu. Aku tidak paham mengapa ada banyak versi injil dengan beberapa perbedaan, yang mana yang benar? Berbeda dengan Al Qur’an yang cuma ada satu versi di seluruh dunia ini, yang di dalamnya berisi kalimat-kalimat langsung dari Tuhan, bukan dari ucapan manusia. Seluruh isi Al Qur’an adalah perkataan Tuhan. Dari sejak zaman Muhammad sampai sekarang tidak ada yang berubah, satu huruf pun tidak ada. Isi di dalamnya pun sangat indah, estetis, dan masuk akal. Ketika saya baca Bible saat remaja dulu, isi di dalamnya tidak masuk akal. Aku menemui banyak kalimat-kalimat porno, bagaimana bisa yang namanya kitab suci terkandung kalimat yang tidak pantas dibaca oleh anak kecil maupun orang secara umum? Bible hampir mirip dengan Hadits yang isinya riwayat dari para manusia yang me-refer kepada Nabi, bukan dari Tuhan langsung, sehingga menurut saya validitasnya cukup meragukan. Banyak sekali kekurangan yang aku temukan ketika membaca Bible. Therefore, I cannot accept the-right-now-version of Bible as a Holy Book, but I accept Al Qur’an because I find it so true and beautiful. Whenever I recite Al Qur’an, it is like God is talking to me, and I think yes, God is really talking to me. That is why I find a whole concept of religion in Islam, because Islam provides a perfect Holy Book.
  3.  Tentu saja aku menganggap Islam adalah agama yang paling benar, bila tidak maka aku sudah meninggalkannya. Namun perlu dicatat, meskipun aku menganggap Islam sebagai agama yang paling benar, aku tidak menganggap diriku lebih benar dari orang lain atau dari orang beragama lain. Ini perlu dibedakan. Dalam Islam, manusia itu tidak ada yang benar kecuali Muhammad SAW. Setiap sembahyang, aku masih selalu memohon kepada Tuhan agar ditunjukkan jalan yang benar. Thus, I will never support any kind of terrorism in the name of Islam. Terrorists think they are the most correct people, but they are wrong, they are definitely not the real Moslems.
  4. Muhammad adalah nabi terakhir yang diturunkan Tuhan untuk memberi peringatan kepada manusia yang melakukan kesalahan, untuk memberi kabar gembira bahwa Tuhan menurunkan Al Qur’an kepada seluruh umat manusia sebagai penerang dan pedoman yang mana AL Qur’an ini menyempurnakan kitab Taurat, Zabur, dan Injil yang dibawakan oleh Nabi sebelumnya. Muhammad adalah keturunan Nabi Ibrahim dari anaknya Ismail ‘alaihissalam, yang memiliki nasab orang-orang shaleh pada zamannya. Muhammad adalah nabi yang penuh kasih sayang dan dicintai oleh umat Muslim sedunia, yang berhasil menyampaikan risalah Allah dalam kurun waktu yang sangat singkat, yang kian hari pengikutnya kian bertambah banyak sampai saat ini. Muhammad adalah satu-satunya manusia suci yang pernah hidup di dunia, bebas dari kesalahan, yang Allah begitu mencintai dan menjaganya.
  5. Saya pikir anda memiliki konsep dan pemikiran yang kurang tepat mengenai poligami. Aku memakluminya, karena di Barat ini poligami dianggap sebagai sesuatu yang negative. Pada kenyataannya tidak demikian. Apabila anda mau mempelajarinya, poligami bisa jadi sesuatu yang positif karena meyelamatkan wanita dari fitnah, dari bahaya, dsb. Muhammad tidak berpoligami dengan alasan ingin menikahi gadis cantik, beliau tidak berpoligami dengan alasan ingin mendapatkan nafsu duniawi seperti anggapan orang-orang barat tentang laki-laki yang berpoligami. Muhammad bukan tipe manusia yang hidupnya dipenuhi dengan drama percintaan yang picisan. Bagaimana mungkin, padahal seluruh hidupnya beliau dedikasikan untuk menegakkan agama Islam, untuk mengajak manusia menyembah Allah SWT. Muhammad married with many women in order to spread his words as a Sunnah, in order to spread Islam to the foreign people and to the other people after him. You know, his words is really precious to know for every Moslem. He needed good people or good wives around him to memorize it and spread it. His life and his deeds become the perfect model for Moslem.
  6. Muhammad SAW memang memiliki keistimewaan, bahwa beliau diistimewakan Tuhan untuk diajak bertemu dan berbicara langsung dengan Allah melalui peristiwa Isra’ Mi’raj. Waktu itu, beliau sangat sedih karena dakwahnya di Tha’if tidak berhasil. Beliau dilempari batu hingga terluka. Istri dan paman beliau meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Sekembalinya berdakwah dari Tha’if, beliau bersembunyi dan berlindung di rumah seorang Nasrani. Lalu, beliau didatangi oleh Malaikat Jibril, kau tahu Gabriel? In Christian, it is called The Holy Spirit, but in Islam we call it Jibril, and Jibril is not part of God. Jibril adalah makhluk yang diciptakan Allah dari cahaya, Jibril membawakan cahaya untuk dijadikan kendaraan bagi Muhammad. Anda tahu berapa kecepatan cahaya bukan? Sangat cepat, sehingga Muhammad hanya perlu waktu semalam untuk pergi dan pulang lagi. Dalam perjalanannya, beliau bertemu dengan para Nabi pendahulunya, termasuk Isa ‘alaihissalam (or Yesus). Aku paham, bahwa peristiwa ini tidak masuk akal, apalagi bagi orang-orang yang terlalu mendewakan science dan materi. Kebanyakan orang seperti itu berbalik arah menjadi atheis, karena mereka sulit memahami dan membuktikan ilmu metafisika yang sebenarnya ada. Manusia memang dipenuhi keterbatasan, untuk itulah manusia dilarang sombong. You know, being atheist means being arrogant.
  7. Ketika sembahyang, aku bukan menyembah sesuatu yang tidak terlihat. Tidakkah kita sadar bahwa dunia dan seisinya beserta seluruh kejadiannya ini adalah firman-Nya? Jadi, Allah bagiku sungguh nyata. Bukankah begitu? Adanya aku, itu karena adanya Allah, Tuhan Sang Pencipta. Tidak adanya aku pun juga karena Allah, Tuhan Yang Maha Berkehendak. Di dalam diriku ketika dalam penuh kesadaran, bersemayamlah Allah. Tuhanku bahkan lebih dekat daripada urat nadiku. Setiap muslim berusaha menghadirkan Allah di dalam dirinya 5 kali sehari lewat sholat. Kami tidak membutuhkan patung atau segala macam simbol buatan manusia untuk menyembah Tuhan, karena Allah tidak bisa disimbolkan. Bila seorang Muslim melakukannya, maka muslim itu telah mengingkari Tuhan dan telah mengucilkan Tuhan. Tuhan telah merepresentasikan keberadaanNya lewat segala ciptaanNya yang tiada bandingannya ini, yang bahkan terkadang kita menyebutnya keajaiban, sesuatu yang terjadi di luar penalaran kita. Aku pernah membaca dalam Bible bahwa Yesus adalah firman Tuhan, karena itulah Christian menyembah Yesus padahal Yesus tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan. Menurut pemahaman saya, semua kita ini dan segala ciptaan Allah ini adalah firman Allah. Allah menciptakan sesuatu tanpa susah payah, cukup berfirman “Jadilah”, maka jadilah ia ("Be", and it is). Tak terkecuali Yesus, anda, maupun saya. Kita semua adalah representasi dan bukti akan keberadaan Allah Yang Maha Tunggal.
  8. Saya tidak terlalu tertarik akan Yesus sebagai Tuhan yang berinkarnasi. Tapi mungkin saya tertarik akan cerita sejarah tentang bagaimana bisa Yesus dianggap sebagai Tuhan, karena saya mempercayai adanya Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai Rasul yang diutus untuk bangsa Israil pada waktu itu. Peristiwa penyaliban cukup menarik bagi saya untuk diketahui sebagai cerita sejarah. Namun Al Qur’an sudah cukup menjelaskan peristiwa tersebut sehingga saya tahu kebenarannya karena saya percaya Al Qur’an sebagai kalam langsung dari Allah. Nabi Isa bukanlah Tuhan yang berinkarnasi karena beliau adalah manusia biasa ciptaan Allah. Menurut Al Qur’an, Nabi Isa tidak wafat di tiang salib. Nabi Isa tidak bisa menjadi penebus dosa bagi umat manusia. Masing-masing manusia harus bertanggungjawab akan setiap perbuatan yang dilakukannya. Apabila salah, harus meminta maaf. Apabila berbuat dosa, harus bertaubat yaitu menyadari dosa-dosanya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat itu harus diniatkan sungguh-sungguh dengan menghadirkan Allah di dalam hatinya sebagai saksi, meminta maaf kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Allah pun berfirman di dalam Al Qur’an di surat At-Taubah, bila manusia benar-benar bertaubat maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Allah sungguh Maha Pengampun, seorang Muslim tidak boleh ragu bahwa Allah Maha Pengampun. Jadi, Tuhan tidak perlu menciptakan drama kehidupan dengan cara berinkarnasi menjadi manusia, menderita, lalu wafat di tiang salib hanya untuk menjadi penebus dosa manusia di dunia. Kalau begitu caranya, tuhan terkesan lemah sekali padahal yang namanya Tuhan sungguh mustahil selemah itu. Allah hanya cukup berfirman dan manusia tidak perlu meragukanNya, manusia hanya cukup mempercayaiNya saja. Allah sudah memberikan segala macam bukti akan keberadaanNya. Allah sendiri jugalah yang menjamin surga bagi para manusia yang mau bertaubat dan mengakui kesalahannya. If you know, there are 99 attributes of Allah that we call it Asma’ul Husna, there are also 20 mandatory nature of God, and there are 20 impossible nature of God.

Diskusi ini berlangsung interaktif. Ada beberapa pertanyaan lain dari wanita Austria itu yang aku tidak ingat. Dia pun mengakui juga bahwa orang Eropa sudah banyak yang atheis. Menurut mereka, kehadiran agama terutama agama Christian menghambat perkembangan science. Orang yang mengaku Christian pun sudah banyak yang meninggalkan gereja, tidak pernah pergi ke gereja karena mereka tidak menyukai dogma-dogma. Mereka sungguh orang-orang yang kritis. Aku pun menyaksikan bahwa gereja-gereja di Eropa cukup sepi, hanya tinggal megahnya bangunan saja yang berdiri tinggi, besar, dan menjulang. Selanjutnya, wanita Austria ini memberitahuku bahwa dia adalah pegawai perpustakaan, bahwa dia banyak membaca buku tentang agama. Aku menarik perhatiannya karena aku mengenakan jilbab dan jalan-jalan sendirian di taman Volksgarden. Kemudian wanita Austria itu pamit bahwa dia ingin pulang. Sebelumnya dia bertanya apa yang hendak kulakukan, aku menjawab bahwa aku ingin menikmati beberapa nomor Beethoven dari Philharmonic yang akan dipentaskan sore itu. Dia pun mempersilakan dengan sangat sopan. Aku berterimakasih atas segala pertanyaan yang ia ajukan tentang Islam. Selanjutnya dia pergi, aku menunggu pentas dimulai dengan duduk di bangku taman, sedikit merenungkan arti sebuah keyakinan hingga saat ini.




Sampai saat ini dan insyaAllah sampai nanti, aku akan menganggap Islam sebagai agama paling benar. Tapi aku tak ingin menganggap diriku sebagai manusia yang paling benar dibandingkan orang lain. Dalam memperbandingkan agama, kita harus adil sejak dalam pikiran. Yaitu bagaimana kita bisa memposisikan diri kita pada mereka yang kuanggap memiliki keyakinan yang salah. Bukan orangnya yang salah, tapi keyakinannya yang salah. Adil dengan memposisikan diri kita bahwa mereka juga memiliki wilayah privasi, sebuah keyakinan yang kita tidak berhak menggugatnya. Let's discuss about religion objectively, without touching other's privacy. Kata guru saya, kamu boleh debat tapi hanya dalam rangka mencari titik temu. Kamu jangan berdebat bila kamu hanya ingin ngotot mempertahankan apa yang kamu percayai karena kamu menganggap pendapatmu paling benar. Tentu hal ini sulit sekali bila diterapkan dalam debat tentang agama karena sudah sewajarnya kita menganggap agama kita paling benar. Sehingga di sini, agama mungkin tidak untuk diperdebatkan. Lain halnya bila kamu berdiskusi, kamu harus memandang segala sesuatu secara obyektif. Jawab segala pertanyaan lawan bicaramu seadil-adilnya, sebaik-baiknya, setransparan mungkin. Diharapkan, di akhir diskusi nanti kamu akan mendapat hal baru, sebuah pencerahan tentang hal yang kamu anggap masih abstrak. Dengan keobyektifan, di sana akan tampak mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga diskusimu tadi memberi guna, bukan malah memperkeruh suasana. Keyakinan, bagiku adalah misteri, seperti sebuah penjanjian rahasia antara tiap manusia dengan Penciptanya. Wallahua'lam.

Kamis, 24 Desember 2015

Selametan di 25 Desember



Akhirnya nulis bab macam ini juga. Mungkin bagi sebagian orang saya sedang nyampah, jadi yang menganggap demikian boleh skip baca tulisan ini. Hanya ingin berbagi pendapat saja. Wah.. hidup sebagai orang Indonesia emang banyak kurang kerjaannya ya. Suami saya sangat peaceful bekerja, tidak pernah banyak nyampah, tidak seperti saya ini. Oleh karenanya, ia menjadi suami saya. I love him so much!

Anyway,

Entah ini berasal darimana dan sejak kapan saya tidak tahu, bahwa orang pada ribut soal haram atau halal mengucapkan “selamat Natal”, yang pada dasarnya keributan seperti ini harusnya tidak perlu. Lantas, keributan ini menguji logika para manusia Indonesia yang plural. Opini mereka bisa menimbulkan penilaian seberapa tinggi tingkat logika atau intelegensi atau pengetahuan orang tersebut. Saya kadang tertawa sendiri dengan pendapat para manusia ini. Ucapan “Selamat Natal” haram karena bla bla bla. Ucapan “selamat Natal” boleh karena bla bla bla. 

Ada yang berpendapat kalau mengucapkan “selamat Natal” itu boleh karena hanya dengan mengucapkan selamat natal saja, itu tidak lantas membuat orang beragama Kristen. Logikanya, mengucapkan selamat ulang tahun ke 50 misalnya, tidak lantas membuat orang yang mengucapkan berumur 50 tahun juga. Itu benar. Hmm.. Tapi kok logikanya kurang pas juga ya. Kan tergantung niatnya juga. Kalau niatnya “pengakuan”? Misalnya, “selamat berumur 50 tahun” diartikan sebagai “aku mengakui dan menyaksikan kamu berumur 50 tahun sekarang”. Lantas “selamat Natal” diartikan “Aku mengakui Tuhan kamu telah lahir tanggal 25 Desember” (Tuhan orang Kristen lho ya), begh.. oh no! Big NO! Umat Islam tidak mungkin mempercayai ada Tuhan yang “dilahirkan” manusia. Gawat juga yak. Tahu sendiri kan, manusia itu melakukan sesuatu kadang tanpa sadar, kadang tidak peduli dia sedang ngapain atau dengan berniat ngapain, telat sadar, dsb. Trus apa jadinya kalau ada seorang Kristen atau non-Muslim lain mengucapkan “Selamat Maulud Nabi Muhammad SAW” yang mungkin diartikan “selamat ya, aku mengakui Nabi Muhammad telah lahir dan pernah hadir sebagai utusan Allah”. Kan umat non-Muslim nggak mengakui Nabi Muhammad SAW toh.. Jadi ya buat umat Kristen, mohon dimaklumi kalau sebagian orang Muslim mengharamkan kami mengucapkan “selamat Natal”. Mereka memiliki alasan dan privasinya sendiri. Bukan berarti Muslim seperti ini intoleran atau tidak simpati terhadap kalian umat Kristen. OK!

Ulama yang membolehkan pengucapan “selamat Natal” itu karena udah sangat percaya pada umat Islam bahwa mereka cukup pintar untuk tidak berniat mengakui adanya Tuhan yang dilahirkan ke dunia a.k.a Yesus Kristus, (karena aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.). That’s fine. Sedangkan Ulama yang mengharamkan pengucapan “selamat natal” itu semata-mata ingin menjaga akidah umat Islam agar mereka tahu batasannya. Jadi, mohon dimaklumi.

Eh tapi, biasanya orang itu saling memberi selamat satu sama lain ketika dihujani kebahagiaan bahkan dalam hal sekecil apa pun. Ucapan selamat adalah bentuk kewajaran lambang simpati dan sosialisasi kepada sesama. Wajar kalau orang ribut-ribut ketika ada ulama mengharamkan sebuah “ucapan selamat”. Bisa dianggap keterlaluan juga. Selamat doank getoh… gitu aja haram, apaan sik.
Kalau saya, turut berbahagia saja kalau ada orang-orang yang sedang berbahagia dan bersuka cita terlepas entah karena apa pun itu. Saya juga turut berbahagia kalau ada orang yang sedang berkasih-sayang, menyebarkan cinta kasih ke segala makhluk. Saya tidak ikutan untuk menganggap bahwa ucapan “selamat natal” itu halal atau haram. Semua tergantung pilihan dan niat individu masing-masing yang aku nggak ada urusan dengan privasi mereka.

Saya pribadi tidak mengucapkan selamat Natal. Awalnya dulu saya mengucapkan “selamat Natal” ke teman-teman Kristen karena saya pikir 25 Desember adalah tanggal kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam utusan Allah SAW untuk bani Israel (saja). Jadi saat itu anggapan saya adalah “Selamat hari kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam”. Setelah baca-baca sejarah, ternyata kok tanggal kelahiran Nabi Isa tidak diketahui pasti ya, bukan 25 Desember. Tidak ada catatan sejarah mengenai kapan Nabi Isa lahir, Al Qur’an hanya menyebutkan kalau Nabi Isa lahir di bawah pohon kurma di dekat sungai. Catatan sejarah juga tidak valid kalau 25 Desember itu hari kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam. Kalaupun injil mengatakan demikian, saya tidak mempercayai kitab injil yang beredar saat ini dan saya hanya mempercayai injilnya Isa Al Masih yang notabene berbeda dengan injil yang ada saat ini. Jadi, 25 Desember bukan lagi hari spesial bagi saya. Kalau umat Nasrani menganggap itu adalah hari kelahiran tuhan mereka ke dunia, ya silakan saja. Kalau mereka sedang bergembira dan berkasihsayang, saya ikut senang menyaksikan ada para manusia yang bergembira dan tidak bersedih. Demikian.

Selasa, 22 Desember 2015

Habibi

Aku mencintai suamiku karena Allah,


berarti bahwa aku mencintainya karena dia beriman pada Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang berserah diri pada Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena ia akan mengingatkanku untuk selalu mengingat Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang mendahulukan Allah daripada aku atau manusia lainnya

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang haus akan ilmu Allah, yang mampu mensinkronkan antara akal dan hatinya.

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang cerdas, yaitu orang yang tidak terlalu mencintaiku namun sangat mencintai Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena dia laki-laki yang shaleh.

Senin, 07 Desember 2015

Sekelumit dari Turki

Di Turki, aku ketemu Javuz. Makasih Mbak Fitria, sudah membawaku bertemu orang yang aku pikir sangat tulus, sangat baik, santun, sangat ber-Islam. Aku banyak belajar dari mbak Fitria dan Javuz. Mbak Fitria sangat mengkritikku yang menurutnya aku terkesan sangat perhitungan soal uang. Padahal, suamiku sangat royal, aku kaget, bagaimana bisa aku menjadi perhitungan soal uang, aku nggak sadar. Aku memohon pada Tuhan untuk menjadikanku orang yang royal buat orang lain. Tidak terlalu memperhitungkan hutang, menyerahkan semua padaNya. Toh, rezeki adalah Dia yang mengatur. Mbak Fitri sangat juga mengkritikku bahwa aku kurang peka. Tapi aku pikir aku memiliki alasan mengapa aku berpembawaan demikian yang tanpa kesengajaan. Dia berpikir awalnya bahwa aku egois dan angkuh. Tapi setelah dia dekat denganku, alhamdulillah dia bilang aku enggak sejelek itu, hanya kesan pertamanya saja. Aku memang tak pintar membawa diri bersama orang-orang yang menurutku baru dalam hidupku. Aku harap aku dapat cepat beradaptasi dan menemukan diriku di antara orang-orang itu.

Dari Javuz, aku sangat kagum bagaimana dia bersikap dengan orang lain, dengan orang baru, dengan orang dari ras dan negara lain. Aku sangat kagum bahwa dia mampu membawa dirinya dengan sangat baik, memperlakukan kami sebagai tamu dengan sangat santun, tulus, ikhlas, hormat, dan melayani. Aku heran bahwa Allah mempertemukanku dengan orang yang sedemikian, dengan orang-orang yang sedemikian. Mungkin untuk dapat menjadi pembelajaran buatku bahwa aku harus juga bisa sebaik dia. Javuz menjemput di bandara Sabiha dengan mobilnya, mengantar ke rumahnya untuk makan pagi, memperkenalkan kami dengan para anggota keluarganya, mengambilkan makanan untuk kami, menjelaskan dengan detil jawaban atas segala segala pertanyaan kami, memperlihatkan buku-bukunya, sharing pengetahuan dan keingintahuannya, membuatkan kami minuman kopi mapun teh dengan gelas terbaiknya, mempersilakan kami duduk dengan kursi terbaik di rumahnya, mengajak kami merasakan jalan, naik bus dan berkeliling kota Istanbul, menyulut pembicaraan yang sarat pengetahuan, membelikan kami minuman dan makanan terbaik di kotanya, membawa kami ke tempat yang menurut dia sebaiknya kami tahu, tidak menyela pembicaraan, tidak offensive, segera meminta maaf bila dia merasa kata-katanya membuat kami salah paham, dsb dsb. Hal ini pastilah akan membuatku malu, bila suatu saat di momen seperti ini, aku tidak bisa memuliakan tamu atau membuat orang lain sakit hati karena sikap maupun kata-kataku. Aku ingat dan belajar dari Javuz mengenai hal ini.

Salah satu dari percakapan kami ketika di Topkapi Panorama 1453 M adalah tentang Ilmu Obat. Dia bercerita kalau dia pernah bereksperimen menghilangkan batu ginjal dengan natrium sitrat. Dia bertanya, apakah aku mengenal obat bernama natrium sitrat? Aku jawab, natrium citrate is generally a chemical. It can be a drug for some cases, but not for specific illness. Lalu berlanjut ke ranah yang lebih global soal Science, Javuz bercerita bahwa selama dia membaca banyak jurnal di PubMed, dia berkesimpulan bahwa banyak penyakit yang sebenarnya belum diketemukan obatnya. Kalaupun ada obat untuk terapi, maka obat itu hanyalah short term therapy, tidak mengobati namun hanya mengurangi atau menghilangkan rasa sakit sesaat saja. Lalu bagaimana bisa dunia Barat berbangga diri mengenai hal itu, bahwa mereka telah menemukan banyak obat baru, bla bla bla. Aku pun merespons: ...dan bahkan banyak orang pintar yang atheis hanya karena mereka menemukan bukti bahwa sesuatu di dunia ini pasti selalu ada jawaban dan realitanya. Mereka nggak sadar bahwa apa yang selama ini mereka temukan hanyalah serupa abstrak belaka, bla bla bla. Dia juga sangat concern perkembangan konflik sunni-syi’ah yang sampai-sampai di Indonesia pun sedang hits. Dia memaparkan sejarah dan faktanya saat ini, baik yang terjadi di Timur Tengah maupun di Asia Tenggara. Dia bahkan mempelajari mengapa dan bagaimana Indonesia begitu diminati negara-negara lain untuk menggalang kekuatan politik, bahwa sesungguhnya sedang ada perang berlangsung yang sipil pada umumnya mungkin nggak sadar.

Aku kagum pada orang yang tahu mengenai banyak hal, membaca banyak hal, pergi ke banyak tempat untuk menemukan kearifan hidup, yang mampu memposisikan dirinya dengan baik di antara lawan bicaranya, yang menyukai manusia karena pemikiran-pemikirannya dan bukan karena fisiknya, yang tidak suka menghakimi orang lain apalagi hanya karena suatu kesan sesaat yang subyektif.

Ini mengingatkanku bahwa suatu saat aku pernah berujar pada diriku sendiri:
“Terhadap setiap makhlukNya yang kamu temui, buat ia terberkahi olehNya, bersikaplah sebaik-baiknya dan seindah-indahnya kepadanya, hormati ia, muliakan ia. Niscaya aku yakin, rahmat Allah akan mengalir deras kepada hambaNya yang sedemikian.
Begitulah sikap kita seharusnya kepada sesama, apalagi kepada kawanmu, apalagi kepada keluargamu, apalagi kepada anak istrimu atau suamimu.”




Sabtu, 28 November 2015

Kritik kepada Guru


Ketika scrolling facebook, tidak sengaja membaca memo status mas tersebut di atas. #EAN, atau Mbah Nun, adalah salah satu guru saya yang saya hormati. Kali ini saya ingin melontarkan kritik atas pernyataan tersebut di atas.

Sebenarnya saya paham maksud Mbah Nun mengatakan hal tersebut di atas, yaitu bahwa orang Islam harus pintar menafsirkan Al-Qur'an dan Hadits. Orang Islam harus membuka pikiran selebar-lebarnya, berkreasi sepatut-patutnya, dan berpikir sekritis-kritisnya dengan akalnya sendiri ketika membaca firman Allah SWT maupun membaca sabda Kanjeng Nabi SAW. Kita tidak harus mengikuti pendapat selain apa yang difirmankan Allah dan disabdakan Kanjeng Nabi, karena pendapat manusia itu hanya mengandung kebenaran yang relatif. Sedangkan kebenaran mutlak adalah hak prerogratif Allah SWT yang mana kita tidak bisa mencapai atau menemuinya, kecuali apabila Allah sendiri yang menemui kita. Kita tidak seharusnya membatasi diri kita dengan hanya mengikuti pendapatnya orang lain kecuali pendapatnya Kanjeng Nabi yang dibimbing langsung oleh Allah SWT melalui Jibril. Mungkin Mbah Nun juga bermaksud menyampaikan bahwa umat Islam tidak perlu bertengkar dan terpecah belah hanya karena perbedaan pendapat ulama panutannya masing-masing, hanya karena perbedaan madzhab. Tidak perlulah mengkultus-kultaskan dan bersikap fanatik menjadi entah itu Sunni, Syi'ah, Wahabi, Ahlussunnah wal jama'ah, dll. Toh, ulama-ulama tersebut tidak pasti benarnya, yang paling benar tentu saja pendapatnya Kanjeng Nabi, karena beliau adalah kota ilmu atau sumbernya ilmu di dunia fana ini. Bahwa hanya dengan syafa'at dari Baginda Rasulullah saja saya bisa masuk surga, itu saya tidak mengingkarinya. Untuk sudut pandang yang seperti ini saya setuju.

Tapi bila dilihat dari sudut pandang lain, pernyataan Mbah Nun juga mengandung tafsir bahwa orang Islam zaman sekarang maupun orang Islam di zaman bukan sekarang tidak butuh, misalnya Khulafaur Rasyidin, Imam Syafi'i, Hasan Al Asy'ari, Imam Ghazali, dan 'ulama lainnya. Padahal, keberadan ulama tersebut di tengah-tengah umat Islam adalah takdir yang tidak bisa kita sangkal, seperti sebuah keniscayaan. Aku tak yakin, bila tidak ada mereka, akankah aku seperti ini? Akankah Islam tersebar ke seluruh dunia? Akankah Islam sampai ke Indonesia? Akankah aku beragama Islam? Akankah aku mengenal shalawatan, maulidan, burdahan, barzanjen, dsb yang syair-syairnya sangat indah itu? Kalaupun aku beragama Islam, maka Islam seperti apa bila tidak ada para ulama tersebut? Sholatku atau hajiku bakal seperti apa? Masihkah seperti sholat dan hajinya Rasulullah SAW? Umat Islam sekarang jadi seperti apa bila tidak ada mereka? Sulit sekali dibayangkan. Sepertinya, sepertinya ya, mustahil Islam sebegini ada atau Al-Qur'an sebegini abadi dan otentik sejak ia diturunkan  sampai hari ini, apabila ulama-ulama tersebut tidak ada. Pada kenyataannya, Allah menjaga Kitab Suci ini lewat keberadaan para ulama tersebut. Satu hal yang paling aku syukuri ketika hidup di dunia ini adalah Tuhan memberikan nikmat Islam sebagai agamaku dan Al Qur'an sebagai kitab suciku. Salah satu ayat favoritku adalah QS. Al Maidah 3:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam itu sebagai agamamu.

Ayat satu ini berkali-kali menggetarkan jiwa setiap kali aku baca, yang membuat aku sangat bersyukur bahwa aku beragama Islam. Selanjutnya membuatku berandai, mungkin saja Islam sampai padaku dan sampai pada orang tuaku berkat para ulama. Meskipun, mungkin saja juga, tanpa ada ulama tersebut, maka Allah bisa membuatku beragama Islam bagaimana pun caranya. Karena Dia sungguh misterius, ketetapanNya tidak bisa ditebak, Kun Faya Kun. Tapi kenyataanya Allah memiliki skenario dan aku tidak mengingkari takdirNya. Apabila Kanjeng Nabi adalah katalis, maka mungkin saja Allah menciptakan para ulama sebagai kofaktor. Bukankah orang yang berilmu itu berbeda? bukankah Allah mengatakan bahwa orang yang berilmu adalah manusia berderajat tinggi? bukankah orang yang berilmu itu adalah ulama? Darimana manusia mendapatkan ilmu-ilmu mendasar kalau tidak melalui ulama yang bersanad kepada Kanjeng Nabi? Sangat jarang manusia dapat langsung ditemui Allah SWT, yang mungkin karena manusianya tidak sadar kalau ia harus mendekat dulu padaNya. Bagaimana kita bisa mendekat kepadaNya tanpa perantara ulama yang memberitahu kita bahwasanya kita harus mendekat padaNya? Jadi kalau aku memuliakan para ulama di samping Kanjeng Nabi, lalu mengikuti pendapatnya yang menurutku masuk akal atau bahkan tidak masuk akal (karena pengetahuanku yang terbatas ini), maka aku tidak salah. Sehingga aku pikir, menurutku saja, aku tidak mungkin berislam tanpa keberadaan ulama.

Namun, terimakasih kepada Mbah Nun yang selalu setia mengajak umat Islam untuk terus bebas berpikir mencari kebenaran sejati, sampai kepada "the wildest thought that we can ever make" tanpa harus terbatasi oleh pendapat/pemikiran orang lain.

Senin, 23 November 2015

A Drama in the Sky

Ada sebuah bintang
Bintangnya sendirian
Ia single
Ia tanpa teman
Hanya dikitari saja oleh bintang-bintang biner
Oleh bintang-bintang berwarna-warni yang indah dilihat manusia di dunia
Karena sendirian, cahaya tidak terang
Cahayanya hanya berkelip mungil, tidak indah, manusia tak peduli padanya
Lalu ia sedih
Tapi apa daya, Tuhan menakdirkannya demikian
Suatu saat ia kehabisan energi
Umurnya pendek karena harus bersinar sendirian
Ia ingin bisa bersinar lagi, tapi tak bisa
Ia pun sedih
Ia frustasi
Ia bunuh diri
Ia meledak
Ia menjadi blackhole
Ia tamat
Ia kembali pada ketiadaan

Sabtu, 14 November 2015

"Pray for .."

Aku beneran anak Bapak Hanafi, ternyata. Sebuah pernyataan konyol. haha..
Betapa miripnya kami. Aku bersikap biasa saja akan suatu kejadian, tidak pernah heboh. Misalnya pada kejadian musibah Asap di Kalimantan dan Sumatera, musibah perang di Syria, perang di Palestina, atau yang baru-baru ini serangan penembakan ratusan orang di Paris.

Tadi pagi bangun tidur aku di-whatsapp temanku bahwa dia ingin membatalkan rencana kami ke Delft untuk mengambil baju-baju donasi buat refugee. Rencananya kami cewek berdua mau ke sana, tapi tidak jadi. Heran deh, kemana sih para cowok. Kenapa harus selalu cewek yang bergerak untuk hal kayak gini? Banyak cowok apatis di Nijmegen ini, sayang sekali. Kami tidak jadi ke Delft karena ada kejadian penembakan di Paris. Temanku takut pergi ke tempat-tempat umum semacam stasiun dan centrum di luar kota. Saya kurang paham karena tadi baru saja bangun tidur. Lalu aku membaca deh berita-berita di social media, dari telegraph, dailymail, bbc, dsb. Mereka bilang bahwa tersangkanya kemungkinan Muslim yang menyusup ke gelombang Refugee di Eropa Barat. Lalu di Facebook, Twitter, Path, banyak yang mengirim statement "Pray for Paris". Aku masih biasa saja.

Sedikit mencermati, sebenarnya serangan di Paris itu bukan hal baru dalam hal konflik. Dunia ini dipenuhi konflik yang ratusan tahun tak selesai. Kalau bicara kejahatan genosida, banyak korban konflik lainnya. Di Palestina, Afganistan, Irak, Syria, Afrika, Ukraine. Di Indonesia pun sampai sekarang masih berlangsung pembunuhan-pembunuhan oleh militer, yaitu di Papua. Dulu pernah ada konflik juga di Aceh, dan di Poso sampai sekarang. Jadi, kejadian di Paris mungkin bukan hal baru.

Yang membuatnya beda adalah peran media dan tempat kejadiannya. Media Internasional begitu menggemborkan kejadian ini, melakukan bias opini, menggiring pandangan publik ke arah isu SARA, membuat marah sebagian kelompok. Tidak heran, karena media Internasional yang beredar sekarang memang juga dikuasi oleh orang-orang yang destruktif. Tidak cuma media Nasional saja. Parahnya banyak penduduk dunia yang percaya saja dengan media semacam itu. Tempat kejadian juga membuat kesan berbeda dari peristiwa serangan di Paris. Paris, kota seribu turis. Bayangkan ada teror di tempat yang dianggap penduduk dunia itu tempat yang aman dan terkenal yang oleh karena itu semua orang bermimpi ingin ke sana. Tiba-tiba ada tembakan peluru dan bom di sana-sini. Tidak seperti tempat-tempat di Timur Tengah yang konfik sejak dulu. Bahkan di Paris bermukim para WNI yang hidup aman dan damai untuk kuliah dan bekerja atau berwisata.  Bisa jadi mereka adalah kolega, anaknya, istrinya, suaminya, ayahnya, ibunya, temannya penduduk dari mana saja. Tentu saja kesannya beda. Karena dua hal ini, tentu saja banyak yang heboh, banyak yang mengirimkan statement "Pray for Paris". Beda kasusnya dengan konflik di Timur Tengah yang sudah sejak dulu orang-orang menghindari berkunjung ke sana karena memang banyak peperangan. Beda pula kasusnya dengan Papua, yang tidak banyak penduduk dunia singgah ke sana, lagi pula tidak ada media yang sanggup mengabarkan pembunuhan di Papua karena suara media tersebut dimatikan oleh militer TNI.

Lagi-lagi aku cuma bersikap biasa saja dengan seluruh kejadian ini, seperti Bapak saya yang pasti juga hanya bersikap biasa saja dengan segala kejadian di luar sana. Mungkin kami menganggap dunia dari dulu memang seperti ini, nanti akan seperti itu, selanjutnya seperti apa pun boleh. Karena semua itu adalah Takdir, jadi pasrah aja. Nah, kalau anggapannya demikian, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi kan?

Framing Paris

Paris kembali berdarah-darah. Tahun ini tercatat 2 kali serangan teror, di kota yang bernama Paris. Kota yang terkenal di seantero dunia, yang orang-orang pada umumnya sangat ingin mengunjunginya tidak terkecuali saya dulu. Musim dingin tahun lalu, ketika saya berkesempatan mengunjungi Paris selama 4 hari, mengubah pandanganku tentang Paris. Memang, aku tidak sempat lebih jauh membaca sejarah tentang Paris sebelum aku ke sana. Aku tidak mempunyai fluktuasi pandangan tentang Paris, melainkan di sana ada gigantic menara Eiffel yang terkenal, Louvre yang legendaris, Versailles yang megah, kota Mode sedunia, dan sekelumit cerita Revolusi Perancis yang aku kurang begitu mendalaminya. Begitu aku tiba di Paris, hampir semua itu buyar oleh pandanganku dari sudut yang sama sekali lain. Paris tidaklah seromantis yang orang-orang bilang. Paris tidaklah seglamor yang orang-orang bilang. Paris tidaklah se-fashionable yang orang-orang bilang. Paris tidaklah secantik yang orang-orang bilang. Lebih dalam dari itu, ketika aku menyelami sudut-sudut dan pedalaman kota beserta museum-museumnya, Paris begitu menyimpan aura sejarah kelam masa lalu yang resonansinya terasa sampai sekarang.

Paris menyuguhnya banyak cerita dari museum-museumnya, monumen-monumen, bangunan-bangunan tua di setiap ruas jalan, yang kalau kita cermati dan dengarkan lebih teliti, mereka seolah bilang "Hey, umurku udah tua dan menyimpan banyak cerita yang masih sangat segar, ini lho sejarahku. Hey, dulu aku menyaksikan sejarah kejadian dan revolusi seperti ini. Hey, tahu nggak sih aku dibangun untuk apa?". Menyelami Paris membuatku menyadari arti sesungguhnya dari setiap monumen-monumen terkenal di seluruh dunia itu. Kebanyakan orang berfoto riang gembira bahkan berciuman romantis di depan menara Eiffel, Arc de Triomphe, Louvre, Sacre Cour tanpa tahu kejadian di balik pembangunan monumen itu semua. Tanpa menyadari, revolusi berdarah-darah dan kekejaman adalah hal yang mendasari monumen-moumen itu ada. Aneh sekali bukan? Begitulah, merantau membuatku terbiasa dengan segala keanehan yang terjadi di dunia ini. 

Kemarin adalah kali kedua Terror Attack di Paris tahun ini. Ratusan korban berjatuhan dan menumpahkan darahnya, di Paris. Paris kembali berdarah-darah lagi. Aku masih belum tahu, kenapa Paris? Kenapa tidak kota lain? Paris masih menorehkan sejarah kelamnya hingga sekarang. Media mengklaim bahwa teror tersebut dilakukan oleh orang Islam dan ada penyusupan teroris melalui gelombang pengungsi Syria. Sebagai orang Islam, aku takut penduduk Eropa melakukan penyamaan stereotype kepada semua Muslim yang tinggal di Eropa. Betapa tidak amannya situasi seperti ini. Eropa, benua yang kupilih untuk aku merantau karena amannya, karena damainya, karena penduduknya yang toleran, bisa saja berubah seketika menjadi benua yang Islamophobia karena kejadian ini. Apalagi Paris adalah kota yang sangat mewakili Eropa dalam berinteraksi dengan dunia Internasional. Semoga penduduk Eropa bersikap dewasa dalam memandang peristiwa teror ini. 






Jumat, 13 November 2015

Menyoal Tragedi 1965.

Sebenarnya masalahnya kompleks sekali kalau dibahas dari berbagai sisi.
Tapi juga sangat simpel dari salah satu sisi.

Simpelnya:
Apa sih yang bisa kita lakukan menyoal sejarah?
Menurutku hanya dua. Pertama, "We may forgive, but we can not forget". kedua, Ikhlas. Itu aja.

Kompleksmya:
Kita tidak boleh melupakan sejarah, seharusnya begitu. Oleh karena itu, kita harus mengusut setransparan mungkin tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi tanpa ada bias.
Hal ini menimbulkan masalah lain. Jarang aku temui seoarang peneliti sosial yang benar-benar netral, tidak bias dalam memberikan pandangannya. Selalu ada kecenderungan tentang keberpihakan dari seorang peneliti. Karena pada umumnya orang atau pembaca mudah terbawa-bawa, maka ia akan ikut larut saja pada pandangan peneliti tanpa bisa bersikap kritis. Tidak berhenti di situ, pembaca memiliki pandangan bermacam-macam tentang apa yang dibacanya. Kita tidak bisa memprediksinya untuk keperluan proyeksi di masa depan. Sejarah bisa kita ketahui lewat tulisan, media, dan cerita langsung dari orang. Semuanya mengandung pembiasan, tidak bisa dipastikan validitasnya kecuali mengacu pada banyak data dari berbagai sudut pandang. Kesimpulan pun bisa salah yang kita tidak tahu seberapa salah.
Jadi, OK kita tidak akan melupakan sejarah. Tapi sejarah versi yang mana nih? Nah, demikian.

Ada yang bilang, orang Indonesia yang paling bertanggungjawab atas peristiwa pembantaian 1965 adalah Pak Harto. Saat itu, Pak Harto dan sekelempok militer semacam Sarwo E.W. disetir oleh USA untuk menumbangkan rezim Orde Lama, yang mengakibatkan penumpasan PKI dan banyak manusia tak tahu apa-apa menjadi korban pembantaian. Jadi di sini, yang paling bertanggungjawab Pak Harto, tapi Pak Harto dkk sendiri disetir oleh pihak lain. Pak Harto dkk itu pun sekarang sudah wafat pula. Apa lantas anak dan keturunannya yang harus dihukum? Tentu saja keturunan mereka akan bilang, "Why us? We did not do such terrible thing. Our ancestor did, not we". Menurutku juga nggak adil menghukum keturunan mereka, seperti apa yang dilakukan orang Perancis, menumpas seluruh keturunan Louis saat Revolusi Perancis. Itu hanya akan menimbulkan nafsu dendam kesumat berkepanjangan. Mari baca dan belajar dari sejarah Revolusi Perancis! Seperti Paris yang berdarah-darah sampai sekarang. Seperti Dinasti Islamiyah abad 11-14 masehi. Seperti konflik Sunni-Syi'ah yang nggak kelar-kelar. Tau nggak sih, ketika orang Indonesia menceritakan kepada orang Belanda betapa dulu nenek moyang mereka menjajah negeri kita, mereka akan dengan simpel bilang "Oh.. menyedihkan memang ya. Tapi itu kan pendahulu kami, bukan kami, ya jangan salahkan kami donk. Sekarang kan jaman udah beda.".

Kemudian, negara melakukan permintaan maaf? Tidak segampang itu. Apalagi negara Indonesia yang memiliki beragam macam suku bangsa. Ada yang setuju, ada yang tidak, ada yang tidak peduli. Bagaimana negara mampu meng-cover seluruh aspirasi warganya yang sedemikian? Kecenderungan langkah yang diambil adalah memihak salah satu sudut pandang dan "ignore" sudut pandang lain. Dan itu dilakukan tanpa ada rekonsiliasi yang menimbulkan pertentangan di sana-sini. Baru masalah sepele aja warga negaranya ribut-ribut, apalagi masalah segedhe keadilan gini. Eh, tapi orang sekarang nggak bisa mbedain mana masalah gedhe, mana masalah urgent, mana masalah kecil. Gitu kan ya?
Intinya adalah, menegakkan keadilan dalam masalah ini tidaklah mudah. (Emang enak jadi Presiden???)

Dinamika cerita tiap Bangsa memiliki suatu pola, terkadang sama, menarik untuk disimak dan dipelajari.

Masalah lain lagi. Tidak semua orang bisa hanya memaafkan. Kalau ada pengakuan bahwa "negara memang salah (waktu itu)", tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang ingin membalas dendam atas kekejaman yang mereka terima waktu itu. Kehilangan keluarga, penyiksaan, diasingkan, dll. Tentu, memori pedih yang mengakar kuat bisa jadi menjadi sebuah boomerang untuk membalas dendam.

Lebih jauh dari itu, keterlibatan USA dalam masalah ini, sepertinya tidak bisa diakhiri hanya dengan pengakuan dan permintaan maaf dari mereka saja. Bisa saja, hal ini hanya dijadikan "alat" saja bagi mereka untuk mengejar misi selanjutnya. Okelah mengakui, dan meminta maaf. Tapi dibalik itu, masih ada hal terselubung lain yang mereka rencanakan, yang kita tidak tahu, tapi mungkin bisa diprediksi.

Bisa nggak sih, masalah dihentikan sampai klarifikasi sejarah, pengakuan, peradilan, dan permintaan maaf saja? Kalau itu bisa, selesai. Kita tinggal ambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Yang masih mengganjal, biarlah waktu yang akan mengungkapnya. Tapi, ya, mana bisa ..

Konflik tidak untuk diselesaikan, tapi untuk diminimalisir. Setidaknya itu yang dikatakan Carl Marx dulu (kata teman saya). Sejauh apa International People's Tribunal 1965 menyidangkan permasalahan ini? Apakah IPT1965 di Den Haag dimaksudkan untuk membesarkan konflik yang sudah-sudah serta untuk mengadu-domba bangsa kita biar terpecah belah? Mungkin itu pandangan sebagian orang. Namun sebagian lain beranggapan bahwa bagaimana pun, upaya menegakkan keadilan setransparan mungkin tetap harus dilakukan untuk meluruskan cerita sejarah dan membangun peradaban yang lebih baik. Saya setuju yang kedua. Tapi apabila niat baik ini disalahgunakan, menurut saya sih mending masalah ini biarkan saja tenggelam, tidak usah dibahas lagi. Biarkan para korban berkorban, mendapat kemuliaan di kehidupan selanjutnya. Case Closed.

Kamis, 05 November 2015

Indonesia Layak Diperjuangkan


"...walaupun banyak negeri kujalani
yang mahsyur permai dikata orang
tetapi kampung dan rumahku
di sanalah kurasa senang
tanahku takkulupakan
engkau kubanggakan..."

Lagu ciptaan Ibu Soed ini benar-benar cocok banget untuk orang yang besar di Indonesia lalu merantau ke luar negeri, seperti saya.
Merantau membuat kita lebih  mencintai tanah kelahiran kita, membuat kita sadar betapa berharganya kampung halaman kita, membuat kita bersyukur bahwa kita memiliki Tanah Air jauh di sana.
Terlebih bila mengingat ada bangsa yang masih saja berperang memperebutkan dan mempertahankan Tanah Air-nya, ada bangsa yang penghuninya sibuk berperang dan membuat penghuni lainnya harus mengungsi jauh ke negeri lain untuk menghindari peperangan.
Aku bersyukur memiliki Indonesia.
Jadi ayolah kita jaga sama-sama, jangan sampai konflik menjadikan ia terpecah belah.
Seperti kata Panji, "Indonesia memang nggak sempurna, tapi ia layak kita perjuangkan."
Jangan tanya apa yang telah bangsamu perbuat untuk kamu, tanyakan saja pada dirimu apa yang bisa kamu perbuat untuk bangsamu? Apa yang bisa kita sedekahkan untuk Indonesia kita?

Rabu, 04 November 2015

Merantau

Mungkin aku sudah bercerita tentang sedikit kehidupanku di rantau. Namun aku rasa, aku belum banyak bercerita tentang pentingnya “Merantau” menurutku. Aku pikir, aku sedang sangat bersyukur karena dalam hidupku, aku dibiarkan olehNya untuk merasakan kehidupan di rantau.

Flashback dulu..Menurut hematku, aku sudah menjadi seorang perantau sejak berumur 13 tahun. Waktu itu aku dengan keputusanku sendiri, memutuskan untuk meninggalkan rumah dan hidup bersama budhe, menemaninya di hari tuanya. Waktu itu aku diminta budhe untuk tinggal bersamanya selepas pakdhe meninggal. Aku tidak pernah pulang, pulang hanya 2 bulan sekali, dan itu pun hanya 2 hari Sabtu-Minggu saja di rumah. Aneh sekali, aku tidak merasa kangen dengan ayah, ibu, dan para kakakku. Aneh sekali, sekecil itu aku sudah betah hidup di luar rumah ayah-ibu yang surgawi itu, memilih untuk tinggal bersama orang tua yang aku tidak tahu karakternya bagaimana. Di tempat budhe, aku ditempa menjadi orang yang disiplin, rajin, dan relijius. Aku membiasakan diri hidup dengan budhe yang karakternya sangat kuat dan keras. Aku tidak merasa teraniaya, aku senang aku bisa menjadi demikian. Lalu, selang 1,5 tahun kemudian, aku pun memutuskan pulang. Aku pikir aku sudah cukup kenyang dengan kehidupan bersama budhe. Aku kembali ke rumah, tapi bukan karena aku kangen dengan rumah. Entahlah, aku hanya menuruti kata hati saja, bahwa aku harus pulang. Sewaktu SMA, aku pun memutuskan untuk tidak tinggal di rumah. Jadi, selama 3 tahun itu aku hidup di sebuah kos. Meskipun jarak rumah dan sekolah tidak begitu jauh, namun aku memilih untuk tidak tinggal di rumah. Pulang hanya ketika akhir pekan saja. Pun aku juga memutuskan untuk belajar bahasa Inggris di Kediri selama sebulan penuh, tinggal di asrama, bertemu dengan orang-orang dari berbagai suku. Aku sangat senang. Beberapa waktu kemudian, aku menyadari, ternyata orang tuaku semakin lama semakin bertambah umur saja, beruban di sana-sini. Aku memutuskan untuk selalu pulang, dimana pun aku berada. Aku memutuskan untuk harus bertemu dengan ayah-ibu sesering aku bisa. Namun begitu, aku tetap menjalani kehidupan rantauku. Ayah adalah orang yang senang anaknya merantau dan berkembang. Aku pikir, aku telah hidup sesuai dengan apa yang ayah mau. Ketika kuliah, aku hidup bersama kakakku yang karakternya pun juga sangat kuat, berkenalan dengan para koleganya yang beraneka ragam, dengan kehidupan sosial tingkat tinggi karena kakakku adalah seorang aktivis. Namun aku masih selalu pulang ke rumah bertemu dengan ayah ibu. Di masa kuliah S1, aku mengumpulkan semangat dan mimpi-mimpi untuk hidup di luar negeri. Kakakkulah yang benar-benar memberikanku banyak cerita, bahwa manusia perlu merantau. Kakak iparku yang pernah tinggal di banyak negara di luar negeri, sungguh menyarankanku untuk juga merasakan kehidupan di luar negeri, merantau, sejauh yang aku bisa. Setelah itu, aku bekerja dan melanjutkan kuliah lagi.

Di masa kehidupan S2 inilah aku merasa aku benar-benar merantau, full time. Tidak bisa pulang sesering aku mau. Namun demikian, di masa inilah aku benar-benar mengalami kehidupan yang sungguh sangat berbeda, yang membuatku selalu berpikir dan berpikir ulang, tentang untuk apa aku hidup, kehidupan seperti apa yang aku cari, mengapa orang lain seperti itu, mengapa aku seperti ini, dsb dsb. 

Aku merasakan dinamika pemikiran yang lebih fluktuatif daripada sebelum-sebelumnya, yang akhirnya membuatku berpikir, bahwa benar apa yang dikatakan orang: merantau membuat kita semakin mengenal asal muasal kita. Aku sangat setuju, anak muda perlu merantau untuk mengenal berbagai karakter orang, mengenal berbagai macam situasi dan lingkungan di luar zona nyaman, berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan berbagai bidang ilmu, mengecilkan rasa takut dan mengembangkan keberanian.

Merantau membuat hidup kita sangat dinamis dengan setting cara berpikir yang sangat luas. Merantau membuat kita mudah memaklumi segala keanehan yang terjadi di dunia ini, yang kita akan memiliki argumen pribadi tentang segala keanehan tersebut, karena cara berpikir kita yang meluas itu. Cara berpikir kita yang luas sungguh sangat penting sebagai landasan dalam melakukan manajemen konflik. Kalian tahu, hidup di rantau membuatku dapat meneropong dan memetakan beberapa konflik yang ada di dunia ini, khususnya di Indonesia. Aku melihat, betapa banyak orang yang masih mudah diadu domba, betapa mudah orang-orang dipecah belah. Selain itu, merantau memberikan kita banyak ide dan landasan tentang apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Merantau dapat menyadarkan kita bahwasannya teori Relativitas itu sungguh sangat relevan bagi kehidupan manusia. Merantau dapat membuat kita mampu meredefinisi segala terminologi yang dibuat orang lain, yang mana kita mampu berpendapat sendiri tentang terminologi tersebut, sesuai standar kebenaran kita masing-masing. Merantau dapat menyadarkan kita tentang hakekat kehidupan yang sesungguhnya sejelas-jelasnya, meskipun tidak banyak perantau yang bisa meneruskan kesadaran ini dalam kehidupan praktisnya. Merantau membuat kita sadar, bahwa betapa berharganya kampung halaman kita, bahwa kita akan menemukan resonansi-resonansi kampung halaman kita di tempat-tempat tak terduga di dunia ini, yang membuat kita ingin segera pulang dan melakukan banyak hal di sana. Merantau mempertemukanku dengan kasih sayang (rahmat) Tuhan yang ternyata sungguh sangat luas sekali bagi segala ciptaanNya tanpa kecuali. Merantau tidak seperti hanya membaca buku (jendela dunia), merantau mempertemukan kita dengan kehidupan sebenarnya, bukan seperti cetakan tinta saja. Pun tidak seperti cetakan tinta dalam tulisanku ini, yang sebenarnya adalah lebih dari sekedar tulisan ini. Tulisan ini terlalu datar, tidak memiliki banyak rasa dan emosi, rasa sesungguhnya tidak dapat kuceritakan semuanya di sini. Oleh karena itu, aku setuju, setiap orang perlu merantau, untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa dan matang, dengan pemikiran yang sangat lapang.

Aku pikir aku belum menuliskan semuanya, tentang betapa pentingnya merantau menurutku. Tulisan di atas hanya mewakili sebagian kecil saja. Namun, aku akan melanjutkannya bila aku ingat, bahwa mengapa kita perlu merantau.

ditulis di Geert Groteplein
di tengah persiapan presentasi
pukul 13.32