Tampilkan postingan dengan label Medication. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Medication. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 September 2015

Otokritik


Sebuah syair otokritik dari Mohamed Anis Chouchene, penyair Tunisia



Salam damai untuk anda semua...
dan atas kita kedamaian itu...
juga kepada kita kedamaian itu...

Salam damai bagi orang yang menyahut salam ini, juga bagi yang tidak menggubrisnya...
salam dengan nama tuhan yang Maha Damai, tuhan Allah yang disembah yang Maha Esa...
salam damai yang membimbing kita...
salam damai untuk bumi pertiwi...

Salam damai bagi yang bermusuhan secara terang-terangan, maupun diam-diam diantara kita...
salam damai teriring selalu diantara kita, terkhusus bagi mereka yang gemar mengemas dengan paksa, dan mengaku-aku
sedikit demi sedikit tanah kami, lalu mendudukinya, sementara kami hanya bisa terdiam dan menyerah begitu saja, juga 
menerimanya dengan suka rela, agar tidak ada keributan di dalamnya..

Seakan-akan, maaf, islam itu milik leluhur kami... tahukah kalian, kenapa kedamaian hijrah dari negeri kami? Tahukan kalian, kenapa yang menang justru kedzaliman? Dan kita mengatakan, bahwa kita masyarakat yang takut perbedaan..

Kata-kataku ini, saya yakin tidak akan membuat heran bagi kalian, atau sebagian dari kalian, aku tahu itu, tapi saya ingin katakan sekali lagi, bahwa kami adalah segelintir saja dari sekawanan domba...
kami masyarakat yang saat ini terjebak pada ketidaksaling pahaman...
tapi, kami masyarakat yang hidup berkoloni
kami masyarakat yang mengabsahkan keberanian dan mengklaim sebagai pembawa pemikiran plural...
kami masyarakat yang mengikuti ajaran kebinekaan dan mengklaim bahwa kita adalah masyrakat yang berbudaya...
tapi sungguh celaka, kami dipaksa menerima semua khurafat...
padahal menurut kami, menerima perbedaan tiada lain, kecuali perbedaan itu sendiri

Perbedaan warna kulit, sungguh telah mendiksriminasi kami...
perbedaan wajah, pemikiran, agama juga telah memojokkan kami...
bahkan, sampai permasalahan kelamin...
sehingga kami masih terus berupaya untuk sekuat tenaga, menghapus sekat-sekat diantara kami...
sesungguhnya kami sudah berusaha keras, tetapi kami selalu dilemahkan...

Bahkan kami adalah masyarakat yang dianggap tolol setolol-tololnya...
ya, kami memang masyarakat yang tolol..
kami sadar, karena kami gemar saling sikut, bermusuhan dan sering saling mencaci...
dan kami selalu berkutat pada kebodohan dan keterbelakangan
tetapi tidak ada seorangpun yang bertanggungjawab, baik dari mereka yang merasa berbudaya maupun tribal...

Sekarang dengarkan kata hati kami, bagi mereka yang mengklaim dirinya bagian dari orang-orang suci, atau yang mengikuti 
peradaban Barat secara buta, atau bagi yang selalu berteriak demi mewujudkan khilafah, yang berbentuk dinasti, agar semua perbedaan bisa lebur atas nama Tuhan..

Kami hadir disini, sekarang, dengan gegap gempita ini, ingin menjernihkan kembali sesuatu yang terdalam dari diri kita
dan mencoba untuk memantapkan spirit kita, kami juga mencoba untuk memantapkan spirit-spirit perbedaaan itu

Ini saya di depan kalian, dengan rambutku, dengan untain kalimatku, dengan pemikiranku, dan dengan segala keterbatasanku, saya tidak gentar menghadapi perbedaan kalian terhadapaku. Karena kalian adalah bagian dari diri saya, dan saya adalah bagian dari diri kalian.

Sekali lagi, kita ada disini, berkumpul bersama, demi sebuah harmoni, bergumul dalam kelemah-lembutan, mengelaborasi 
budaya tanpa menonjolkan keakuan kita, untuk mengangkat harkat yang luhur, dan menyingkirkan berbagai perbedaan, jenis kelamin, warna, dan agama. Karena kita tidak melihat apapun, selian diri kita adalah manusia.


source: Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri

Senin, 23 September 2013

Medicament in 23

Hari ini saya diberi banyak pengertian oleh Bapak. Rasanya campur aduk, antara sedih dan seneng. Sedih karena sebagai anak nggak bisa menjadi seperti yang beliau harapkan. Senang karena Bapak mau bercerita. Dulu, sewaktu aku masih kecil, Mbak dan Mas di rumah pas lagi libur kuliah juga digituin. Takira mereka disidang, dimarahi atau apalah itu, soalnya nada Bapak melengking tinggi-tinggi. Aku pun takut. Tapi ternyata mereka sedang mengalami apa yang aku alami barusan. Meskipun aku dapat sedikit mengimbangi pengetahuan yang dimiliki Bapak, ikut melontarkan pendapat, dan menyanggah pendapat, tapi pengalaman kami berbeda. Tentulah Bapak lebih berilmu. Apalagi dengan banyak guru dan banyak kitab yang telah melewati kehidupan beliau, aku nggak ada apa-apanya. Seperti yang beliau katakan, aku dan kakak-kakakku belum paham dan belum sedikit pun mengamalkan ajaran tauhid. Bapak bercerita, semua ilmu yang beliau pelajari pun belum tuntas, masih hanya tingkat "wustho", setengahnya saja. Belum sampai ke tingkatan paling tinggi, karena dulu keburu menikah dengan Ibuk, dan waktunya agak habis untuk meghidupi anak istri. Bapak dulu tidak sekolah, semenjak kecil sudah belajar kitab dengan para 'Ulama. Jadi ketika menikah, bapak benar-benar membanting tulang memulai usaha dari nol. Sampai sekarang Alhamdulillah diberi banyak rejeki oleh Allah SWT, mungkin karena Allah menganggap Bapak pantas mendapatkannya, atas kerja keras, doa, dan kepasrahan hidupnya yang dipersembahkan untuk Tuhannya dan manusia lain. Aku pantas menirunya. Dibandingkan aku yang lulusan Apoteker ini, tidak begitu tahu bagaimana mengejar rejeki yang sudah ditangguhkan oleh Allah SWT untukku. Tapi aku hanya berprinsip, hidupku tidak untuk mencari harta, tapi mencari hikmah dibalik setiap kejadian yang menimpaku dan orang-orang di sekitarku. Dengan begitu, Rejeki akan datang sendiri. Dengan begitu pula, secara nggak langsung sebenarnya Bapak tak perlu sebegitu kecewa, karena prinsipku tersebut mengandung tauhid. Aku yakin. Meskipun berat sekali mengamalkannya. Harus sabar dan selalu ingat Gusti Allah. Yah.. meskipun juga dalam prinsip Bapak, bekerja itu wajib menurutnya. Bagiku, berusaha itu wajib. Bagi kami berdua, hasil dari dari berusaha dan bekerja tetap terserah Gusti Allah. Yang penting sudah melaksanakan kewajiban, bekerja dan berusaha. Entah jadi kaya atau miskin, semua ada hikmahnya.

Malam ini Bapak juga membacakan "Iyya kana'budu wa Iyya kanasta'iin". Bahwa menjadi seorang hamba yang selalu menyembahNya itu belum cukup, karena lebih bagus kalau kita pasrah dan memohon pertolonganNya dalam keadaan apa pun kita. Allah SWT pun nggak akan pernah menyia-nyiakan pengharapan hambaNya. Atas ajaran siMbah, aku pun juga berprinsip bahwa Allah SWT memperjalankan hidupku yang mana aku diharuskan pasrah kepada segala kehendakNya. Sehingga setiap ada kejadian, aku selalu ingat, "oh.. jadi Allah ingin (membuat) aku begini atau begitu". Tak ada prasangka buruk kepadaNya, karena semua kehendakNya itu pas untuk hambaNya termasuk diriku. Wahai Bapak, jangan kecewa, aku pun juga memiliki prinsip demikian. Hanya, memang, mengamalkannya itu sungguh sulit. Bagaimana engkau bisa sekonsisten itu, Bapak? Itu yang ingin aku tiru darimu.

Bapak juga bercerita bagaimana seorang manusia bisa mabrur meskipun belum menunaikan haji. Tanda-tanda manusia yang mabrur tersebut adalah, semua manusia lain yang hidup didekatnya sejahtera. Lantas aku berpikir, seorang pemimpin haruslah mabrur. Karena bila dia mabrur, semua rakyatnya pastilah sejahtera. Mari kita lihat pada kenyataanya, Negara Indonesia masih belum begitu sejahtera secara merata. Kesenjangan semakin tinggi. Pemimpin semakin seenaknya sendiri. Sulit bukan mencari pemimpin yang mabrur. SBY? Jauuuuuuuhhhhh! Tandanya, benar apa yang dikatakan 'Ulama. Bahwa sebenarnya manusia berpredikat mabrur yang hidup di dunia maupun yang sudah meninggal itu sedikit sekali. Orang yang menunaikan haji, belum tentu mabrur. Bahkan, saat zaman canggahnya Rasulullah pun, semua yang menunaikan ibadah haji di tanah suci tidak ada satu pun yang mabrur, konon katanya. Mari kita bayangkan, di zaman tersebut, tentulah masih banyak orang baik, karena lebih dekat nasabnya ke zaman Rasulullah. Sekarang? sudah berapa ribu tahun jarak zaman kita dengan zaman Rasulullah? Siapakah gerangan manusia mabrur di zaman sekarang? Mari sama-sama kita cari, mulai dari hati kita masing-masing. Itu pesan Bapak.

Bapak memberikanku PR yang berat, namun tidak dipungkiri, memang wajib aku mengerjakannya. Yaitu belajar tauhid dan mengamalkannya sepanjang hayat. Selalu berusaha untuk teringat pada Gusti Allah di 4320 kali hembusan nafasku setiap harinya. Tidak banyak tidur, tidak banyak bermain yang membuatku lupa padaNya. Itu satu-satunya cara membuat Bapak bangga padaku. Karena, lulus cum laude, lulus S1, lulus apoteker, bisa bekerja dengan gaji sebesar apa pun, bisa lulus Ph. D di universitas ternama sedunia, maupun menjadi profesor kelak, tak sedikit pun Bapak bergeming untuk mengungkapkan kebanggaannya padaku.

Bapak sudah tua dan merasa tidak banyak memberikan bekal ilmu untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, aku tak boleh membuatnya semakin sedih, kan.

I love you both, Bapak dan Ibuk. Always, always...    :')

Minggu, 03 Februari 2013

Medicament: Kado dari Kota Nabi SAW


oleh Hanafi (My beloved Father)

#
Carilah kebaikan orang lain, jangan keburukannya hingga kita melupakan keburukan diri sendiri. Diri kita tidak lebih baik dari orang lain. Selain membuang waktu, hal itu memakan kebaikan diri kita. Selain kita merugi di dunia, kita juga akan merugi di akhirat.

#
Ada 21 macam nafsu. Nafsu itu seperti anak kecil yang tendensinya selalu ingin menang dan menunggangi kita, menyetir kita di depan. Ketika nafsu benar-benar telah menunggangi kita, maka itulah nafsu buruk. Tapi bila kitalah yang menunggangi nafsu dan mengontrolnya di belakang, itulah nafsu baik, nafsu yang tenang (karena kita kendalikan) dan diridhai oleh Tuhan (mardhliyyah). Seperti ayat-ayat terakhir di QS. Al Fajr ini, Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah, irji’I ilaa rabbiki raadhiyatan mardhliyyah, fadkhulii fii ‘ibaadi wadkhulii jannatii. Hanya jiwa yang diridhai oleh Tuhan yang boleh memasuki surga-Nya. (Tidak dipungkiri, ini membuatku bertanya, apakah nanti Ruh kita kembali ke fitrah kepada-Nya, sedangkan jiwa kita tertinggal di surga atau neraka? Seperti apakah jiwa tanpa Ruh? Wallahu a’lam.)

#
Dari suku kata ‘Bhis’ dari Bhismillahirrahmanirrahiim, oleh Sayyidina ‘Ali r.a. dapat ditafsir menjadi 300 tafsir berbeda. Oleh karenanya Baginda Nabi SAW menjuluki Sayyidina ‘Ali sebagai pintu masuk ilmu. Analoginya, ketika melihat kayu dari jati, maka oleh Sayyidina ‘Ali dapat dimanfaatkan menjadi 300 kemanfaatan, oleh kita mungkin hanya 1 kemanfaatan, misalnya hanya untuk bikin tiang penyangga saja. Betapa jauh jarak keilmuan kita terhadap Sayyidina ‘Ali, lebih-lebih terhadap Baginda Nabi SAW yang merupakan kota Ilmu. Bahkan Khalifah Umar r.a. pernah berkata “Seburuk-buruknya majlis adalah majlis yang tidak ada Abu Al-Hasan (Imam ‘Ali r.a.)”.

#
Selama hidup Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul, yakni 22 tahun lebih beberapa bulan, bila dirata-rata maka setiap harinya ada 15 orang berbondong-bondong masuk Islam. Mengapa bisa sedemikian suksesnya? Karena dalam dakwah Nabi terkandung ajaran reward and punishment. Ya, kebanyakan umat masuk Islam waktu itu tergantung dari kedua hal itu meskipun tidak semuanya. Sebagian dari mereka keimanannya terus meningkat sampai tingkat hakikat atas pengajaran langsung dari Nabi SAW. Setelah masuk Islamlah mereka baru merasakan bagaimana Islam sebenarnya.

Wallahua'lam bisshawab ..

Senin, 17 Desember 2012

December Rain

#
Ketika huruf tak lagi mewakili kata-kata… rasanya ingin menulis pakai not balok saja. Biar tak ada yang bisa baca, biar hanya musisi saja yang bisa membacanya, mengubahnya menjadi lagu pribadi, yang sungguh pribadi.
 
#
Ada satu penyair
Ada satu komposer
Ada 2 penyanyi dengan kualitas vokal  outstanding dan sungguh tak sama
Satu penyanyi menyanyikan syair lagu olahan komposer yang fresh from the oven
Satu penyanyi lain melakukan hal yang sama di tempat berbeda di waktu sama
Resapi dan nikmati hasil keduanya yang tentu sungguh berbeda, sungguh murni terkreasi, tanpa contekan, tanpa kecurangan.

#
Let me give you my recent thought.
For woman, crying is a part of conflict management. Especially for me. The one who has steady type of a human. Crying can be a media to pop the ideas up and sprout it then. In the crying moment, my thought become so clear and readable and writable.
You know, I'm proving it now.

Sabtu, 10 November 2012

Medicament

Bapak bilang:

Orang yang meningkat ilmunya namanya orang Suluk. Berjalan, nggak berhenti di jalan. Menuju ke Allah sampai ujung. Maka pikirannya akan selalu terang. Ilmu adalah perjalanan, apa-apa yang dilakukan. Sehari-harinya seperti apa akan kelihatan, sedemikianlah tingkat ilmunya.

Mabrur seperti halnya birrun. Pernah dengar birrul walidaini? Berbuat baik kepada orang tua. Namun bukan hanya berbuat baik. Lebih dari sekedar berbuat baik. Birrun adalah berbuat baik namun tidak dibuat-buat. Maksudnya berbuat baik atas kesadaran sendiri, tidak karena disuruh. Bagaimana manusia bisa sadar kalau ia seharusnya berbuat baik? Itulah kaitannya dengan ilmu tadi, beedasarkan Suluknya sampai dimana. Allah-lah yang memperjalankannya.

Misalnya: Ayah merasa lapar maka ia menyuruh anaknya membelikannya makanan. Seorang anak yang birrul walidaini, tak usah disuruh pun si anak akan sadar bahwa jam sekian ayahnya pasti lapar sehingga anak itu segera bergegas membelikannya makanan. Tidak perlu sampai disuruh ayahnya.
Allah menamakan dan menganugerahi predikat Haji Mabrur itu yang demikian. Yaitu kepada hamba-Nya yang birrun, berbuat baik atas kesadarannya sendiri. Atas kebutuhannya sendiri, bukan berbuat baik karena ada aturan harus berbuat baik. Allah sendiri pun birrun kepada hamba-Nya yang mengetahui.

Ibu berkomentar : Nah kan, ada nyanyian "Sluku-sluku batok, batoke ela elo". Maksudnya adalah kepala orang Suluk yang sedang berdzikir Laa Ilaaha Illallaah.

Sabtu, 22 September 2012

Medicament

Malam ini Bapak berkata-kata lagi. Ini momen sudah sekian lama kutunggu.

Bapak bercerita tentang Wali. Wali bisa berarti tarikan dan kekasih. Wali pasti mengetahui kekinian dan keesokan. Wali adalah seseorang yang disukai dan dicintai Gusti Allah, sehingga orang itu diberiNya cahayaNya di dalam hatinya. Semua yang tampak padanya hanya Allah, Allah, dan Allah. Namun Gusti Allah tak egois, dijadikanlah orang itu turun ke bumi lagi, dikurangi NurNya sedikit pada diri orang suci tersebut sehingga ia terlibat dalam urusan duniawi dan menjadikannya bermanfaat untuk masyarakat dunia. Namun begitu, orang tersebut telah dipatenkan Gusti Allah sebagai waliNya di muka bumi. Wali tidak harus alim ulama. Mereka mungkin adalah pedagang di pasar, petani, maupun orang kaya. Banyak waliNya di dunia namun banyak juga yang tidak menyadari bahwa dia adalah waliNya. Nur Allah seperti lampu yang membebaskanmu dari gelap gulita, sehingga matamu mampu melihat kebenaran dan keaslian.

Wali Songo, adalah Wali yang terlibat dalam pembedaran Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan-kerajaan di Nusantara termasuk Kerajaan Demak di Jawa.
Dalam urusan pekerjaan untuk keberlangsungan hidup di dunia, manusia hanya diwajibkan untuk selalu mengusahakan yang terbaik. Hasil adalah sebuah pemberianNya, keputusanNya. Manusia memang diberi akal untuk menyimpulkan sesuatu atas segala usaha yang dikerjakannya dan menyangkut hasilnya. Dan itu tidak salah. Hanya saja, jangan pernah menjadikan kesimpulan-kesimpulan itu sebagai pedoman (terutama sebagai niatan).

Imam Syafi'i. Bapak ngendiko, kita tak akan pernah paham memikirkan bagaimana seorang Imam Syafi'i beribadah. Misalnya saja, beliau mengkhatamkan Alqur'an 60 kali tiap bulan ramadhan yang digunakannya sebagai bacaan shalat. Secara logika, itu sebuah ketidakmungkinan, karena baliau masih sanggup bermuamalah dalam kesehariannya di bulan Ramadhan. Namun itu nyata. Kanjeng Rasul membaca surat pendek dalam shalatnya yang dimakmumi para shahabat. Namun disabdakan dalam hadits riwayay 'Aisyah r.a.,  bahwa kita tidak perlu menanyakan tentang kualitas shalat Kanjeng Rasul. Pelajaran eksplisit untuk umatnya hanyalah sunnah-sunnahnya. Imam Syafi'i mengajarkan kita tentang betapa butuhnya kita akan Allah sehingga dalam urusan ibadah, beliau beribadah melebihi Rasulullah dalam hal kuantitasnya.

dst..dst..

Minggu, 16 September 2012

Afterglow


Call for you, Sun.
Don't be full up of meeting me every evening.
I've just begun to learn how you can put my mind to this rest.
The afterglow, Lembayung-Jingga.

Jumat, 23 Maret 2012

Para Guruku


Setiap saya belajar lewat membaca artikel-artikel di media internet, koran, buku, majalah, dan sejenisnya, otak (dan mungkin hati) saya mengelompokkan bacaan saya itu berdasarkan kelas-kelasnya. Saya akui, saya mengagumi  beberapa tokoh yang sangat berperan dalam peningkatan spiritualitas saya. Terlepas dari entah apakah spiritualitas saya sudah meningkat atau belum. Beberapa dari mereka seperti Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, Goenawan Moehamad, dan Gusdur. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi hanya mereka yang mendominasi kepala saya ketika saya menulis ini. Maklum, kemampuan mengingat saya sangat terbatas. Meski begitu, apa yang lebih berharga dari seorang tokoh selain karya-karyanya yang mengisi relung-relung jiwa manusia lain yang membutuhkannya? Tokoh-tokoh itu seperti kereta yang menghantarkan perjalanan seseorang menuju sebuah terminal keabadian.

Ya, mereka yang saya sebut di atas dan yang lainnya telah dan dan sedang menjadi kereta saya. Oleh sebab itu saya sangat mencintai mereka, karena mereka telah begitu ikhlas mengorbankan diri mereka untuk saya dan tentunya untuk orang lain juga selain saya. Sampai mereka dihujat orang-orang yang pendek akalnya, saya tentu sangat sedih. Tidak habis pikir kepada orang-orang yang menghujat tokoh-tokoh yang sangat saya junjung tinggi itu, orang-orang itu tidak berpikir bahwa mereka telah mengorbankan diri mereka demi keluasan sudut pandang cara berpikir manusia, demi kita yang hendak pergi menuju satu tujuan, Tuhan.

Begitu pula dengan mereka yang berjiwa radikal dan keras, saya juga menghargainya. Misalnya saja tokoh NII, saya memahami mengapa mereka ingin mendirikan NII. Meskipun sampai saat ini tidak berhasil. Atau HTI, atau Ikhwanul Muslimin, atau apapun yang lainnya itu.

Semua dari mereka membuat saya belajar untuk selalu memperluas cakrawala saya. Prinsip saya adalah alam saya tidak sesempit visi-visi dan misi-misi organisasi-organisasi itu.

Bukankah hidup memang harus seimbang?

Menghujat tokoh dan menghujat perbedaan adalah upaya merusak keseimbangan. Saya menghargai kritik, namun kritik yang membangun. Saya tidak menyukai perdebatan. Saya menyukai mereka berdiri sendiri-sendiri saling membangunkan, berdiri sendiri sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Tentu saja Gus Dur berbeda dengan Nurcholish Madjid (dengan JIL-nya). Tentu saja Emha Ainun Nadjib (dengan Jamaah Maiyahnya) berbeda dengan Gus Dur  (dengan NU-nya) maupun Kyai-Kyai salafi NU lain. Mereka semua juga berbeda dengan W. S. Rendra yang meluaskan cakrawala jiwa manusia lain lewat syair-syairnya.

Bukankah dunia ini diperjalankan olehNya? Semua dari yang kita lihat di dunia ini akan pula kembali kepada Yang Satu, Sang Empunya keabadian.

Saya sangat berterimakasih kepada Jamaah Maiyah, kepada NU, kepada JIL, kepada kelompok-kelompok radikalis agama dan kepada Scientists. Mereka, tentu saja, telah membangunkan saya, membuat saya berdiri, dan berjalan ke suatu tujuan sesuai nurani saya. Mereka semua adalah kekuatan eksternal saya, selanjutnya, nurani sayalah yang lebih saya ikuti sebagai kekuatan internal jiwa saya. Oleh karenanya, saya lebih banyak diam, karena tidak mampu berbicara panjang lebar yang tidak praktis. Saya tidak bisa mengikuti salah satu dari mereka secara 100%. Itulah kelemahan saya. Saya tidak mampu berbuat banyak dalam membalas kebaikan mereka yang telah secara ikhlas menjadikan dirinya sebagai kereta. Tapi saya sungguh berusaha untuk dapat memberikan apa yang saya punyai saat mereka semua membutuhkan diri saya.

Saya hanya berharap dapat mengamalkan apa yang telah dan sedang mereka ajarkan, lalu membagikannya kepada yang membutuhkan dan mau menerimanya.

Begitulah hidup saya selama ini…

Senin, 12 Maret 2012

Maha Guru Bagiku (Lewat NDRA)


Ketika banyak orang berbicara tentang apa yang telah maha guru suguhkan lewat apa yang disebut #NDRA di Twitter. Memuja dan memujinya… mereka begitu mudahnya berkata-kata,mereview, berkomentar ini dan itu, berpuisi, dan suguhan lain tentang apa yang baru saja mereka saksikan, #NDRA dari sang maha guru… dengan berbagai niatan tentunya, ada yang karena ingin memahamkan karena dialog yang tingkat langit itu, ada yang hanya ingin lainnya. Sementara aku… hanya bisa terdiam.

Memang, maha guru sedang menelanjangi dirinya. Tak hanya dirinya, bagiku maha guru sedang pula mengambil resiko untuk menelanjangi segala keadaan dan manusia penghuni bumi ini. Resiko itu, aku merasakannya sendiri… bahwa betapa terdiamnya aku, betapa bisunya aku, setelah kumenyaksikannya. Tanpa bisa berbuat apa-apa yang seharusnya kuperbuat setelah aku menyaksikan #NDRA itu di panggung teater. (Meskipun paling tidak aku masih bisa manulis ini…). Bahkan tidak hanya melalui satu single teater ini, akan tetapi setiap apa yang dipaparkan oleh maha guru di setiap waktu aku mendengarkannya, apa yang kurasa sesungguhnya ia sedang menelanjangi segala sesuatu.

Mungkin memang karena maqamku yang tidak setingkat dengan maqam sang pemilik karya, meski aku berusaha naik namun tetap aku merangkak, atau bahkan hanya jalan di tempat. Solusi yang ditawarkan berdasarkan pesan yang disampaikan, belum bisa kutangkap lewat bagian mana saja dari diriku. Dan masih saja, aku tetap berusaha.

Sesalah-salahnya, jangan-jangan aku menganggap sang pemilik karya bukanlah makhuk bumi, ia bukan makhluk biasa, dan karenanya –meskipun banyak orang yang mengaguminya, banyak orang yang berreseptor ‘kethul’ ketika sang maha guru bercuap-cuap. Ya, mereka beda frekuensi. Mungkin termasuk diriku, namun aku telah mewanti-wanti sesuatu dalam diriku untuk selalu menyegarkan apa yang baru saja diperbincangkan dan disajikan dengan sangat sempurna oleh maha guru. Dengan begitu –seperti apa yang selalu diucapkan oleh maha guru, reseptorku selalu terbuka menerima cahaya, dan menghentikan apa-apa yang membuat hatiku berkarat. Itu harapku.

Namun –seperti apa yang maha guru berulangkali sampaikan, bahwasannya semua ini tidak bisa dipecahkan oleh manusia itu sendiri, selalu ada campur tangan dari langit meski hanya beberapa persen atau banyak persen (tergantung tingkat kebutuhan kita karena Langit selalu akan membantu manusia yang tersesat ini). Begitu pula dengan resiko yang telah diambil oleh maha guru –menelanjangi dirinya, keadaan dan manusia lainnya, semua resiko itu mungkin akan terhapus karena bantuan Langit seiring berjalannya waktu. (Tapi sampai kapankah?) Manusia memang diharuskan sabar untuk sampai pada parameter-Nya.

Akhirnya mungkin suatu saat kita akan menemukan apa-apa yang selama ini kita harapkan, apa yang dipersampaikan dalam #NDRA itu. Dan akhirnya pula, aku akan paham… tidak lagi terdiam dan membisu seperti ini. Suatu saat mungkin aku akan banyak mengoceh lagi tentang hidup yang dianugerahkan oleh-Nya ini. Berkehidupan dengan kualitas yang terbaik yang mampu aku jalankan.

Aamiin..

Rumah Sleman, 120312 20:44.

Selasa, 06 Maret 2012

Medicament

"Aku berjalan memunggungi dunia Karena ia merebutku, dari diriku. Aku pergi menjauh dari kehidupan Karena ia memisahkanku, dari bayiku.

Sesungguhnya yang kujalani adalah kematian. Sebab dunia tak terjangkau oleh penglihatan. Sebab oleh akalku, kehidupan makin tak terumuskan. Serta di dalam jiwaku, cinta hanya bermakna kehilangan"

dalam Script "Nabi Darurat Rasul Ad Hoc" oleh Emha Ainun Nadjib. 

terlepas dari bagaimana kita sedang menjalani kehidupan ini dengan Apa Adanya, sembari juga kita dapat berpikir dunia ini diciptakan untuk apa? setelah sekian lama kita hidup, kita seharusnyalah tersadar akan peran dunia sebagai ciptaanNya (selain kita, manusia). 
Highlights : -ku dalam merebutku ini siapa atau apa?, serta bayiku itu apa?.
(sama -sama setiap hari kita diharuskan mikir yang berat, mengapa malas untuk memahami dan menemukan jawabannya? ayo temukan!)
clue untuk paragraf kedua : jalan kehidupan sebagai kematian, kematian tentu lebih suci daripada sekedar kehidupan dunia yang ruwet bagi manusia ini, dan cinta ~ikhlas dalam kehilangan.

Senin, 30 Januari 2012

Medicament : Al Hikam (volume random)

Nikhmah, nikmat, ujian yang menyenangkan. Baliyah, ujian yang menyengsarakan. Nikhmah dan baliyah hanya ada di dunia. As-sakinah, ruhani yang hidupnya waras, ayem, tentrem. Ambeng adalah makanan jasmani. Ngaji, sholat, dzikir adalah makanan ruhani.

Diberi cobaan sakit (dan segala macam ujian baliyah) kalo dipandang dari segi hakikat itu adalah kenikmatan yang sangat besar. Karena imbasnya adalah zuhud terhadap dunia, dosa dikurangi, pahala ditambah, derajat dinaikkan. Paling-paling sampai ke alam kubur. Iman kuat khusnul khotimah, selesailah urusannya di dunia.

“Syarrun laa yaddun khairun min khairun laa yaddun.”
Barang jelek tidak langgeng lebih bagus daripada barang bagus yang tidak langgeng. Mantan perampok jadi kyai lebih baik daripada mantan kyai jadi perampok.

Tuhan sengaja menjadikan dunia sebagai sumber kerusuhan dan cobaan supaya makhluk beradab di dalamnya jenuh. Tuhan sengaja begitu karena kasih sayangnya kepada makhluknya. Agar mereka jenuh hidup di dunia, tidak cinta pada dunia. Supaya manusia selamatlah.. Umar bin Khattab bahkan pernah berdoa kepada Allah minta diberi Baliyah saja karena lebih menguatkan daripada nikhmah yang menjerumuskan.

Dunia itu qattalatun, pembunuh. Segala masalah sebabnya karena dunia. Dunia selalu mempermainkan, dan pasti hanya meninggalkan cerita. Syair :
  • Banget-banget susahe, nek wis ilang akhire mung seneng. Banget-banget senenge nek kadung ilang akhire susah. Pilih endi..

  • "..dan duniaku berputar, ia tak bisa berhenti tetap"
Sesuatu yg panas, ditambahi panas nanti jd dingin. Panas ditambahi dingin jd makin panas. Krn panasnya tdk jenuh.

  • "..Dunia ini bagaikan impian orang tidur. Kesenangannya seperti awan.."
Surga diliputi apa2 yang tdk disukai nafsu..

  • Surat dari Sayyidina Ali kepada Salman aL Farisi : "Sesungguhnya dunia bagaikan ular, licin dipegang dan membunuh racunnya. Krn itu, berpalinglah daripadanya.. berpaling dr apa yg mengagumkan. Dunia itu banyak, melimpah, tp bekal utk keabadian hanya sangat sedikiiit." 

Utama-utamanya amal ada 3 : Thalabul 'Ilmi, Thalabul Halal (apa yang dilakukan halal dengan barang-barang yang halal), dan Al Jihadu Fi Sabilillah.

---------------------Ngaji Al Hikam dr Ibnu Atha'illah, yang dipaparkan oleh Kyai Djamaluddin Ahmad dari Jatim.

Janganlah kalian menyebarkan ilmumu agar manusia membenarkanmu, tetapi sebarkanlah ilmumu agar Allah membenarkanmu. seperti kata @KangPacul

Jumat, 20 Januari 2012

Respon Imun Ketika Stress

Tepat setelah ujian terakhir di minggu ini selesai, setelah sampai rumah pukul 19.30 di hari Kamis kemaren, aku merasakan tenggorokanku tidak nyaman, suhu badan terasa naik. Waduh! Ada respon piretik masuk otak nih, pikirku tiba-tiba (tepatnya di Hipotalamus). Langsung deh jadi teringat mekanisme reaksi antigen-antibodi di ujian Rekayasa Antibodi tadi sore. Haha.. lantas semalaman aku mecoba nonton serial komedi, dan akhirnya tertidur nyenyak. Cukup menolong. Tak lupa di hari Jumat pagi aku minum vitamin B compleks dan vitamin E. Yah, vitamin E karena aku nggak mau  sel-selku cepet teroksidasi –cepet tua, red. Haha.. seharian beraktivitas di sekitar kampus, sore hari panas lagi ini badan, tenggorokan mulai tidak enak lagi. Kupake istirahat deh, lalu malamnya nge-date sama temen-temen KKN makan macam-macam masakan Italy di Nanamia Pizzeria dekat Sanata Dharma. Eh, ini udah nggak panas lagi nih badan, udah enak aja bawaannya. Manjalah badanku ini, haha..

Bisa sedikit kuceritakan di sini ya tentang stress psikologis yang mempengaruhi mekanisme respon seluler-molekulernya.. semoga pada berkenan membaca. (Eh, sebenernya seru lho kalau kalian juga bisa paham) :D

Kondisi stress itu kondisi yang tidak baik. Selain jiwa capek, raga pun juga capek. Akibatnya bisa buruk. Karena pada kondisi stress kelenjar Hipotalamus yang ada di atas Hipofisa kita di otak akan menginduksi keluarnya hormon steroid oleh kelenjar adrenalin kita yang berada di atas bagian ginjal kita, yaitu Glukokortikoid. Selain itu dalam kondisi stress, kelenjar hipotalamus juga menginduksi keluarnya hormon non-steroid oleh kelenjar adrenal, yaitu hormon Katekolamin. Glukokortikoid yang dilepaskan tadi akan terikat di reseptornya. Pada keadaan stress, sekresi Glukokortikoid sangat tinggi sehingga kadarnya tinggi di dalam sistemik. Biasanya pada kadar rendah glukokortikoid lebih senang untuk berikatan dengan reseptor Mineralokortikoid (MR) di sel. Tetapi pada kadar tinggi, Glukokortikoid akan berikatan dengan reseptornya sendiri, yaitu Glococorticoid Reseptor (GR). Dengan terikatnya Glukokortikoid pada reseptornya, maka peristiwa ini akan membuat IkBa menahan NF-kappaB (suatu faktor transkripsi gen) di sitoplasma. Jadinya ya si NF-kB ini tertahan dan nggak bisa transmigrasi ke nukleus, padahal kan dia tugasnya membantu transkripsi gen-gen penyandi sitokin-sitokin. Sebenarnya sitokin itu mempunyai arti yang bermacam-macam karena fungsinya yang mempengaruhi ini dan itu, banyak. Tapi secara umum, sitokin itu mediator utama respon imun terhadap mikroorganisme, tumor dan antigen.  Dengan tertahannya NF-kb di sitoplasma, maka ekspresi sitokin ditekan secara simultan. Bila sitokin ditekan, sistem imun kita melemah. Sehingga apabila ada mikroba transit ke tubuh kita, pasukan penahannya berkurang. Tubuh kita jadi mudah diinvasi mikroba, sakit deh… gejalanya bisa macam-macam, tapi yang paling sering adalah panas diikuti peradangan (inflamasi).

Mekanisme lainnya adalah diperantarai hormon Katekolamin, seperti yang sudah saya bilang di atas. Katekolamin ini (secara alami) ditugasi secara teknis oleh Hipotalamus untuk menghomeostasiskan keadaan. Akan tetapi pemberian Katekolamin dari luar akan berefek immunosupresan karena dia akan menekan sintesis IL-12 dan menginduksi sintesis IL-10. Padahal, IL-10 ini dapat menghambat diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Akibatnya diferensiasi sel T CD4+ akan lebih ke arah selTh2. Dengan banyaknya produksi IL-10, jumlah sel Th2 akan meningkat. Padahal, sel Th1 sangat berperan dalam menahan infeksi. Bila dominan hanya sel Th2 dan sedikit sel Th1 di sistemik, siapa yang akan melawan infeksi? Hanya bisa bergantung sama sel T CD8+ (sel sitolitik) doank donk… akibatnya sistem imun kita melemah. Gawat kan! Kita jadi nggak bisa ngapa-ngapain, aktivitas kita terhambat gara-gara tubuh kita diinvasi mikroba.

Jadi sekarang sudah diteliti kan mengapa kalau stress tubuh kita jadi mudah sakit, lemes, panas, meradang, dll. Secara umum, begitulah mekanismenya dua senyawa immunosupresant itu. Di dalamnya masih ada keribetan macam-macam yang tidak bisa kuceritakan di sini. Saya sudah berusaha memaparkannya seumum dan sebiasa mungkin loh… hehe maaf kalau seandainya membosankan. Tentang mekanisme psikologis mengapa stress bisa memacu Hipotalamus memerintahkan macam-macam kepada anak buahnya, sebaiknya hal ini ditanyakan ke pakar Psikologi Faal deh ya. Saya sendiri  kurang mendalaminya. Mungkin suatu saat nanti, kalau saya lebih rajin mencari tahu, bakal tahu sendiri. Oke deh… sampai jumpa di postingan berikutnya.  :)

Sabtu, 05 November 2011

Ingin

Tuhan, sungguh hamba malu padamu
meskipun segala sesuatu telah hamba lakukan secara sadar
ternyata hamba masih saja bodoh dan bebal
menjauh dari-Mu memang tak bisa dikatakan nikmat sama sekali
Engkau yang mutlak memang sungguh telak
hamba hanya bisa memohon memohon dan memohon
untuk Kau dekati dan membuat hamba mendekati-Mu, selalu.
aamiin

----  Jogja-Klaten
di malam bertakbir   ----

Rabu, 20 April 2011

Catatan 18 April Pagi

(00.01 - 03.30)

  • Cerita Patub. Dalam sebuah performa, rencana-rencana itu jadi tidak penting kalau suatu start sudah terpegang dulu, dengan kata lain sudah bisa mengambil hati audience, lalu terbawa suasana…menikmati, akhirnya SUKSES! Memang goal-nya itu adalah mengajak audience berinteraksi dan pementasan bagus. Pelajaran yang bisa diambil adalah : penonton pun menganggap yang pentas adalah satu team-nya, jadi harus disukseskan bersama “ini acara kita semua, mari kita kompak mensukseskannya bersama-sama”. Perlu sikap menaklukkan keadaan. Omonglah kepada massa apa yang ada di hati mereka. Penonton itu sebenarnya tidak tahu persis apa yang mereka butuhkan, kita yang harus membaca kebutuhan mereka. Mereka datang, duduk-berdiri, menikmati, diam, tepuk tangan. Jadi, hidup itu tidak hanya 1 toples saja, tapi prasmanan.
  • Kelakar Cak Nun : yang namanya Islam Liberal, kalau sama bocah-bocah Maiyah itu, diem mereka. Hahhaha… kalah Liberal mereka.
  • Sebenarnya, spiritualitas kita dahsyat, musuh bisa dikalahkan hanya dengan 1 atau dua kalimat. Orang sini hidup pakai filosofi. Jadilah orang kaya, kuasailah dunia, tapi kita khilafahi. Kita kuasai materi untuk mendapatkan nilai. Indonesia butuh sebuah teknologi untuk mengeliminir keadaan buruk dalam diri kita.
  • Sangat banyak Allah memberi retorika, banyak ayat-ayat-Nya seperti sebuah ‘tawaran’. Ketika engkau dijahati, maka kamu berhak untuk membalasnya. Tapi Dia ‘menawari’ akhlaq. Kalau kita memaafkan, maka tinggi derajat kita dihadapan-Nya.
  • Segala sesuatu yang tidak bisa kita atasi, maka kita tawakali. Segala sesuatu yang sudah ketara jeleknya, busuknya, ya sudah percaya saja akan Kun Faya Kun dari Allah. Kembali ke rumus-rumus jagad malaekatan. Akan ada rumus-rumus dari-Nya yang tidak dapat kita duga dan akali. Anda punya kemampuan yang dahsyat, tapi nggak ada lapangannya, nggak diadakan pertandingannya, jadi ya yasudahlah…mau apa kita. Ada, saking mlaratnya orang, disuruh main scene apa saja mau. Yang main film/sinetron seperti diperbudak, tidak tau dia mau main apa karena tidak ada cerita yang jadi sejak awal.

Aku tangisi hati matahari
Yang disakiti cahaya cintanya
Menaburi bumi, ada yang menghalangi

Gerhana rembulan dan gerhana bumi berlomba menutupi
Berkahnya Tuhan hamparan rejeki jadi tak sampai

Tuhan hakiki, Kaulah matahari
Penerang gelapnya hidup kami
Kiriman kasih sayangmu ada yang meracuni

Takkan bisa terus begini sejenak saja lagi
Zaman kan terkesima
Berganti Cahaya Cahaya Cahaya

(Hati Matahari – performed by Novia Kolopaking)
  • Allah kafir kepada kedzaliman. Ini soal bahasa, tapi ini kontekstual, bukan substansial. Yang dimaksud kafir adalah menutupi kebenaran. Bahkan di al-Qur’an, ada  makna kafir itu adalah petani, karena apa? Karena petani menutupi tanah dengan tanaman. Jadi, kalau disebut kafir jangan marah. Tolong Islam juga dipahami lewat epistemologi, makna, dan lughoh. Ada syahid, jihad, kafir, dll. Misalnya mati syahid itu artinya mati dengan mempersaksikan. Tapi selama ini, mati syahid itu diukur dengan parameter-parameter yang tidak tepat. Menafsir sesuatu jangan terlalu dalam, tapi luweslah, istiqomah, dan muthmainnah. Hati yang selesai, ketabrak apa pun akan luwes, lentur, tidak skeptis.
..ku menepi, di sejuknya pagi.


Bulan Purnama di Fajar 03.54


End.