Tampilkan postingan dengan label my silLy thing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label my silLy thing. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Oktober 2014

Wrong and Trouble

Today, I made a trouble in the road of which I was wrong by passing through bus way. A bus way here is a bus-special toll way. I was asking my classmate from Mexico: which the fastest way to get Nijmegen Central Station from Huygensgebouw is, because her flat is close to campus so I thought that she knew.

She gave me the direction and it was wrong at all. I felt strange because the way is too narrow to be passed by bus and bike, however, there is no direction that we, who are riding bike, are not allowed to pass through there. I was so scared, you know, can you imagine something like there is someone who rides his motor passing through a toll way? It’s alright to be fined, but what I was fear of is I was hit by the bus. What I thought along the way was that how I could be evacuated from that way because I was afraid of crash. I was going ahead as far as I can until I found the red bike road. Finally.. it was like finding a mainland after you are lost in the big sea with your little boat! Well, don’t ever ask about direction to the foreign people, you have to find the native one unless you get trouble like what happened to me today. 


Actually I know the way to go to Nijmegen Centrum from my campus, but I needed to find an Irakish shop where it sells a halal meat and the place is near the Central Station. You know, as long as I am here, I never eat meat if I do not go to Lent where a ‘Pasutri’ invited me to Indonesian student party. So I was going to Irakish shop because the shop sells chicken which the size is similar to Indonesian chicken, (at least that is what my friend told me). You will meet a very big chicken in every shop here. I’m not going to eat that kind of chicken because I will never be in the mood to eat something like that, moreover it is not halal. Today I am just feeling bored to be vegetarian. Because of it, I was almost hit by buses! What an incident!

Selasa, 31 Desember 2013

Wedangan for Power of Culture



Dua hari lalu saya ikutan kuis Terasolo tentang Wedangan. Kuisnya bertemakan “Power of Culture” dengan pertanyaan “Kalau kamu dapat kesempatan buat buka #Wedangan , kamu mau bikin wedangan yang seperti apa?”, dan inilah jawaban saya:

 

Di malam tahun baru ini, Terasolo mengumumkan pemenangnya. Here it is:



Tak menyangka ideku mendapat apresiasi, karena dari kecil aku tumbuh menjadi seorang anak yang kurang kreatif menilik ayah-ibu bukan orang yang ”masa kini”. Ibu adalah pribadi yang lebih sering “hidup di masa lalu”. Ayah adalah seseorang yang ingin maju,namun tak banyak mengenal sarananya. Berbekal semangat dari ayah dan karena aku merasa kurang kreatif, di saat remaja aku menjadi gemar membaca buku dan majalah yang seadanya. Koran Solo Pos menjadi langgananku pula demi menjadikan diri ini seseorang yang kreatif. Aku pun memesan beberapa film kepada Mbak Lika, yang sedang kuliah di Jogja, untuk aku tonton di rumah ketika weekend. Namun masih saja, meskipun beberapa ide muncul ketika diperlukan, aku masih kurang dapat mengeluarkannya dari dalam kepala. Aku pendiam, terkadang itu menjadi masalah, meskipun sekarang aku agak “speak up my mind”.

Well, back to the main topic. Aku merasa aku bisa memenangkan kuis Terasolo di atas. Awalnya, aku kesulitan menggali ide. Wedangan, suatu hal yang kugemari, namun aku melakukan wedangan dengan konsep yang biasa-biasa saja, nggak ada yang spesial. Aku sering wedangan di warung sendirian dan terkadang bersama kawan bila ia juga gemar sepertiku. Nggak banyak temanku yang mau berdiskusi mengenai suatu pokok masalah dibarengi dengan wedangan. Kebanyakan kami hanya ngobrol apa yang menjadi kegiatan sehari-hari, ngobrolin gosip, dan itu nggak spesial. Jadi, nggak ada ide.

Lalu, terlintas di kepala, Ibu memiliki rumah Joglo dan gebyok antik peninggalan nenek. Bulan lalu aku menginap di rumah salah seorang temanku yang memiliki rumah Joglo dan kebun yang sangat luas dengan buah-buahannya yang sedang ranum, kami mengobrolkan mimpi kami dengan masing-masing menyeduh wedang jeruk anget di atas dipan kayu beranyaman. Suasananya saat itu sore hari dan sehabis gerimis. Bau tanah basah menambah harum, suara gemericik air dari bambu yang dipakai untuk saluran air menjadi iramanya. Sungguh syahdu. Mirip suasana di rumah nenek.

Terlintas pula memori saat-saat aku berada di Klinikkopi di sekitaran Yogyakarta. Sempat aku ingin memiliki rumah dengan gaya bangunan di kafe tersebut dengan rumah panggung “woody frame style” yang dikelilingi ratusan pohon jati. Seperti apakah itu? Coba cari gambar bangunannya. Terimakasih kepada Mr. Enade yang telah menggiringku kesana dulu. Kami berdiskusi sesuatu yang sangat kuinginkan di masa depan untuk aku kuasai teori dan tekniknya. Sangat nikmat menyantap pahitnya "Wamena Low Coffein Americano" buatan mas Pepeng yang dibuat handmade dengan bantuan seperangkat alat pemeras espressonya. Wedangan menjadi semakin nikmat menjadi-jadi. Bayangkan rumah panggung kayu seperti gaya rumah di Sumatra khas Indonesia, memiliki frame-frame kaca yang luas dan dapat dibuka selebar-lebarnya seperti sebuah sanggar khas kontemporer, beserta rindang pepohonan Mangrove khas area tropis dengan semilir angin yang menggoyangkannya. Suara gesekan dedaunan, meskipun nggak semerdu pohon bambu, menjadi backsound di sela-sela obrolan para penikmat wedangan. Euh.. ini baru yang namanya Power of Culture, bukan? Setau saya, tidak banyak wedangan dengan konsep demikian.

Ide yang ketiga. Pernah suatu kali menonton film "Architecture 101"? Sejak saat itu saya mengoleksi bacaan terkait rumah dengan konsep “Green Roof”. Salah satu mimpi saya adalah memiliki rumah dengan desain Green Roof. Salah satu teman saya di kampus menyebut saya cukup visioner. Betapa tidak, dengan background ilmu tentang obat, namun saya juga menaruh perhatian besar tentang sebuah desain bangunan. Penelitian saya di kampus mendukung aplikasi Go Green atau Green Chemistry sehingga saya menggunakan bahan kimia minimalis dan alat praktis semacam microwave dalam mendesain dan mensintesis obat. Ide yang cukup kreatif dan jarang diaplikasikan di Indonesia. Tak terkecuali pemikiran tentang bangunan rumah. Bila saya ingin hidup di kota, maka konsep Go Green juga menjadi dasar pertimbangan. “Green Roof” adalah solusinya. Untuk orang seperti saya yang menyukai wedangan baik sendiri maupun bersama kawan ngobrol, Green Roof akan menjadi tempat pilihan bagi saya untuk bisa menikmati wedangan dengan pikiran yang santai. Bayangkan sebuah kedai wedangan dengan konsep Green Roof, lesehan, pelanggan diberi kebebasan untuk membuat sajiannya sesuai seleranya sendiri dengan diakomodir sang pemilik kedai wedangan. Bisa juga disediakan dipan balok-balok kayu untuk yang tidak suka duduk lesehan. Kedai berlokasi di dekat Bandara yang tentu saja sewaktu-waktu pesawat dapat tinggal landas maupun landing di atas kita. Rasanya? Saya dulu sering membaca buku di area terbuka Angkasa Pura AAU Yogyakarta. Awalnya ketika merasakan pesawat tepat berada di atas kepala saya dengan jarak yang hanya puluhan meter, maupun ketika pesawat tinggal landas mengarah ke kita, perasaan sangatlah berdesir-desir seperti sedang hysteria. Namun kelamaan menjadi terbiasa. Hal ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi pelanggan. Atau konsep Green Roof dengan pemandangan hamparan luas pantai berpadu cakrawala langit seperti di San Diego, US. Suasana telapak kaki dingin karena tanah berumput, angin semilir, dan atap biru langit sore maupun atap hitam langit malam dengan bintang gemintang dan cahaya bulan akan membuat suasana wedangan menjadi sempurna. Hiasan lentera antik gaya tradisional, eropa, maupun kontemporer dengan pencahayaan yang remang-remang akan menjadikan wedangan terasa elegan. Menarik bukan?






Namun, saya pun mengapresiasi salah satu ide nominee yang lain. Yaitu wedangan di dalam Bus. Saya teringat film "Stairway to Heaven" dimana ada adegan kencan menonton film menggunakan properti berkonsep movie box di dalam bus. Kedai wedangan di dalam bus dapat selalu berpindah ke tempat-tempat sesuai pesanan kita, dengan box load pelanggan yang dapat diatur desainnya. Sambil wedangan sambil traveling. Sangat menarik.

Anyway, Thanks to Terasolo who had broadened my mind! ;)



Sabtu, 29 Desember 2012

Silence

Suatu kali aku berpikir dan merumuskan diri. Bahwasannya aku terlalu nggak tega terhadap orang lain adalah karena aku merasa hidupku teramat beruntung, lebih beruntung dibanding yang lain. Oleh karenanya, betapa bersyukurnya aku dengan segala anugerahNya yang teramat besar ini. Mana mungkin aku tega terhadap orang, mana mau aku merepotkan mereka, atau pun membuat sengsara dan tak nyaman dengan keberadaanku. Kuambil diamku sebagai alat tukar, membuat mereka hidup senyaman yang mereka inginkan.

Kamis, 22 November 2012

Fav Couple Pose


Whoaa..  I love this couple pose, so classy!
Someday I'll pick mine. ^^
O God, please send me a "macho man" like the man above to become my husband.
uhyeah!

Senin, 27 Februari 2012

Ditilang Polisi


Tadi pagi pas disuruh Bapak ambil uang di Kospin di kota Klaten, aku kena tilang polisi loh. Ceritanya kan aku nggak tahu tuh tepatnya mana Kospin di Kota Klaten itu, jadi aku nyari-nyari… tengok kanan tengok kiri mana Kospinnya. Pas ketemu, eh ternyata di kanan jalan. Tepatnya harus belok kanan dan nyebrang jalan kecil kanan jalan raya. Pas aku belok kanan dan hendak parkir di Kospin, tiba-tiba ada polisi dengan motor gedhenya nongol gitu aja di depanku. Terkejut deh aku. Ini polisi kaya hantu aja ngagetin, mau apa dia. Aku mau lewat, eh dicegah. Waaahh mau nangkep aku nih kayanya, pikirku. Aku diem aja donk, nggak mau banget berurusan sama polisi soalnya. Tiba-tiba polisinya nyeletuk, “bisa tunjukkan SIM-nya?!”. Trus aku jawab, “saya mau ke Kospin situ Pak, jadi saya belok kanan soalnya Kospinnya di kanan jalan, apa saya salah?”. “Bisa tunjukkan SIM-nya?!” sekali lagi dengan lebih keras dan ganas. Weeee lha! Menyebalkan sekali polisi satu ini. Nasib nasib… bisa apa aku kalau udah gini, mana cewek lagi aku nggak bisa berkelahi. Yaudah apa mau dikata, aku keluarkan SIM-nya. Sambil diambil kasar SIM-ku direbutnya dari tanganku. “ikut saya di pos depan Matahari”. Hhhggh… seenaknya aja. Udah nggak mau jawab pertanyaan, nyuruh-nyuruh juga. Rasanya pengen ngejatuhin itu polisi dari kendaraannya, sayang sekali motorku kalah gedhe, dan aku nggak bisa ngebut juga.

Sesampai di pos polisi, eh ada orang juga yang kena tilang, bernasib sama sepertiku. Apa maunya polisi sini, pikirku. Nilang orang-orang seenak udelnya. Trus aku disuruh nunggu, katanya antre, ada orang yang kena tilang juga. Lah, kaya mau bayar ke kasir aja pake antre segala. Emang posnya udah mirip kasir gitu deh, kecil banget. Tapi nggak ada kalkulator elektriknya. Adanya Cuma laci dan kertas macam bon atau kwitansi. Hahah! Pemandangan yang bikin ngakak.

Setelah orang yang barusan ditilang selesai urusannya aku disuruh masuk. Tapi aku nggak menggubris si polisi yang menyuruhku masuk, aku malah nanyain orang yang barusan ditilang, “Eh masnya disuruh bayar berapa?” tanyaku. “Nggak bayar, aku minta ke pengadilan aja” jawabnya. “Oh.. ya deh, good luck ya mas” haha… polisinya udah jengkel kayanya liat mukaku. Yealah pak polisi yang terhormat, memangnya aku cewek nggak bisa nggak sopan juga? Memangnya Cuma anda yang bisa nggak sopan? Batinku.

Di dalem pos polisi yang super sempit itu aku disuruh mengeluarkan STNK. Daripada kena umpat mending langsung kukeluarkan STNK-nya. Trus si polisi menjelaskan, “harusnya mbaknya nggak belok kanan, tapi ambil jalur kanan lewat jalan kecil kanan sebelah jalan raya setelah lampu merah sebelum tempat tujuan mbaknya. Itu peraturannya. Paham?!” aku Cuma ngangguk aja. Males banget buat mengeluarkan suaraku yang berharga ini untuk didenger si polisi menyebalkan itu. Ngomong-ngomong, darimana aku harus paham, memangnya peraturan di jalan raya ini macem UUD ‘45 yang harus dihapal dan dipahami tiap-tiap warga Indonesia. Dan lagi peraturan yang barusan diomongin si polisi dan memintaku untuk memahaminya itu adalah peraturan yang aneh pula. Masak mau belok kanan aja dilarang. Setauku belokan dibuat ya fungsinya buat jalan kalau mau belok. Mana kutau juga kalau Kospinnya letaknya disitu, aku juga lagi nyari-nyari tauk! Dikira mukaku mirip peta apa ya sehingga aku harus selalu tau persis setiap tempat tujuanku jadi aku bisa ancang-ancang? Ugh! Menyebalkan. Trus aku sedikit protes juga, “Pak, tadi kok yang ditangkep Cuma saya, kan ada banyak orang juga yang belok situ… nggak adil deh”. Si polisi jawab, “lha kan saya liatnya kamu, nggak liat yang laen, jadi nggak perlu protes!”. Eh! Polisinya bisa juga bikin aku Ge Er! Hwakakaka…
Setelah itu ditanya mau bayar atau mau ke pengadilan, karena tadi ada mas-mas yang milih ke pengadilan aku langsung minta sidang di pengadilan aja. Itung-itung buat tau pengadilan itu kaya apa… hahaha seumur-umur belum pernah aku liat dalem pengadilan secara langsung, ya buat jalan-jalan gitu deh… (jalan-jalan kok ke pengadilan yah, kaya ga ada tempat laen aja, mana pengadilan Klaten lagi. Sial bener deh aku :p).

Sembari si polisi menulis surat pengganti STNK-ku yang ditahan aku jadi terbayang kejayaan masa silam, tepatnya 6 tahun lalu. Sewaktu kelas 3 SMP sering dolan sama Novita ke Delanggu ke rumah teman-teman kami tersayang, terutama buat latihan nari dan sekedar nongkrong, gojek, dan mencari bahan ketawaan yang bikin geli kalau diingat. Pernah waktu itu aku, Novita, dan Indru bertiga boncengan “telon” tanpa helm melewati jalan kecil persawahan sepi hendak ke rumah Saridol Ipah di seberang desa. Eeeee lha kok sial banget di area lingkungan desa dan sawah-sawah ketemu sepasang bapak-bapak Polisi yang siap menerkam mangsa! Kami langsung dicegat dan dibawa ke pos polisi Pakis, dan Indru pun dapat jatah mbonceng pak polisi, sementara aku mbonceng Novita. Hahahaa… teringat Indru pasrah diboncengin polisi aja udah bikin aku ngakak banget. Apalagi teringat sewaktu di pos polisi, si novita langsung nelfon ayahnya yang notabene seorang polisi kantoran (bukan polisi jalanan) kalau dirinya ditilang. Langsung deh kedua polisi yang menangkap kami langsung saling melirik, dan berkata lirih “ternyata yang kita tangkep anak polisi…” trus habis itu kami nggak jadi ditilang, cuma dinasehati dan disuruh pergi gitu aja. Bikin aku ngakak berat deh…

Jadi tiap kali ditilang aku terbayang kejadian itu, dimana pada masa lalu tiap kena tilang bareng Novita selalu bisa meloloskan diri dengan selamat tanpa keluar uang sepeser pun gara-gara bapaknya Novita adalah seorang polisi juga. Lolos dari pos polisi dengan muka lega berseri-seri, nggak kaya orang yang hebis keluar dari penjara karena mencuri sesuatu. Hahahaa…

Di pos polisi depan Plasa Matahari Klaten pun aku senyum-senyum geli mengingat kejadian itu. Sampe-sampe suara si polisi yang kelar menulis-nulis pun mengagetkanku “Apa ada yang lucu?!” dengan muka sinis dikira aku menertawakannya, “eh, enggak kok…” jawabku. Ah pak polisi ini, udah menyebalkan, menjengkelkan pula. Sial banget deh si polisi nih..

Jadinya nih ya, tanggal 9 Maret besok aku harus ambil STNK motorku tersayang di pengadilan Klaten. Jauhnyaaa dari Jogja, kan sorenya aku harus kuliah Sistem Penghantaran Obat (ngulang). Hmmm sabar.