Jumat, 23 Maret 2012

Para Guruku


Setiap saya belajar lewat membaca artikel-artikel di media internet, koran, buku, majalah, dan sejenisnya, otak (dan mungkin hati) saya mengelompokkan bacaan saya itu berdasarkan kelas-kelasnya. Saya akui, saya mengagumi  beberapa tokoh yang sangat berperan dalam peningkatan spiritualitas saya. Terlepas dari entah apakah spiritualitas saya sudah meningkat atau belum. Beberapa dari mereka seperti Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, Goenawan Moehamad, dan Gusdur. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi hanya mereka yang mendominasi kepala saya ketika saya menulis ini. Maklum, kemampuan mengingat saya sangat terbatas. Meski begitu, apa yang lebih berharga dari seorang tokoh selain karya-karyanya yang mengisi relung-relung jiwa manusia lain yang membutuhkannya? Tokoh-tokoh itu seperti kereta yang menghantarkan perjalanan seseorang menuju sebuah terminal keabadian.

Ya, mereka yang saya sebut di atas dan yang lainnya telah dan dan sedang menjadi kereta saya. Oleh sebab itu saya sangat mencintai mereka, karena mereka telah begitu ikhlas mengorbankan diri mereka untuk saya dan tentunya untuk orang lain juga selain saya. Sampai mereka dihujat orang-orang yang pendek akalnya, saya tentu sangat sedih. Tidak habis pikir kepada orang-orang yang menghujat tokoh-tokoh yang sangat saya junjung tinggi itu, orang-orang itu tidak berpikir bahwa mereka telah mengorbankan diri mereka demi keluasan sudut pandang cara berpikir manusia, demi kita yang hendak pergi menuju satu tujuan, Tuhan.

Begitu pula dengan mereka yang berjiwa radikal dan keras, saya juga menghargainya. Misalnya saja tokoh NII, saya memahami mengapa mereka ingin mendirikan NII. Meskipun sampai saat ini tidak berhasil. Atau HTI, atau Ikhwanul Muslimin, atau apapun yang lainnya itu.

Semua dari mereka membuat saya belajar untuk selalu memperluas cakrawala saya. Prinsip saya adalah alam saya tidak sesempit visi-visi dan misi-misi organisasi-organisasi itu.

Bukankah hidup memang harus seimbang?

Menghujat tokoh dan menghujat perbedaan adalah upaya merusak keseimbangan. Saya menghargai kritik, namun kritik yang membangun. Saya tidak menyukai perdebatan. Saya menyukai mereka berdiri sendiri-sendiri saling membangunkan, berdiri sendiri sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Tentu saja Gus Dur berbeda dengan Nurcholish Madjid (dengan JIL-nya). Tentu saja Emha Ainun Nadjib (dengan Jamaah Maiyahnya) berbeda dengan Gus Dur  (dengan NU-nya) maupun Kyai-Kyai salafi NU lain. Mereka semua juga berbeda dengan W. S. Rendra yang meluaskan cakrawala jiwa manusia lain lewat syair-syairnya.

Bukankah dunia ini diperjalankan olehNya? Semua dari yang kita lihat di dunia ini akan pula kembali kepada Yang Satu, Sang Empunya keabadian.

Saya sangat berterimakasih kepada Jamaah Maiyah, kepada NU, kepada JIL, kepada kelompok-kelompok radikalis agama dan kepada Scientists. Mereka, tentu saja, telah membangunkan saya, membuat saya berdiri, dan berjalan ke suatu tujuan sesuai nurani saya. Mereka semua adalah kekuatan eksternal saya, selanjutnya, nurani sayalah yang lebih saya ikuti sebagai kekuatan internal jiwa saya. Oleh karenanya, saya lebih banyak diam, karena tidak mampu berbicara panjang lebar yang tidak praktis. Saya tidak bisa mengikuti salah satu dari mereka secara 100%. Itulah kelemahan saya. Saya tidak mampu berbuat banyak dalam membalas kebaikan mereka yang telah secara ikhlas menjadikan dirinya sebagai kereta. Tapi saya sungguh berusaha untuk dapat memberikan apa yang saya punyai saat mereka semua membutuhkan diri saya.

Saya hanya berharap dapat mengamalkan apa yang telah dan sedang mereka ajarkan, lalu membagikannya kepada yang membutuhkan dan mau menerimanya.

Begitulah hidup saya selama ini…

Jenis Sajak Jiwaku


Saya menyukai sajak, sajak yang membuat saya berpikir bebas dan luas tentang maknanya. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu membawa jiwaku menembus ruang dan waktu, meninggalkan dunia fana, mengangkatku ke alam spiritual yang lebih tinggi. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu menembus hatiku tanpa perlu melewati otakku yang tak mampu mencernanya. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu menuntunku menemukan jati diriku. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu membawaku kembali kepada Sang Empuku sesuci aku ketika dihidupkannya berulangkali.
Duhai penyair, Beri aku sajak-sajak itu.

Selasa, 13 Maret 2012

My Femininity


I don’t like to put lotions on my skin, it leaves sticky sensation.
I don’t like to make my face up redundantly, with little complex make up that makes me like wearing a mask.
I don’t like to use a pair of closed shoes, it can’t even let my cell breath.
I don’t like to wear fragile slippers and many kinds of fragile high heels, very inconvenient.
I don’t like to arrange veils complexly, with more than two hooks, like I dress up my dolls.

Now you can conclude one part of my femininity, what kind of woman I am as I appear. :)

Senin, 12 Maret 2012

Maha Guru Bagiku (Lewat NDRA)


Ketika banyak orang berbicara tentang apa yang telah maha guru suguhkan lewat apa yang disebut #NDRA di Twitter. Memuja dan memujinya… mereka begitu mudahnya berkata-kata,mereview, berkomentar ini dan itu, berpuisi, dan suguhan lain tentang apa yang baru saja mereka saksikan, #NDRA dari sang maha guru… dengan berbagai niatan tentunya, ada yang karena ingin memahamkan karena dialog yang tingkat langit itu, ada yang hanya ingin lainnya. Sementara aku… hanya bisa terdiam.

Memang, maha guru sedang menelanjangi dirinya. Tak hanya dirinya, bagiku maha guru sedang pula mengambil resiko untuk menelanjangi segala keadaan dan manusia penghuni bumi ini. Resiko itu, aku merasakannya sendiri… bahwa betapa terdiamnya aku, betapa bisunya aku, setelah kumenyaksikannya. Tanpa bisa berbuat apa-apa yang seharusnya kuperbuat setelah aku menyaksikan #NDRA itu di panggung teater. (Meskipun paling tidak aku masih bisa manulis ini…). Bahkan tidak hanya melalui satu single teater ini, akan tetapi setiap apa yang dipaparkan oleh maha guru di setiap waktu aku mendengarkannya, apa yang kurasa sesungguhnya ia sedang menelanjangi segala sesuatu.

Mungkin memang karena maqamku yang tidak setingkat dengan maqam sang pemilik karya, meski aku berusaha naik namun tetap aku merangkak, atau bahkan hanya jalan di tempat. Solusi yang ditawarkan berdasarkan pesan yang disampaikan, belum bisa kutangkap lewat bagian mana saja dari diriku. Dan masih saja, aku tetap berusaha.

Sesalah-salahnya, jangan-jangan aku menganggap sang pemilik karya bukanlah makhuk bumi, ia bukan makhluk biasa, dan karenanya –meskipun banyak orang yang mengaguminya, banyak orang yang berreseptor ‘kethul’ ketika sang maha guru bercuap-cuap. Ya, mereka beda frekuensi. Mungkin termasuk diriku, namun aku telah mewanti-wanti sesuatu dalam diriku untuk selalu menyegarkan apa yang baru saja diperbincangkan dan disajikan dengan sangat sempurna oleh maha guru. Dengan begitu –seperti apa yang selalu diucapkan oleh maha guru, reseptorku selalu terbuka menerima cahaya, dan menghentikan apa-apa yang membuat hatiku berkarat. Itu harapku.

Namun –seperti apa yang maha guru berulangkali sampaikan, bahwasannya semua ini tidak bisa dipecahkan oleh manusia itu sendiri, selalu ada campur tangan dari langit meski hanya beberapa persen atau banyak persen (tergantung tingkat kebutuhan kita karena Langit selalu akan membantu manusia yang tersesat ini). Begitu pula dengan resiko yang telah diambil oleh maha guru –menelanjangi dirinya, keadaan dan manusia lainnya, semua resiko itu mungkin akan terhapus karena bantuan Langit seiring berjalannya waktu. (Tapi sampai kapankah?) Manusia memang diharuskan sabar untuk sampai pada parameter-Nya.

Akhirnya mungkin suatu saat kita akan menemukan apa-apa yang selama ini kita harapkan, apa yang dipersampaikan dalam #NDRA itu. Dan akhirnya pula, aku akan paham… tidak lagi terdiam dan membisu seperti ini. Suatu saat mungkin aku akan banyak mengoceh lagi tentang hidup yang dianugerahkan oleh-Nya ini. Berkehidupan dengan kualitas yang terbaik yang mampu aku jalankan.

Aamiin..

Rumah Sleman, 120312 20:44.

Selasa, 06 Maret 2012

Inherent Individualism..

...allows you to be your complete self. You can yell amidst a flow of humans (a simpler experiment would be wearing an annoying, orange shirt) on the street and nobody would care enough to judge and talk about you in more than an hour. This behavior welcomes the wildest form of dream and with a little extra hard work, it might actually come true.

Medicament

"Aku berjalan memunggungi dunia Karena ia merebutku, dari diriku. Aku pergi menjauh dari kehidupan Karena ia memisahkanku, dari bayiku.

Sesungguhnya yang kujalani adalah kematian. Sebab dunia tak terjangkau oleh penglihatan. Sebab oleh akalku, kehidupan makin tak terumuskan. Serta di dalam jiwaku, cinta hanya bermakna kehilangan"

dalam Script "Nabi Darurat Rasul Ad Hoc" oleh Emha Ainun Nadjib. 

terlepas dari bagaimana kita sedang menjalani kehidupan ini dengan Apa Adanya, sembari juga kita dapat berpikir dunia ini diciptakan untuk apa? setelah sekian lama kita hidup, kita seharusnyalah tersadar akan peran dunia sebagai ciptaanNya (selain kita, manusia). 
Highlights : -ku dalam merebutku ini siapa atau apa?, serta bayiku itu apa?.
(sama -sama setiap hari kita diharuskan mikir yang berat, mengapa malas untuk memahami dan menemukan jawabannya? ayo temukan!)
clue untuk paragraf kedua : jalan kehidupan sebagai kematian, kematian tentu lebih suci daripada sekedar kehidupan dunia yang ruwet bagi manusia ini, dan cinta ~ikhlas dalam kehilangan.