Jumat, 22 Mei 2009

Embun Sebelum Cahaya

“Miss Niha, coba deh dengar itu”, Miss Lan menunjuk radio kecil di kamarnya. Dan aku mendengarkannya. Sebuah lagu pop yang dinyanyikan salah satu band Indonesia. Memang lagunya unik, tapi syairnya tak dapat kumengerti. “Dengarlah manuver-manuver nadanya…maka kamu akan mengingat sesuatu yang baru saja kamu dengar. Itu mengingatkanku pada desa asramaku di Sukabumi. Pagi disana begitu khas, udaranya… Embunnya…”, Jelas Miss Lan. Dia adalah temanku di asrama Genta Female dulu.

“Bentar, aku baru saja mendengarnya? Kapan?”, tanyaku.

Dia mengernyitkan dahi, “Coba deh kamu ingat tadi pagi, apa kamu mendengar siluet irama seperti lagu itu? Walau tak sama persis setidaknya kan hampir mirip Miss Niha??”.

“Ooooh ya! Aku menemukan irama itu dalam memoriku. Benar Miss Lan. Ada tadi Pagi, barusan. Lagu Marawis yang dibawakan Zaki di pentas teatrikal Shubuh tadi itu tah? Memang… benar-benar mirip. Apalagi bagian intronya. Kira-kira Marawis tadi judulnya apa ya? Sayang bener kalau aku tak tau. Lha lagu yang di radio itu judulnya apa Miss?”, Jelas dan tanyaku begitu nglantur..

“ Yah, kata DJ-nya sih itu lagu barunya Letto. Judulnya ”Sebelum Cahaya”…

Kira-kira begitulah awal kisah aku mengenal lagu “Sebelum Cahaya” –nya Letto. Aku menganggap irama lagu itu adalah transkrip dari irama marawis yang dibawakan oleh Zaki dengan paduan gitar dan rebana sebagai persembahan terakhir baginya untuk teman-teman para penuntut ilmu di Asrama Genta. Karena pagi hari usai acara itu berlangsung, dia langsung bertolak dari Pare ke Surabaya. Karena kontrak belajarnya sudah habis. Jadi… tak adalah kesempatan bagiku untuk menanya kira-kira apa judul marawis itu? Begitu unik dengan pembawaan yang mengagumkan. Petikan gitar dan tabuhan rebananya sangat sempurna. Irama itu masih mengalun-alun lembut di hati, entah sampai berapa hari aku tak ingat.

Dan akhirnya irama lagu Sebelum Cahaya menggantikan irama indah itu sampai aku tak ingat lagi bagaimana. Waktu itu aku tak suka dengan lagu Letto yang satu itu. Karena telah merampas tempat di otakku yang kuperuntukkan untuk lagu marawis perpisahan itu. Apalagi aku tak mengerti sama si Author Sebelum Cahaya. Lagunya begitu rumit. Aku tak mengerti jalan ceritanya. Apalagi setelah melihat videonya. Maksudnya apa? Kupikir agak nggak nyambung. Mana itu “perjalanan sunyi”? Dan siapa yang telah menempuhnya? Kurasa gadis dan laki-laki yang main kejar-kejaran di kebun itu tak menempuhnya.

Tetapi… setelah menjelang dua tahun sekarang, kupikir aku mulai menyukainya. Dan ini gara-gara seorang temanku. Dia mengajakku ke sebuah tempat yang menunjukkan kebebasan memilih, kebebasan bepikir. Tempat dimana waktu itu kita semua yang hadir disitu adalah seorang jiwa dan menjauh dari jasad masing-masing. Disana, aku bertemu sang author lagu-lagu Letto, kudapati semua maksud yang tersembunyi dalam lagu-lagunya. Sebelum Cahaya adalah salah satunya.

Ternyata, lagu itu adalah diperuntukkan bagi Ayahandanya tercinta. Sepenuh hati ia menyusun kata demi kata dalam liriknya. Iramanya adalah irama waktu di kehidupan yang tak semua orang mengalaminya. Ayahandanyalah yang menempuh perjalanan sunyi itu dengan hati yang penuh mimpi. Berharap menemukan Cahaya dalam misbah di kalbu. Ia berharap ayahandanya selalu mengingatnya dalam pencarian Tuhan-Nya, sebagai embun pagi bersahaja… sebagai angin yang berhembus menyejukkan jiwa. Ia ingin ayahandanya kuat dengan adanya. Ia ingin menjadi anugerah yang sebenar-benarnya, dari Tuhan yang selalu ia dan ayahnya rindukan.

Kini aku mengerti apa maksud Sebelum Cahaya itu. Bagi author, Cahaya disitu tidak lain adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Sang author adalah fisikawan dari salah satu universitas di Kanada. Dan paham betul konsep dan seluk beluk cahaya yang ada di alam raya ini. Katanya, cahaya adalah sesuatu yang tak punya massa namun punya energi dengan frekuensi dari rendah hingga tinggi yang bisa bergerak dengan kecepatan yang tak tertandingi. Namun begitu, ini adalah analogi manusia dan para sufi saja. Agar akal kita tidak kelewat batas, seringkali analogi-analogi tersebut diperlukan. Karena bagaimana pun, kita tak akan bisa membandingkan kehidupan dunia dengan akhirat. Karena dunia itu bagai setitik air di samudra yang sangat luas.

Satu hal yang kutanya-tanya telah kudapatkan diperdagangan sepanjang malam itu. Jam 04.00 pagi acara itu selesai. Di tempat parkir, kudapati sepeda motorku basah. Bukan karena hujan, tapi ternyata embun telah menampakkan dirinya. Takjubku tiada usai sepanjang hari itu. Karena baru kali itu ketika aku melihatnya sebelum cahaya ia begitu menyejukkan jiwa. Di sepanjang jalan pulang, jalanan begitu sepi, lengang, dan gelap. Jalan raya Bantul-Jogja seperti karpet hitam besar yang menyambut perjalanan kami para jiwa baru. Rasa-rasanya... Jogja shubuh itu hanya milik aku dan teman-temanku saja.