Senin, 27 Februari 2012

Ditilang Polisi


Tadi pagi pas disuruh Bapak ambil uang di Kospin di kota Klaten, aku kena tilang polisi loh. Ceritanya kan aku nggak tahu tuh tepatnya mana Kospin di Kota Klaten itu, jadi aku nyari-nyari… tengok kanan tengok kiri mana Kospinnya. Pas ketemu, eh ternyata di kanan jalan. Tepatnya harus belok kanan dan nyebrang jalan kecil kanan jalan raya. Pas aku belok kanan dan hendak parkir di Kospin, tiba-tiba ada polisi dengan motor gedhenya nongol gitu aja di depanku. Terkejut deh aku. Ini polisi kaya hantu aja ngagetin, mau apa dia. Aku mau lewat, eh dicegah. Waaahh mau nangkep aku nih kayanya, pikirku. Aku diem aja donk, nggak mau banget berurusan sama polisi soalnya. Tiba-tiba polisinya nyeletuk, “bisa tunjukkan SIM-nya?!”. Trus aku jawab, “saya mau ke Kospin situ Pak, jadi saya belok kanan soalnya Kospinnya di kanan jalan, apa saya salah?”. “Bisa tunjukkan SIM-nya?!” sekali lagi dengan lebih keras dan ganas. Weeee lha! Menyebalkan sekali polisi satu ini. Nasib nasib… bisa apa aku kalau udah gini, mana cewek lagi aku nggak bisa berkelahi. Yaudah apa mau dikata, aku keluarkan SIM-nya. Sambil diambil kasar SIM-ku direbutnya dari tanganku. “ikut saya di pos depan Matahari”. Hhhggh… seenaknya aja. Udah nggak mau jawab pertanyaan, nyuruh-nyuruh juga. Rasanya pengen ngejatuhin itu polisi dari kendaraannya, sayang sekali motorku kalah gedhe, dan aku nggak bisa ngebut juga.

Sesampai di pos polisi, eh ada orang juga yang kena tilang, bernasib sama sepertiku. Apa maunya polisi sini, pikirku. Nilang orang-orang seenak udelnya. Trus aku disuruh nunggu, katanya antre, ada orang yang kena tilang juga. Lah, kaya mau bayar ke kasir aja pake antre segala. Emang posnya udah mirip kasir gitu deh, kecil banget. Tapi nggak ada kalkulator elektriknya. Adanya Cuma laci dan kertas macam bon atau kwitansi. Hahah! Pemandangan yang bikin ngakak.

Setelah orang yang barusan ditilang selesai urusannya aku disuruh masuk. Tapi aku nggak menggubris si polisi yang menyuruhku masuk, aku malah nanyain orang yang barusan ditilang, “Eh masnya disuruh bayar berapa?” tanyaku. “Nggak bayar, aku minta ke pengadilan aja” jawabnya. “Oh.. ya deh, good luck ya mas” haha… polisinya udah jengkel kayanya liat mukaku. Yealah pak polisi yang terhormat, memangnya aku cewek nggak bisa nggak sopan juga? Memangnya Cuma anda yang bisa nggak sopan? Batinku.

Di dalem pos polisi yang super sempit itu aku disuruh mengeluarkan STNK. Daripada kena umpat mending langsung kukeluarkan STNK-nya. Trus si polisi menjelaskan, “harusnya mbaknya nggak belok kanan, tapi ambil jalur kanan lewat jalan kecil kanan sebelah jalan raya setelah lampu merah sebelum tempat tujuan mbaknya. Itu peraturannya. Paham?!” aku Cuma ngangguk aja. Males banget buat mengeluarkan suaraku yang berharga ini untuk didenger si polisi menyebalkan itu. Ngomong-ngomong, darimana aku harus paham, memangnya peraturan di jalan raya ini macem UUD ‘45 yang harus dihapal dan dipahami tiap-tiap warga Indonesia. Dan lagi peraturan yang barusan diomongin si polisi dan memintaku untuk memahaminya itu adalah peraturan yang aneh pula. Masak mau belok kanan aja dilarang. Setauku belokan dibuat ya fungsinya buat jalan kalau mau belok. Mana kutau juga kalau Kospinnya letaknya disitu, aku juga lagi nyari-nyari tauk! Dikira mukaku mirip peta apa ya sehingga aku harus selalu tau persis setiap tempat tujuanku jadi aku bisa ancang-ancang? Ugh! Menyebalkan. Trus aku sedikit protes juga, “Pak, tadi kok yang ditangkep Cuma saya, kan ada banyak orang juga yang belok situ… nggak adil deh”. Si polisi jawab, “lha kan saya liatnya kamu, nggak liat yang laen, jadi nggak perlu protes!”. Eh! Polisinya bisa juga bikin aku Ge Er! Hwakakaka…
Setelah itu ditanya mau bayar atau mau ke pengadilan, karena tadi ada mas-mas yang milih ke pengadilan aku langsung minta sidang di pengadilan aja. Itung-itung buat tau pengadilan itu kaya apa… hahaha seumur-umur belum pernah aku liat dalem pengadilan secara langsung, ya buat jalan-jalan gitu deh… (jalan-jalan kok ke pengadilan yah, kaya ga ada tempat laen aja, mana pengadilan Klaten lagi. Sial bener deh aku :p).

Sembari si polisi menulis surat pengganti STNK-ku yang ditahan aku jadi terbayang kejayaan masa silam, tepatnya 6 tahun lalu. Sewaktu kelas 3 SMP sering dolan sama Novita ke Delanggu ke rumah teman-teman kami tersayang, terutama buat latihan nari dan sekedar nongkrong, gojek, dan mencari bahan ketawaan yang bikin geli kalau diingat. Pernah waktu itu aku, Novita, dan Indru bertiga boncengan “telon” tanpa helm melewati jalan kecil persawahan sepi hendak ke rumah Saridol Ipah di seberang desa. Eeeee lha kok sial banget di area lingkungan desa dan sawah-sawah ketemu sepasang bapak-bapak Polisi yang siap menerkam mangsa! Kami langsung dicegat dan dibawa ke pos polisi Pakis, dan Indru pun dapat jatah mbonceng pak polisi, sementara aku mbonceng Novita. Hahahaa… teringat Indru pasrah diboncengin polisi aja udah bikin aku ngakak banget. Apalagi teringat sewaktu di pos polisi, si novita langsung nelfon ayahnya yang notabene seorang polisi kantoran (bukan polisi jalanan) kalau dirinya ditilang. Langsung deh kedua polisi yang menangkap kami langsung saling melirik, dan berkata lirih “ternyata yang kita tangkep anak polisi…” trus habis itu kami nggak jadi ditilang, cuma dinasehati dan disuruh pergi gitu aja. Bikin aku ngakak berat deh…

Jadi tiap kali ditilang aku terbayang kejadian itu, dimana pada masa lalu tiap kena tilang bareng Novita selalu bisa meloloskan diri dengan selamat tanpa keluar uang sepeser pun gara-gara bapaknya Novita adalah seorang polisi juga. Lolos dari pos polisi dengan muka lega berseri-seri, nggak kaya orang yang hebis keluar dari penjara karena mencuri sesuatu. Hahahaa…

Di pos polisi depan Plasa Matahari Klaten pun aku senyum-senyum geli mengingat kejadian itu. Sampe-sampe suara si polisi yang kelar menulis-nulis pun mengagetkanku “Apa ada yang lucu?!” dengan muka sinis dikira aku menertawakannya, “eh, enggak kok…” jawabku. Ah pak polisi ini, udah menyebalkan, menjengkelkan pula. Sial banget deh si polisi nih..

Jadinya nih ya, tanggal 9 Maret besok aku harus ambil STNK motorku tersayang di pengadilan Klaten. Jauhnyaaa dari Jogja, kan sorenya aku harus kuliah Sistem Penghantaran Obat (ngulang). Hmmm sabar.

Kamis, 16 Februari 2012

Yudhistira di Tepi Danau

Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, empat dari lima bersaudara Pandhawa mati satu demi satu.

Beberapa jam sebelumnya, Yudhistira, sang sulung, meminta adik-adiknya pergi menemukan sumber air. Ia kehausan, demikian juga yang lain. Seorang demi seorang pun berangkat, tapi tak ada yang kembali.

Cemas dan bertanya-tanya dalam hati, Yudhistira pun pergi menyusul, mencari, mengusut jejak. Akhirnya, sekian puluh pal jauhnya dari tempat ia menunggu, di tepi sebuah telaga yang jernih, ia melihat tubuh dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna tergeletak. Tak bernyawa. Lebih ke utara terdapat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa. Kedua pemuda di ujung remaja itu adiknya yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim.

Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran. Apa gerangan yang telah terjadi? Meminum air beracun? Siapa yang menyebar racun: penghuni rimba yang tak kelihatan, atau mata-mata Raja Duryudana dan para Kurawa?

Di tengah pikiran yang gelap dan galau itu, Yudhistira mendengar sebuah suara berat yang tak tampak sumbernya.

“Dengar, Yudhistira”, suara itu berkata. “Keempat ksatria ini, keempat adikmu, satu demi satu mati karena melanggar larangan: mereka telah diberitahu untuk tak meminum air telaga itu. tapi mereka – dengan penuh kepercayaan diri, bahkan angkuh – melawan pantangan itu.”

Siapakah yang bicara? Yaksa yang tak berwujud? Hantu penghuni air yang mengenalnya?

“Katakan saja: aku sukma air telaga ini. Aku tahu keempat adikmu kehausan, aku tahu engkau kehausan, tapi kau sebaiknya tak melakukan hal yang mereka lakukan”.

“Izinkan aku minum”, Yudhistira mencoba menyahut.

“Akan aku izinkan. Tapi kau harus menjawab lebih dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air ini”.

Saat itu saya bayangkan Yudhistira, di balik airmukanya yang tenang, gentar. Ia melihat siang mendadak seperti bagian mimpi buruk. Tiba-tiba saja sebuah perjalanan, sebuah proses, sejak hari mereka berlima masuk hutan karena dibuang, terpotong. Hanya sembilan hari lagi masa pembuangan 13 tahun itu akan berakhir. Tahta Kerajaan Indraprasta akan dikembalikan kepada keluarga Pandawa. Tapi kini apa yang akan terjadi? Hanya dia, Yudhistira, yang tinggal.

Harapan dan perhitungan lama tak berlaku lagi. Jika nanti para Kurawa menolak dan memperdayakannya lagi, bagaimana ia akan melawan mereka? Akan terjadikah perang besar yang sejak 13 tahun lamanya diramalkan itu? Tapi bagaimana dengan dirinya, sebelum perang disiapkan? Bisakah ia lepas dari nasib buruk di tepi danau itu?

Di saat itu ia bisa memilih: ia membiarkan dirinya mati seperti keempat Pandawa lain, atau ia bersedia menjawab pertanyaan Sang Suara Gaib. Tapi ia tak tahu apa yang akan terjadi jika jawabannya salah: akankah ia mati juga? Ataukah ia akan dibiarkan hidup tapi tetap tak bisa meminum air danau?
Dalam Mahabharata dikisahkan, Yudhistira akhirnya memutuskan untuk bersedia menjawab pertanyaan yang akan menghadangnya. Dengan itu ia sebenarnya bagaikan meloncat ke jurang yang gelap di depan.

Syahdan, dalam bagian karya besar ini, ada beberapa pertanyaan yang dimajukan. Tapi di sini saya kutip saja yang terakhir, yang paling menentukan.
Kata suara gaib: “Salah satu dari adikmu akan segera kuhidupkan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudhistira?”

Yudhistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilihan yang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih: “Nakula”.

“Nakula?”, suara itu heran. “Bukan Bhima, saudara kandungmu yang kau sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan gajah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?”

“Bukan”, jawab Yudhistira, kata-katanya semakin mantap. “Sebab yang melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuatan. Pelindung utama adalah dharma. Nakula aku pilih karena aku, yang selamat dan hidup, adalah putra Kunthi. Sudah sepatutnya putra Madrim juga harus ada yang hidup seperti diriku. Itu adil.”

Kata “adil” itu seperti bergetar di seluruh permukaan danau. Mendengar itu, Sang Suara Gaib seakan-akan membisu, dan tak lama kemudian, muncullah Batara Yama di depan Yudhistira. Dewa Maut itu dengan mesra memeluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung Pandhu yang barusan diutarakan. Anugerah pun diturunkan. Keempat jenazah bersaudara itu – tak hanya Nakula — dihidupkan kembali.

Yudhistira: 13 tahun yang lalu ia seorang penjudi yang gagal. Tapi kapan perjudian berakhir? Tadi juga ketika ia memutuskan untuk bersedia menjawab Sang Suara Gaib, ia merasa dirinya ibarat sebuah dadu yang terlontar dan tak bisa menentukan bagaimana ia akan jatuh. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa hidup adalah kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas alasannya. Tak jelas arahnya. Absurd.

Juga di tepi telaga itu. Yudhistira sebenarnya tak tahu, muka mana dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih Nakula, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu, aku gentar, tapi ada sesuatu yang serta merta memperkuatku: perasaan telah memilih laku yang adil.
Di saat itu ia jadi seorang manusia yang mendekati Zarathustra dalam puisi Nietzsche: seorang yang berseru kepada langit, karena langit adalah meja para dewa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Baginya hidup ibarat angkasa yang murni: terlepas dari jaring-jaring akal yang mematoknya dengan “tujuan”, dengan “arah”, akal yang menambatnya ke dalam hubungan kausalitas. Di angkasa yang telanjang murni, yang bergerak adalah ketidak-pastian. Yudhistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, yang membaca Zarahustra dengan baik, sang sulung Pandawa justru bukan “pemain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk gelanggang dengan bersenjata teori probablilitas. Yudhistira tidak.

Saya kira itulah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membingungkan. Ia mau menghadapi lawan judi yang tangguh dan curang, Sengkuni.

Ada memang yang mengatakan, Yudhistira melakukan semua itu karena ia menyukai perjudian, tapi sebenarnya Mahabharata tak begitu jelas di sini. Yang kita ketahui, Yudhistira datang ke meja pertaruhan yang fatal itu – yang kelak jadi benih perang besar keluarga Bharata.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada strategi mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang ditebaknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap lontaran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu jatuh itu adalah kebetulan yang niscaya tak dapat diperhitungkan. Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya.
Yudhistira berani, tapi bukannya tak ada persoalan di sini. Kesediannya menghilangkan diri sebagai subyek, dan menyerah kepada Nasib, ternyata tak membuatnya mampu menyentuh dunia di luar dirinya. Maka lakunya jadi bagian dari kekejian: ia jadikan hartanya, kerajaannya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya isterinya, jadi barang taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan.
Memang ia tampil dengan askesis yang kukuh: sanggup menerima absurditas hidup seraya menghilangkan diri sebagai subyek yang menguasai hal ihwal. Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.

13 tahun kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak, hari itu Yudhistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan Sengkuni. Nasib dan Kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pasif. Ia bukan seonggok otomaton. Ia memilih dengan sepenuh hati: Nakula. Ia korbankan cintanya kepada Bhima dan harapannya kepada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektifitas yang kuat. Tapi saat itu dharma-nya bukanlah aktualisasi “aku yang teguh”, melainkan kesetiaan kepada sesuatu yang tadi tersebut dalam kata, “Itu adil” — sesuatu yang menjadikan dirinya kukuh di momen yang menentukan itu, sesuatu yang membuat rasa hidup yang tak terhingga, dan dengan itu ia ingin dan sanggup memeluk sesama, melalui batas asal-usul. Ada yang ajaib di kejadian itu: ia merasa ada harapan, cinta, dan kesediaan memberi, walau dalam cemas dan ketidak-lengkapan.

Sejak itu, dalam Mahabharata Yudhistira adalah ksatria yang ganjil. Ia naik tahta dan menganggap diri pendosa; begitu banyak manusia dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali ke tangan keluarga Pandhu. Baginya, perilaku para ksatria, kasta para pendekar perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa makanan. Ia tahu posisi raja dan panggilan dharma selalu akan bertentangan—dharma-caryã ca rãjyam nityam eva virudhyate.

Dengan demikian ia memang tak mematuhi aturan kitab suci tentang manusia, kasta dan perannya. Tapi seperti dikatakannya kepada suara gaib di tepi danau itu, (saya kutip dari penceritaan Nyoman S.Pendit), “orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci”.

Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir, 7 September 2009

Rabu, 15 Februari 2012

Pelajaran dari Antareja



Percakapan Antareja dan Resi Antanaga di Kerajaan Saptapratala wilayah Jangkarbumi.

“Paman Antanaga, menurut paman apa yang terjadi sesudah kita mati? Saya tidak tahu paman, apakah kesaktian tanpa tanding yang saya miliki ini sebuah anugerah ataukah sebuah kutukan. Sebagian yang saya bunuh mungkin juga para ksatria yang hanya menjalankan tugas memenuhi perintah rajanya, atau tugas membela negaranya. Tujuh warsa saya kembali ke Jalatunda ini, seakan aura Hyang Antaboga yang ada pada setiap jengkal dinding goa ini memberikan pelajaran kepada saya. Bahwa walaupun membunuh orang yang bersalah sekalipun bukanlah suatu tindakan yang dapat dibenarkan. Ketika semua orang suatu saat nanti pasti mati demi sebuah kebanggaan membela rajanya. Mati menjadi kusuma negaranya… mati di tengah kebanggaan dan kekaguman orang-orang di sekitarnya. Kebanggaan apa kiranya yang ada pada saya saat mati nanti. Ketika tidak ada orang yang mampu mengalahkan saya…”

(Suatu ketika) Antareja kepada Prasojo, sang pengasah pedang perang para prajurit kubu Pandawa.

“Tugas yang kamu emban saat ini adalah tugas mulia, Prasojo. Tak dapat dibayangkan bila seorang prajurit mendapati dirinya ternyata bertempur dengan membawa sebilah pedang yang tumpul. Semua prajurit akan sangat bergantung padamu, Prasojo. Sama sepertimu, saya hanyalah menjalankan tugas hidup di dunia ini atas apa yang saya yakini benar. Apa yang menjadi tugas saya tidaklah lebih mulia dari tugas yang kamu sekarang kerjakan. Kebetulan saya memiliki kekuatan seperti apa yang kamu katakan, tapi itu bukanlah lebih hebat dari kemampuan akan ketrampilan kamu mengasah pedang dengan baik..” Prasojo masih tidak mengerti. “Sesakti-saktinya saya, sebagai bangsa manusia, cepat atau lambat pastilah akan menemui ajal, mungkin besok, mungkin lusa, satu warsa lagi… Seperti juga kamu, dengan kemampuanmu seperti sekarang, tidak berarti kamu akan lebih mudah mati dibanding para ksatria di saat bertarung di medan Baratayudha nanti. Saya pikir tidak ada gunanya kamu berguru kepada saya, justru saya yang berjalan membaur di antara para prajurit di lorong-lorong tenda ini, saya ingin sekali untuk berguru  kepada para prajurit sepertimu, Prasojo…”

Prasojo berkata bahwa dia tidak mengerti.

“begitu banyak hal di dunia ini yang mungkin tidak akan pernah kita mengerti…”


(Terakhir antara Sri Kresna dan Antareja) Sri Kresna yang hendak mengajak Antareja ke Jonggring Saloka untuk menghadap Sang Hyang Guru menanyakan mengapa semua ini terjadi, tiba-tiba ragu. Antareja berkata :

“Bersyukurlah mereka yang dihinggapi rasa ragu, uwa Prabu… keraguan adalah pertanda bahwa hati dan pikiran kita masih berpihak kepada kita. Dan bagi orang-orang yang kuat imannya, keraguan adalah sebuah titik awal dari tumbuhnya sebuah keyakinan.”

Kata-kata Antareja mengingatkan Sri Kresna pada pandangan hidup yang ditempuh Antasena.

“Hamba juga bisa merasakan apa yang uwa Prabu rasakan saat ini. Sebuah perasaan yang saya sebut sebagai titik terendah. Sesuatu dikatakan naik, hanya bila sesuatu tadi berada di bawah. Dan titik terendah diperlukan bagi setiap orang agar dia mampu melihat dirinya sendiri dan memaksanya untuk naik menjadikan sesuatu yang lebih tinggi. Pasang surut seseorang, naik turun kehidupannya terkadang bisa melenakan. Membuatnya untuk berhenti mencari sesuatu yang lebih baik. Di sanalah titik terendah diperlukan, sebuah titik kehidupan yang akan memaksa seseorang untuk memperbaiki dirinya, dan tidak akan pernah berhenti untuk memperbaikinya…”

“Tekad saya sudah bulat, uwa Prabu… biarlah saya yang menjadi titik terendah itu. Biarlah jiwa dan raga saya tertumpah di sini di Kurusetra ini, saat ini, jauh sebelum darah tertumpah di Kurusetra oleh perang. Biarlah jiwa dan pikiran saya larut ke dalam bumi Kurusetra menjadi penyemangat setiap langkah kaki para prajurit Pandawa untuk melawan setiap bentuk keangkaramurkaan. Dan biarlah badan saya hancur menyebar menjadi udara ke seluruh wilayah padang ini, agar setiap hirupan nafas mereka selalu berkobar api kehendak untuk selalu melawan kebathilan”

Kemudian Antareja mencium telapak kakinya sendiri, membuat tubuhnya kemudian hancur dan menyatu dengan tanah. Sementara butiran-butiran debu dari tubuhnya terbang memenuhi udara Kurusetra. Demikianlah jalan takdir yang ditempuhnya.

diadaptasi dari Antareja - Antasena, Jalan Kematian Para Ksatria karya Pitoyo Amrih.

Pelajaran dari Antasena



Resi Hanoman tentang Antasena kepada Sri Kresna di wilayah tertinggi Argoloka, Pertapaan Kendalisada:

"Antasena, walaupun masih bocah kemarin sore, tapi ilmu kemakrifatannya melebihi siapa pun di dunia wayang ini. Dia bisa jadi berada dimana-mana saat ini. Tak perlu paduka repot-repot menjelajah bumi untuk mencarinya, keinginan ikhlas baginda untuk bertemu dengannya dapat membuatnya datang di hadapan baginda. Entah kapan dan dimana, tanpa dinyana… tak perlu paduka repot-repot membunuhnya demi menjauhkannya agar tidak terlibat kancah perang para Barata. Kematian justru jalan yang selalu dirindukannya. Rindu untuk segera bertemu Sang Pencipta, dan rindu akan pengabdian kepada-Nya di kehidupan berikutnya.”

Antasena saat bertemu Sri Kresna di pegunungan sisi utaraNegara Cempalareja:

“Sudah beberapa hari ini jalan saya begitu gerah, perasaan saya begitu resah, dan pikiran saya selalu dipenuhi gundah… ternyata kerinduan uwa Prabu kepada saya yang membuat itu semua. Langkah saya adalah langkah kehidupan. Dari sebuah kelahiran menuju kematian. Dan kematian sebenarnya juga merupakan sebuah kelahiran. Kelahiran pada langkah kehidupan selanjutnya. Perkenankan saya yang rendah menghadap uwa Prabu. Mungkin memang kebetulan kita bertemu di sini. Tapi mungkin juga kita memang dipertemukan di sini… he..he..sebentar uwa, biarkan saya menghabiskan rumput ini dulu, enak sekali ternyata..”

Sri kresna bertanya apa yang akan dilakukan Antasena, Baratayudha sebentar lagi pecah.

“Uwa Prabu.. perang yang akan terjadi hanyalah perang fisik jasad wadag. Baratayudha sebenarnya telah pecah sejak para sesepuh saya Pandawa dan Kurawa dilahirkan. Tidak perlu ada yang saya lakukan, uwa.. setiap orang pasti mati, bisa di tempat tidur, bisa karena perang, bisa di jalan. Saya pikir sungguh bahagia orang-orang yang bisa memilih jalan kematiannya. Semua yang terlibat perang, Pandawa atau Kurawa, bagi saya adalah para syuhada, syuhada bagi diri mereka sendiri, bagi keyakinannnya, atau pun bagi para anak cucu agar dapat belajar dari para leluhurnya… saya mungkin juga adalah seorang syuhada. Syuhada bagi rumput yang saya makan ini. Uwa Baladewa juga mungkin seorang syuhada. Syuhada karena kesabarannya dalam keterpaksaan menunggu."

Sri Kresna kagum dan berkata bahwa ternyata Ilmu Antasena begitu luas, pemikirannya luas. Kebijaksanaannya melebihi kebijaksaan Bangsa Dewa.

“adalah kebijaksanaan Hyang Guru menginginkan saya mati. Karena memang itu mungkin kebaikan bagi semua.”

“Tanaman jagung, dari dulu saya selalu ingin menjadi tanaman jagung. Betapa bahagianya, berjuang hidup untuk sekali berbuah sudah cukup baginya… jangan khawatir, uwa. Saya akan menjadi tanaman jagung di sini. Saya hanya akan berbuah ketika Baratayudha selesai setelah itu layu dan mati, mungkin mencoba kehidupan lain… biarlah saya ikut menjaga uwa Baladewa. Karena bagaimana pun, olah kesaktian uwa Baladewa, pintu gua tidak akan terbuka sebelum saya berbuah..he..he..begitu bahagianya..”

Setelah Antasena merubah dirinya menjadi tanaman jagung, Kresna berlutut dan mencium ujung tanaman jagung itu, berkata sembab “ Antasena, walau kamu adalah keponakan saya, tapi kamu adalah seorang guru bagi saya. Seharusnyalah menjadi guru bagi seluruh umat manusia…”

diadaptasi dari Antareja - Antasena, Jalan Kematian Para Ksatria karya Pitoyo Amrih. 

Kamis, 09 Februari 2012

Hilang

Hampa. Kuambil kaca. Oh ternyata diriku masih ada. Rasanya begitu aneh tidak merasakan kehadiran diri sendiri. Di kaca, bayanganku terlihat cantik, rambut yang kugelung sedikit terurai halus dan aku terlihat sedang tersenyum simpul. Ah ini seperti pose lukisan wanita jawa yang aku lihat kemarin, pose favoritku.

Sembari melihat bayanganku, kuterawang, sebenarnya apa yang sedang kucari dengan tatapan seperti itu di detik ini? Benarkah aku hidup? Hidup itu apa... Bagaimana aku bisa lupa.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Kamis, 02 Februari 2012

New "Journey"

Lokasi : Asrama Haji Pondok Gedhe, Jakarta Timur. Kamar No. 032
Between Nove and I.

Nove : ha..
Aku : ya?
Nove : mau buku nggak?
Aku : buku.. tentang apa? judulnya apa?
Nove : buku ini nggak cocok buatku, kukira bakal lebih cocok buatmu, aku dapet di acara Kick Andy kemaren.  Mau?
Aku : oh dari Kick Andy, mana bisa nggak mau. Tentu saja... tapi bagaimana bisa kamu memberiku cuma-cuma?
Nove : ah ambil aja... Ketemu Senin ya, aku bawain di kampus ntar. I please if you are too...
Niha : Selasa ya, aku senin masih di rumah. Gloriously :) how kind of you~
Nove : Sip!

So people, I got this book! Noveeeee.... Thank you so Much!