Sabtu, 11 Oktober 2014

Hujan dan Sepeda

Hai, kali ini aku memiliki satu quote "Barangkali, ketika kita menikmati sebuah proses, maka kita sedang bersyukur". Semakin logis ketika aku ingat bahwa hidup adalah lakon yang diperjalankanNya. Menikmati proses adalah lambang ikhlas penerimaan kita atas pemberianNya.

.... aku mau cerita juga:

Aku mengerti mengapa orang sini memang butuh minum yang tidak hanya air putih, minuman penghangat tubuh dan menyegarkan. Seperti aku sekarang, aku tak bisa hanya minum air keran seharian. Pasti aku meluangkan waktu untuk menyeduh teh (dan karena hanya itu yang aku punya) yang aku bawa dari Jawa. Teh tubruk Dandang Biru satu pak. Aku merasa bersyukur aku membawa beberapa makanan yang awet berbulan-bulan dan praktis disajikan untuk dibawa sebagai bekal ketika kuliah dari pagi sampai sore. Bukan pula itu adalah makanan berkuah. Maka, tiap makan di kampus, aku selalu memesan sup kuah kental 'vegetarish'. Untuk menyegarkan mulut, tenggorokan, lambung tentu saja, dan menghangatkan badan. Hidup di sini aku selalu gemar makanan berkuah. Bila ada waktu, aku selalu memasak makanan berkuah. Karena udara yang kering. Kau tak hendak mendapati hujan deras, yang ada hanyalah hujan gerimis singkat yang galau dan romantis. Mungkin, para bule ketika melancong ke Nusantara, mereka terkaget-kaget diterjang air yang tersiram dari langit dengan volume besar dan mendadak. Sedangkan aku di sini hanya heran, ketika hujan aku tak pernah sampai basah kuyup, bahkan aku masih bisa bersepeda menikmati titik-titik air yang segera mengering ketika aku sampai lokasi tujuan.

Yang selama ini jadi pertanyaanku ketika di jalan adalah, bagaimana negeri kincir angin ini mengawali budaya bersepeda dan membangun jalur sepeda di setiap ruas jalannya, dengan rapi, teratur dan tertib. Betapa asoi bila di kota-kota di negeriku tercinta bisa menirunya. Jakarta, misalnya. Macet dan polusinya jangan ditanya. Mungkin nomer satu di dunia. Karena selama ini, hanya Jakartalah yang aku dapati kemacetan berkilo-kilo meter. Tanah di Jakarta kan rata-rata datar, untuk bersepeda tentulah asyik, tidak seperti tanah di desa yang kadang berbukit naik turun. Tidak Jogja, karena di daerah selain kota Jogja, tanahnya sudah berbukit naik turun, katakanlah Sleman. Namun begitu aku masih mendapati mahasiswa sederhana yang bersepda dari Jalan Kaliurang KM. 13 sampai kampus UIN SuKa, karena dia tidak memiliki motor. Apa boleh buat. Seharusnya aku meminjamkan motorku yang nganggur di rumah untuk dia.. :(
Jalur sepeda dan jalur pejalan kaki, aku masih membayangkan itu ada di Jakarta. Entah siapa yang bisa menginisiasinya. Satu yang aku tangkap tentang sebab, bahwa semakin banyak manusia, semakin sulit menciptakan tata kelola yang rapi dan terstruktur. Aku sudah mewanti-wanti suami untuk mulai bersepeda ke kantor. Toh cuma dari Cempaka Putih ke Lapangan Banteng, tak lebih jauh dari Vossenveld ke Hayendaalseweg. Tiga puluh menit adalah waktu yang aku perlukan pulang-pergi setiap hari dari apartemen ke kampus dan aku tidak mengeluh sama sekali, karena semua orang beitu, sama seperti aku. Apalagi bersepeda membuat otot perutku lebih kencang dan mengecil yang pada awal di sini agak melar. Apalagi bersepeda membuatku tubuhku hangat melawan udara dingin karena pembakaran kalori.

Itulah, What I love to stay here and about the Dutch.


Nijmegen pukul 23.43

Tidak ada komentar: