Minggu, 30 Agustus 2015

Dinner Pertama di Rumah Baru

Salam dari Nijmegen!

Hello, I am coming back. I have been here for half week already. I got my new house to live for a year ahead and got a new friend of 21 y.o Dutch girl. She is soo talkative and asked me a lot of questions regarding what kind of life that I have.

Habis njelasin berbagai macam sisi kehidupan pribadi sebagai orang Jawa kepada bule Londo di sebuah rumah di area Muntweg. Si bule berujar:

“It’s really interesting, I want more talks with you. We have a very different way of life!”

“What?! You are married to somebody you never kissed him before? Don’t you think he was a stranger for you? If it’s me, I would think so, I’m not gonna married like that way."

(I told her that even some women get married to somebody they never meet or know before. They only get closer by virtual chat then simply get married and live together very well. The Dutch girl then said, "It's really crazy!")

"I'm atheist because everything happens in my life is logical for me, I can find some proof of everything that I wonder about with science. But, please don't get me wrong, I am an open minded person."

"As a Moslem, you wrap your hair with scarf because you think that a hair is sensual for others especially a guy. What do you think about face, then? A woman has beautiful face and might be as sensual as (or even more than) the other parts of body. Why don't you cover your face as well?"

(Hellooo, face is part of the communication media. If I cover it up, how would I talk well to other people? But that is why some Moslems wearing burqah, They just feel that it's necessary to cover their face when they are outside. But for me, that's too much. There's some rules that flexibly fit with the Moslems situation wherever they are. While scarf, or veil, or burqah may become part of culture in certain nation or country, but culture is part of religion in my point of view. Religion shouldn't be an opposite of culture.)

"What if I have thinking, the more a woman cover up their body, the more a man is curious about what's inside the cloth?"

(Ahahah.. that is the other thing of a likely situation. But for me, wearing hijab is more beneficial than not wearing it, at least I feel more secure when I am outside home. Don't forget that it's also a choice. Moreover, I believe that our Al-Qur'an and Hadits are the best guidance book for me. What are stated on those books are the best ways to follow. God has reason in making rules and I think, God is very logical. What seems illogical is something that I don't have any knowledge on it. Our mind is limited.)

"What do you think of other people here that don't have the same way like yours? Let's say, you know, people are hugging and kissing on the street, wearing very short clothes everywhere, and I am gonna invite a guy to watch movie in my room."

(I don't really care what people are doing here as long as they do not interfere with my life here. It's enough for me to just live comfortably here without thinking of how different are the people around me. Everybody is responsible for his own life.)

"I don't have idea why some people discriminate female and male in the way they choose to smoke. I am a feminist, you know. A woman is not as appropriate as a man to smoke, they say. It's unfair to make such judgment. I know that man and woman are different, but they should be equal. I am happy that I live in the Netherlands which enforces Human Rights quite well. The fact that woman can get pregnant, I know that. She can stop it for the sake of her baby. But in medical science, a man who smoke can decrease the level of his fertility."

(I don't know if that's a valid report because I do not see it in my family. My father is great smoker, but he raised 5 children. The definition of Human Right is still disscussable, I think.)

"Hey, I don't like Italian guy. They are exaggerating in expressing love. For me, that is not being gentle nor cool. Haha.."

"Anyway, you are married in very young age. How does it feel? I am going to get married on 29 and give a birth after 30. I think, I don't want to spend the rest of my life with a guy since a very young age like you."

(You forget that the average of life expectancy in every race or nation is different. The average in Indonesia is 71 y.o, while in The Netherlands is 81 y.o. So, 25 y.o is a common age to get married in my country. That is not that young. Well, having miles away distance with my husband makes me feel like single sometimes but I keep some principles to be obeyed by myself. I am glad that I can do that.) 

dan banyak pertanyaan lainnya yang aku lupa~

di Muntweg
pukul 13.30

Selasa, 04 Agustus 2015

Indonesia Bagian Utara

Salam dari Nunukan..

Iya, saya sedang di Nunukan, pulau kecil di pucuk utara Kalimantan yang menjadi pulau dengan kegiatan administratif dan roda perekonomian paling sibuk maupun berpenduduk paling banyak di kabupaten Nunukan yang merupakan kabupaten perbatasan dengan Sabah Malaysia. Pulau Nunukan memiliki tetangga pulau Sebatik dimana sepulau kecil bernegara Indonesia dan Malaysia sekaligus. Entahlah dulu bagaimana sejarahnya kok bisa begitu, kenapa pulau sekecil itu bisa terbagi menjadi 2 negara. Haha..

Karena Nunukan adalah sebuah border dan pulaunya memiliki kegiatan ekonomi paling sibuk daripada semua kecamatan di pulau lain, maka di pulau ini dibangun kantor-kantor yang memiliki akses langsung dengan ibukota negara Indonesia. Suami saya ditugaskan di pulau ini untuk bekerja di kantor perwakilan perbendaharaan negara yang konon kerjaannya mencairkan APBN (atau APBD ya?) di daerah. Saya pernah bertanya, kenapa di pulau yang sungguh terpencil ini, yang bahkan di peta Indonesia  atau peta dunia nggak kelihatan batangnya pun ada kantor macam perbendaharaan negara segala? Suami saya bilang, supaya pemerintah pusat terlihat masih peduli pada daerah perbatasan yang terpencil, yang notabene merupakan border dengan Sabah Malaysia. Eh, atau mungkin emang peduli sih karena kabarnya di pulau Sebatik dan perairan sekitar memiliki pegawai bea cukai yang ditugaskan di sana. Kata kawan di sini, di suatu area bawah tanah pulau ini terdapat timbunan emas pula. Di pulau ini juga memiliki kantor cabang penarikan pajak negara (*nggak mau sebut merk*), cuma cabang doank, kantor utamanya di Tarakan sono, bukan di pulau kecil ini. Tarakan juga termasuk Kaltara tapi lebih accessible dengan “dunia luar” karena memiliki rute direct flight dengan Jakarta dan Balikpapan meskipun jarang-jarang. Haha..
Saya sendiri tahu ada daerah di Indonesia bernama Nunukan setelah calon suami saya waktu itu bilang kalau dia memperoleh SK kerja di Nunukan. Kalah tahu sama Bapak saya yang tak paham internet, beliau tahu Nunukan karena terkenal bersama kata perbatasan di Kalimantan bagian utara.

Saya tak terlalu terkejut sewaktu mendapat kabar calon suami saya ditugaskan di pulau kecil ini, karena saya pikir dia tidak akan selamanya bertugas di sini dan lagi pula saya juga berencana untuk melanjutkan S2 di Belanda. Jadi, saat dia kerja di Nunukan, saat itulah saya di Belanda. Selain itu dulu saya pikir, merantau ke luar pulau sesaat itu bagus karena dapat menambah pengalaman hidup bagaimana rasanya merantau jauh ke ujung negara, ujung benua, ujung dunia. Namun takdir berkata sedikit lain, bahwa calon suami saya belum jadi merantau ke luar Jawa secepatnya waktu itu karena tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan di ibukota. Alias, suami saya ditangguhkan di Jakarta selama 2 tahun untuk membuat sistem akuntansi pelaporan keuangan di kantor perbendaharaan pusat bagi semua satuan kerja pemerintahan di seluruh Indonesia. Sepertinya bukan pekerjaan yang santai, karena suami saya sering kerja lembur dan tak pernah ambil cuti yang membuatnya jadi terkesan workaholic  bagi saya. Bahkan seusai pernikahan dengan saya, dia tidak ambil cuti dan langsung bertugas ke Malang selama 4 hari meninggalkan saya, sampai sehari sebelum keberangkatan saya ke Belanda baru ambil libur sehari. Ohkay.. I think that’s enough. Suami saya kembali sibuk lagi selama setahun saya di Belanda sehingga jarang ada waktu untuk melakukan video call. Ah, untung masih ada Whatsapp.. meskipun balesnya telat-telat seenggaknya masih berhubungan satu sama lain walau terpisahkan jarak bermil-mil jauhnya. Liburan musim panas saya memutuskan untuk balik ke Indonesia sekalian merayakan idul fitri  bersama keluarga besar dan bertemu sanak saudara lain. Sudah sejak beberapa bulan sebelum arrival saya di Indonesia, suami saya memberitahu kalau bulan Juli adalah batas waktunya untuk mulai  bekerja di Nunukan sesuai SK dari bagian kepegawaian 2 tahun lalu. Saya sih biasa saja, toh merantau adalah kehidupanku selama 2 tahun ini, umur juga masih 24/25, jadi mau kemana pun ayok aja. Masih ada waktu 2 minggu di kampung halaman sebelum touchdown tempat kerja barunya suami. Kami pun menghabiskan waktu tersebut untuk menikmati nyamannya hidup di kampung halaman yang dekat dengan ayah ibu kami. Ngobrol sana sini, bersepeda ke gunung, pergi ke pasar, memasak bareng ibuk, nostalgia ke Klaten, Jogja, dan Solo.

Aku tinggal di daerah Nunukan Timur dan termasuk dataran tinggi relative terhadap dataran lainnya meskipun dekat laut. Aneh memang. Kabarnya sinar UV di sini memiliki level cukup tinggi, sehingga orang-orang daerah sini memiliki kulit coklat kehitaman. Perantau berkulit kekuningan di sini pun kulitnya akan cepat menghitam kalau tidak memakai tabir surya. Gara-gara pernah hidup di Belanda, sampai Indonesia saya berkulit lumayan kuning.. haha. Di Indonesia aku jadi gemar ber-sunscreen ria karena ternyata pigmen kulit saya sangat aktif. Sebelum ke Belanda aku orang yang masa bodoh sama warna kulit pribadi, jarang memakai pemutih atau sunscreen karena tidak suka mempunyai kulit lengket-lengket akibat lotion apa pun, mengingat di negeri tropis ini sangat lembab dan kebanyakan produk kecantikan bikin kulit makin lembab dan berminyak.

Entah kenapa di Nunukan ini aku gemar tidur siang (*nasib kerjaan tesis terhambat!*). Kalo nggak tidur rasanya capek banget, lalu malam harinya tidur cepet, habis isya’ langsung nggak kuat melek. Ohya, di sini masuk ke WITA, namun waktu sholatnya tidak seperti WIB walaupun seharusnya menurutku lumayan masuk ke WIB. Karena, pukul 4.45 pagi baru shubuh, pukul 12.30 baru dzuhur, pukul 3.30 baru asar, pukul 6.30 sore baru maghrib, dan 7.30 sore baru isya’. Waktu sholat memang nggak bisa bohong, karena relative terhadap waktu siang dan malam, meskipun standar jam relative terhadap waktu GMT. Cuaca di sini sangat tidak bisa terprediksi. Dalam satu hari bisa hujan deras 2 kali dan panas terik menyengat sekaligus, setiap hari, meskipun di bumi Jawa sedang dilanda musim kering. Saat matahari bersinar terang-terangnya, tiba-tiba gumpalan awan hujan datang meliputi seluas langit terpandang lalu hujan deras berjam-jam, lalu panas lagi. Yang membuatku terpesona adalah langit di sini terlihat sangat biru dan lebih luas daripada di Jawa, awan terlihat putih jelas, kalau malam bintang dan bulan terlihat lebih besar dan terang, terkadang kelihatan pula bintang-bintang jatuh, kalaupun sedang mendung maka awan akan terlihat membayang-bayang.

Dengan cuaca yang sering hujan, aku heran mengapa orang-orang di sini tidak menanam padi. Harga beras mahal lho, beras dari Jawa rata-rata 5 kilo seharga 65ribu rupiah. Banyak sekali merk beras yang dijual di toko kelontong, campuran produk Malaysia, Indonesia Jawa, dan Thailand. Kalau kata suami karena masyarakat sini banyak sekali orang Bugis yang tidak suka bercocok tanam, melainkan suka berdagang. Setelah mempertimbangkan untung rugi, menanam padi bukanlah pekerjaan strategis yang dapat menghasilkan uang banyak (mungkin). Berbeda dengan orang Jawa yang gemar bercocok tanam meskipun uang yang dihasilkan tidak seberapa. Ah, jadi teringat almarhum Mbah Munir yang dulu hidup di desa mBabad Trucuk, hidupnya sederhana bersama Mbah Ummi Kultsum sampai tua dengan kelima anaknya, bekerja hanya mengandalkan cocok tanam, menanam padi dan segala sayuran di ladang, makan juga dari hasil panen sendiri.

Selain beras, mari membicarakan sayuran. Masyarakat di sini lumayan gemar menanam sayuran, terutama masyarakat asli Nunukan dan pendatang dari Jawa. Namun sayuran dan buah yang ditanam hanya terbatas pada kangkung, bayam, daun singkong, cabe, daun menir, papaya, pisang, durian, semangka, rambutan, mangga, buah naga dan entahlah yang lain, saya belum sempat mengekplorasi lagi.. mungkin bayam juga termasuk salah satunya. Namun lagi, para pedagang sayuran menjual sayuran dengan harga serba “lima ribu dapat dua” contohya bayam dan gambas, serba “lima ribu dapat tiga” contohnya tahu, tempe dan telur, “lima ribu dapat satu” contohnya wortel (itu pun wortel yang sudah tidak segar lagi). Sebagai pendatang anyaran dari Jawa, tentu saya rada syiok dengan harga para kebutuhan pokok tersebut. Kelihatannya, untuk perantau seperti saya yang juga sudah sampai Eropa, memang harus tidak mematok standar suatu harga bila ingin hidup berkecukupan gizi terlepas dari seberapa besar pendapatan per-bulan. Di kompleks rumah yang saya tinggali terdapat kebun belakang yang ditanami sayuran seperti kangkung, terong, pandan, papaya, dan jeruk purut. Lalu ada pula pohon belimbing dan pohon mangga di depan rumah. Ya mungkin memang itu solusinya dalam menghemat pengeluaran makan yang harga bahan mentahnya cukup mahal, bercocok tanam sendiri! Kasian sekali penduduk di sini, harus membayar mahal untuk makan makanan bergizi dan beraneka ragam. Segala bahan kebutuhan banyak didatangkan dari pulau lain dan harus diangkut dengan kapal. Terutama untuk sayuran dan buah yang hanya bisa ditanam di pegunungan karena di sini bukan daerah pegunungan yang sejuk. Mau nyari brokoli dan kecambah pun juga susah, padahal kan itu sayuran kece badai dilihat dari segi nutrisinya, udah terbiasa makan itu pula aku. Owh.. jadi PR buat para agro-scientists donk, gimana membuat sayuran dan buah tropis yang bisa lebih tahan lama agar dapat didistribusikan merata ke seluruh Indonesia tanpa khawatir cepat busuk, kalau perlu ke seluruh dunia. Mereka para ilmuwan itu pada dimana sik.. kok PR kayak gini nggak kelar-kelar. Eropa aja udah khatam. Ada banyak temen kuliah di Wageningen Uniersity sama Cornell University belajar agro-teknologi, cepetan pulang woy! Ada PR gedhe menyangkut hajat hidup orang banyak nih.

Air. Di Nunukan, baru awal tahun ini diadakan pengadaan PAM (perusahaan air minum). Air sumur jarang-jarang karena katanya airnya tidak bersih, kuning kotor seperti berkarat. Sebelum ada PAM, masyarakat mengandalkan air hujan untuk mandi. Atau kalau tidak ada air hujan, mereka mandi pakai air suling yang dibeli pake gallon, satu gallon berharga 6 ribu. Air gallon tersebut juga dipakai untuk sumber air minum sampai sekarang.. rasanya? Jauh nggak enak dari air dari mata air di Cokro Tulung Klaten sono. Namun daripada nggak minum toh, dienak-enakin sendiri deh di mulut. Tapi ngomong-ngomong aku mendapati air bening lho, di sungai daerah hutan Binusan sana airnya bening asalkan tidak tercampur lumpur kecoklatan. Di sini pasirnya berupa lumpur coklat, tidak memiliki gunung sih.. Tak punya pasir hitam atau pasir putih, jadi airnya terlihat seperti air Milo. Padahal, sesungguhnya bening. Hmmh… aku masih juga tak paham tentang ilmu perairan. Mengapa di tanah dekat laut gini, yang tiap hari hujan gini, yang airnya tumpah-tumpah dan mbleber di laut gini, mau minum dan mandi dengan benar dan nyaman aja sulit. Haha.. ya, manusia hidup memang tidak bisa sekonyong-konyong tinggal hidup aja. Kita masih perlu teknologi dan budaya, coy. Manusia sekarang memiliki standar berbeda dari manusia jaman dulu untuk hidup. Jangan berhenti belajar, berpikir, dan berinovasi!

Demikian reportase kehidupan di pulau Nunukan dari saya selama seminggu pertama tinggal di sini. Tulisan ini akan berlanjut jikalau ada hal lain yang saya temukan dan menarik untuk ditulis di sini, dan yang terpenting yaitu jikalau saya tidak sedang malas menulis. Maafkan untuk mood yang sering berubah ini.


Cheers!

Sabtu, 01 Agustus 2015