Tampilkan postingan dengan label Kisah Klasik Untuk Masa Depan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Klasik Untuk Masa Depan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Maret 2016

A Wedding Wish


My two dear friends, congratulations!

I cannot stop smiling today, especially when I look at this photo wedding where you both, two special people, are the bride and the groom there. I am so happy to see you in the aisle and get married. Finally.

It's been a while since the first time you both were becoming close to each other, and I was there to witness all the sudden connections between you two.
You both are my best friend, we were in the same boat. The bride was my colleague, we were in the same class everyday, go for shopping, cooking, traveling, and many things together. The groom was also my senior colleague, we were ally in some ways.

Now, it comes to the happiest moment when you both are united. It is very very good news for me, and I am happy because you are happy today. I hope the love and peace between you are the timeless things to bring through the happiness and sadness in your new journey ahead.

Blessings to mas Hilal and Pita. Aamin.

Warm greetings from Nijmegen,
-NK-

Jumat, 04 September 2015

Unraveling My Past Deal

#np Bila Aku Jatuh Cinta ~ Nidji

Melewati dinginnya mimpi~
...dingin..di pegunungan Lawu...
Waktu itu ketika ada rasa sedikit aneh hinggap, ketika auramu tiba-tiba berbeda dari yang lainnya. Kamu datang tanpa aku memintanya.
"Kenapa?" Tanyamu.
"Dingin."
"Nih sarung tangan, pakai aja dulu."
...
"Hey, aku pakai ya sarung tanganmu yang hangat ini, aku ga mau balikin pokoknya soalnya aku nggak bawa."
...
"Nggak. Kembaliin! Aku perlu sarung tangan juga."

Ah, aku yang waktu itu, ternyata pernah sedikit mengharapkanmu, sambil malu-malu, sambil tidak mempedulikan itu rasa tentang apa karena aku berpikir kamu pribadi yang nyaman, itu saja. Aku bahkan tidak memprogram chemistry macam itu. Tiba-tiba datang, tiba-tiba ada tanpa permisi, dan aku tak tahu mengapa begitu kejadiannya. Aku tertolak olehmu, kali itu, maka aku menjaga jarak dengamu, sampai segitu saja, dalam waktu sangat lama.

"Kakimu kenapa?" Kulihat kamu melepas sandal gunung dan kakimu yang merah memar-memar setelah pendakian pun terlihat jelas.
"Bukan urusanmu." Jawabmu tak peduli. Aku balik arah namun aku tak peduli pada ketidakpedulianmu. Maka aku pun sesekali melihatimu dalam jarak saja.

Esoknya tiba-tiba aku mengirimimu pesan, pesan pertama yang kukirim padamu seumur-umur. Aku tak paham juga mengapa kamu yang kupilih untuk kutanya tentang pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru hari itu. Aku ijin sekolah karena kakekku meninggal dunia. Padahal semua orang tahu bahwa kamu pemalas, tapi masih saja aku percaya kamu bukanlah pemalas. Sebuah PR, menurut hematku pastilah kamu orang yang mengerjakan PR, karena bagiku kamu murid pintar.

Aku benar-benar tak punya ide apa yang ada dalam benakmu dan aku nggak mau memikirkannya. Aku ingin sedikit lebih mengetahuimu. Itu saja.

#np Hapus Aku - Nidji

"Ngapain kamu di sini?"
"Tentu saja beli makan." Jawabku. Waktu itu rambutku masih berbentuk seperti lonceng sebahu. Kamu pun tanpa seijinku, mendaratkan tangan di hidungku dan memitasnya keras sekali. Aku pun buru-buru balik muka menyembunyikan mukaku yang memerah. Agar kamu tak tahu sedikit pun tentang chemistry yang telah lama kusembunyikan darimu.

"Halo, gimana Pare?"
"Hai.. Libur masih lama ya. Gimana Bali?"
Di tengah konser entah Peterpan entah Nidji di Trikoyo yang ramai, kamu meneleponku dengan suara tak kedengeran saat liburan, untuk melepaskan kegalauan masalah cinta yang menderamu. Aku senang bisa sedikit membuatmu lega, itu saja. Di kemudian hari seseorang memberitahuku bahwa kamu baru saja putus cinta, aku pun sedikit menyayangkannya karena aku mengidolakan cara kamu menyukai seorang perempuan. Kalau kamu putus cinta, aku tak bisa melihatmu menjadi pria romantis. Kamu yang cuek padaku, bisa romantis begitu, aku menikmatinya waktu itu.

Ah iya, aku melihatmu di kejauhan bagaimana kamu menyayangi seseorang. Bagiku kamu romantis. Namun aku masih dalam ketidakpedulianku dan membiarkan semuanya terjadi apa adanya.

Sampai setahun kemudian aku masih menyimpan chemistry itu. Kulihat sekilas kamu jalan dengan kawan-kawan ke masjid untuk mendengarkan tausiah pre-UAN. Hilang-muncul-hilang-muncul di antara kerumunan. Kulihat kamu duduk bersandar di tiang masjid dengan sweater tipis coklat bergaris horizontal menutupi seragam sekolah. Kenapa kamu sangat mempesona? Kurang lebih begitulah pikirku.

Di perpisahan sekolah setelah kelulusan aku tidak sedih berpisah denganmu. Meskipun aku merindukan sosokmu setelah itu. Ternyata aku bukan perempuan yang mau berkata apa adanya. Aku masih menyimpan dan menyembunyikan chemistry itu. Aku optimis bahwa nanti akan mendapat sosok penggantimu di Jogja nanti, itu saja.

Di awal tahun perkuliahan, kamu di Jakarta, aku di Jogja. Kita sibuk dengan kehidupan masing-masing tanpa pernah mengirim pesan lagi. Aku menemukanmu di Facebook, lalu ingat kamu lagi. Ah anak ini, gimana kabarnya ya? Tanyaku dalam hati. Namun kamu masih dalam ketidakpedulianmu juga. Aku pun meninggalkanmu lagi begitu saja dalam memori, aku sibuk bermain dan berhubungan dengan para kolega baruku.

Di saat aku hampir menemukan sosok penggantimu, kamu datang, dengan kedekatan seperti sebelum kita berpisah dulu. Aneh. Kenapa kamu seperti itu? Kenapa kamu tidak melupakan bagaimana kamu bersikap di depanku? Kamu bertingkah seolah kita belum pernah berjarak setelah kelulusan dulu. Ah, kamu sungguh membingungkan.

Aku pun masih menjaga jarak denganmu ketika kamu datang, sejauh jarak yang pernah kuatur sejak pertama kamu menolakku dulu. Namun tak bisa kupungkiri bahwa kamu masih senyaman dulu, bahkan lebih nyaman dan hangat. Memori dan chemistry itu datang lagi. Setiap kali di dekatmu, aku mampu menenggelamkan segala chemistry yang lain.

Tiba-tiba saja kamu mengutarakan bahwa suatu saat kamu ingin hidup denganku dan kamu bertanya apakah aku bersedia. Anehnya aku tidak kaget dengan pertanyaanmu, tanpa berpikir panjang aku menjawab "mengapa tidak". Entah apa yang membiusku. Mungkin karena sudah cukup lama aku menunggumu. Kamu pria yang nyaman, pintar, dan romantis. Aku tak menemukan alasan untuk membuang chemistry itu selain memang aku tak bisa.

Sejak saat itu kita mengukir mimpi-mimpi baru kita bersama. Kehidupanku berjalan menyenangkan ketika bersamamu. Sampai sekarang, sampai detik ini, chemistry itu tetap terjaga, sedikit lebih kuat dan dinamis dari sebelum kita bersama. Aku bahagia dan merasa cukup ketika bersamamu, dan belum ada yang lebih membahagiakan dari itu selama ini.

Terimakasih telah datang kepadaku. Terimakasih telah menjelma menjadi pangeran seperti dalam impianku selama ini. Kamu lebih indah dari bayanganku sebelumnya.

Sabtu, 30 Mei 2015

Memori with The Big Brother

Aku bertemu dengannya sewaktu kuliah farmakognosi semester 2, dia mengulang mata kuliah itu karena tidak lulus padahal sudah semester 8. Suaranya khas nggemprag-nggemprang di dalam kelas, kami segrup-diskusi membahas suatu alkaloid. Dia memberitahuku waktu itu dia sangat sibuk, harus mengulang banyak mata kuliah karena IPK-nya belum sampai tiga koma, padahal mau lulus.

Aku bertemu lagi dengannya di laboratorium kimia organik dimana dia menjadi kepala asisten laboratorium tersebut dan kami anak-anak semester 2 menjalani praktikum kimia organik. Terlihat dia lari-lari dari lantai atas, ternyata dia juga sedang nge-lab mengerjakan proyek skripsinya di laboratorium penelitian unit 4. Dia memberitahu kami bahwa hari itu dia nggak mandi, sengaja, karena di laboratorium penelitian dia memakai anisaldehid yang wangi sebagai "starting molecule" sintesis obatnya, yang bau wanginya semerbak memenuhi ruangan sampai ke baju dan jas lab-nya.

Sewaktu mengasisteni kami, dia yang membawakan dan memasangkan semua alat sintesisnya, membagikan soal pretes-postes dan menilainya sekaligus. Dia terlihat sangat ahli dalam memecahkan masalah sintesis organik, sintesis obat.
Ketika kami bertanya tentang reaksi organik dan dia mengajari kami, kami semua mengerumuninya mendengarkan jawaban dan coret-coretannya di kertas. Tak sampai beberapa menit, reaksi yang bagi kami susah, bagi dia selalu bisa dia jawab tak lebih dari beberapa detik, selalu tahu bentuk molekul akhirnya seperti apa, tahu katalisatornya apa, basanya atau asamnya nyerang atau nempel gugus mana.

"Halo, mas Napi ya? need help nih, 2 minggu lagi ujian akhir kimia organik, mau tanya-tanya mas."
"Ini jam berapa woy, lapar, mau nyari makan siang dulu. Kalo mau sini diskusi di depan bank Mandiri, ada es buah dan bakso Pak Kumis, mak nyus".
"Traktir? Asik...! Uangmu banyak pa mas?"
"Iya donk, kan aku kerja, jadi guru les anak-anak SMA Bopkri."
"Wah keren."
"Nanti kalo aku udah pensiun jadi guru les, muridku aku kasih kamu, nanti kamu kerja kayak aku, lumayan lho dapat tambahan uang saku, hihi.."

Sejak saat itu, es buah Pak Kumis depan bank Mandiri selalu jadi langgananku sampai terakhir kali aku di jogja. Jadilah aku guru les Matematika dan Kimia anak SMA Bopkri setelah dia meninggalkan dunia kampus untuk melancong ke Industri Farmasi ternama di Indonesia. Jadilah aku mendapat nilai A di mata kuliah dan praktikum Kimia Organik, jadilah Kimia Organik sangat gampang bagiku, jadilah itu mata kuliah favoritku, jadilah itu tema skripsiku.

Suatu siang, aku jalan menuju unit III hendak praktikum Sediaan Padat, terlihat sebuah kertas HVS bergambar The Young Napi when he was in OSPEK tertempel di pintu kaca gedung. "HADIRILAH SIDANG SKRIPSI TERBUKA ORATOR ULUNG KITA: NAPI. JUDUL: SINTESIS bla bla bla...". Dalam hati, "Wuah, the big brother will have a thesis defence! I'm sure he will pass with very high score."

"Mas, aku lagi stuck, sintesisku nggak jalan, dosenku nambahin analisa pakai kimia komputasi, pusiiing.."
"Kasih workflow-mu ke aku, nanti aku koreksi, cepetaaaan."
Dia pun memberi workflow alternatif untuk sintesis obat dalam skripsiku.
"Docking-nya gimana.. hiks."
"Tenang, ada temenku yang ahli di bidang itu, dia pasti bisa bantu kamu."
"Lewat FB, aku dikenalkan dengan temannya berinisial Mas Dep."
Sejak saat itu, skripsi berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Sampai sekarang pula aku masih menyimpan hard cover skripsi 50 halamannya di dalam lemari kecilku di Yogyakarta, yang waktu itu kupinjam sebagai bahan bacaan waktu mau sidang.

"Halo, Mas Napi? Need help mas, minggu depan mau ujian kompre apoteker, kamu kan apoteker canggih, supervisor produksi di mana-mana. Ajariiin..."
"Wani piro?"
"Piro-piro wis.."
"Healah ucrit ket mbyen ra berubah, ra ana mas-mbak liyane?"
"Ora, nek karo kowe aku gampang paham, cepetan toh, need help."
Datanglah mas Napi suatu pekan dari Salatiga tempat dia bekerja di perusahaan modal asing ternama, mengajariku tentang sistem produksi, PPIC, quality control, quality assurance industri farmasi. Dia juga yang memberiku clue orang-orang industri yang sering jadi penguji ujian komprehensif apoteker di Farmasi UGM, macam orangnya, soal-soalnya, dll. "Don't be nervous, they will like you, little cherry. You've been so good so far." katanya menenangkanku yang nervous mau ujian. Atas bimbingannya, aku mendapat nilai A di semua subyek ujian komprehensif tersebut. "Let's celebrate the day in Rumah Pohon, dude".

"Mas, kamu kenapa resign dari Ka*be? Padahal orangorang di sana menyukaimu, kamu potensial jadi manager pula"
"I don't like the city, too crowded, not suitable for human being. I don't think I wuld spend the rest of my life in such city. Let's see Salatiga, it's just heaven, really heaven. Nggak pernah macet, nggak pernah banjir, nggak pernah gempa, desanya tenang, penduduknya aman damai sejahtera. Aku bahkan sudah beli tanah luas di Salatiga, I'm in love with the city. Tinggal bangun rumahnya, sekarang sedang proses, kapan-kapan mampirlah ke gubukku."

"Halo, Crit. Kamu di Semarang kan? minggu ini pulkam nggak? Katanya mau mampir Salatiga kapan-kapan, taktageh lho! Ayo pulang bareng."
"Nggak bisa minggu ini mas, aku ngurus beasiswa."
"Beasiswa, for what?"
Akhirnya belum pernah aku menyambangi Mas Napi di Salatiga, sampai sekarang.

Suatu waktu di warung soto.
"Mas, aku mau ke Belanda nih."
"Ngapain? mau nyari apa di sana?"
"Nyari pengalaman."
"Are you mad?"
"Totally mad."
"What's wrong with you? or Indonesia? so you want to leave your life here?"
"Nothing is wrong, I think it's awesome to go abroad."
"Kamu nggak mikir calon suami? Sejak pacaran LDR, lulus kuliah LDR, habis nikah jangan-jangan LDR juga. Niatmu apa? Kalo aku jadi dia, udah aku tinggal kamu."
"Makanya aku nggak nikah sama kamu, nikahnya sama yang mau aku tinggal, hihi.. becanda."
"Kamu benar-benar keterlaluan mengejar passion."
"Ini salahmu, tau."
"Maksudnyah? Ucrit, kamu ada-ada saja."

"Halo, mas Napi? Mas aku mau nikah."
"Are you mad?"
"Pretty much. Minta kadooo..."
"Mau kado apaan?"
"Whatever is good. Would you like to come to my wedding?"
"I already have appointment, sorry to say."
Saya pun sedih.

--------------------------------------------------------------------
Today is Mas Napi's wedding day.
Selamat menikah mas Napi, semoga bisa menjadi imam yang baik untuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, langgeng cintanya sama istri, dan cepat diberi momongan. :) Ngomong-ngomong, tanggal pernikahan kita selisih sehari lho. Kemarin ulang tahun pernikahanku yang pertama dengan suami, namun tak ada perayaan apa-apa, tak ada kata apa-apa, hanya berjalan layaknya hari biasa. Terimakasih sudah menjadi kakak akademis, kakak dolan, dan penasehat yang baik dalam segala hal di kehidupan saya semasa kuliah S1 dan Apoteker dulu. Darimu saya belajar banyak hal, tentang logika dan kesederhanaan hidup. Pertemuan denganmu adalah salah satu alasan aku berangkat ke Belanda, darimu aku mengenal kakak-kakak akademis lain yang secara tak langsung menuntun jalanku sampai sini. Mungkin kamu tak sadar akan hal itu, sekarang aku memberitahumu. Tak banyak yang bisa aku perbuat untuk membalas semua kebaikanmu. Namun, aku akan tetap menyimpan memorinya dengan rapi. Terimakasih, selamat berbahagia dan menempuh hidup baru.

- your little cherry - 
Vossendijk, 30 May 2015
--------------------------------------------------------------------

Rabu, 17 Desember 2014

1st Culture Shock

Awal tinggal di Eropa aku nggak peduli kalau aku minoritas. Hidupku masih berjalan normal seperti aku tinggal di Indonesia, asal aku masih bisa mengurus diriku sendiri. Begitulah pikirku. Aku muslim, orang Asia, Indonesia, Jawa, orang Timur, yang mana berkebalikan sekali dengan orang Eropa baik dari cara makan, minum, bergaul, berpakaian, berbicara, tertawa, menyapa, mandi, pokoknya segala hal tentang budaya. Awalnya hidupku masih biasa, karena menurutku sejak di indonesia aku orang yang cukup toleran akan perbedaan. Orang lain mau apa terserah. Kawan-kawan mau minum bir, makan daging babi, masak daging anjing, memanggang daging menjangan, mabuk, pesta sampai malam, terserah. Yang penting aku hidup dengan caraku sendiri, tidak bisa diganggu gugat, caraku yang tidak banyak merugikan dan merepotkan orang-orang di sekitar.

Sampai tiba saatnya aku diundang pesta oleh kolega di kampus dan di apartemen. Karena yang mengundang menyangkut kehidupan inti sosialku, maka aku memenuhi undangan mereka. Sebelum-sebelumnya aku juga diundang pesta di bar dan di suatu tempat tertentu, karena yang mengundang bukan kawan dekat, maka tidak aku pedulikan. Masa bodoh kalau dianggap tidak gaul. Aku selalu mengatakan ke kawan-kawan "I don't like party, I don't like crowded place, I'm sorry". Namun aku menghargai mereka yang mengundangku, yang menyadari keberadaanku di sini (sehingga mereka mengundang). Menjelang natal ini, teman di apartemen dan laboratorium mengundang dinner party.

#1
Dinner Party bersama teman di laboratorium berlangsung di daerah Malden, desa kecil area kuliner dekat Nijmegen yang dapat ditempuh dengan bus selama 30 menit. Mereka memesan restoran Italy dan Jepang, Lime Restaurant. Hidangan yang disajikan berupa wine, red wine, cookies, sushi, salad, cocholate, ikan koolvis, daging menjangan, potato, peer, ice cream, pancake, pokoknya sampai lambung kita tidak muat menampung semuanya. Semuanya gratis karena Prof. Geert yang baik hati. Di sana kami berbagi cerita. Terutama tentang pasangan masingmasing. Aku menceritakan bagaimana aku berkenalan dengan mantan pacar dan sampai sekarang yang sudah menjadi suami saya. Ketika aku bercerita kalau aku LDR sejak kami pacaran, mereka menganggapku gila, tidak habis pikir, tidak bisa membayangkan, dan demi apa aku menjalani hidup seperti ini. Suzanna bahkan berkata "Even if I'm capable of taking my PhD in USA, I won't do that, I don't like to be separated from my boyfriend. I'd rather do something makes much sense for me". Manja, kawanku bertanya mengapa aku tidak minum wine padahal menurutnya wine sangat enak. Lalu aku bingung menjawabnya. "Just because wine usually contains much alcohol, I do not drink alcohol". Tidak puas dia bertanya, mengapa? Aku mendapat clue untuk menjawab secara ilmu medis. “You must ever read that if we drink alcohol while we are in the middle of consuming drugs, the drug effect will be more toxic, its concentration in the blood will be significantly elevated. In other words, alcohol is intoxicating. It is worse when we drink alcohol while we consume so much fatty food, or herb-rich food” Dia bilang kalau alkohol tidak dikonsumsi setiap hari, paling-paling kalau lagi pesta. “Who can guarantee me not become contagious? You said that wine is really good, I can not take for granted something like this. The same as smoking, I won’t try to smoke just for knowing how it feels like.” Teman-teman berkomentar kalau aku sungguh normal, orang yang sangat normal dan mereka tidak normal. Well, I do not say that, they do. Aku pun bertanya mengapa mereka memakan daging rusa, mereka bilang karena lezat. Aku bilang, aku tidak doyan, tidak biasa, dan merasa aneh kalau aku sampai memakannya. Aku bilang aku hanya makan daging ayam dan daging sapi, itu pun yang bercap halal. Sehingga mereka memesankanku ikan laut untuk main course-nya. Thank you! Dari obrolan selanjutnya aku baru tahu kalau teman seruanganku, orang Polandia, seorang lesbi. Satunya gay. Oh my God.. Aku kira selama ini mereka normal. Hingga detik ini aku menjadi bingung bagaimana harus bergaul dengan mereka, bingung bagaimana menyamakan cakrawala sudut pandang. Dalam hidup, it is OK if we have different perspective, but it will be easier if we have the same horizon of to where we look at, so at least we can point to somewhere or something the same. Takut juga kan bergaul sama lesbi, (dia lakinya atau dia perempuannya? Aku nggak tau momen seperti apa sehingga aku bertanya dia ini cowoknya atau ceweknya?). Trus ada gay, bagaimana aku harus memperlakukan dia? Aku memang kurang membaca buku-buku anti-mainstream tentang hal-hal semacam itu. Aku tidak berminat karena aku pikir aku tidak akan pernah tersentuh hal-hal semacam itu dalam kehidupan sosialku. Ternyata, dunia ini tidak seluas yang aku kira.

#2
Teresa (Tesa) mengundangku pesta makan malam sebelum dia pulang, sebagai Christmas dinner. Aku menyambut baik, dia bertanya apa yang akan aku masak atau bawa buat makanannya. Aku sedang tidak ada ide, maka aku spontan bilang kalau aku mau membawakan mereka Yoghurt Milbona yang enak itu. She replied “What? But we will not have breakfast, it’s dinner! Haha..” Dia tertawa, aku pun tertawa balik dengan kebingungan. Memangya ada aturan kapan harus makan yoghurt? “But why? Can we eat yoghurt at dinner? It’s really healthy anyway.” Aku jawab. Hari berikutnya Tesa mengirimiku pesan “Sorry for bothering you, but I don’t know what you will do tomorrow L at dinner party, I don’t know why you want to bring yoghurt.” Trus aku musti gimana.. Kan ya aku tidak tahu aku harus bawa apa, mereka suka makan babi dan minum anggur. Sehingga aku balsas “I’m sorry, because I never go to Christmas dinner so I don’t have idea what to bring for food or drink. Well, I was thinking to make Macaroni Schotel, I think it is good idea since we really loved Italian macaroni!” Teresa bilang, “Really? That will be fine. Just tell me if you need help”. Sehingga pagi harinya aku pergi ke took Turki membeli daging sapi cincang halal. Tentu saja HARUS halal. Aku tidak mau makan daging yang tidak halal sekalipun di Eropa, aku membeli macaroni, dan keju. Sore sepulang dari lab aku mulai meracik, 1 jam setelah dioven akhirnya jadi. Estelle membuat pancake dan waffle sebagai dessert. Teesa membuat salad, mentimun mayonnaise, salame (daging babi), terong rebus, sandwich, dan oseng paprika. Caterina membuat sekotel juga! Sekotel versi Italia tapi dicampur daging babi L. Leon membuat steak babi, Vlad dan Kevin membawa Alcohol dan Wine, Tesa dan Leon juga membuat jamu saripati red wine yang dicampur markisa dan apel, finally Jung membawa minuman yang dapat aku minum dengan lega.. Cocacola dan Juice. Aku pun harus pilih-pilih hidangan yang tersaji di meja. Jangan sampai mengambil makanan yang tidak halal. Di pesta makan malam itu pun ada ritual tukar kado. Namun Tesa mengkoreksiku “We are not exchanging Christmas presents, but we give Christmas presents”. Okay, noted.


Jadi, kali ini, setelah hidup selama 4 bulan di Eropa, aku baru benar-benar merasa culture-shocked!


Minggu, 30 November 2014

3ยบ C

Apakabar?

Bulan November ini saya menghabiskan hari Sabtu untuk pergi ke luar kota. Sebenarnya saya ingin lebih mengeksplorasi Nijmegen yang cantik, mungil, romantis, dan tua ini. Namun karena kesempatan memiliki partner plesir lebih jarang, maka sekali ada partner berplesir maka saya akan ikut kemana mereka pergi. Memiliki partner bepergian sangat penting bagi saya, karena bila saya pergi sendirian, I have nothing to do although it is in a well-known place that you know every path of that town as if you know the path of your hand. Mengapa harus bepergian? Jawaban saya adalah sebuah pertanyaan, “Buat apa saya jauh-jauh naik pesawat dan belajar di Belanda kalau saya hanya stuck di satu tempat? The world is too beautiful to be left-unexplored! It can drain your balance though, but it is worth to find something new that can pop up from our mind after seeing the world outside. A partner is important to help us gain the idea by two-way interactive communication.” Jadi partner plesir membuat kita tidak merasa “allienated” di tempat asing. Saya memiliki beberapa partner bepergian di sini. Rizka dan Falma adalah dua orang yang sering menjadi teman saya bepergian karena memang tiap minggu mereka tidak pernah tidak ke luar kota. Sehingga ketika saya memiliki waktu, maka saya akan ikut kemana mereka pergi. Mereka berdua memiliki tipe selera yang sama, termasuk Jehan. Mereka bertiga dari Jakarta, dan seperti anak Jakarta pada umumnya, easy going dan gaul. Kemudian ada mas Ferry, orang yang Sunda-nya kelihatan banget. Dia perfeksionis, memiliki banyak barang ber-merk terkenal. Kalau pergi harus well-planned dan sangat menikmati setiap langkah kakinya jalan-jalan di kota-kota di Eropa sambil memotret sana sini. Berbeda dengan Rizka, Falma, Jehan yang kalau jalan sangat cepat dengan prinsip asalkan sudah mengambil gambar diri mereka (dan gambar-gambar bangunan) di tempat “iconic”, maka sudah afdhol. Saya banyak menumpang gambar diri saya di kamera mereka, hehe. Rizka, Falma, Mas Ferry masing-masing memiliki kamera dengan lensa yang bagus, seperti kamera-kamera a la fotografer. Saya hanya memiliki kamera pocket saja karena memang saya terlalu malas bawa barang berat kemana-mana.

Yang paling saya nantikan ketika jalan-jalan adalah bila teman plesir yang bernama Fuji ikut. Dia berasal dari Kotagede Yogyakarta yang kalau bercerita bahasanya aneh karena sudah lupa bagaimana meenggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan baik dan benar semenjak dia banyak berinteraksi dengan banyak imigran dan orang Eropa di sini sehingga bahasanya campur-campur dengan pilihan kata nggak karuan. Dia lulusan Antropologi FISIPOL UGM dan menjadi lulusan terbaik jurusannya di periode wisuda pada November 2012. Entah mengapa dia selalu bercerita hal-hal yang membuat saya antusias. Segala ceritanya menyimbolkan bahwa betapa Antropolog itu sangat berperan penting bagi peradaban umat manusia. Bagi saya yang seumur hidup mempelajari ilmu-ilmu hayati, hal tentang sosial humaniora menjadi sangat menarik bagiku bila diceritakan oleh Fuji. Saya tidak suka cara guru sosial humaniora mengajar di kelas yang menurut saya membosankan dan tidak menarik minat saya untuk mempelajarinya. Lewat Fuji, saya mau mendengarkan setiap kata demi kata dengan ekspresinya yang khas mulai dari kehidupan manusia di Jogja, di Jakarta, di Sumatra (Batak, Padang, Aceh, dll), Suku Dayak, Orang Madura, kehidupan orang Suriname, Belanda modern, Belanda kuno, Jawa dari Majapahit sampai Mataram, perbedaan Polinesia sampai Melanesia, asal muasal ide cerita Sponges Bob, Sri Lanka, Kubilai khan, dan masih buanyak lagi. Sampai-sampai saya ingin merekam omongannya namun kok rasanya aneh.. Haha. Baiklah, saya menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial humaniora tidak menarik bila disajikan secara formal di kelas dengan harus mengikuti ujian untuk lulus bila mau mempelajarinya. Ilmu yang penuh perspektif karena mempelajari perilaku manusia dengan isi otaknya yang berbeda satu sama lain. Masak iya, harus lulus dalam mata kuliah tertentu ketika kita menggunakan perspektif dalam menjawab permasalahan. It doesn’t make any sense. Saya lebih suka mempelajari ilmu sosial lewat cara-cara informal seperti mengobrol secara interaktif dimana saya akan selalu bisa bertanya secara langsung dan menginterupsi cerita di tengah bila saya mulai tidak paham dan tidak merasa logis. Saya akan mendebat bila saya mulai paham dengan ide baru, langsung ke orang yang menyajikan ilmunya ke saya. Berbeda dengan ilmu hayati yang saya pelajari, saya pikir ilmu tersebut harus dipelajari secara formal di kelas dengan detail yang sedemikian rupa. Teori di ilmu hayati tidak melulu didasarkan pada perspektif melainkan bukti nyata yang harus bisa dikembangkan di labortorium. Tidak fleksibel memang, namun saya menyukai untuk mempelajarinya, di kelas.

Hari ini saya menerima ajakan Fuji berkereta ke Leiden, bertolak dari Nijmegen, kami transit di Utrecht dan harus berlarian mengejar kereta di platform lain dengan harus naik eskalator dan turun eskalator dengan jarak yang jauh yang mana kereta hanya transit selama 4 menit, saya pikir 4 menit tidak cukup bagi kami mengejarnya bahkan dengan berlari. Apalagi kereta di sini sangat tepat waktu. Dari Utrecht, kami menuju Amsterdam untuk transit lagi dan akhirnya 30 menit ke Leiden dari Amsterdam. Sebelum berkereta, saya mempunyai kebiasaan membeli satu gelas besar Latte Machiatto panas di Albert Heijn di dalam stasiun untuk diseruput pelan-pelan sampai habis di dalam kereta. Kalian tahu? Sangat nikmat, apalagi ini musim dingin. Kami memilih tempat duduk “non-silent corridor” karena saya ingin mendengarkan cerita Fuji di dalam kereta untuk mulai aktif mempelajari manusia.

Di dalam kereta kami melihat betapa tanah di Belanda ini masih kosong luas sekali, hijau dengan banyak kanal dari ukuran 2 meter sampai puluhan meter lebarnya. Seringkali terlihat sapi dan kuda makan rumput, seringkali terlihat banyaknya kincir angin, windmill, dll. Orang Jawa tidak tahan melihat tanah kosong, mereka akan berpikir bagaimana caranya membeli tanah tersebut dan dibangun rumah megah nan mewah bak istana raja atau sekedar diwariskan ke anak-cucu. Sampai heran, kok bisa orang Jawa seperti itu. Meskipun tidak bisa digeneralisir, namun begitulah menurut kami. Orang Jawa terkenal dengan keahliannya membuka lahan hutan untuk dijadikan pemukiman. Sedangkan orang luar Jawa termasuk Kalimantan atau Papua, mereka akan menjadikan hutan sebagai apotek hidup, menanamnya dan menjaganya tetap awet. Sampai-sampai Antropolog kolonial jaman Hindia Belanda kreatif untuk mengungsikan orang Jawa ke Suriname dan membiarkan orang Jawa berkreasi dengan keahliannya membabad hutan dan menjadikannya pemukiman. Kita bisa melihat di desa-desa di Jawa bagaimana satu kelurahan isinya satu saudara dekat semuanya. Betapa orang Jawa kental dengan kekeluargaannya. Jaman dahulu mereka tidak mau jauh dari keluarga, memilih untuk tinggal dekat dengan orang tua sampai tua dikubur di tanah kelahiran bersama saudara mereka yang lain yang sudah mendahului wafat. Saya termasuk orang yang merasa aneh jauh dari orang tua, ingin berada di dekat mereka sampai mereka tiada dan di kubur dekat dengan makam mereka suatu waktu nanti. Saya Jawa asli. Berbeda dengan orang di Eropa, mereka terbiasa hidup individualis sejak kecil dan hidup sendiri sejak 18 tahun. Memiliki tanah untuk rumah tidak terlalu besar, kalau mati akan menyumbangkan bagian tubuh mereka untuk keperluan penelitian dan tidak untuk dikubur. Saya jarang menjumpai ada kuburan di sini, ada namun tidak banyak. Saya ingat cerita bahwa ada banyak orang Jawa yang sudah memesan tanah petak kuburannya di desa tempat kelahirannya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka dan orang-orang melihat "rumah masa depan" alias kuburan mereka sendiri. Orang Jawa menyukai memiliki banyak anak dengan jarak usia yang dekat satu sama lain hingga pulau Jawa sangat padat. Orang Eropa memiliki anak ketika umurnya 30 ke atas dan hanya 1 atau 2 dengan jarak usia yang cukup jauh. Belanda sampai sekarang hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 16 ribu, dan itu pun termasuk imigran-imigran di dalamnya. Sehingga saya berpikir, program transmigrasi dan KB itu penting. Namun kembali lagi, bahwa mengatur manusia tidak semudah mengatur benda mati. Manusia adalah makhluk berbudaya dan kita tidak bisa hidup tanpa budaya termasuk saya. Akan sangat sulit bila tiba-tiba saya harus hidup di pulau Natuna, terasing dan tidak bisa mengunjungi ayah-ibu semau saya suka. Saya ingin memiliki 4 anak agar rumah saya ramai dan ketika saya tua saya tidak merasa seperti zombie kesepian di rumah tua sendirian seperti nenek kakek di sini. Kalau saya memiliki banyak anak, maka hidup saya lebih berwarna. Itu perspektif saya, sebagai orang Jawa. Tidak salah dan tidak boleh disalahkan. Betapa ilmu sosial itu penuh perspektif, tidak bisa dirumuskan dengan mutlak. Mempelajari ilmu sosial secara formal di kelas tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus membaca, melihat, merasakan apa pun di mana pun untuk menggali ide dan memecahkan masalah.

Banyak lagi cerita tentang manusia dan kemanusiaan yang kami bicarakan hari ini. Sampai museum kami pun sibuk mengobrol tentang setiap benda, gambar, video dan semua instalasi di dalamnya selama 3 jam dan tidak selesai. Kami harus keluar sebelum gelap untuk sekedar berfoto di kanal-kanal Leiden yang mungil dan cantik serta membeli makanan Turki yang murah untuk mengganjal perut yang kelaparan. Kami jalan-jalan hingga pukul 7 malam di centrum Leiden yang sepi dan gelap dengan suhu 3ยบ C seperti kalkun jalan-jalan di dalam kulkas. Tangan dan kaki beku karena lupa membawa sarung tangan tebal sampai tidak bisa banyak memotret gedung-gedung Leiden yang tua dan eksotis. Menarik sekali pokoknya. Saya akan bercerita lebih panjang lagi kalau pikiran saya sedang kosong dari pekerjaan di laboratorium.
Nantikan ya.. See you in the healthy body.









Vossendijk, 30 November 2014
Pukul 2.00 am

Minggu, 12 Oktober 2014

Nostalgic The Hague

Who I thought about when I was in Binnenhof, The Hague, were legendary heroes of Indonesia: Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, and Hamengku Buwono IX. They must have been there a hundred years ago. They must have stood in the place where I stood. Once I sat in the courtyard bench of the Parliament Building, I closed my eyes and made a wish for those who were there and made me peacefully stand tall over there.











Sabtu, 11 Oktober 2014

Hujan dan Sepeda

Hai, kali ini aku memiliki satu quote "Barangkali, ketika kita menikmati sebuah proses, maka kita sedang bersyukur". Semakin logis ketika aku ingat bahwa hidup adalah lakon yang diperjalankanNya. Menikmati proses adalah lambang ikhlas penerimaan kita atas pemberianNya.

.... aku mau cerita juga:

Aku mengerti mengapa orang sini memang butuh minum yang tidak hanya air putih, minuman penghangat tubuh dan menyegarkan. Seperti aku sekarang, aku tak bisa hanya minum air keran seharian. Pasti aku meluangkan waktu untuk menyeduh teh (dan karena hanya itu yang aku punya) yang aku bawa dari Jawa. Teh tubruk Dandang Biru satu pak. Aku merasa bersyukur aku membawa beberapa makanan yang awet berbulan-bulan dan praktis disajikan untuk dibawa sebagai bekal ketika kuliah dari pagi sampai sore. Bukan pula itu adalah makanan berkuah. Maka, tiap makan di kampus, aku selalu memesan sup kuah kental 'vegetarish'. Untuk menyegarkan mulut, tenggorokan, lambung tentu saja, dan menghangatkan badan. Hidup di sini aku selalu gemar makanan berkuah. Bila ada waktu, aku selalu memasak makanan berkuah. Karena udara yang kering. Kau tak hendak mendapati hujan deras, yang ada hanyalah hujan gerimis singkat yang galau dan romantis. Mungkin, para bule ketika melancong ke Nusantara, mereka terkaget-kaget diterjang air yang tersiram dari langit dengan volume besar dan mendadak. Sedangkan aku di sini hanya heran, ketika hujan aku tak pernah sampai basah kuyup, bahkan aku masih bisa bersepeda menikmati titik-titik air yang segera mengering ketika aku sampai lokasi tujuan.

Yang selama ini jadi pertanyaanku ketika di jalan adalah, bagaimana negeri kincir angin ini mengawali budaya bersepeda dan membangun jalur sepeda di setiap ruas jalannya, dengan rapi, teratur dan tertib. Betapa asoi bila di kota-kota di negeriku tercinta bisa menirunya. Jakarta, misalnya. Macet dan polusinya jangan ditanya. Mungkin nomer satu di dunia. Karena selama ini, hanya Jakartalah yang aku dapati kemacetan berkilo-kilo meter. Tanah di Jakarta kan rata-rata datar, untuk bersepeda tentulah asyik, tidak seperti tanah di desa yang kadang berbukit naik turun. Tidak Jogja, karena di daerah selain kota Jogja, tanahnya sudah berbukit naik turun, katakanlah Sleman. Namun begitu aku masih mendapati mahasiswa sederhana yang bersepda dari Jalan Kaliurang KM. 13 sampai kampus UIN SuKa, karena dia tidak memiliki motor. Apa boleh buat. Seharusnya aku meminjamkan motorku yang nganggur di rumah untuk dia.. :(
Jalur sepeda dan jalur pejalan kaki, aku masih membayangkan itu ada di Jakarta. Entah siapa yang bisa menginisiasinya. Satu yang aku tangkap tentang sebab, bahwa semakin banyak manusia, semakin sulit menciptakan tata kelola yang rapi dan terstruktur. Aku sudah mewanti-wanti suami untuk mulai bersepeda ke kantor. Toh cuma dari Cempaka Putih ke Lapangan Banteng, tak lebih jauh dari Vossenveld ke Hayendaalseweg. Tiga puluh menit adalah waktu yang aku perlukan pulang-pergi setiap hari dari apartemen ke kampus dan aku tidak mengeluh sama sekali, karena semua orang beitu, sama seperti aku. Apalagi bersepeda membuat otot perutku lebih kencang dan mengecil yang pada awal di sini agak melar. Apalagi bersepeda membuatku tubuhku hangat melawan udara dingin karena pembakaran kalori.

Itulah, What I love to stay here and about the Dutch.


Nijmegen pukul 23.43

Selasa, 08 April 2014

Intersection

Okay, konsentrasi saya terpecah. Malam ini ada beberapa hal yang memenuhi otak saya:

1. Malam ini saya membaca paper ini, yang khusus saya persiapkan untuk aplikasi ke Kyoto (sudah 2 kali saya ditolak profesor dari Kyushu dan akhirnya memilih Kyoto karena tempatnya historis banget), kau tau, GPCR selalu menarik pikiran saya. Tak pernah lepas sama jurnal-jurnal yang membahasnya. Seakan ada magnet yang membuat saya ingin tahu lebih dan lebih lagi. Ini semua gara-gara Mas Dep dan Pak En, tentu saja. Thank to them. Konsentrasi saya kerahkan untuk memahaminya. Mahasiswa lulusan S1 Farmasi nggak akan banyak tau apa itu Ubiquitin dan Arrestin, kan? Nggak tau pentingnya mempelajari itu untuk mencari target aksi obat dan kandidat obat yang tepat untuk macem-macem penyakit, kan? Demikianlah saya membaca paper ini.


2. Sesuai rencana untuk menjamah Kyoto dan memiliki iklim belajar GPCR dengan tenang, saya harus melengkapi data ini sebelum di-submit. Sungguh tidak mudah karena saya harus mencari literatur yang ngga biasa saya baca sebelumnya. Harus menyamakan frekuensi otak saya minimal setara dengan si pembuat literatur, yang benar-benar baru. Kau tau, pembuka tabir cahaya hanyalah Dia. Tanpa restu-Nya, saya tak akan bisa paham apa yang sedang saya baca untuk dimengerti.



 3. Malam ini juga saya iseng mencari pengumuman eLPeDePe, dan menemukan nama saya di lampiran PDF nya. Itu berarti saya harus bersiap pada fase selanjutnya yang nggak kalah menegangkan. Adrenalin saya akan segera beraksi habis-habisan. Asal saya bisa mngontrolnya saja ketika hari H. Doakan saya!











4. Bulan April ini saya diharuskan mengikuti banyak pelatihan di kantor. Bulan Mei nanti, akan ada kunjungan dari WHO untuk memastikan produksi Levofloxacin berjalan lancar untuk supply ke luar negeri. Sebagai staff pemastian mutu, tau kan gimana tanggung jawab saya? mutu obatnya harus benar-benar baguuuusss.

Kerja keraaasssss, berdo'a.... and
These too shall pass.......

Jumat, 29 November 2013

Liquid-Alike

In the end of the day, before leaving my office after work, I am making this story for you joyfully, dear readers. Just enjoy to read it, OK!

Once in a city park I met a stranger. He is a Psychologist who began to chat with me when I was looking around. I wonder he had long minutes followed me since at the first he directly looked at my eyes and stopped my walks. How surprised! Why I had long walks alone in that very big city is a first question he asked me. I tried not to look too surprised or anxious by answering him, "Because it's fun enough to do it". He offered me a seat to my next stop after he knew I want to go to Culinary Area in Sabang near Thamrin Street and I said no. For sudden, he successfully made me tell him some stories about my activities and how I could trapped walking alone in that city. He told me back about him and some psychological meanings of mine as long as he knows. I was a melancholic, kinetics, and full of inspiration in his perspective. That's why he followed me. Do you know, how could I go away after all those assessments he just said to me? The conversation was going far and fun enough. I was so rare to meet psychologist who easily says something and tells many kinds of psychological statement which almost hit me.


Well, it’s not the first time for me to meet stranger in my journey. I ever met a Freeport employer in the Train and we talked for about 6 hours. I found that in the middle of employment, he now becomes a new student in Economy Faculty of Indonesia University. I accommodated his wishful stories for his next future and we gave suggestions for each other. I cannot say much about me to those strangers because I am introvert enough. So, in the way we talked, I just responded them interactively. I’m glad that I could blend to the conversation arisen. I’m glad that I wasn’t born in the Middle East where women cannot have their full right to go alone everywhere they want without permission. I’m glad that I have self-reliance as woman to live in this beautiful and chaotic world. As long as I do not take steps regarding my intentions beyond the pale, I will gladly have some journeys again and experience other windows through people, place, or event.

It is a resignation becoming a 23th year-old-girl who doesn't have a partner to do the same thing but enjoys her life peacefully.

Sabtu, 02 November 2013

Bumi Telah Ada di Lubuk Yogyakarta



Di sana, semuanya terjadi. Tempat itu, tak rela aku meninggalkannya. Entah kapan lagi aku dapat menghabiskan banyak hari kembali, di sana. Days and nights for 5 years. Semenjak bumi membawa hal itu, bumi selalu meliputi hari-hari di Yogya. Tak pernah absen. Bumi menitipkan banyak hal sebagai energi. Kugunakan ketika aku merasa hilang arah. Setiap malam aku isi energi dengan berada di dekat hal itu. Pagi sampai siang, terkadang sampai sore aku membawanya serta ke kampus, ke tempat-tempat aku bersama kawan-kawanku berada, kusimpan ia di lubuk hati terdalam yang tak kubiarkan orang lain mengoyaknya. Di ruang kecil itu, di rumah itu, di kota itu, dia hadir meski hanya dalam imajinasi dan rasa sampai pada kehadirannya kembali di tengah kota itu, di pemberhentian keretanya. Aku berangkat dari kamar itu, dari rumah itu, dari dekatnya menuju dekatnya yang mewujud di depan mata. Dari pemberangkatan keretanya, aku pulang ke dekatnya, di rumah itu, di kamar itu lagi. Selama 5 tahun ini, begitu dan begitu. Tak pernah bosan di rasa, malah semakin dalam tak terkoyak.

Di sana semua terjadi, seawal dia datang seperti telah siap mental untuk menjalin hidup bersama selamanya dengan segala angan dan janji. Sampai pertengahan dia terlihat lelah dan asik dengan dunianya, dengan pikiran barunya yang ternyata begitu menyukai kesendirian menyukai petualangan tanpaku yang terkesan tak suka kemana dan tak mau kemana karena Yogya yang sebegini nyaman. Sementara aku tak bergeming, terus mendambanya, tak peduli mulut orang. Sampai akhirnya nanti aku tak tahu, yang bukan di sana lagi semua akan terjadi, dan aku masih tak tahu.

Di sana semua terjadi, waktu-waktu aku merindu, waktu-waktu aku bertemu, waktu-waktu aku sakit hati karenanya, waktu-waktu aku makan dan minum dengan mengingatnya, waktu-waktu aku belajar sambil membayangkannya, waktu-waktu aku tidur memimpikannya. Semua rasa itu masih jelas di dalam sini. Semua rasa itu telah melagu dengan melodi yang abadi sampai mati tersimpan di otak dan hati. Mengkristal tak mau pecah.

Ketika kali ini harus meninggalkannya di kamar itu, di rumah itu, di kota itu, aku ingin membawanya serta namun tak bisa. Kapankah dia yang lain benar-benar di diriku setiap saat? Mengobati rindu yang menggelora.. Meskipun aku sanggup sendiri, aku benar-benar tak mau jauh darinya lagi :(

Senin, 23 September 2013

Medicament in 23

Hari ini saya diberi banyak pengertian oleh Bapak. Rasanya campur aduk, antara sedih dan seneng. Sedih karena sebagai anak nggak bisa menjadi seperti yang beliau harapkan. Senang karena Bapak mau bercerita. Dulu, sewaktu aku masih kecil, Mbak dan Mas di rumah pas lagi libur kuliah juga digituin. Takira mereka disidang, dimarahi atau apalah itu, soalnya nada Bapak melengking tinggi-tinggi. Aku pun takut. Tapi ternyata mereka sedang mengalami apa yang aku alami barusan. Meskipun aku dapat sedikit mengimbangi pengetahuan yang dimiliki Bapak, ikut melontarkan pendapat, dan menyanggah pendapat, tapi pengalaman kami berbeda. Tentulah Bapak lebih berilmu. Apalagi dengan banyak guru dan banyak kitab yang telah melewati kehidupan beliau, aku nggak ada apa-apanya. Seperti yang beliau katakan, aku dan kakak-kakakku belum paham dan belum sedikit pun mengamalkan ajaran tauhid. Bapak bercerita, semua ilmu yang beliau pelajari pun belum tuntas, masih hanya tingkat "wustho", setengahnya saja. Belum sampai ke tingkatan paling tinggi, karena dulu keburu menikah dengan Ibuk, dan waktunya agak habis untuk meghidupi anak istri. Bapak dulu tidak sekolah, semenjak kecil sudah belajar kitab dengan para 'Ulama. Jadi ketika menikah, bapak benar-benar membanting tulang memulai usaha dari nol. Sampai sekarang Alhamdulillah diberi banyak rejeki oleh Allah SWT, mungkin karena Allah menganggap Bapak pantas mendapatkannya, atas kerja keras, doa, dan kepasrahan hidupnya yang dipersembahkan untuk Tuhannya dan manusia lain. Aku pantas menirunya. Dibandingkan aku yang lulusan Apoteker ini, tidak begitu tahu bagaimana mengejar rejeki yang sudah ditangguhkan oleh Allah SWT untukku. Tapi aku hanya berprinsip, hidupku tidak untuk mencari harta, tapi mencari hikmah dibalik setiap kejadian yang menimpaku dan orang-orang di sekitarku. Dengan begitu, Rejeki akan datang sendiri. Dengan begitu pula, secara nggak langsung sebenarnya Bapak tak perlu sebegitu kecewa, karena prinsipku tersebut mengandung tauhid. Aku yakin. Meskipun berat sekali mengamalkannya. Harus sabar dan selalu ingat Gusti Allah. Yah.. meskipun juga dalam prinsip Bapak, bekerja itu wajib menurutnya. Bagiku, berusaha itu wajib. Bagi kami berdua, hasil dari dari berusaha dan bekerja tetap terserah Gusti Allah. Yang penting sudah melaksanakan kewajiban, bekerja dan berusaha. Entah jadi kaya atau miskin, semua ada hikmahnya.

Malam ini Bapak juga membacakan "Iyya kana'budu wa Iyya kanasta'iin". Bahwa menjadi seorang hamba yang selalu menyembahNya itu belum cukup, karena lebih bagus kalau kita pasrah dan memohon pertolonganNya dalam keadaan apa pun kita. Allah SWT pun nggak akan pernah menyia-nyiakan pengharapan hambaNya. Atas ajaran siMbah, aku pun juga berprinsip bahwa Allah SWT memperjalankan hidupku yang mana aku diharuskan pasrah kepada segala kehendakNya. Sehingga setiap ada kejadian, aku selalu ingat, "oh.. jadi Allah ingin (membuat) aku begini atau begitu". Tak ada prasangka buruk kepadaNya, karena semua kehendakNya itu pas untuk hambaNya termasuk diriku. Wahai Bapak, jangan kecewa, aku pun juga memiliki prinsip demikian. Hanya, memang, mengamalkannya itu sungguh sulit. Bagaimana engkau bisa sekonsisten itu, Bapak? Itu yang ingin aku tiru darimu.

Bapak juga bercerita bagaimana seorang manusia bisa mabrur meskipun belum menunaikan haji. Tanda-tanda manusia yang mabrur tersebut adalah, semua manusia lain yang hidup didekatnya sejahtera. Lantas aku berpikir, seorang pemimpin haruslah mabrur. Karena bila dia mabrur, semua rakyatnya pastilah sejahtera. Mari kita lihat pada kenyataanya, Negara Indonesia masih belum begitu sejahtera secara merata. Kesenjangan semakin tinggi. Pemimpin semakin seenaknya sendiri. Sulit bukan mencari pemimpin yang mabrur. SBY? Jauuuuuuuhhhhh! Tandanya, benar apa yang dikatakan 'Ulama. Bahwa sebenarnya manusia berpredikat mabrur yang hidup di dunia maupun yang sudah meninggal itu sedikit sekali. Orang yang menunaikan haji, belum tentu mabrur. Bahkan, saat zaman canggahnya Rasulullah pun, semua yang menunaikan ibadah haji di tanah suci tidak ada satu pun yang mabrur, konon katanya. Mari kita bayangkan, di zaman tersebut, tentulah masih banyak orang baik, karena lebih dekat nasabnya ke zaman Rasulullah. Sekarang? sudah berapa ribu tahun jarak zaman kita dengan zaman Rasulullah? Siapakah gerangan manusia mabrur di zaman sekarang? Mari sama-sama kita cari, mulai dari hati kita masing-masing. Itu pesan Bapak.

Bapak memberikanku PR yang berat, namun tidak dipungkiri, memang wajib aku mengerjakannya. Yaitu belajar tauhid dan mengamalkannya sepanjang hayat. Selalu berusaha untuk teringat pada Gusti Allah di 4320 kali hembusan nafasku setiap harinya. Tidak banyak tidur, tidak banyak bermain yang membuatku lupa padaNya. Itu satu-satunya cara membuat Bapak bangga padaku. Karena, lulus cum laude, lulus S1, lulus apoteker, bisa bekerja dengan gaji sebesar apa pun, bisa lulus Ph. D di universitas ternama sedunia, maupun menjadi profesor kelak, tak sedikit pun Bapak bergeming untuk mengungkapkan kebanggaannya padaku.

Bapak sudah tua dan merasa tidak banyak memberikan bekal ilmu untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, aku tak boleh membuatnya semakin sedih, kan.

I love you both, Bapak dan Ibuk. Always, always...    :')

Selasa, 25 Juni 2013

Break The Boundary #2

"Dan yang tidak kalah menarik adalah bahwa reseptor tempat feromon sang senyawa penyebab jatuh cinta (?) beraksi adalah anggota keluarga GPCR. Jadi, dengan memahami reseptor ini bukan tidak mungkin suatu ketika ilmu “pelet” dapat direkayasa dan dijelaskan secara ilmiah."
"Tahun 2011 merupakan tahun keemasan bagi GPCR. Di tahun tersebut beberapa crystal structure baru reseptor-reseptor anggota keluarga GPCR berhasil diketahui dan tersedia untuk umum."

-dosgil-

Ya Tuhan.. hamba benar-benar rindu mengutak-atik peta-Mu yang satu itu. Salah satu Peta tanda kebesaranMu yang menghiasi lembar skripsi hamba, a nuclear receptor or a GPCR's receptor friend. Bilakah hamba meramaikan lagi kancah dunia Kimia Medisinal yang sempat hamba singgahi dalam sekedar waktu itu? Segerakan Ya Tuhan. Hamba sudah bersabar menunggu kesempatan itu.

Sabtu, 11 Mei 2013

Text Dari Arheng

Ada 2 orang ibu memasuki toko pakaian dan ingin membeli baju. Ternyata pemilik toko sedang bad mood sehingga tidak melayani dengan baik, malah terkesan buruk tidak sopan dan dengan muka cemberut. Ibu pertama jengkel menerima layanan yang buruk seperti itu..yang mengherankan, ibu kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan pada penjualnya.

Ibu pertama bertanya, “mengapa ibu bersikap demikian?” ibu kedua menjawab,”kenapa aku harus mengizinkan dia menentukan caraku dalam bertindak? Kitalah penentu atas hidup kita, bukan orang lain”. “tapi ia melayani kita dengan buruk sekali” bantah ibu pertama. “itu masalah dia.kalau dia mau bad mood, tidak sopan, melayani dengan buruk, dll toh tidak ada kaitannya dengan kita. Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur dan menentukan hidup kita, padahal kita yang bertanggung jawab atas diri kita”, jawab ibu kedua. Tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain. Kalau orang memperlakukan kita buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang buruk juga dan sebaliknya. Kalau orang tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit pada kita, kita yang semula pemurah tiba tiba menjadi pelit ketika harus berurusan dengan orang tersebut. Ini berarti tindakan kita dipengaruhi oleh tindakan orang lain.

Jika direnungkan, sebenarnya betapa tidak arifnya tindakan kita, kenapa untuk berbuat baik saja harus menunggu orang lain berbuat baik dulu? Jagalah suasana hati kita sendiri, jangan biarkan sikap buruk orang lain menentukan cara kita bertindak! Kita yang bertanggung jawab atas hidup
kita, bukan orang lain.. Hidup kita terlalu berharga.. oleh sebab itu Make Yourself Have A Meaning For Others!

Pemenang kehidupan adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, yang tetap manis di tempat yang sangat pahit, yang tetap sadar diri meskipun telah menjadi besar, dan yang tetap tenang di tengah badai yang paling hebat..

Rabu, 27 Februari 2013

Layover

It is the week when I am becoming Dian Sastrowardoyo in Menghapus Jejakmu music video of Peterpan. Thank you for letting me chase the meaningful innocence of your soul.  Your silhouettes have come by but disappearing as well ultimately.

Sabtu, 01 Desember 2012

Life Science or Applied Science?


Life Science

Sewaktu kuliah, semester 8 ketika tengah mengerjakan skripsi, aku dekat dengan salah seorang senior yang memiliki perhatian besar terhadap Life Science. Segala yang kami perbincangkan adalah tentang Ilmu yang menuntut imajinasi lebih dalam untuk memahaminya, karena ilmu-ilmu tersebut sangat jauh dari visualisasi mata telanjang. Hanya bisa dilihat secara personal lewat pemikiran otak. Perlu Tuhan YMK yang mampu membukakan tabir orang-orang mau mempelajarinya. Sebut saja Kimia Organik dan Biologi Molekuler. Kedua ilmu tersebut mempelajari hal-hal yang penuh imajinasi, tak bisa disaksikan oleh mata telanjang, namun kita menguasai teorinya, logika kami jalan. Ilmu-ilmu tersebut dapat kami pertanggungjawabkan lewat logika kami. 

Aku? Aku adalah salah seorang yang sudah terlatih bagaimana harus berimajinasi dalam mempelajari kedua ilmu tersebut. Sehingga tak banyak kesulitan kuhadapi, aku mampu memahaminya dengan baik. Thanks God!

Nah, seniorku tadi, amat sangat ahli dalam berlogika. Ia adalah seorang yang sangat konsisten dan logis, mempercayai sesuatu berdasarkan ilmu. Sampai dimana ilmunya, sampai situlah kepercayaannya. Meskipun begitu, ia adalah orang yang open minded, selalu mengekspansi pengetahuan sampai ke tingkat apa saja. Haus ilmu. Itulah seniorku. Dia berhasil mendidikku untuk bertanggung jawab dengan ilmu yang telah aku peroleh. Dialah Muhammad Radifar. Terimakasih banyak senior.. tak akan pernah kulupa jasamu. Bagiku, Mas Radif adalah salah seorang scientist terbaik negeri ini. Aku percaya kalau dunia membutuhkannya, lewat jalan pikirnya yang logis, ia mampu berkreasi dan cepat menemukan solusi. Aku tahu ini karena ialah yang memperkenalkanku pada film dokumenter Genius of Design. Ia sungguh terkagum-kagum bagaimana manusia berkreasi lewat ketelitian desain. Bagiku, ia berhasil mengaplikasikannya. Apalagi, ia sudah kurasa telah menemukan jati dirinya.

Aku? Aku masih saja menerawang, bisakah aku? Bilakah aku menjadi sehebat itu? Betapa tidak percaya dirinya aku ini. Maafkan adikmu ini ya, Mas.

Di akhir pembuatan skripsiku, dia pernah bilang bahwa dia khawatir. “Ketika aku dipapari Applied Science di Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) kelak, akankah aku melupakan semua Life Science yang telah aku pelajari?” . Aku sempat menjawab lewat pesan implisit, “Jangan khawatir, aku mencintai life science sejak SMA, itulah mengapa aku masuk fakultas ini, life science adalah alasanku. Cinta itu beda dengan hanya sekedar suka, kan? Itulah mengapa aku merelakan diriku mengambil tema penelitian ini, meskipun kutahu, di Indonesia, penelitian ini sulit berkembang. Lihatlah, aku begitu bergantung padamu. Bagiku, kaulah promotorku. Kelak, setelah aku lulus, aku akan mendalaminya lebih jauh lagi ke bagian dunia dimana bidang ilmu ini berkembang sangat pesat, bukan Indonesia memang. Aku akan terus semangat mengusahakannya. Jadi, jangan khawatir.” Kemudian aku memiliki pikiran, kelak, aku akan menjadi salah satu pionir cabang ilmu yang sekarang sedang tidak berkembang pesat di Indonesia ini. Ah, kendala masalah dana. Indonesia tidak memiliki prospek dalam bidang ilmu yang aku geluti karena Indonesia pelit dana penelitian. Itu membuatku berpikir masa depanku begitu buram. Apalah artinya sukses bila orang lain, misalnya bangsa sendiri, tak mendukung adanya sebuah sukses itu. Berat memang. Bangsa ini sedang tak memiliki mental. Indonesiaku, aku tak mungkin berdiri sendirian kan. Aku yang sendiri tidaklah memiliki arti bangsa. Beruntunglah ada Mas Radif yang masih mau berdiri tegar, meski bangsa sendiri tak mendukungnya. Ia bagaikan Pramoedya Ananta Toer yang kala itu berjuang seorang diri mempertahankan sebuah idealisme. Baginya, Idealismenya adalah harga mati yang tak seorang pun boleh merusuhinya. I wish, I’ll be with you there.

Aku pernah bercerita kan, aku ini seseorang yang antusias dalam berbagai hal. Selama kuliah di PSPA, benar saja, aku banyak dipapari Applied Science. Mata kuliah yang begitu kompleks harus kami kuasai dasar-dasarnya. Dari hukum, komunikasi, ekonomi, sampai pendalaman life science  yang pernah aku pelajari dahulu. Otakku sungguh terbuka menerima itu semua. Namun, karena iklim yang santai, aku sering tidak sadar bahwa ada banyak hal yang perlu kutanyakan. Karena kesantaian itu, otakku sering telat menerima informasi detail. Hal itu tak menggangguku, jadi kubiarkan saja diriku santai. Selama aku masih bisa memegang erat substansi dasarnya, aku yakin, segala sesuatu akan mengalir sendiri. Pada akhirnya, aku akan menemui masalah dan memecahkannya. Aku yakin aku bisa.

Applied Science

Nah, hari ini, aku mendapat kuliah mengenai keadaan Ekonomi Nasional dan Domestik. Ada beberapa penjabaran tentang Makroekonomi dan Mikroekonomi. Aku merasa, sungguh amat menyenangkan menjadi pengamat ekonomi itu. Meskipun tidak akan menyenangkan bila kita terlibat langsung dalam mengurus perekonomian yang tidak kalah rumit itu. Karena banyak sekali faktor resikonya, apalagi dalam kapasitas sebagai leader (bukan technician). Namun, kuanggap itu adalah tantangan. Betapa sempat terpikirkan olehku untuk bisa menjadi manajer di sebuah perusahaan manufacturing based on chemical entity. Menjadi manajer, betapa menyenangkan dan menantang. Melalui Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro, kita bisa mengetahui bagaimana keuangan dunia ini berjalan. Kita meneliti dengan terjun langsung ke dalamnya, mendapatkan data dan menganalisis setajam-tajamnya. Lalu menjadikannya sebagai dasar  hidup perusahaan jangka pendek dan jangka panjang. Itulah kerjaan manajer hingga direktur. Applied Science! Sebelum kita menggagas masalah ekonomi, kita pun harus paham dan memiliki kapasitas dalam melakukan Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling. Keempat kemampuan tersebut menurutku dapat diasah sambil jalan. Asalkan kita ini orang yang long-live learner dan memiliki semangat, inisiatif, kreatif.

Aku? Bagiku, aku sendiri telah sukses melakukan manajemen diri. Segala targetku telah banyak yang terpenuhi, baik jangka panjang dan jangka pendek serta tak banyak kekacauan kuciptakan. Karena apa? Karena aku menguasai self-controlling! Itulah sedikit kelebihanku yang bisa kuceritakan di sini dalam hal ini.

Tidak salah kan untuk berpikir dan bercita-cita “Setidaknya aku pasti bisa menjadi seorang manajer”. Entah Manajer Produksi, Manajer Jaminan Mutu, atau Manajer Kontrol Kualitas. Meskipun aku tak mengambil mata kuliah manajemen pemasaran. Ah, pemasaran, itu terlalu applied science. aku tak berencana untuk terjun ke dunia pemasaran karena aku masih setia menjaga bara api untuk kembali ke life science suatu saat nanti (contoh self-controlling).

Itulah, semuanya adalah kerjaan. Kerjaan yang harus dilakukan baik di masa sekarang atau pun di masa depan. Pak Purwandi (Direktur Produksi Perusahaan Farmasi), di dalam kuliah menyebutkan bahwa “Kerjaan muncul dari niatan kita untuk melakukan perbaikan-perbaikan sampai mendekati kesempurnaan.” Dalam bahasa life science-ku, “Kita bekerja untuk menyeimbangkan entropi yang terjadi.”

Daripada bingung memilih Applied Science atau Life Science, prinsip yang harus kubangun sekarang adalah: Lakukan segala hal yang harus dilakukan sekarang. Lakukanlah dengan jalan terbaik yang bisa ditempuh. Aku telah memilih 2 hal itu. Sisanya, biarlah Tuhan turut campur tangan. It remains going with the flow. Aku tak mungkin mengambil porsi Tuhan, kan? Do’a adalah juga hal yang bisa kulakukan. Do’akan saya ya, readers! Agar dapat menjadi manusia yang baik di dunia ini. Manusia terbaik adalah yang berguna untuk hajat hidup manusia lainnya kan? Jangan lupakan itu! :)

P.S.: Untuk kakak seniorku, jangan kecewa ya! :)