Minggu, 27 September 2015

Qurban

Baru di Belanda ini aku benar-benar khusyuk mencari makna Idul Adha, mungkin karena aku sedang dalam fase hidup sendiri. Aku memiliki banyak waktu untuk merenung. 

Idul adha berarti pengorbanan, kesabaran, dan keikhlasan. Mengorbankan (dengan sabar dan ikhlas) segala kekayaan dunia yang dimilikinya, seperti Ibrahim seorang manusia biasa yang bersedia mengorbankan anak tersayangnya, Ismail, demi Allah SWT. Ismail adalah anak yang dinantikan kehadirannya setelah sekian lama, setelah sekian puluh tahun, dimana Ibrahim as. memanjatkan doa setiap waktu untuk dikaruniai generasi yang sholeh. Yang kemudian terkabullah do'anya, hingga lahir anak cucu meliputi para nabi pembawa risalah Tuhan setelahnya.

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku anak yang shaleh.” (QS. As-Shafat: 100)


Idul adha berarti menjadikan Allah SWT sebagai kekasih tertinggi, seperti Ibrahim dan Ismail as. yang menyanggupi segala kehendak Allah dengan keikhlasan tingkat tinggi. Cinta kepada yang selain Dia, cukuplah sederhana dan ala kadarnya saja. 

Idul adha berarti bersikap demokratis dalam mengambil keputusan yang menyangkut hajat hidup orang lain. Seperti Ibrahim yang menceritakan mimpinya kepada Ismail dan menanyakan pendapatnya akan perintah Allah tersebut. Menjadikan hal ini sebagai sebuah suri tauladan dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Ismail yang beranjak remaja dan telah aqil baligh, diminta Ibrahim untuk mengambil keputusannya pribadi.

Idul adha berarti betapa Allah Maha (lebih) Besar dan Maha Kaya. Ia tidak akan pernah kurang suatu apa meskipun ada seorang hamba yang tidak jadi berkorban untukNya. Seperti sembelihan Ismail yang digantiNya dengan seekor domba. Allah tidak benar-benar menginginkan Ismail disembelih untukNya. Allah tidak benar-benar menginginkan harta yang diambilNya dari kita. Allah hanya meminta Ibrahim menyembelih rasa kepemilikannya akan Ismail. Allah hanya meminta manusia menyembelih rasa kepemilikan kita akan segala sesuatu selain diriNya. Semua itu semata-mata hanyalah ujian, apakah kita bersungguh-sungguh untuk bertaqwa kepadaNya. Dari sini saya tahu, bahwa Allah hanya menginginkan kita mematuhi segala ketetapanNya dengan keikhlasan demi keselamatan kita. Di sini Allah mencoba berdialektika dengan hambaNya.

Allah mengistimewakan Ibrahim as. dan Muhammad SAW dengan menyebut (hanya) keduanya di dalam Al Qur'an sebagai pembawa suri tauladan yang baik. Kita mengucapkan shalawat untuk Muhammad dan Ibrahim 5 waktu sehari di dalam sholat. Allah menjadikan ibadah haji dan Idul Adha sebagai simbol keteladanan dari Ibrahim as.
Semua itu untuk dapat diambil pelajaran bagi orang-orang yang sadar, beriman, dan ingin mendekatkan diri kepadaNya.

Jumat, 18 September 2015

Otokritik


Sebuah syair otokritik dari Mohamed Anis Chouchene, penyair Tunisia



Salam damai untuk anda semua...
dan atas kita kedamaian itu...
juga kepada kita kedamaian itu...

Salam damai bagi orang yang menyahut salam ini, juga bagi yang tidak menggubrisnya...
salam dengan nama tuhan yang Maha Damai, tuhan Allah yang disembah yang Maha Esa...
salam damai yang membimbing kita...
salam damai untuk bumi pertiwi...

Salam damai bagi yang bermusuhan secara terang-terangan, maupun diam-diam diantara kita...
salam damai teriring selalu diantara kita, terkhusus bagi mereka yang gemar mengemas dengan paksa, dan mengaku-aku
sedikit demi sedikit tanah kami, lalu mendudukinya, sementara kami hanya bisa terdiam dan menyerah begitu saja, juga 
menerimanya dengan suka rela, agar tidak ada keributan di dalamnya..

Seakan-akan, maaf, islam itu milik leluhur kami... tahukah kalian, kenapa kedamaian hijrah dari negeri kami? Tahukan kalian, kenapa yang menang justru kedzaliman? Dan kita mengatakan, bahwa kita masyarakat yang takut perbedaan..

Kata-kataku ini, saya yakin tidak akan membuat heran bagi kalian, atau sebagian dari kalian, aku tahu itu, tapi saya ingin katakan sekali lagi, bahwa kami adalah segelintir saja dari sekawanan domba...
kami masyarakat yang saat ini terjebak pada ketidaksaling pahaman...
tapi, kami masyarakat yang hidup berkoloni
kami masyarakat yang mengabsahkan keberanian dan mengklaim sebagai pembawa pemikiran plural...
kami masyarakat yang mengikuti ajaran kebinekaan dan mengklaim bahwa kita adalah masyrakat yang berbudaya...
tapi sungguh celaka, kami dipaksa menerima semua khurafat...
padahal menurut kami, menerima perbedaan tiada lain, kecuali perbedaan itu sendiri

Perbedaan warna kulit, sungguh telah mendiksriminasi kami...
perbedaan wajah, pemikiran, agama juga telah memojokkan kami...
bahkan, sampai permasalahan kelamin...
sehingga kami masih terus berupaya untuk sekuat tenaga, menghapus sekat-sekat diantara kami...
sesungguhnya kami sudah berusaha keras, tetapi kami selalu dilemahkan...

Bahkan kami adalah masyarakat yang dianggap tolol setolol-tololnya...
ya, kami memang masyarakat yang tolol..
kami sadar, karena kami gemar saling sikut, bermusuhan dan sering saling mencaci...
dan kami selalu berkutat pada kebodohan dan keterbelakangan
tetapi tidak ada seorangpun yang bertanggungjawab, baik dari mereka yang merasa berbudaya maupun tribal...

Sekarang dengarkan kata hati kami, bagi mereka yang mengklaim dirinya bagian dari orang-orang suci, atau yang mengikuti 
peradaban Barat secara buta, atau bagi yang selalu berteriak demi mewujudkan khilafah, yang berbentuk dinasti, agar semua perbedaan bisa lebur atas nama Tuhan..

Kami hadir disini, sekarang, dengan gegap gempita ini, ingin menjernihkan kembali sesuatu yang terdalam dari diri kita
dan mencoba untuk memantapkan spirit kita, kami juga mencoba untuk memantapkan spirit-spirit perbedaaan itu

Ini saya di depan kalian, dengan rambutku, dengan untain kalimatku, dengan pemikiranku, dan dengan segala keterbatasanku, saya tidak gentar menghadapi perbedaan kalian terhadapaku. Karena kalian adalah bagian dari diri saya, dan saya adalah bagian dari diri kalian.

Sekali lagi, kita ada disini, berkumpul bersama, demi sebuah harmoni, bergumul dalam kelemah-lembutan, mengelaborasi 
budaya tanpa menonjolkan keakuan kita, untuk mengangkat harkat yang luhur, dan menyingkirkan berbagai perbedaan, jenis kelamin, warna, dan agama. Karena kita tidak melihat apapun, selian diri kita adalah manusia.


source: Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri

Minggu, 13 September 2015

Cara Saya Mencari Kebenaran

Waktu kecil, ketika saya bertanya kepada ibuk mengenai sebuah hal yang boleh atau tidak boleh saya lakukan, ibuk selalu menjawab sesuatu dengan dasar keyakinan dan pengetahuannya. Terkadang Ibuk menimpali “berdasarkan kitab kuning yang pernah diajarkan Pak Kyai… blablabla”, atau “Tanya bapakmu sana”, atau “Mbah Munir dulu sih bilang..” (bagi Ibuk, ayahnya adalah seorang Ulama karena ayahnya adalah santri sepanjang hidup dan hafal banyak kitab termasuk kitab Alfiyah-nya Imam Malik).

Waktu kecil juga (sampai sekarang), saya seringkali mengamati bagaimana ayah hidup dan beribadah. Ayah adalah “role model” paling lengkap yang pernah saya miliki sampai-sampai sekarang ini saya menjulukinya kitab suci Tuhan yang berjalan. Seringkali ayah duduk di antara kami (anak-istrinya) lalu mengutarakan cara pandangnya dalam suatu hal/masalah dengan sangat tawadhu’, saya terkadang mencatat apa yang beliau utarakan dan merekamnya kuat-kuat dalam ingatan. Ayah adalah orang yang pikirannya terbuka luas (lebih luas daripada ibuk), mau menerima segala informasi tanpa pandang bulu, memfilter informasi-informasi tersebut sesuai parameter yang dianutnya, mengeluarkannya lagi dalam bentuk output yang penuh hikmah. Saya sangat bersyukur memiliki ayah yang dapat menjadi teladan kebaikan sepanjang hidup saya. Parameter yang dianutnya cukup seimbang, tidak terlalu low-dose, tidak juga terlalu high-dose. Kalau dalam ilmu farmasi, sesuai takaranlah. Ayah juga yang memperkenalkanku banyak macam buku bacaan. Beliau membawakan buku-buku yang dibelinya  di kota-kota besar sewaktu kakak-kakakku masih kecil. Buku adalah oleh-oleh yang biasa dibawa sepulangnya setor dagangan di banyak kota di pulau Jawa. Ketika kakak-kakakku sudah beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk nyantri di pondok pesantren, ia simpan buku-buku itu dan menyajikannya ke saya anaknya yang paling kecil. Setiap pagi setelah shubuh, beliau membaca juga kitab-kitab salafus shalih sembari minum kopi di ruang tamu, sampai tertidur dan beranjak lagi untuk Ibadah Dhuha.

Saya tumbuh besar di lingkungan pesantren kecil di sebuah desa, pesantren bercorak Nahdlatul ‘Ulama (NU) karena para kyai pengajar adalah santri-santri NU. Jalan depan rumah ayah-ibu selalu penuh santri yang jalan kaki membawa kitab dan pena setiap pagi dan sore yang hendak pergi mengaji ke rumah para guru atau kyai. Saya sangat senang melihat para santri yang hendak belajar tersebut. Saya pun adalah santri kalong yang belajar Al-Qur’an pada seorang nenek yang memiliki rumah di pinggir sungai, yang hidup sangat sederhana sampai akhir hayatnya. Saya memiliki teman ngaji yang 2 tahun lebih tua dari saya, yang saya sangat berhutang budi kepadanya karena teman saya tersebut mengajarkan adab dan akhlak dalam menuntut ilmu. Bersama teman saya tersebut, saya pernah menjadi murid paling cepat memahami pelajaran agama (ngaji), baik menghafal, mentafsir, maupun berlogika. Sayangnya ketika saya beranjak remaja dan dewasa, saya tak melanjutkan nyantri belajar secara sorogan dengan seorang guru. Saya masuk ke sebuah sekolah umum dengan ilmu sangat berbeda dari yang sehari-hari pernah saya pelajari. Dunia saya berubah seketika. Saya pun belajar ngaji otodidak, sambil membaca buku dari para guru maya, ulama-ulama baik dari Jawa maupun luar Jawa. Kebanyakan mereka sudah sangat sepuh, bahkan ada yang sudah meninggal.  Ilmu dari para guru ngajiku dulu menjadi pondasi yang sangat penting dalam membangun parameter kebenaran dalam diri saya.

Di umur 20-an, saya memiliki guru baru yang sangat matang sekali ilmunya, beliau adalah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Di fase ini saya belajar semi-autodidak. Sebenarnya saya bertemu dengan guru saya tersebut sudah sejak saya masih kecil. Lingkungan di sekitar rumah memperkenalkan saya padanya lewat banyak karyanya semacam lagu, puisi, syair, esai. Pernah suatu kali guru saya tersebut datang ke desa saya berbagi cara pandang yang khas. Kemudian saya tau bahwa beliau banyak menghabiskan waktunya untuk berbagi dengan masyarakat di seluruh pelosok negeri maupun luar negeri tanpa kenal lelah. Hal utama yang saya pelajari darinya adalah sebuah dasar tentang betapa pentingnya manusia memiliki akal sehat dan menggunakannya untuk membedakan baik dan buruk, asli dan palsu, indah dan tidak indah, serta banyak kontradiksi lain yang mengisi dimensi kehidupan manusia. Terutama di zaman sekarang ini ketika informasi simpang siur dapat dengan mudah merasuk ke pikiran orang-orang, kita memerlukan akal sehat agar pikiran kita dapat “loading” setiap saat menerima kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kemudian readjust dan revalidate parameter-parameternya sejauh yang kita pahami sebagai keindahan, kebaikan, kebenaran, keaslian, dsb. Sehingga pada akhirnya dapat muncul output yang berakhlak, adil, dan penuh hikmah. Tentunya, output tersebut adalah refleksi dari seberapa bagus kita menggunakan akal sehat dalam berpikir. Guru saya yang satu ini sangat mumpuni dalam hal ini. Sehingga ketika saya mendapati diri saya kurang adil dalam berpikir dan bertindak, saya akan kembali mengingat nasehat-nasehatnya agar pikiran saya dapat “loading” kembali dengan akal sehat.

Demikianlah latar belakang bagaimana saya membangun parameter kebenaran. Dunia ini tempatnya manusia yang melakukan kesalahan, dunia ini juga tempatnya manusia belajar dan mencari kebenaran. Mengapa kebenaran perlu dicari? Karena apa yang kita anggap benar sekarang, bisa jadi salah di masa depan. Apa yang kita anggap benar, bisa jadi salah di mata orang karena beda sudut pandang. Apa yang kita lihat di depan mata, bisa jadi bukan realita sesungguhnya. Kebenaran bisa berada di mana pun, di tempat terbuka maupun di tempat yang paling tersembunyi sekali pun. Seperti guru-guru saya, dalam hidup ini saya mencari Islamnya Muhammad SAW. Rasulullah adalah kota ilmu di dunia, ilmu yang sangat luas, pembawa risalah dari Allah SWT secara langsung. Karena begitu luas dan komprehensif ajaran yang dibawanya, saya membutuhkan guru atau ulama yang secara langsung memadatkan dan menyimpulkan ilmu-ilmu tersebut untuk bisa saya serap ke dalam tunnel pikiran saya yang terkadang sempit ini. Saya sangat berhati-hati memilih orang untuk saya jadikan guru, karena kalau salah, maka salahlah jalan hidup saya.

Emha Ainun Nadjib adalah guru yang sedikit berbeda dari kebanyakan guru saya lainnya. Ibarat ada barang rusak yang harus diperbaiki, maka beliau memperbaikinya dari dalam secara sistematis, bukan hanya menambal kerusakannya. Beliau mencari akar kerusakannya, bukan hanya melihat dari permukaannya yang rusak saja yang kemudian memperbaikinya. Ibarat orang terjangkit narkoba, beliau membawakan supply energy jasmani dan rohani, bukan hanya membawakan obat penyembuh jasmani saja. Bagaimana beliau memperbaiki kerusakan dari akarnya itulah yang saya pelajari darinya.

# Contoh: Demokrasi menurut Cak Nun vs menurut Gus Dur #

Dua guru bangsa ini mungkin memiliki definisi yang sama mengenai demokrasi dan pada dasarnya sama-sama menganggap bahwa demokrasi itu baik. Bagi Gus Dur, demokrasi sangat cocok bagi bangsa Indonesia yang besar dan plural. Oleh karenanya, Demokrasi harus ditegakkan dalam kehidupan bernegara secara nyata, bukan hanya wacana semata. Selama bertahun-tahun Gus Dur dan para Nahdliyyin berjuang menegakkan demokrasi di Ibu Pertiwi ini untuk menambal penyakit akibat kekuasaan Orde Baru, seperti pengekangan hak berbicara dan berpikir maupun ketidakadilan dalam perlakuan hukum. Setelah Orde Baru, ketika kesempatan menegakkan Demokrasi terbuka lebar, pada kenyataannya Demokrasi masih tetap menjadi wacana semata, meskipun level penerapannya masih lebih tinggi daripada sewaktu zaman Orde Baru. Penerapan Demokrasi masih menyisakan lubang di sana sini yang mengakibatkan luka tidak segera sembuh, namun malah menghasilkan luka-luka baru, yang mungkin lebih kompleks dari zaman Orde Baru, seperti masalah korupsi, konflik pemilu-pilkada, terpilihnya pemimpin yang tidak amanah, manipulasi hukum, provokasi media, dsb. Setelah Gus Dur wafat, Gusdurians dan para Nahdliyyin lainnya pun sampai sekarang masih optimis berjuang menambal luka-luka itu satu per satu dengan cara yang santun demi utuhnya NKRI. Gus Dur adalah salah satu guru saya, sewaktu remaja saya banyak membaca tulisannya yang mengagumkan. Semangatnya menegakkan kebaikan dan keutuhan Ibu Pertiwi adalah suatu teladan luar biasa yang sepenuhnya saya apresiasi. Pemikiran dan intelektualitasnya sebagai tokoh bangsa di atas rata-rata. Banyak kaum minoritas merasa berhutang budi padanya karena beliau telah menolong mereka agar tidak didiskriminasi di negara ini.

Lain Gus Dur, lain pula Cak Nun. Bagi Cak Nun, Demokrasi tidak harus tegak di Indonesia. Meskipun Demokrasi baik, baginya tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna karena semua ada baik dan buruknya. Kekacauan yang terjadi sekarang ini adalah bukti bahwa Demokrasi pada kenyataannya kurang kompatibel dengan bangsa Indonesia, meskipun konsepnya bagus namun prakteknya sulit. Luka-luka sejak zaman Orde Baru tidak lantas sembuh setelah reformasi, malah semakin menimbulkan komplikasi dan menjadi penyakit kronis. Oleh karena itu, Cak Nun dengan konsep Maiyahan-nya mengajak masyarakat untuk memperbaikinya dari dalam secara sistematis. Kalau perbaikan a la Gus Dur memiliki sasaran “Bangsa” pada umumnya, perbaikan a la Cak Nun memiliki sasaran tiap individu dan tiap elemen di negeri ini. Dengan kesabaran dan ketulusannya membantu tiap manusia yang mau mendengarkannya untuk berpikir, berijtihad, dan sadar kembali menggunakan logika dan akal sehatnya agar menjadi pribadi yang madani secara utuh. Apabila tiap individu mampu melakukannya, bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa berperadaban tinggi yang juga sesuai cita-cita NKRI. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang konsep import apa pun tidak akan mempan untuk bisa mengaturnya. Sehingga, bangsa ini perlu menemukan (invent) jalannya sendiri untuk bisa tetap utuh dan berperadaban.

Cak Nun menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melayani dan “mengobati” individu-individu yang merasa diri mereka “terluka” tanpa mengharap imbalan apa pun, membimbing mereka menemukan kebenaran-kebenaran baru. Sampai sekarang, beliau tetap menjadi pribadi yang low profile, yang tidak mengharapkan label apa pun disematkan ke dalam namanya. Meskipun orang seperti saya menganggapya Ulama atau Kyai karena keluasan ilmu dan cara berpikirnya, beliau tetap saja menyebut dirinya Emha Ainun Nadjib semata. Kalau kata Gus Mus, Kyai yang sesungguhnya itu tidak mau disebut dirinya Kyai. Sungguh itu adalah juga teladan yang luar biasa. Seringkali beliau bilang bahwa beliau tidak mau diikuti oleh siapa pun, melainkan setiap orang harus tabayun kepada diri sendiri dan harus berdaulat akan pilihannya sendiri. Menurut beliau, setiap manusia memiliki kebebasan berpikir dan bertindak asalkan segalanya bisa dipertanggungjawabkannya sendiri. Setiap orang seharusnya merdeka, namun merdeka yang bertanggungjawab. Manusia memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu seharusnya berdasarkan pilihannya sendiri, bukan karena mengikuti siapa-siapa atau apa-apa. Dari beliau saya belajar bahwa manusia boleh salah, namun harus tetap mencari mana yang benar. Kalau sudah menemukan yang benar menurutnya, maka harus meninggalkan yang salah, bukan malah mengulang kesalahan yang sama. Sehingga kualitas tiap individu dapat ter-upgrade setiap waktu. Begitulah cara beliau membimbing bangsa ini mengobati luka yang kronis secara sistematis.

Saya berhutang budi kepada NU, karena lewat NU-lah saya membangun cara berpikir yang moderat, yang tidak dengan gampangnya memandang diri sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Moderat, yang tidak terlalu ekstrim radikal, tidak juga terlalu ekstrim liberal. Saya tidak menyukai cara beragama yang kaku, tanpa humor, sering main bid’ah, sangat mementingkan syari’at tanpa mementingkan akhlak, dan tidak fleksibel. Saya juga tidak menyukai cara beragama yang terlalu liberal, yang menganggap semua agama sama. Bagi saya, Islam tetap agama dengan nilai-nilai paling benar, namun begitu saya tak menyalahkan agama lainnya karena saya tidak memiliki hak untuk menyalahkannya. Selain itu karena saya menghormati pilihan dan keyakinan orang lain, yang bagi saya keyakinan adalah hal yang privat untuk tiap manusia yang saya tak boleh mencampurinya. Saya menghormati perbedaan dan sangat terbuka pada segala macam pemikiran. Saya belajar untuk berhati-hati membagi informasi yang berpotensi dapat melukai suatu kaum, informasi yang mengandung provokasi, karena apa yang kita bagi adalah yang harus kita pertanggungjawabkan akibatnya. Saya selalu berusaha untuk tetap memegang teguh standar kebenaran menurut diri saya, sesuai pemahaman saya. Saya belajar untuk tetap santun dalam memberikan pendapat agar tak menimbulkan defense kepada orang yang saya ajak bicara. Saya berusaha menghindarkan diri saya dari menghujat orang lain yang menurut saya cara pandangnya salah. Dari setiap orang yang pemikirannya tidak saya setujui, saya tak lantas membencinya, melainkan tetap memungut kebaikan yang ada darinya. Hal ini atas dasar pemikiran saya bahwa sesungguhnya tidak ada yang namanya sampah di dunia ini. Segalanya bersiklus dan segala yang kita anggap sampah pun bisa mengalami recycle. Bahwa kita pun bisa menemukan kebaikan dalam diri orang sejahat apa pun meskipun sedikit.

Lewat NU saya belajar ngaji kepada ulama-ulama pesantren yang ilmunya bernasab dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bagi saya, NU yang diprakarsai Mbah Hasyim Asy’ari sangat berjasa kepada umat muslim di negeri ini. Lewat ulama-ulama kampung, umat muslim belajar ngaji dari hal syariah, muamalah, adab, akhlak, sampai aqidah sehingga umat muslim di Indonesia tidak menjadi umat beragama yang buta ilmu, yang tidak tau bagaimana tata-cara beribadah mahdoh maupun membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Saya dapat mengatakan hal ini karena melihat Muslim Jawa-Suriname di Belanda, yang tidak paham bagaimana cara sholat dan membaca AlQur’an. Itu karena mereka tidak memiliki ulama yang mengajarkannya secara sistematis.


Akhirul kalam, saya bersyukur telah dipertemukan dengan para guru yang luar biasa dalam membimbing saya mencari kebenaran, Islamnya Muhammad SAW. Dengan rasa syukur saya ini, saya berusaha untuk tidak mengkultuskan mereka. Namun saya juga berusaha untuk dapat selalu menghormati mereka dengan akhlak baik selayaknya seorang murid yang berhutang budi kepada gurunya. Saya berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada mereka karena saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik setiap kali saya dekat dengan mereka.

Jumat, 11 September 2015

Cita-Cita

Cita-cita dan Ambisi. Apakah keduanya sama? Bisakah kita mempunyai cita-cita namun tanpa dibarengi ambisi? Aku sering membayangkan hal ini.
Membayangkan diriku memiliki cita-cita namun tanpa dibarengi ambisi harus terwujud. Lantas apa gunanya memiliki cita-cita kalau demikian? Aku sering membayangkan diriku tidak disibukkan dengan usahaku untuk mencapai target yang merupakan bagian dari cita-citaku. Aku sering membayangkan bagaimana caranya aku bisa hidup dengan santai, membiarkan semua berjalan apa adanya, tak usah terlalu memperhitungkan waktu maupun kondisi datangnya sebuah kesempatan. Namun seringkali aku masih ketakutan, takut bahwa aku menjadi orang yang tidak mau mencoba dan menggunakan kesempatan sebaik mungkin. Waduh.. kok jadi terkesan oportunis. Begini, seringkali aku mau mencoba dan bersusah-susah mewujudkan cita-cita adalah karena aku ingin menunjukkan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa. Itu saja. It's a matter of gaining self-confidence, perhaps. Begitulah awalnya. Semakin kesini saya merangkum daftar cita-cita saya dulu sembari membaca beberapa kitab yang membolak-balikkan pemikiranku tentang kehidupan. Kemudian menyadari, kok cita-cita saya dangkal sekali ya. Apa sih yang aku cari dalam hidup ini? Dulu saya bercita-cita ingin keliling dunia, sekolah di luar negeri bersama orang-orang yang sama sekali baru dan berbeda denganku, mempelajari ilmu alam dengan gaya a la bule-bule barat, keluar zona nyaman dari rumah ayah dan ibu, dst..dst.. sekarang? Aku menganggap hal tersebut adalah cita-cita yang dangkal. Namun hidup bagimana pun tetap saja hidup dan harus diisi dengan hal berguna bagi sesama kan. Orang lain memiliki kehidupan juga yang mungkin buatku merupakan kehidupan yang dangkal juga, biasa, layaknya orang hidup pada umumnyalah. Dari permukaan mungkin kehidupan orang lain tersebut terlihat dangkal, namun tentu aku tak tahu seberapa dalam mereka menyelami nilai-nilai kebaikan yang mereka anut di dalam kehidupan yang terlihat dangkal tersebut. Dan itu bukan urusanku, aku memiliki kepentingan sendiri dalam penerapan nilai kehidupan dalam hidupku yang sekarang kuanggap "dangkal" ini. Kehidupan manusia memang berfase, salah satu fase tersebut adalah tentang kematangan akal sehat. Di titik saya berada sekarang ini, saya berusaha mencari definisi dan nilai dari kehidupan yang tengah kujalani. Setidaknya, saat saya menjalani cita-cita saya dulu yang seperti ini membuatku sadar bahwa manusia seperti saya tetap bertanya-tanya "apa sih yang aku cari dalam hidup ini?". Setelah capek-capek berambisi mewujudkan cita-cita, saya masih saja belum menemukan "saya yang sebenarnya", belum mencapai puncak kalo boleh bilang. Malah saya merasa saya sedang berada dalam jurang. Tapi segala posisi memang relatif terhadap posisi orang lain. Bagi sebagian orang, saya mungkin sedang di dalam jurang, namun jurang di dataran tinggi. Tetap saja lebih tinggi bagi mereka yang di dataran rendah. Gambaran masa depan terkadang terasa seperti fatamorgana. Kita mengira bahwa jalan di depan kita menanjak, berjurang, dan kadang landai, tapi kalau kita melihat dari suatu perspektif yang sangat jauh sesungguhnya jalan kehidupan itu melingkar.

Sehingga, untuk saat ini saya ingin off dari segala ambisi. Baiklah, saya masih memiliki cita-cita, namun saya telah belajar bahwa terlalu berambisi akan membuat akal sehatku tidak jalan, akan kehilangan arah sendiri nantinya meskipun pada akhirnya aku menemukan jalan keluar. Namanya juga pelajaran, kalau tidak salah maka tidak tahu mana yang benar atau seharusnya. Terkadang muncul pemikiran, "lantas apa setelah saya disumpah menjadi apoteker? lantas apa setelah saya bisa meyelesaikan S2? lantas apa setelah saya bisa melihat menara Eiffel? lantas apa setelah saya bisa sampai puncak Alpen? lantas apa setelah saya memiliki teman-teman baru dari berbagai belahan dunia? lantas saya menjadi keren begitukah?" Dari permukaan mungkin terlihat iya, namun akan terasa sangat dangkal sekali kalau aku tidak menemukan nilai kebaikan dari seluruh perjalanan ini. Sekarang ini aku sampai heran, mengapa ayah-ibu mengijinkanku dan bahkan mendukungku untuk merantau jauh ke ujung dunia, padahal mereka telah memakan asam garam kehidupan dan menurutku telah sampai pada fase nol ambisiusitas. Aku belum menemukan jawabannya, aku nggak mau bertanya pada mereka karena aku tidak ingin mereka menganggapku sedang hilang arah. Aku tidak hilang arah, tapi "mencari arah" pada kebaikan. Hhh... Dari sisi ini, lantas aku heran juga bila menemukan ada orang yang berambisi untuk jadi presiden, jadi menteri, jadi bupati, atau yang sejenisnya. Jadi orang macam begituan kan bikin hidup stressed dan runyam. Kok ada ya yang mau, kok ada ya yang berambisi sedemikian. Mungkin ini akibat dari kecenderungan pola pikir "rumangsa bisa". Mengapa mereka nggak berambisi untuk memiliki hidup yang benar-benar "peaceful"? Atau jangan-jangan mereka menganggap kalau memilih untuk menjadi menteri, presiden, bupati begitu membuat kehidupan mereka "peaceful"? Kalau iya.. Waah, masyarakat salah pilih orang! Tapi kembali lagi, namanya juga fase hidup, kalau tidak menjalani yang salah maka tak tahu yang benar kan? Kayak saya donk.

Dari titik ini, aku sadar bahwa aku tak boleh menganggap remeh kepada mereka yang aku pikir hidupnya tanpa cita-cita, mungkin saja mereka sampai tahap seperti aku ini, mereka memiliki cita-cita namun tidak ambisius sehingga hidupnya terlihat datar-datar saja.

Kesimpulannya, overall, cita-cita saya sekarang adalah bahwa saya tidak ingin jadi apa-apa atau siapa-siapa melainkan bisa memungut setiap kebaikan yang saya temui di jalan. Dengan begitu saya akan berusaha untuk bisa berusaha tanpa berambisi. Saya ingin bisa memberikan porsi lebih banyak kepada tangan Tuhan di pikiran saya dalam mengatur diri saya, sehingga saya tidak kecapekan dan hilang arah lagi.

Dear Allah SWT, please guide me to the way You want me to go, to the best of me being. Aamin

Senin, 07 September 2015

a Place and a Superiority

Kiranya aku menemukan sebuah tren bahwa:

- Orang yang menetap di pulau Jawa (terutama di Jakarta dan kota sekitarnya) merasakan dirinya superior, lebih memiliki kepercayaan diri untuk berkata-kata dan mempublikasikan pernyataannya ke khalayak umum daripada orang yang menetap di luar Jawa di Indonesia.

- Orang yang menetap di Eropa, USA, atau Ausie merasakan dirinya superior juga daripada orang yang menetap di benua lain.

Salah satu contohnya adalah suami saya. Ketika masih di Jakarta, dia lebih talkative dan berani unjuk diri daripada ketika dia di Nunukan, pulau kecil dekat Kalimantan. Ketika masih di Jakarta, dia masih kadang terdengar di grup pertemanan whats-app, atau mengisi tulisan di blog, atau update status di media sosial, atau menjawab ajuan pendapat dari temannya dengan penuh percaya diri. Hal tersebut tidak terjadi ketika dia pindah ke pulau kecil itu.

Salah satu contoh lain adalah teman saya (no mention). Ketika masih di Belanda maupun Inggris, dia sangat produktif menulis di blog dan update status menarik di medsos. Hal tersebut tidak terjadi ketika dia sudah menetap kembali pulang ke Indonesia.

Apakah mereka semua sedang kehilangan inspirasi untuk bisa lebih berkarya lagi, menggunakan segenap potensinya untuk kepentingan orang banyak? Mereka kehilangan magnet pengaruhnya? Atau sedang kehilangan jati dirinya? Atau merasa kurang merdeka? Aku tak tahu. Namun tentunya hal itu sangat disayangkan.

Obviously, life has its ups and downs!

Jumat, 04 September 2015

Unraveling My Past Deal

#np Bila Aku Jatuh Cinta ~ Nidji

Melewati dinginnya mimpi~
...dingin..di pegunungan Lawu...
Waktu itu ketika ada rasa sedikit aneh hinggap, ketika auramu tiba-tiba berbeda dari yang lainnya. Kamu datang tanpa aku memintanya.
"Kenapa?" Tanyamu.
"Dingin."
"Nih sarung tangan, pakai aja dulu."
...
"Hey, aku pakai ya sarung tanganmu yang hangat ini, aku ga mau balikin pokoknya soalnya aku nggak bawa."
...
"Nggak. Kembaliin! Aku perlu sarung tangan juga."

Ah, aku yang waktu itu, ternyata pernah sedikit mengharapkanmu, sambil malu-malu, sambil tidak mempedulikan itu rasa tentang apa karena aku berpikir kamu pribadi yang nyaman, itu saja. Aku bahkan tidak memprogram chemistry macam itu. Tiba-tiba datang, tiba-tiba ada tanpa permisi, dan aku tak tahu mengapa begitu kejadiannya. Aku tertolak olehmu, kali itu, maka aku menjaga jarak dengamu, sampai segitu saja, dalam waktu sangat lama.

"Kakimu kenapa?" Kulihat kamu melepas sandal gunung dan kakimu yang merah memar-memar setelah pendakian pun terlihat jelas.
"Bukan urusanmu." Jawabmu tak peduli. Aku balik arah namun aku tak peduli pada ketidakpedulianmu. Maka aku pun sesekali melihatimu dalam jarak saja.

Esoknya tiba-tiba aku mengirimimu pesan, pesan pertama yang kukirim padamu seumur-umur. Aku tak paham juga mengapa kamu yang kupilih untuk kutanya tentang pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru hari itu. Aku ijin sekolah karena kakekku meninggal dunia. Padahal semua orang tahu bahwa kamu pemalas, tapi masih saja aku percaya kamu bukanlah pemalas. Sebuah PR, menurut hematku pastilah kamu orang yang mengerjakan PR, karena bagiku kamu murid pintar.

Aku benar-benar tak punya ide apa yang ada dalam benakmu dan aku nggak mau memikirkannya. Aku ingin sedikit lebih mengetahuimu. Itu saja.

#np Hapus Aku - Nidji

"Ngapain kamu di sini?"
"Tentu saja beli makan." Jawabku. Waktu itu rambutku masih berbentuk seperti lonceng sebahu. Kamu pun tanpa seijinku, mendaratkan tangan di hidungku dan memitasnya keras sekali. Aku pun buru-buru balik muka menyembunyikan mukaku yang memerah. Agar kamu tak tahu sedikit pun tentang chemistry yang telah lama kusembunyikan darimu.

"Halo, gimana Pare?"
"Hai.. Libur masih lama ya. Gimana Bali?"
Di tengah konser entah Peterpan entah Nidji di Trikoyo yang ramai, kamu meneleponku dengan suara tak kedengeran saat liburan, untuk melepaskan kegalauan masalah cinta yang menderamu. Aku senang bisa sedikit membuatmu lega, itu saja. Di kemudian hari seseorang memberitahuku bahwa kamu baru saja putus cinta, aku pun sedikit menyayangkannya karena aku mengidolakan cara kamu menyukai seorang perempuan. Kalau kamu putus cinta, aku tak bisa melihatmu menjadi pria romantis. Kamu yang cuek padaku, bisa romantis begitu, aku menikmatinya waktu itu.

Ah iya, aku melihatmu di kejauhan bagaimana kamu menyayangi seseorang. Bagiku kamu romantis. Namun aku masih dalam ketidakpedulianku dan membiarkan semuanya terjadi apa adanya.

Sampai setahun kemudian aku masih menyimpan chemistry itu. Kulihat sekilas kamu jalan dengan kawan-kawan ke masjid untuk mendengarkan tausiah pre-UAN. Hilang-muncul-hilang-muncul di antara kerumunan. Kulihat kamu duduk bersandar di tiang masjid dengan sweater tipis coklat bergaris horizontal menutupi seragam sekolah. Kenapa kamu sangat mempesona? Kurang lebih begitulah pikirku.

Di perpisahan sekolah setelah kelulusan aku tidak sedih berpisah denganmu. Meskipun aku merindukan sosokmu setelah itu. Ternyata aku bukan perempuan yang mau berkata apa adanya. Aku masih menyimpan dan menyembunyikan chemistry itu. Aku optimis bahwa nanti akan mendapat sosok penggantimu di Jogja nanti, itu saja.

Di awal tahun perkuliahan, kamu di Jakarta, aku di Jogja. Kita sibuk dengan kehidupan masing-masing tanpa pernah mengirim pesan lagi. Aku menemukanmu di Facebook, lalu ingat kamu lagi. Ah anak ini, gimana kabarnya ya? Tanyaku dalam hati. Namun kamu masih dalam ketidakpedulianmu juga. Aku pun meninggalkanmu lagi begitu saja dalam memori, aku sibuk bermain dan berhubungan dengan para kolega baruku.

Di saat aku hampir menemukan sosok penggantimu, kamu datang, dengan kedekatan seperti sebelum kita berpisah dulu. Aneh. Kenapa kamu seperti itu? Kenapa kamu tidak melupakan bagaimana kamu bersikap di depanku? Kamu bertingkah seolah kita belum pernah berjarak setelah kelulusan dulu. Ah, kamu sungguh membingungkan.

Aku pun masih menjaga jarak denganmu ketika kamu datang, sejauh jarak yang pernah kuatur sejak pertama kamu menolakku dulu. Namun tak bisa kupungkiri bahwa kamu masih senyaman dulu, bahkan lebih nyaman dan hangat. Memori dan chemistry itu datang lagi. Setiap kali di dekatmu, aku mampu menenggelamkan segala chemistry yang lain.

Tiba-tiba saja kamu mengutarakan bahwa suatu saat kamu ingin hidup denganku dan kamu bertanya apakah aku bersedia. Anehnya aku tidak kaget dengan pertanyaanmu, tanpa berpikir panjang aku menjawab "mengapa tidak". Entah apa yang membiusku. Mungkin karena sudah cukup lama aku menunggumu. Kamu pria yang nyaman, pintar, dan romantis. Aku tak menemukan alasan untuk membuang chemistry itu selain memang aku tak bisa.

Sejak saat itu kita mengukir mimpi-mimpi baru kita bersama. Kehidupanku berjalan menyenangkan ketika bersamamu. Sampai sekarang, sampai detik ini, chemistry itu tetap terjaga, sedikit lebih kuat dan dinamis dari sebelum kita bersama. Aku bahagia dan merasa cukup ketika bersamamu, dan belum ada yang lebih membahagiakan dari itu selama ini.

Terimakasih telah datang kepadaku. Terimakasih telah menjelma menjadi pangeran seperti dalam impianku selama ini. Kamu lebih indah dari bayanganku sebelumnya.