Selasa, 24 September 2013

As Pharmacist

Seharian tadi di rumah sakit, menemani ibuk rawat jalan. Sebagai seseorang bergelar apoteker dan mengetahui sedikit masalah kesehatan manusia, aku tahu kalau ibuk sudah lama membutuhkan obat. Awal-awalnya, beberapa tahun lalu aku antar ibuk cek gula darah. Hasilnya, gula darah tinggi. Setelah itu rutin aku bawakan obat penurun gula darah. Beberapa bulan kemudian, efek tingginya gula darah membuatnya harus menjalani operasi katarak di RS. Yap, Yogyakarta. Untung saja kondisi liver dan ginjal ibu masih baik-baik saja. Untung saja ibuk nggak suka makanan asin, sehingga resiko tekanan darah tinggi nggak ada, sehingga tak sampai mengalami stroke. Kini mata ibuk baik-baik saja. Gula darahnya juga rutin aku cek dan terkontrol. Asupan makanan terjaga. Namun sudah sebulan ini muncul penyakit baru setelah ibuk mengeluh bagian lututnya nyeri kalau dipakai buat sholat. Aku baru sempat mencarikan dokter penyakit dalam dan rehab medik semingguan ini. Ibu pun tadi didiagnosa osteoarthritis setelah pemeriksaan kondisi tulang lutut menggunakan X-Ray. Suatu waktu nanti, dalam waktu dekat ini, aku akan membawa ibuk untuk menjalani pengobatan suntik asam hyaluronat. Semoga saja terapinya berhasil. Meskipun hanya bertahan 6 bulan, sehingga harus rajin kontrol juga.

Beginilah aku sebagai apoteker keluarga..

Senin, 23 September 2013

Medicament in 23

Hari ini saya diberi banyak pengertian oleh Bapak. Rasanya campur aduk, antara sedih dan seneng. Sedih karena sebagai anak nggak bisa menjadi seperti yang beliau harapkan. Senang karena Bapak mau bercerita. Dulu, sewaktu aku masih kecil, Mbak dan Mas di rumah pas lagi libur kuliah juga digituin. Takira mereka disidang, dimarahi atau apalah itu, soalnya nada Bapak melengking tinggi-tinggi. Aku pun takut. Tapi ternyata mereka sedang mengalami apa yang aku alami barusan. Meskipun aku dapat sedikit mengimbangi pengetahuan yang dimiliki Bapak, ikut melontarkan pendapat, dan menyanggah pendapat, tapi pengalaman kami berbeda. Tentulah Bapak lebih berilmu. Apalagi dengan banyak guru dan banyak kitab yang telah melewati kehidupan beliau, aku nggak ada apa-apanya. Seperti yang beliau katakan, aku dan kakak-kakakku belum paham dan belum sedikit pun mengamalkan ajaran tauhid. Bapak bercerita, semua ilmu yang beliau pelajari pun belum tuntas, masih hanya tingkat "wustho", setengahnya saja. Belum sampai ke tingkatan paling tinggi, karena dulu keburu menikah dengan Ibuk, dan waktunya agak habis untuk meghidupi anak istri. Bapak dulu tidak sekolah, semenjak kecil sudah belajar kitab dengan para 'Ulama. Jadi ketika menikah, bapak benar-benar membanting tulang memulai usaha dari nol. Sampai sekarang Alhamdulillah diberi banyak rejeki oleh Allah SWT, mungkin karena Allah menganggap Bapak pantas mendapatkannya, atas kerja keras, doa, dan kepasrahan hidupnya yang dipersembahkan untuk Tuhannya dan manusia lain. Aku pantas menirunya. Dibandingkan aku yang lulusan Apoteker ini, tidak begitu tahu bagaimana mengejar rejeki yang sudah ditangguhkan oleh Allah SWT untukku. Tapi aku hanya berprinsip, hidupku tidak untuk mencari harta, tapi mencari hikmah dibalik setiap kejadian yang menimpaku dan orang-orang di sekitarku. Dengan begitu, Rejeki akan datang sendiri. Dengan begitu pula, secara nggak langsung sebenarnya Bapak tak perlu sebegitu kecewa, karena prinsipku tersebut mengandung tauhid. Aku yakin. Meskipun berat sekali mengamalkannya. Harus sabar dan selalu ingat Gusti Allah. Yah.. meskipun juga dalam prinsip Bapak, bekerja itu wajib menurutnya. Bagiku, berusaha itu wajib. Bagi kami berdua, hasil dari dari berusaha dan bekerja tetap terserah Gusti Allah. Yang penting sudah melaksanakan kewajiban, bekerja dan berusaha. Entah jadi kaya atau miskin, semua ada hikmahnya.

Malam ini Bapak juga membacakan "Iyya kana'budu wa Iyya kanasta'iin". Bahwa menjadi seorang hamba yang selalu menyembahNya itu belum cukup, karena lebih bagus kalau kita pasrah dan memohon pertolonganNya dalam keadaan apa pun kita. Allah SWT pun nggak akan pernah menyia-nyiakan pengharapan hambaNya. Atas ajaran siMbah, aku pun juga berprinsip bahwa Allah SWT memperjalankan hidupku yang mana aku diharuskan pasrah kepada segala kehendakNya. Sehingga setiap ada kejadian, aku selalu ingat, "oh.. jadi Allah ingin (membuat) aku begini atau begitu". Tak ada prasangka buruk kepadaNya, karena semua kehendakNya itu pas untuk hambaNya termasuk diriku. Wahai Bapak, jangan kecewa, aku pun juga memiliki prinsip demikian. Hanya, memang, mengamalkannya itu sungguh sulit. Bagaimana engkau bisa sekonsisten itu, Bapak? Itu yang ingin aku tiru darimu.

Bapak juga bercerita bagaimana seorang manusia bisa mabrur meskipun belum menunaikan haji. Tanda-tanda manusia yang mabrur tersebut adalah, semua manusia lain yang hidup didekatnya sejahtera. Lantas aku berpikir, seorang pemimpin haruslah mabrur. Karena bila dia mabrur, semua rakyatnya pastilah sejahtera. Mari kita lihat pada kenyataanya, Negara Indonesia masih belum begitu sejahtera secara merata. Kesenjangan semakin tinggi. Pemimpin semakin seenaknya sendiri. Sulit bukan mencari pemimpin yang mabrur. SBY? Jauuuuuuuhhhhh! Tandanya, benar apa yang dikatakan 'Ulama. Bahwa sebenarnya manusia berpredikat mabrur yang hidup di dunia maupun yang sudah meninggal itu sedikit sekali. Orang yang menunaikan haji, belum tentu mabrur. Bahkan, saat zaman canggahnya Rasulullah pun, semua yang menunaikan ibadah haji di tanah suci tidak ada satu pun yang mabrur, konon katanya. Mari kita bayangkan, di zaman tersebut, tentulah masih banyak orang baik, karena lebih dekat nasabnya ke zaman Rasulullah. Sekarang? sudah berapa ribu tahun jarak zaman kita dengan zaman Rasulullah? Siapakah gerangan manusia mabrur di zaman sekarang? Mari sama-sama kita cari, mulai dari hati kita masing-masing. Itu pesan Bapak.

Bapak memberikanku PR yang berat, namun tidak dipungkiri, memang wajib aku mengerjakannya. Yaitu belajar tauhid dan mengamalkannya sepanjang hayat. Selalu berusaha untuk teringat pada Gusti Allah di 4320 kali hembusan nafasku setiap harinya. Tidak banyak tidur, tidak banyak bermain yang membuatku lupa padaNya. Itu satu-satunya cara membuat Bapak bangga padaku. Karena, lulus cum laude, lulus S1, lulus apoteker, bisa bekerja dengan gaji sebesar apa pun, bisa lulus Ph. D di universitas ternama sedunia, maupun menjadi profesor kelak, tak sedikit pun Bapak bergeming untuk mengungkapkan kebanggaannya padaku.

Bapak sudah tua dan merasa tidak banyak memberikan bekal ilmu untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, aku tak boleh membuatnya semakin sedih, kan.

I love you both, Bapak dan Ibuk. Always, always...    :')

Interaksi Obat-Reseptor

Seperti interaksi di dalam kelas yang di sana ada dosen dan para mahasiswa. Mahasiswa akan menikmati kuliah bila: ruang kuliah nyaman, ber-AC, dosen menarik, kuliahnya memiliki informasi yang diminati para mahasiswa. Ada daya tarik sendiri di dalem kelas, yang lebih membuat mahasiswa tertarik tinggal di dalem kelas daripada apa yang menarik mereka di luar kelas.

Obat (ligand) akan dapat berinteraksi ketika menempel reseptor bila: energi rendah (ruang kelas nyaman dan ber-AC) dan ada asam amino tertentu yang membuat obat tertarik untuk tetap terikat di ligand binding domain. Bila tidak ada asam amino yang membuat obat dapat mau tinggal lama di ligand binding domain, meskipun energi ikatan rendah, tapi obat tidak akan dapat berinteraksi. Paling buruk, obat akan lepas dari ikatannya. Obat tidak dapat lagi disebut obat dalam wilayah kajian ini. Pertanyaannya mengapa dibutuhkan asam amino-asam amino tersebut dalam mengikat obat di ligand binding domain? Mengapa harus begitu? Tapi memang, tidak dipungkiri, di dalam beberapa jurnal, ketika obat terikat dengan reseptornya terdapat asam amino tertentu yang mempengaruhi ikatan obat-reseptor. Seperti yang kita tahu di GPCR, asam amino tertentu mempengaruhi relativitas energi ikatan obat-reseptor. Sedikit perbedaan  energi ikatan relatif tersebut, mengakibatkan perbedaan efikasi ligand dalam mengaktifkan protein G (Rosenbaum et al., 2009).

Pertanyaan berikutnya, bagaimana membuktikan suatu ligand adalah sebuah agonis, antagonis, atau inverse agonis? Kabarnya, seorang peneliti dari Belanda bernama Chis de Graaf sedang mengembangkan model (entah model seperti apa, mungkin termasuk validasi metode, karena sebenarnya tools-nya sudah ditemukan) untuk memecahkan pertanyaan ini. Kabarnya beliau yang telah menjadi Associate Professor  di VU Amsterdam sedang pusing tujuh keliling dalam meneliti hal ini. Ah, andai saya bisa pusing seperti beliau mungkin saya gembira sekali (Waks! Are you kidding me, Nih?! haha..). Tools yang dimaksud adalah, Molecular Docking, Interaction Finger Print, QSAR, Molecular Dynamics, dll. Minggu lalu ketika di klinikkopi bersama mas Depp (Radif –red), dosgil saya sedikit bercerita pula mengenai hal ini, namun sayang sekali saya lupa apa poin jawabannya dalam bahasan yang ini. Nanti setelah bertemu dengan dosgil saya akan bertanya lagi dan mencoba memahaminya lebih dalam karena saya tertarik sekali. Nantikan jawabannya, ya!

Jumat, 13 September 2013

Decision



I am the one who plans anything at first before I take the real step. But sometimes, when I take a step, it just spontaneously happens without considering, just like the flow of fluids. Especially this night, I feel like fluid. I figure on this day as a journey of a dream. It began with initiating a form of cummunication with someone who can help me to blow interesting thought which I love the most. I don’t know why I feel I have to do this. I am visioner but I just haven’t been able to tell you. Well yeah, I still can not find the missing puzzle. You know, I have to find it before 2015.

The one who I think he can help me invited me to join a discussion in the middle of forest-town cafĂ© (the place is so comfortable with its frame house style, surrounding by high trees, providing hand-made Coffee from Sabang until Merauke and other unique drinks, and so human) with people in the forum of Pusat Studi Lingkungan. We disscussed about what can be problem solvers in the lacking of resources in Nepal by looking at many perspective from many people present related to Indonesia and many countries right now. I am excited to find another forum besides “mocopat syafaat” or “kenduri cinta” which concern to heal the world. You know, so many people become individualistic in their good life. They don’t know what to do and they get stuck on their way. Finally, they just be consumer, don’t want to be out of track, and go their life with the flow, only.

The one who I think he can help me offered me to do something which I think I really want to do it. I thought before that he would give me some case of problems and I dare to tackle it. You know what? He did. He offered me opportunity, also some choices, very good chance that needs a patient soul and hard effort. Now, I have to rethink it. Why do I need to do it, people? I cant answer it yet, there are missing puzzles. I think I will find the puzzle in every intersection of my journey. Just move, I said to myself.

It isn’t only about I dare to tackle the problem in the field which I think I’m so into it, but also about I dare to take this opportunity. First I take, I have to say goodbye with other good chances. Chances that will make many people’s life safe and comfortable. You can imagine that, right? I mean, I will choose a chance that is so challenging. It can not guarantee myself to live comfortably in this world. But let’s think, what is life if I have to subscribe to all risk insurance? For me, it isn’t meaningful enough, not memorable to human being, that kind of life is just so so. Every advance technology result, sometimes, can not help you to solve the problem, conversely it inhibits you to grow up. It is the time for me to decide and make true all I want. You know, it isn’t easy.

This is part of my journey, not even a result. So I cant share specifically and I’m sorry. I’ll tell you if I arrive at the beginning of my Log phase. I am still in my Lag phase, you know. 

Good night.