Senin, 09 Februari 2009

Our Reflection (Part 2)

Sadarkah kita walaupun cermin memantulkan bayangan yang sesuai dengan apa adanya, namun tetap saja ia subjektif. Kenapa? Karena kesimpulan akhir yang terungkap dari cermin itu tentu saja dikeluarkan oleh orang yang bercermin. Ketampanan, kecantikan, dan bayangan seindah apa pun yang terpantul dari cermin itu tentang diri kita tetap saja merupakan sesuatu yang tidak obyektif. Lantas, siapakah cermin sejati itu?

Ini sebuah kenyataan yang harus kita terima bahwa orang lainlah tempat terbaik untuk menilai diri kita, sebab penilaian orang lain relative lebih obyektif. Karena bagaimanapun, orang lain relatif lebih terbebas dari nilai-nilai ego yang begitu kuat mencengkeram kita.

Namun, keobyektifan itu bernilai mahal dengan kerelaan kita menerima penilaian bukan hanya yang bernilai positif tapi juga yang bernilai negative, mahal karena jarang orang yang berlapang dada mau menerima kekurangannya, namun ia akan bahagia bila hal sebaliknya dilakukan.

Padahal mengelola refleksi diri berupa kritik akan mengantarkan kita menjadi pemimpin yang semakin hari semakin memiliki kualitas diri mnimal untuk memimpin diri sendiri.

Hal ini karena hakikat kelapangan dada untuk menerima kritik adalah parallel dengan usaha kita melakukan perbaikan dan peningkata kualitas diri.

Budaya bercermin seharusnya kita kembangkan dalam diri melalui upaya-upaya saling mengingatkan antar kita melalui media-media yang ada, salah satunya dalam suatu kinerja tim, dan dalam pergaulan kita sehari-hari. Jadikanlah upaya saling mengingatkan sebagai sarana kita untuk menjadi orang yang lebih dewasa dalam bersikap dan berhati-hati dalam bertindak. Mengingat kita semua adalah makhluk yang lemah dan jauh dari kesempurnaan. (-setuju??????-)

-Terimakasih untuk tim HSC Human Anatomofisiologi FA UGM yang tak kenal lelah membahasakan kuliah yang lalu, handout-nya sangat membantu.. -

Our Reflection (Part 1)

Dalam kuliah Kimia Farmasi Dasar November lalu, Dr. Ritmaleni yang baru saja memperoleh gelar Philsaphato Doctoral, menyampaikan pengalamannya waktu stay di Bristol Inggris. Bahwa disana itu menghargai orang berbicara adalah sebuah tradisi yang dijunjung tinggi nilainya. Berbeda dengan disini, bahwa yang seperti itu hanyalah menjadi sebuah ungkapan tata karma saja. Tidak ada realitanya.

Ditambahkan juga oleh Bapak Mitrayana, Dosen Fisika Farmasi, bahwa untuk menghasilkan karya yang besar dan fantastis, maka seseorang itu harus banyak membaca dan mendengarkan. Karena dari sebuah perkataan yang sepele dapat memunculkan kejayaan suatu peradaban. Entah bagaimana saya juga tidak terlalu tahu, karena waktu terlanjur membatasi kuliah kami waktu itu. Tapi Pak Mitra ngendiko, bahwa sebuah perkataan adalah sebuah informasi yang harus kita cerna baik buruknya. Intinya hargailah orang berbicara.

Dapat kita lihat sewaktu inauguration Barrack Obama sebagai presiden USA yang baru, ketertiban itu terlihat di saat sang Presiden berbicara maka rakyatnya diam dan mendengarkan dengan seksama. Berbeda dengan disini, sewaktu di dalam majelis, bila ada seseorang menyampaikan orasinya maka yang seharusnya mendengarkan malah sibuk sms-an, ngobrol dengan teman sebelahnya, berbisik-bisik, lebih parah juga ada yang tertawa-tawa dan becanda sendiri. Hal ini juga terjadi di majelis tinggi NKRI sewaktu sidang paripurna. Ketika sang ketua majelis memimpin rapat, para anggota dewan malah enak-enakan tidur, mengaca untuk berhias. Whaww!! Ternyata komplit banget, tidak rakyat, tidak juga wakil rakyat, tetapi semuanya. All walks of life… Wahai teman-temanku para mahasiswa dan para pembaca sekalian, janganlah hal ini terjadi pada generasi kita. Ironis juga, kita kan orang Jawa, orang timur yang mengunggulkan tata krama dan sopan santun.

Mari kita sama-sama berbenah diri. Bukan maksud aku untuk selalu melebih-lebihkan apa yang menjadi keburukan pada apa yang kita punya. Tetapi marilah kita mengingat bahwa, Orang yang berakal adalah orang yang mau mendengarkan dan mampu mengikuti apa yang baik di antara perkataan itu. Dalam artian lain, Orang yang berakal adalah orang yang PEKA, sekali lagi.

Baiknya sekarang, marilah kita bercermin pada sang cermin sejati.

Minggu, 08 Februari 2009

Akhirnya Bertemu Teman Lama Juga... Wecome to Jogja Riztky Feby!

Waktu itu, kamis pagi, HP ku berdering tanda ada sms masuk.. Siapa ya kira-kira, pikirku. Oh dari Kiki, udah lama juga nggak ada kabar.

Kiki : Nha.. skrg q lg d jogja nh.. Lg dmn skrang?
Niha : Hwah? di Jogja? Tepatnya? Ayo ktemu Ki.. km sama sapa? Brapa hari dsini?
Kiki : D jalan Kaliurang KM 12,5.. Ayo ketemu yuk, udah lama nih nggak ketemu..hhe. Tapi di sini aku ada acara MUNAS.. ma tmen2q dsini, dan ampe hari sabtu..
Niha : Lhoh.. Aku juga di Jakal 12,5. Kok nggak bilang2 dari kmrin? Wow Keren... Munas itu apa? Musyawarah Nasional Ya?hehe
Kiki : Serius 12,5, dimananya? Aku lagi di Pesantern Pandanaran. Iya donk keren. Iya ntar aku atur deh waktunya..
Niha : Itu deket sama rumahku.. Aku ada sekitar 100 m dari kamu.. Kok bisa kebetulan gini ya.. Kmu stay-nya disitu ato dmana? Klo iya, maen deh ke tempatku. Tapi sekarang aku lg di kampus.
(Meski aku tak mau mengakui ini adalah hal yang kebetulan, karena aku percaya tak ada yg kebetulan di dunia ini, Hidup adalah desain Holistik yg sempurna!!)
Kiki : Owh gitu. Ayo atuh kita ktemu. Iya nih bisa kbetulan gitu ya.. hhe. Owh situ lg di kampus? Sip dah, kita ktemu klo km dah balik.

Kiranya begitulah percakapan aku dg Kiki alias Riztky Feby via sms.
Kiki adalah teman seperjuanganku dulu waktu kita sama-sama menimba ilmu di Pare, Kediri, JaTim. Iseng-iseng aja aku kesana karena mendapat saran dari mbak Lika untuk memanfaatkan waktu liburan untuk improve my English. Tau-taunya disana aku sekelas sama Kiki, Rifqi, Elda, sama Rahmi. Yang paling pinter dari mereka menurutku adalah si Kiki itu. Kiki berasal dari Cikarang, Jawa barat. Sedangkan Rifqi berasal dari Bandung. Mereka berdua orang Sunda tentunya, dan sedang menempuh SMA di pesantren (The Internasional Modern Boarding School) Hayatan Thoyyibah, Sukabumi. Seumuranku, waktu itu mereka sedang naik ke kelas tiga SMA, sama sepertiku. Sedangkan Rahmi adalah Orang Betawi yang tinggal di Jakarta Selatan, naik kelas dua SMA di SMA negeri di Jakarta. Yang satunya, Elda, Orang Rembang, dan masih SMP kelas tiga.

Hmmm... Waw, di Pare itu, kami belajar bahasa Inggris bersama teacher2 yang keren. Suka duka kami lewati, Hingga akhirnya aku mengenal Kiki, dkk lebih dekat.
Selama 1 bulan kami bersama. Itu adalah pengalaman yang sungguh mengesankan bagiku.
Waktu itu, bersamaan, teman2 SMA-ku di Klaten sedang berwisata di Pulau Dewata. Tapi aku memilih menghabiskan waktu liburan di Pare, Kediri. Dan ternyata aku tak menyesal tidak ikut ke Bali. Karena di Pare itu aku mendapatkan teman-teman yang hebat dan keren. Aku bersyukur, karena aku setuju dengan pepatah yang mengatakan bahwa "Banyak Teman Itu Banyak Rezeki". Aku juga bersyukur, karena sepulang dari Pare, ternyata bahasa Inggrisku meningkat drastis. Gimana nggak, selama sebulan, whole day on there, I spoke in English.
Itulah pengalaman hidup yang tidak banyak orang dapat merasakannya. Tidak hanya Kiki, dkk saja aku mengenal orang. Banyak temanku disana yang lain. Selama ini kami masih berhubungan.. Diantaranya, ada miss Wulan dari Karawang (sekarang dia Kuliah di IPB), trus ada Kak Dede dari Bogor (yang tak henti2nya ngasih aku semangat, sampai saat ini), miss Ayiz (sekarang kuliah di ITS), dan baaaaanyak lagi. Alhamdulillah sekali kan banyak teman..

Tibalah saatnya aku berpisah dengan Kiki, Rifqi, dan Rahmi. Mereka bertiga pulang bareng naik kereta ke Bandung. (Tiketnya itu yang beli aku,Rifqi, sama Pharma di Jombang, What an amazing Travelling deh, dari Kediri ke Jombang naik bus sama becak, Wahahaha, bikin ketawa kalo inget, soalnya kita bertiga sempat salah bus dan becak yang kami naiki itu sampe bannya bocorrr, kebanyakan muatan.)
Aku dan Elda mengantar mereka bertiga sampe pertigaan Pare. Nangis juga. Lha gimana, baru saja kami kenal dan merasa sangat dekat, kok tiba2 langsung berpisah tanpa tau kapan kami ketemu lagi.

Itulah perjumpaanku yang terakhir sama Kiki, di pertigaan Pare sewaktu naik ke tangga Bis. Sampai Akhirnya pada hari Sabtu kemarin aku dipertemukan lagi dengan Kiki. Kira sudah satu tahun tujuh bulanlah kami tak berjumpa. Sekarang, Kiki kuliah di ITB jurusan Farmasi, sama sepertiku, tapi aku di UGM. Sedangkan Rifqi, di UIN Bandung (katanya nurutin ayahnya). Rahmi, sejauh ini masih SMA (katanya mau masuk Psikologi UI). Kami smua telah berkiprah dengan kesuksesan kami masing2.
Dulu Kiki sempat diterima di Teknik Kimia UGM lewat jalur PBS, tapi akhirnya dilepas gara2 dapat beasiswa ke Farmasi ITB (beasiswa mpe lulusss Bo...), keren dah Ki dirimu. Memang cerdas sih...
Nah kemarin itu, Kiki di jogja juga karena ngurus beasiswa yang di dapat itu. Tapi dari sekian banyak tempat yang dapat dijadiin setting but ketemu kok ya di Ponpes Pandanaran situh tempatnya.

Sabtu pagi itu aku ngobrol panjang lebar sama dia di serambi rumah orang dan meminjam kursi panjang yang punya rumah itu (pede banget, soalnya nggak bilang2 ma yg punya, hahaha).
Kami memperdebatkan Antara Kuliah di di ITB sama UGM. Saling memuji Universitas masing2 tentunya. Akhirnya tak ada yang kalah sama yang menang, karena UGM dan ITB memang sama2 keren. Kandidat penerima beasiswa terbanyak di Indonesia dari yayasan2 (Foundation). Yah kita saling mensyukuri, karena apa yang kami dapat tak lepas dari usaha dan kerja keras masing2. Terbincang-bincang juga suatu rencana untuk daftar kimia farma bareng setelah lulus nanti. Atau kalau nggak gitu, ya melamar beasiswa S2 bareng di suatu Foundation terkenal.
Dua jam lebih kami ngobrol, ditemani Maulana, kakak kelas Kiki dari Teknik Informatika ITB.
Sorenya kita ketemu lagi di Malioboro ( nggak hujan, aneh ya... karena biasanya hujan turun tiap sore). Di Malioboro itu, mereka belanja beli oleh2 sambil foto2. Aku menemani mereka karena di suruh menawar harga. Katanya kalau yang menawar orang Jawa, harganya bisa lumayan (beugh...aku mah juga tak canggih buat tawar menawar gitu). Aku sempat ditraktir minuman enak oleh Kiki, thanks yak friend..hehe. Di samping itu kita juga foto2 bareng, Kapan lagi ke Jogja, Choy! hwehe...

Menjelang maghrib aku pulang donk.. sementara mereka menuju masjid. Mereka dapat tiket kereta jam 9.30 malam dari stasiun Tugu, Jogja. Waah berpisah lagi deh. Ya sudah, memang tak ada pertemuan abadi. Dan juga Tak ada perpisahan abadi, itu yang aku yakini =)
Mereka mengajakku ke Bandung. Kapan2 deh... Jawabku. Aku juga ada rencana kesana sih, liburan nanti sama Mesa. Ntah jadi ntah tidak lihat saja nanti.. Hmmm. Manusia merencanakan, Allah yang menentukan.
Selamat Jalan Riztky Feby, semoga selamat sampai tujuan, Salam buat Bandung ya!