Senin, 15 November 2010

Jakarta dan Jakarta


Jakarta.
Orang desa seperti saya masuk Jakarta setuju dengan pemikiran pribadi bahwasannya : komentar yang pertama-tama keluar dari hati dan mulut seseorang yang pertama kali “menyaksikan” Ibukota Jakarta adalah sebuah puisi yang pasti menggambarkan ke-ironi-an kota itu, The Indonesia Capital Region. Saat kukunjungi kemaren, Jakarta nampak abstrak. tak terasa denyut nadinya. Jakarta kemaren, tak kurasakan bahwa di sudut2nya terdapat kesemrawutan moral di balik kemegahan gedung2 tingginya. Hanya sebuah pikiran, apa benar gedung-gedung semegah itu, yang bertengger gagah di atas bumi pertiwi ini rela dihuni para pejabat bermental semrawut? Serta bayangan-bayangan di daerah Indonesia di pulau terpencil sana, dari mereka ada yang sangat bangga menjadi orang Indonesia. Apa yang mereka pikir dan katakan pertama kali saat melihat ibukota yang seperti ini?

Jakarta.
Perjalanan ke Ibukota yang “lumayan jauh bikin jenuh” kemarin adalah kali kesekianku mengendarai kereta besi alias kereta api. Yak! Hasil dari mengendarai kereta api saat itu adalah sebuah ketidak ikhlasan dalam hati. Gilee yah, PT. KAI adalah perusahaan paling diskriminatif sedunia, menurut saya (dan mungkin juga menurut orang2). Gimana enggak, perusahaan tersebut membeda-bedakan kelas sosial, masak ya, soal turun saja penumpang kelas ekonomi harus beda stasiun dengan penumpang kelas eksekutif/bisnis. Dugaan saya, ini terjadi di seluruh kota2 besar di Indonesia. Contohnya saja di Yogya dengan Lempuyangan dan Tugu-nya. Jakarta dengan Gambir, Pasar Senen, dan lainnya.
Selain itu, saat hari libur gitu harga kereta ekonomi dengan bisnis bedanya pun sampai hampir 10 kali lipat. Belum eksekutifnya… Oh… GOSH! How hell. Ini adalah soal “perbedaan” yang sama sekali nggak bisa ditolerir. Menurutku, gerbong kereta ekonomi dan bisnis itu dari segi kebagusannya aja bahkan nggak ada bedanya. Yang membedakan tentu saja hanya orang-orang yang naiknya. Kalo kelas ekonomi biasa dinaiki orang2 yang mirip preman, kelas bisnis biasa dinaiki orang2 yang mirip pelajar sopan. Tapi kok…. Harganya itu lhoo, selisihnya SELANGIT. Bener2 nggak terima. Kapok dah naik kereta.
Kalo dulu, ke Jombang naiknya eksekutif. Dulu mah masih kecil, nggak mikir mau kritis dll. Apalagi Cuma seharga 70 rebos nyampe Tugu Yogya. Aku sih iyo-iyo dan enyo-enyo aja. Aku ingat, dulu agak nggrundel juga sih, mosok AC-nya nggak nyala, trus bedanya itu paling2 cuma tempat duduknya yang lebih empuk. Ealah!  Kalo kayak gini, rasanya jadi mulai lagi buat ngiri berat sama Negeri Matahari Terbit sono. Nggak perlu susah peluh buat setor asap berpolusi ria di jalanan pake motor, bis dll, nggak perlu mahal2 beli avtur buat naik pesawat, mungkin cukup goceng buat naik kereta besi keliling pulau satu ke pulau lain sepuasnya. Oh mimpi………….
NOBODY SCREAMS, BUT EVERY HEART DOES!!