Sabtu, 30 Mei 2015

Memori with The Big Brother

Aku bertemu dengannya sewaktu kuliah farmakognosi semester 2, dia mengulang mata kuliah itu karena tidak lulus padahal sudah semester 8. Suaranya khas nggemprag-nggemprang di dalam kelas, kami segrup-diskusi membahas suatu alkaloid. Dia memberitahuku waktu itu dia sangat sibuk, harus mengulang banyak mata kuliah karena IPK-nya belum sampai tiga koma, padahal mau lulus.

Aku bertemu lagi dengannya di laboratorium kimia organik dimana dia menjadi kepala asisten laboratorium tersebut dan kami anak-anak semester 2 menjalani praktikum kimia organik. Terlihat dia lari-lari dari lantai atas, ternyata dia juga sedang nge-lab mengerjakan proyek skripsinya di laboratorium penelitian unit 4. Dia memberitahu kami bahwa hari itu dia nggak mandi, sengaja, karena di laboratorium penelitian dia memakai anisaldehid yang wangi sebagai "starting molecule" sintesis obatnya, yang bau wanginya semerbak memenuhi ruangan sampai ke baju dan jas lab-nya.

Sewaktu mengasisteni kami, dia yang membawakan dan memasangkan semua alat sintesisnya, membagikan soal pretes-postes dan menilainya sekaligus. Dia terlihat sangat ahli dalam memecahkan masalah sintesis organik, sintesis obat.
Ketika kami bertanya tentang reaksi organik dan dia mengajari kami, kami semua mengerumuninya mendengarkan jawaban dan coret-coretannya di kertas. Tak sampai beberapa menit, reaksi yang bagi kami susah, bagi dia selalu bisa dia jawab tak lebih dari beberapa detik, selalu tahu bentuk molekul akhirnya seperti apa, tahu katalisatornya apa, basanya atau asamnya nyerang atau nempel gugus mana.

"Halo, mas Napi ya? need help nih, 2 minggu lagi ujian akhir kimia organik, mau tanya-tanya mas."
"Ini jam berapa woy, lapar, mau nyari makan siang dulu. Kalo mau sini diskusi di depan bank Mandiri, ada es buah dan bakso Pak Kumis, mak nyus".
"Traktir? Asik...! Uangmu banyak pa mas?"
"Iya donk, kan aku kerja, jadi guru les anak-anak SMA Bopkri."
"Wah keren."
"Nanti kalo aku udah pensiun jadi guru les, muridku aku kasih kamu, nanti kamu kerja kayak aku, lumayan lho dapat tambahan uang saku, hihi.."

Sejak saat itu, es buah Pak Kumis depan bank Mandiri selalu jadi langgananku sampai terakhir kali aku di jogja. Jadilah aku guru les Matematika dan Kimia anak SMA Bopkri setelah dia meninggalkan dunia kampus untuk melancong ke Industri Farmasi ternama di Indonesia. Jadilah aku mendapat nilai A di mata kuliah dan praktikum Kimia Organik, jadilah Kimia Organik sangat gampang bagiku, jadilah itu mata kuliah favoritku, jadilah itu tema skripsiku.

Suatu siang, aku jalan menuju unit III hendak praktikum Sediaan Padat, terlihat sebuah kertas HVS bergambar The Young Napi when he was in OSPEK tertempel di pintu kaca gedung. "HADIRILAH SIDANG SKRIPSI TERBUKA ORATOR ULUNG KITA: NAPI. JUDUL: SINTESIS bla bla bla...". Dalam hati, "Wuah, the big brother will have a thesis defence! I'm sure he will pass with very high score."

"Mas, aku lagi stuck, sintesisku nggak jalan, dosenku nambahin analisa pakai kimia komputasi, pusiiing.."
"Kasih workflow-mu ke aku, nanti aku koreksi, cepetaaaan."
Dia pun memberi workflow alternatif untuk sintesis obat dalam skripsiku.
"Docking-nya gimana.. hiks."
"Tenang, ada temenku yang ahli di bidang itu, dia pasti bisa bantu kamu."
"Lewat FB, aku dikenalkan dengan temannya berinisial Mas Dep."
Sejak saat itu, skripsi berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Sampai sekarang pula aku masih menyimpan hard cover skripsi 50 halamannya di dalam lemari kecilku di Yogyakarta, yang waktu itu kupinjam sebagai bahan bacaan waktu mau sidang.

"Halo, Mas Napi? Need help mas, minggu depan mau ujian kompre apoteker, kamu kan apoteker canggih, supervisor produksi di mana-mana. Ajariiin..."
"Wani piro?"
"Piro-piro wis.."
"Healah ucrit ket mbyen ra berubah, ra ana mas-mbak liyane?"
"Ora, nek karo kowe aku gampang paham, cepetan toh, need help."
Datanglah mas Napi suatu pekan dari Salatiga tempat dia bekerja di perusahaan modal asing ternama, mengajariku tentang sistem produksi, PPIC, quality control, quality assurance industri farmasi. Dia juga yang memberiku clue orang-orang industri yang sering jadi penguji ujian komprehensif apoteker di Farmasi UGM, macam orangnya, soal-soalnya, dll. "Don't be nervous, they will like you, little cherry. You've been so good so far." katanya menenangkanku yang nervous mau ujian. Atas bimbingannya, aku mendapat nilai A di semua subyek ujian komprehensif tersebut. "Let's celebrate the day in Rumah Pohon, dude".

"Mas, kamu kenapa resign dari Ka*be? Padahal orangorang di sana menyukaimu, kamu potensial jadi manager pula"
"I don't like the city, too crowded, not suitable for human being. I don't think I wuld spend the rest of my life in such city. Let's see Salatiga, it's just heaven, really heaven. Nggak pernah macet, nggak pernah banjir, nggak pernah gempa, desanya tenang, penduduknya aman damai sejahtera. Aku bahkan sudah beli tanah luas di Salatiga, I'm in love with the city. Tinggal bangun rumahnya, sekarang sedang proses, kapan-kapan mampirlah ke gubukku."

"Halo, Crit. Kamu di Semarang kan? minggu ini pulkam nggak? Katanya mau mampir Salatiga kapan-kapan, taktageh lho! Ayo pulang bareng."
"Nggak bisa minggu ini mas, aku ngurus beasiswa."
"Beasiswa, for what?"
Akhirnya belum pernah aku menyambangi Mas Napi di Salatiga, sampai sekarang.

Suatu waktu di warung soto.
"Mas, aku mau ke Belanda nih."
"Ngapain? mau nyari apa di sana?"
"Nyari pengalaman."
"Are you mad?"
"Totally mad."
"What's wrong with you? or Indonesia? so you want to leave your life here?"
"Nothing is wrong, I think it's awesome to go abroad."
"Kamu nggak mikir calon suami? Sejak pacaran LDR, lulus kuliah LDR, habis nikah jangan-jangan LDR juga. Niatmu apa? Kalo aku jadi dia, udah aku tinggal kamu."
"Makanya aku nggak nikah sama kamu, nikahnya sama yang mau aku tinggal, hihi.. becanda."
"Kamu benar-benar keterlaluan mengejar passion."
"Ini salahmu, tau."
"Maksudnyah? Ucrit, kamu ada-ada saja."

"Halo, mas Napi? Mas aku mau nikah."
"Are you mad?"
"Pretty much. Minta kadooo..."
"Mau kado apaan?"
"Whatever is good. Would you like to come to my wedding?"
"I already have appointment, sorry to say."
Saya pun sedih.

--------------------------------------------------------------------
Today is Mas Napi's wedding day.
Selamat menikah mas Napi, semoga bisa menjadi imam yang baik untuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, langgeng cintanya sama istri, dan cepat diberi momongan. :) Ngomong-ngomong, tanggal pernikahan kita selisih sehari lho. Kemarin ulang tahun pernikahanku yang pertama dengan suami, namun tak ada perayaan apa-apa, tak ada kata apa-apa, hanya berjalan layaknya hari biasa. Terimakasih sudah menjadi kakak akademis, kakak dolan, dan penasehat yang baik dalam segala hal di kehidupan saya semasa kuliah S1 dan Apoteker dulu. Darimu saya belajar banyak hal, tentang logika dan kesederhanaan hidup. Pertemuan denganmu adalah salah satu alasan aku berangkat ke Belanda, darimu aku mengenal kakak-kakak akademis lain yang secara tak langsung menuntun jalanku sampai sini. Mungkin kamu tak sadar akan hal itu, sekarang aku memberitahumu. Tak banyak yang bisa aku perbuat untuk membalas semua kebaikanmu. Namun, aku akan tetap menyimpan memorinya dengan rapi. Terimakasih, selamat berbahagia dan menempuh hidup baru.

- your little cherry - 
Vossendijk, 30 May 2015
--------------------------------------------------------------------

Minggu, 24 Mei 2015

Unraveling The World Outside

I have visited several cities in Europe when I had some break seasons of academic activities in the university. Let me remember, I was in Cologne when it was Autumn. I had been in Paris, Versailles, Bern, Luzern, Titlis, Zurich, Geneva, Munich, Salzburg during winter break. Recently, I visited Budapest, Vienna, Hallstatt, and St. Wolfgang. I am grateful to have memory because I had no clue in what extent I have to go and visit all those cities. By visiting the cities in Europe blindly, I came into boredom of their model because in many ways they are almost the same as each other. They exhibit old and well maintained historical building, with well regulated traffic, high tech and convenient transportation, large pedestrian area, and many equipped things that make your living become so much easier. Of course not all things are automatic over there, fortunately, they still empower human capital. Oh yeah, they built such peaceful yet complex place model with human brain and human labor decade by decade. Hallstatt is one place that I found it different from the others. It gives you mountainous place with lake in the slope of its hills as scenery that indulges your eyes along the way you go there.

Well, I always say this joke-like sentence to my friend every time we visit the cities in Europe “we have this kind of place in Indonesia, you know. We just have to pay more attention to our beautiful and rich country. Let's say Hallstatt. People come here and praise its magnificent beauty. What if these people were going to Toba Lake, I'm sure they would also say that our country has a really breathtaking place to visit.”
My friend then said, “do you also mean that they who travel here also have beautiful spots in their own country?”.
“Of course they have. That's why I said that exoticism means the hybridization of human culture and the nature itself. Every human culture is not comparable, they make their own way of being exotic”
“So, why are you comparing this place to our country?”
“I am not . Just give an insight that we should not discredit ours far there when we are witnessing the beauty of other country, here”
“Just save that thought in your mind, keep it tightly, we are here anyway, let's just enjoy our trip. It's once in a life time moment, remember?”
“Which moment is it not once in a life time? I don't remember.”
“Shut up!”

In fact, during my life time in Indonesia, I never went out of Java. I even never visited Bali or Madura or Bromo or Tea field in Bandung. At least, I saw their gorgeous pics in the Internet tho. Hahaha.. It lets me see my life in the other perspective that I had been so much happy living in the village with my family without going anywhere. I really treasured my life in Klaten-Jogja and am proud to be an innocent “gadis desa”. Because by that way, I became a fully loved-human. My family and my home are sort of sanctuary which I always miss when I am far from them. My decision to go abroad was spontaneous. Once, I said to my mother and father that I wanted to stay in the very different place from our village, I wanted to see the world outside like what we used to see in television, Internet, calendars, postcards, like what is stated in many books that I read. I wanted to prove that those places are really day dreaming place to live in. I wondered what kind of people who live there, how cold it is in winter, how developed their country, how advance their technology, how peaceful and classic it is, and many things. I admit that this place is just awesome, exactly like what it is written in the books. I am experiencing it now. But after really exploring those places a while, I realize that these beauty were not built instantly or free of charge. This simple beauty is not really simple, we do not know what really happened in the past, the turmoil, the revolution, the sacrifice of the ancestors, and much things that make these places become like this now. If we want to see the projection of our nation's future, just take a look at what we are doing now because that is the investment for the future. Do we also do some sacrifice for our successor? Seeing our nation is still struggling to be good, I think yes we do. Are we living peacefully in our country now? with this kind of government and societies, not that much! :))

All in all, I urge to come back to my country, Indonesia. I found Indonesia, with its flaws in many things, is the best place for me to live. I want to be a part of my nation in its journey to seek for its unique identity. I want my country to be different from the others, advance in its way, beautiful in its way. If we only imitate the way other countries develop, we have to lose our culture while I see culture is part of our identity. For instance, you will never see a sort of intimacy of neighborhood in Europe, no “nyinoman”, no “angkringan”. You will also never see hospitality in the society when it comes to an event such as Idul Fitri, no “mudik”, no youth comes back to visit the elders, and so on. Our own culture is unbeatable, right?

I count my living abroad as an experience to leave my comfort zone to get more matured. I was living very comfortably in the village with all the people I love. You know, living abroad is really hard for me, beyond my previous imagination. Actually, living in the metropolitan area such as Jakarta is kind of leaving comfort zone, haha.. why not? Don't we feel sorry to them who allow themselves to live in such polluted, traffic, urban place? All they are doing is working whole day until they do not remember sometimes who they are, what they aim to do thing. They live without warm neighbor because everyone tends to be individualist, because everything is available, already there if we have money, we don't depend on people anymore. But people dare to do that, they want to do that, to test how strong they are. Are they finally getting matured after coming back to their village for a while? Some yes, the other no. Even they lose their identity, no culture remains in their attitude. My friend who wanted to leave his job in Solo and moved to Jakarta said that he left his comfort zone. Coming to Jakarta means struggle, you learn something there. That is just an analogue, I do not want to lose my culture of being an innocent “gadis desa”, being the real Javanese. I just want to grab something that I need here to be brought to my sanctuary as a wisdom of life. For me, to travel is to open mind widely, increase knowledge, and respect culture.

Jumat, 15 Mei 2015

Sahabat

Hai, kali ini saya ingin cerita bahwa ternyata setelah saya sadari, mendapatkan teman yang 'klik' itu sulit sekali. Minggu lalu saya berdiskusi dengan salah seorang teman saya di sini tentang banyak hal, salah satunya tentang perkawanan. Menurut dia, dia tidak membutuhkan seorang teman untuk menjadi sahabat dekat karena dia hanya membutuhkan 'link' dan suami. Pada akhirnya semua orang akan menikah dan suami/istrinyalah nanti yang pasti menjadi teman hidupnya. Sehingga bukan sahabat, dia lebih membutuhkan 'link' atau 'network' yang bisa bermanfaat baginya. Bagi saya, tentu ada beda pengertian antara 'link' dan sahabat. Namun, di umur segini (sudah hampir seperempat abad) pencarian sahabat memang tidak semenarik waktu masih 'teenager' sih buat kebanyakan orang. Tapi bagiku, sampai tua pun aku akan tetap mencari seseorang yang bisa aku jadikan sahabat baik. Karena memiliki banyak sahabat itu.. 'priceless'.

Aku yang sudah memiliki suami dan belajar dari semua orang yang sudah memiliki keluarga mempunyai pemikiran bahwa tidak secara kontinyu suami akan pasti ada untuk kita. Suami dan sahabat tidak bisa dibandingkan. Ada momen ketika kita membutuhkan jarak darinya untuk 'refresh' dari kehidupan rumah tangga yang tentu tidak jauh-jauh dari masalah lalu kembali berasosiasi dengan sahabat dekat kita untuk berbagi cerita. Menurutku, menggantungkan diri kita 100% ke suami tidaklah terlalu bagus untuk diri kita. Begitu pula bila seorang suami tidak memiliki teman dekat kecuali istrinya, itu tidaklah keren. Aku sendiri bersyukur memiliki suami yang memiliki banyak sahabat dekat, dia selalu ada untuk sahabat-sahabatnya, dia pandai membangun hubungan sosial. Dengan kehidupan yang seperti itu, aku merasa sangat aman dan nyaman di dekatnya. Oleh karena itu, aku juga tidak boleh hanya memilik suami saja, aku harus juga memiliki sahabat dekat dan membangun hubungan sosial yang membuat hidup menjadi tidak membosankan. Sahabat yang bisa diajak berbagi cerita, berbagi pengetahuan, meningkatkan kualitas spiritual, memperlebar tali silarurahmi, mengisi ruang-ruang di jiwa, dll.

Kembali ke masalah sulitnya mencari sahabat dekat tadi. Menurutku, menemukan sahabat dekat seperti menemukan jodoh. Kalau belum dipertemukan maka nggak akan ada. Ketika kita bersosialisasi, tidak mudah menemukan seseorang yang cocok dengan tipe diri kita. Ada teman yang bisa membuat kita menjadi diri kita sendiri, teman yang terbuka kepada kita, yang membuat kita mau menceritakan hal-hal mendalam tentang diri kita kepadanya tanpa ada perasaan yang tersekat-sekat. Ada pula teman yang membuat mental kita turun ketika harus bersosialisasi dengan mereka, ada yang gaya hidup atau kepribadiannya tidak cocok dengan kita sehingga kita lebih memilih diam daripada bercerita banyak hal (paling nggak menyapa saja cukup), membuat kita merasa inferior, tipe obrolan maupun gaya berbicaranya tidak menarik minat kita. Jadi, karena menemukan sahabat dekat itu sulit, aku akan berusaha tidak menyia-nyiakan sahabat yang sudah aku punya, akan berusaha selalu ada bila mereka membutuhkan, meminta ijin kepada suami untuk memberikan waktu berbagi dengan mereka.

Senin, 04 Mei 2015

Memori Menjelang Tidur

Suatu memori sebelum tidur yang mengalun dalam pikiran terbayang raga ayah ibu di suatu tempat di Yogyakarta dimana tangan kecilku digandeng oleh mereka memasuki kompleks Ali Maksum. Aku bersama ibu bersalaman dengan para orang tua, aku didudukkan ibu di atas karpet bersama mereka-mereka, kami membaca sholawat bersama, mendengarkan pidato Sang Kiai sampai lewat jam malam, aku tidak rewel, aku pendiam mengikuti gerik ibu, aku penurut, aku ngantuk, ibu menidurkanku, membaringkanku sambil menepuk-nepuk bahuku, sampai aku pun tertidur lelap di tengah ribuan orang-orang di pondok itu. Aku terbangun digendongan punggung ayah, di pangkuan ibu di dalam mobil. Kami pulang bersama ke rumah, aku tidur di atas kasurku yang nyaman, dicium keningku oleh ibu. Ayah, ibu, I will never forget that peaceful moment.

Minggu, 03 Mei 2015

Keyakinan dan Prasangka Baik


I keep the faith on you, you've promised me.
Banyak sekali nilai-nilai baik dari penerapan keyakinan dan prasangka baik. Terjadinya sesuatu yang buruk, boleh jadi dikarenakan kita tidak berprasangka baik terhadap sesuatu, tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadapnya. Apabila kita yakin, kita akan selalu berprasangka baik. Memang dalam bersosial, berkeyakinan kepada manusia tidak bisa menjamin untuk menusia tersebut tidak merusak keyakinan kita terhadapnya. Tapi menurutku, tidak ada yang salah kita memiliki suatu keyakinan kepada manusia, karena keyakinan menumbuhkan prasangka yang baik. Toh apabila manusia merusak keyakinanmu, tidak menepati janji, itu bukan salahmu, kau tidak sedang berada di jalan yang salah untuk sudah menaruh kepercayaan dan berprasangka yang baik kepadanya. Bukan kamu yang akan menanggung akibatnya pada akhirnya, melainkan ia yang mengingkarinya, untuk merasa bersalah seumur hidupnya kecuali manusia tersebut menyesali kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi. Keyakinan dan prasangka baik kita terhadap orang lain akan mendorong orang lain tersebut untuk tidak mengecewakan kita, memberikan pelajaran kepadanya bahwa betapa dia tidak seharusnya bersikap ingkar. Apabila kita telah dipercaya oleh seseorang, tidak seharusnyalah kita merusak kepercayaannya. Sebaliknya, kita harus berusaha menjaga kepercayaannya sesulit apa pun itu. Bertanggungjawab. Harga sebuah kepercayaan adalah mahal, karena manusia bukan Tuhan, bahwa betapa sulit membangun kepercayaan dan menumbuhkan prasangka baik. Orang lain menaruh kepercayaan kepada kita atas dasar kata hati orang tersebut bahwa dia melihat sesuatu yang baik dan tulus dalam diri kita sehingga dia yakin kepada kita. Manusia yang saling percaya satu sama lain, saling menopang dalam menjaga tegaknya kebenaran, adalah awal dari sebuah persatuan. Manusia-manusia yang bersatu adalah aset yang sangat berharga untuk menjadikan dunia lebih baik.

Keep thinking positive and you'll be fine.
Prasangka baik itu menyehatkan jiwa dan raga. Berprasangka baik terhadap segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan memberikan kita kekuatan untuk melakukan hal baik hari ini karena kamu tidak sempat memikirkan hal-hal buruk yang bisa merusak pikiran dan keyakinan. Prasangka baik melapangkan jalanmu meraih cita-cita dan harapan, membuat jiwa menjadi tenang. Kamu berusaha dengan mantap, tidak setengah-setengah. Setelah itu, tentu saja sesuatu yang baik pada akhirnya akan terjadi. Aku juga percaya bahwa ada keterhubungan antara hati manusia dengan alam semesta, secara tidak langsung. Aku pernah mendengar hadits qudsi bahwa Tuhan berfirman "Aku (tergantung) prasangkaan hamba-Ku kepada-Ku", begitu karena aku beragama Islam. Kita yakin bila hal baik akan terjadi, maka ia akan benar-benar terjadi. Bila pun tidak terjadi seperti yang kita harapkan, hal tersebut adalah investasi akan kejadian selanjutnya, yang terbaik bagi kita.


Inspired by:

~ On Prince's Tale ~

Snape said,“Karkaroff intends to flee if the Mark burns."
"Does he?" said Dumbledore softly, as Fleur Delacour and Roger Davies came giggling in from the grounds. "And are you tempted to join him?"
"No," said Snape, his black eyes on Fleur's and Roger's retreating figures. "I am not such a coward."
"No," agreed Dumbledore. You are a braver man by far
than Igor Karkaroff. You know, I sometimes think we Sort too soon..."
He walked away, leaving Snape looking stricken.”

~ On football pitch after pinalty kick game ~

Jungsoo: Why do you not ask me about me and Taehwa Oppa? Just ask me, and I will tell you.
Songjoo:  I don't care about your past. It is enough that you are with me now. Hey, give me the box, I will fill it with something
Jungsoo: What is it?
Songjoo: I don't even know what it is.
Jungsoo: I know, faith.
Songjoo: When you say it's left side, I go to the left. When you say it's right side, I go to the right. I trust you without doubt.

~ Salman al Farisi ~

 "Pemuda yang jujur,” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash?" 
Sungguh jangan sampai orang mengatakan,“ kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas,Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin.“ 
"Dan kau Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?" 
Sungguh jangan sampai orang bicara,“ ujar Salman dengan wajah yang teguh, Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.“ 
....

“Mengapa kalian tiba-tiba berubah fikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban.
Agar jangan sampai ada yang mengatakan, ” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang. "