Tampilkan postingan dengan label Europe. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Europe. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Januari 2016

Jendela

seketika kupandang jendela besar di samping tempat dudukku
aku dapati pemandangan yang tidak sama
seorang laki-laki berjaket tebal dan bersyal berjalan cepat
dua orang perempuan berambut pirang melaju dengan sepedanya
di sampingku terdengar ketikan cepat keyboard dengan komputer yang berderet-deret
di luar lonceng gereja kampus berdentang-dentang sesore ini

sepertinya baru beberapa detik lalu
aku menyaksikan dari jendela lebar di kamarku setelah subuh
ketika ada rombongan santri bersarung, berbaju koko, bersandal jepit, dan berpeci rapi
sesekali kucium bau minyak wangi dari luar yang sangat khas
mereka berjalan cepat ke arah pondok sambil membawa kitab
sambil melagukan nadzom-nadzom berbarengan dengan nada beraturan
di barisan paling belakang berjalanlah seorang kyai sambil melagukan shalawat dengan merdu

ah, ternyata aku barusan tertidur di perpustakaan
kampung halamanku yang syahdu, tak pernah sekali pun aku lupa padanya
tempat dimana aku tumbuh
di rumah bapak ibuku
tempat dimana aku mengukir mimpi untuk dapat terus berjalan dan berlajar
seperti santri-santri itu
sampai sepintar dan sealim kyai itu

Tuhan pun memperkenankan impian kecil itu
sehingga sekarang aku di sini
di ujung benua nun jauh yang tak terbayangkan oleh ayah-ibu
mencoba menggali, merenungi, menghayati setiap titik demi titik ayatNya
hingga begitu terasa betapa kecil dan takberdayanya aku
hingga begitu terasa betapa semakin Maha Besar Ia.

takhentinya aku haturkan terimakasih kepadaNya atas kesempatan ini
kesempatan untuk aku dapat membuka pikiran selebar-lebarnya
untuk mengasah saraf sensorik dan motorikku agar lebih tanggap terhadap setiap petunjukNya
untuk semakin mendekat kepadaNya, mengenaliNya lebih jauh, dan mendamba cintaNya.
Tuhan, hamba mohon bimbinganMu.


in Radboud Library
Erasmuslaan, Nijmegen

Rabu, 30 Desember 2015

Faith



Suatu kali di Vienna musim semi lalu ketika sedang berjalan sendirian menyisiri jantung kota yang klasik itu, aku tiba di sebuah taman, Volksgarden namanya. Rupanya di sekitar Hofburg Palace sedang ada pertunjukan orchestra, Philharmonic. Aku pun menunggu untuk menyaksikan pertunjukan itu, sambil mengambil beberapa foto taman dan orang-orang di sana. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berkebangsaan Austria menyapa dan mengajakku ngobrol. Secara langsung dia memberi pernyataan bahwa aku seorang muslim karena memakai jilbab. Aku pun nggak terlalu terkejut, dan membenarkan penyataannya. Selanjutnya wanita itu bertanya kepadaku tentang Islam, agama yang kuanut. Beberapa pertanyaannya adalah:
  1. Mengapa kamu beragama Islam? Tidakkah karena tradisi?
  2. Apakah kamu tidak mencoba membandingkan agamamu dengan agama lain lalu mencari kebenaran di antaranya? Apakah kamu pernah membaca Bible?
  3. Apakah kau menganggap Islam agama paling benar?
  4. Bisakah kau ceritakan kepadaku tentang Muhammad?
  5. Muhammad memiliki istri yang sangat banyak. Bukankah dia orang yang disucikan? Mengapa dia berpoligami? Tidakkah itu melanggar hak asasi? Apa pendapatmu tentang itu?
  6. Aku tidak paham tentang konsep bahwa Muhammad pernah diangkat ke langit lalu kembali lagi. Bisakah kau menceritakan detailnya bagaimana seorang manusia bisa sampai surga lalu kembali ke bumi?
  7. Mengapa orang Islam menyembah sesuatu yang tidak kelihatan? Bagaimana kamu mempercayai Tuhan yang tidak ada wujudnya? Ketika kamu sembahyang, apa yang kamu sembah?
  8. Tidakkah kau tertarik untuk mengetahui siapa Jesus? Jesus berinkarnasi menjadi manusia, hidup, lalu mati untuk menebus dosa manusia. Kalau kalau berdosa, siapa yang akan menjamin surga bagimu? Bukankah Jesus sangat pengasih sehingga mau turun menjadi manusia dan menebus dosa?

Kami mengobrol cukup lama hanya untuk aku menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan wanita itu, kira-kira hampir dua jam kami berdiri sampai kakiku terasa mau copot. Bahkan ibu itu menawariku untuk duduk di bangku taman, namun ternyata tidak ada yang kosong sehingga kami harus berdiri. Jujur saja, aku tidak pernah membayangkan akan ditanya tentang keyakinanku beragama Islam secara random oleh orang yang tidak aku kenal di negeri antah berantah. Pertanyaan ibu itu sedikit banyak membuatku merombak ulang tentang bagaimana aku berkeyakinan terhadap Allah Yang Maha Tunggal. Sebenarnya tidak ada yang berubah dengan keyakinanku, malah semakin bertambah karena pertanyaan wanita itu, hanya saja, aku perlu merapikan konsep ketuhanan yang aku anut sehingga aku lebih paham bagaimana cara menjawab segala pertanyaan random dari orang yang ingin mengetahui Islam lebih jauh seperti wanita Vienna itu. Setelah aku tanya apa agamanya, dia menjawab bahwa dia penganut Christian. Jawabanku kepada wanita itu, kira-kira begini:
  1. Aku memang beragama Islam karena orang tuaku beragama Islam. Sejak kecil aku belajar untuk mengetahui bahwa Tuhan itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Allah. Sejak kecil aku belajar ilmu Tauhid, ayah memberi tahu bahwa belajar Tauhid itu wajib bagi setiap manusia. Setiap manusia wajib mengetahui bahwa Tuhan yang wajib disembah itu tunggal. Aku dan dunia seisinya ini diciptakan oleh Allah Yang Tunggal, yang Maha Kuasa, dan aku pikir itu masuk akal. Karena masuk akal, aku bersyukur sampai saat ini bahwa aku dilahirkan di tengah keluarga yang beragama Islam, agama yang dibawa Muhammad SAW, yang pernah bertemu dan berbicara sendiri dengan Allah Yang Tunggal. Jadi, memang awalnya aku beragama karena tradisi, tapi sekarang aku beragama karena keyakinanku sendiri. Aku sembahyang karena keinginan dan kebutuhanku sendiri, aku membaca Al Qur’an karena keinginan dan kesukaanku sendiri. 
  2. Aku tidak tertarik mempelajari agama lain karena aku mempunyai konsep yang sempurna tentang Tuhan maupun semesta dan seisinya yang dijelaskan lewat Al-Qur’an. Aku pernah membaca Bible. Ayahku memiliki satu Bible di rumah, entah Bible Markus, Mathius, Lukas, atau yang lain aku tidak tahu. Aku tidak paham mengapa ada banyak versi injil dengan beberapa perbedaan, yang mana yang benar? Berbeda dengan Al Qur’an yang cuma ada satu versi di seluruh dunia ini, yang di dalamnya berisi kalimat-kalimat langsung dari Tuhan, bukan dari ucapan manusia. Seluruh isi Al Qur’an adalah perkataan Tuhan. Dari sejak zaman Muhammad sampai sekarang tidak ada yang berubah, satu huruf pun tidak ada. Isi di dalamnya pun sangat indah, estetis, dan masuk akal. Ketika saya baca Bible saat remaja dulu, isi di dalamnya tidak masuk akal. Aku menemui banyak kalimat-kalimat porno, bagaimana bisa yang namanya kitab suci terkandung kalimat yang tidak pantas dibaca oleh anak kecil maupun orang secara umum? Bible hampir mirip dengan Hadits yang isinya riwayat dari para manusia yang me-refer kepada Nabi, bukan dari Tuhan langsung, sehingga menurut saya validitasnya cukup meragukan. Banyak sekali kekurangan yang aku temukan ketika membaca Bible. Therefore, I cannot accept the-right-now-version of Bible as a Holy Book, but I accept Al Qur’an because I find it so true and beautiful. Whenever I recite Al Qur’an, it is like God is talking to me, and I think yes, God is really talking to me. That is why I find a whole concept of religion in Islam, because Islam provides a perfect Holy Book.
  3.  Tentu saja aku menganggap Islam adalah agama yang paling benar, bila tidak maka aku sudah meninggalkannya. Namun perlu dicatat, meskipun aku menganggap Islam sebagai agama yang paling benar, aku tidak menganggap diriku lebih benar dari orang lain atau dari orang beragama lain. Ini perlu dibedakan. Dalam Islam, manusia itu tidak ada yang benar kecuali Muhammad SAW. Setiap sembahyang, aku masih selalu memohon kepada Tuhan agar ditunjukkan jalan yang benar. Thus, I will never support any kind of terrorism in the name of Islam. Terrorists think they are the most correct people, but they are wrong, they are definitely not the real Moslems.
  4. Muhammad adalah nabi terakhir yang diturunkan Tuhan untuk memberi peringatan kepada manusia yang melakukan kesalahan, untuk memberi kabar gembira bahwa Tuhan menurunkan Al Qur’an kepada seluruh umat manusia sebagai penerang dan pedoman yang mana AL Qur’an ini menyempurnakan kitab Taurat, Zabur, dan Injil yang dibawakan oleh Nabi sebelumnya. Muhammad adalah keturunan Nabi Ibrahim dari anaknya Ismail ‘alaihissalam, yang memiliki nasab orang-orang shaleh pada zamannya. Muhammad adalah nabi yang penuh kasih sayang dan dicintai oleh umat Muslim sedunia, yang berhasil menyampaikan risalah Allah dalam kurun waktu yang sangat singkat, yang kian hari pengikutnya kian bertambah banyak sampai saat ini. Muhammad adalah satu-satunya manusia suci yang pernah hidup di dunia, bebas dari kesalahan, yang Allah begitu mencintai dan menjaganya.
  5. Saya pikir anda memiliki konsep dan pemikiran yang kurang tepat mengenai poligami. Aku memakluminya, karena di Barat ini poligami dianggap sebagai sesuatu yang negative. Pada kenyataannya tidak demikian. Apabila anda mau mempelajarinya, poligami bisa jadi sesuatu yang positif karena meyelamatkan wanita dari fitnah, dari bahaya, dsb. Muhammad tidak berpoligami dengan alasan ingin menikahi gadis cantik, beliau tidak berpoligami dengan alasan ingin mendapatkan nafsu duniawi seperti anggapan orang-orang barat tentang laki-laki yang berpoligami. Muhammad bukan tipe manusia yang hidupnya dipenuhi dengan drama percintaan yang picisan. Bagaimana mungkin, padahal seluruh hidupnya beliau dedikasikan untuk menegakkan agama Islam, untuk mengajak manusia menyembah Allah SWT. Muhammad married with many women in order to spread his words as a Sunnah, in order to spread Islam to the foreign people and to the other people after him. You know, his words is really precious to know for every Moslem. He needed good people or good wives around him to memorize it and spread it. His life and his deeds become the perfect model for Moslem.
  6. Muhammad SAW memang memiliki keistimewaan, bahwa beliau diistimewakan Tuhan untuk diajak bertemu dan berbicara langsung dengan Allah melalui peristiwa Isra’ Mi’raj. Waktu itu, beliau sangat sedih karena dakwahnya di Tha’if tidak berhasil. Beliau dilempari batu hingga terluka. Istri dan paman beliau meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Sekembalinya berdakwah dari Tha’if, beliau bersembunyi dan berlindung di rumah seorang Nasrani. Lalu, beliau didatangi oleh Malaikat Jibril, kau tahu Gabriel? In Christian, it is called The Holy Spirit, but in Islam we call it Jibril, and Jibril is not part of God. Jibril adalah makhluk yang diciptakan Allah dari cahaya, Jibril membawakan cahaya untuk dijadikan kendaraan bagi Muhammad. Anda tahu berapa kecepatan cahaya bukan? Sangat cepat, sehingga Muhammad hanya perlu waktu semalam untuk pergi dan pulang lagi. Dalam perjalanannya, beliau bertemu dengan para Nabi pendahulunya, termasuk Isa ‘alaihissalam (or Yesus). Aku paham, bahwa peristiwa ini tidak masuk akal, apalagi bagi orang-orang yang terlalu mendewakan science dan materi. Kebanyakan orang seperti itu berbalik arah menjadi atheis, karena mereka sulit memahami dan membuktikan ilmu metafisika yang sebenarnya ada. Manusia memang dipenuhi keterbatasan, untuk itulah manusia dilarang sombong. You know, being atheist means being arrogant.
  7. Ketika sembahyang, aku bukan menyembah sesuatu yang tidak terlihat. Tidakkah kita sadar bahwa dunia dan seisinya beserta seluruh kejadiannya ini adalah firman-Nya? Jadi, Allah bagiku sungguh nyata. Bukankah begitu? Adanya aku, itu karena adanya Allah, Tuhan Sang Pencipta. Tidak adanya aku pun juga karena Allah, Tuhan Yang Maha Berkehendak. Di dalam diriku ketika dalam penuh kesadaran, bersemayamlah Allah. Tuhanku bahkan lebih dekat daripada urat nadiku. Setiap muslim berusaha menghadirkan Allah di dalam dirinya 5 kali sehari lewat sholat. Kami tidak membutuhkan patung atau segala macam simbol buatan manusia untuk menyembah Tuhan, karena Allah tidak bisa disimbolkan. Bila seorang Muslim melakukannya, maka muslim itu telah mengingkari Tuhan dan telah mengucilkan Tuhan. Tuhan telah merepresentasikan keberadaanNya lewat segala ciptaanNya yang tiada bandingannya ini, yang bahkan terkadang kita menyebutnya keajaiban, sesuatu yang terjadi di luar penalaran kita. Aku pernah membaca dalam Bible bahwa Yesus adalah firman Tuhan, karena itulah Christian menyembah Yesus padahal Yesus tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan. Menurut pemahaman saya, semua kita ini dan segala ciptaan Allah ini adalah firman Allah. Allah menciptakan sesuatu tanpa susah payah, cukup berfirman “Jadilah”, maka jadilah ia ("Be", and it is). Tak terkecuali Yesus, anda, maupun saya. Kita semua adalah representasi dan bukti akan keberadaan Allah Yang Maha Tunggal.
  8. Saya tidak terlalu tertarik akan Yesus sebagai Tuhan yang berinkarnasi. Tapi mungkin saya tertarik akan cerita sejarah tentang bagaimana bisa Yesus dianggap sebagai Tuhan, karena saya mempercayai adanya Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai Rasul yang diutus untuk bangsa Israil pada waktu itu. Peristiwa penyaliban cukup menarik bagi saya untuk diketahui sebagai cerita sejarah. Namun Al Qur’an sudah cukup menjelaskan peristiwa tersebut sehingga saya tahu kebenarannya karena saya percaya Al Qur’an sebagai kalam langsung dari Allah. Nabi Isa bukanlah Tuhan yang berinkarnasi karena beliau adalah manusia biasa ciptaan Allah. Menurut Al Qur’an, Nabi Isa tidak wafat di tiang salib. Nabi Isa tidak bisa menjadi penebus dosa bagi umat manusia. Masing-masing manusia harus bertanggungjawab akan setiap perbuatan yang dilakukannya. Apabila salah, harus meminta maaf. Apabila berbuat dosa, harus bertaubat yaitu menyadari dosa-dosanya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat itu harus diniatkan sungguh-sungguh dengan menghadirkan Allah di dalam hatinya sebagai saksi, meminta maaf kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Allah pun berfirman di dalam Al Qur’an di surat At-Taubah, bila manusia benar-benar bertaubat maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Allah sungguh Maha Pengampun, seorang Muslim tidak boleh ragu bahwa Allah Maha Pengampun. Jadi, Tuhan tidak perlu menciptakan drama kehidupan dengan cara berinkarnasi menjadi manusia, menderita, lalu wafat di tiang salib hanya untuk menjadi penebus dosa manusia di dunia. Kalau begitu caranya, tuhan terkesan lemah sekali padahal yang namanya Tuhan sungguh mustahil selemah itu. Allah hanya cukup berfirman dan manusia tidak perlu meragukanNya, manusia hanya cukup mempercayaiNya saja. Allah sudah memberikan segala macam bukti akan keberadaanNya. Allah sendiri jugalah yang menjamin surga bagi para manusia yang mau bertaubat dan mengakui kesalahannya. If you know, there are 99 attributes of Allah that we call it Asma’ul Husna, there are also 20 mandatory nature of God, and there are 20 impossible nature of God.

Diskusi ini berlangsung interaktif. Ada beberapa pertanyaan lain dari wanita Austria itu yang aku tidak ingat. Dia pun mengakui juga bahwa orang Eropa sudah banyak yang atheis. Menurut mereka, kehadiran agama terutama agama Christian menghambat perkembangan science. Orang yang mengaku Christian pun sudah banyak yang meninggalkan gereja, tidak pernah pergi ke gereja karena mereka tidak menyukai dogma-dogma. Mereka sungguh orang-orang yang kritis. Aku pun menyaksikan bahwa gereja-gereja di Eropa cukup sepi, hanya tinggal megahnya bangunan saja yang berdiri tinggi, besar, dan menjulang. Selanjutnya, wanita Austria ini memberitahuku bahwa dia adalah pegawai perpustakaan, bahwa dia banyak membaca buku tentang agama. Aku menarik perhatiannya karena aku mengenakan jilbab dan jalan-jalan sendirian di taman Volksgarden. Kemudian wanita Austria itu pamit bahwa dia ingin pulang. Sebelumnya dia bertanya apa yang hendak kulakukan, aku menjawab bahwa aku ingin menikmati beberapa nomor Beethoven dari Philharmonic yang akan dipentaskan sore itu. Dia pun mempersilakan dengan sangat sopan. Aku berterimakasih atas segala pertanyaan yang ia ajukan tentang Islam. Selanjutnya dia pergi, aku menunggu pentas dimulai dengan duduk di bangku taman, sedikit merenungkan arti sebuah keyakinan hingga saat ini.




Sampai saat ini dan insyaAllah sampai nanti, aku akan menganggap Islam sebagai agama paling benar. Tapi aku tak ingin menganggap diriku sebagai manusia yang paling benar dibandingkan orang lain. Dalam memperbandingkan agama, kita harus adil sejak dalam pikiran. Yaitu bagaimana kita bisa memposisikan diri kita pada mereka yang kuanggap memiliki keyakinan yang salah. Bukan orangnya yang salah, tapi keyakinannya yang salah. Adil dengan memposisikan diri kita bahwa mereka juga memiliki wilayah privasi, sebuah keyakinan yang kita tidak berhak menggugatnya. Let's discuss about religion objectively, without touching other's privacy. Kata guru saya, kamu boleh debat tapi hanya dalam rangka mencari titik temu. Kamu jangan berdebat bila kamu hanya ingin ngotot mempertahankan apa yang kamu percayai karena kamu menganggap pendapatmu paling benar. Tentu hal ini sulit sekali bila diterapkan dalam debat tentang agama karena sudah sewajarnya kita menganggap agama kita paling benar. Sehingga di sini, agama mungkin tidak untuk diperdebatkan. Lain halnya bila kamu berdiskusi, kamu harus memandang segala sesuatu secara obyektif. Jawab segala pertanyaan lawan bicaramu seadil-adilnya, sebaik-baiknya, setransparan mungkin. Diharapkan, di akhir diskusi nanti kamu akan mendapat hal baru, sebuah pencerahan tentang hal yang kamu anggap masih abstrak. Dengan keobyektifan, di sana akan tampak mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga diskusimu tadi memberi guna, bukan malah memperkeruh suasana. Keyakinan, bagiku adalah misteri, seperti sebuah penjanjian rahasia antara tiap manusia dengan Penciptanya. Wallahua'lam.

Senin, 07 Desember 2015

Sekelumit dari Turki

Di Turki, aku ketemu Javuz. Makasih Mbak Fitria, sudah membawaku bertemu orang yang aku pikir sangat tulus, sangat baik, santun, sangat ber-Islam. Aku banyak belajar dari mbak Fitria dan Javuz. Mbak Fitria sangat mengkritikku yang menurutnya aku terkesan sangat perhitungan soal uang. Padahal, suamiku sangat royal, aku kaget, bagaimana bisa aku menjadi perhitungan soal uang, aku nggak sadar. Aku memohon pada Tuhan untuk menjadikanku orang yang royal buat orang lain. Tidak terlalu memperhitungkan hutang, menyerahkan semua padaNya. Toh, rezeki adalah Dia yang mengatur. Mbak Fitri sangat juga mengkritikku bahwa aku kurang peka. Tapi aku pikir aku memiliki alasan mengapa aku berpembawaan demikian yang tanpa kesengajaan. Dia berpikir awalnya bahwa aku egois dan angkuh. Tapi setelah dia dekat denganku, alhamdulillah dia bilang aku enggak sejelek itu, hanya kesan pertamanya saja. Aku memang tak pintar membawa diri bersama orang-orang yang menurutku baru dalam hidupku. Aku harap aku dapat cepat beradaptasi dan menemukan diriku di antara orang-orang itu.

Dari Javuz, aku sangat kagum bagaimana dia bersikap dengan orang lain, dengan orang baru, dengan orang dari ras dan negara lain. Aku sangat kagum bahwa dia mampu membawa dirinya dengan sangat baik, memperlakukan kami sebagai tamu dengan sangat santun, tulus, ikhlas, hormat, dan melayani. Aku heran bahwa Allah mempertemukanku dengan orang yang sedemikian, dengan orang-orang yang sedemikian. Mungkin untuk dapat menjadi pembelajaran buatku bahwa aku harus juga bisa sebaik dia. Javuz menjemput di bandara Sabiha dengan mobilnya, mengantar ke rumahnya untuk makan pagi, memperkenalkan kami dengan para anggota keluarganya, mengambilkan makanan untuk kami, menjelaskan dengan detil jawaban atas segala segala pertanyaan kami, memperlihatkan buku-bukunya, sharing pengetahuan dan keingintahuannya, membuatkan kami minuman kopi mapun teh dengan gelas terbaiknya, mempersilakan kami duduk dengan kursi terbaik di rumahnya, mengajak kami merasakan jalan, naik bus dan berkeliling kota Istanbul, menyulut pembicaraan yang sarat pengetahuan, membelikan kami minuman dan makanan terbaik di kotanya, membawa kami ke tempat yang menurut dia sebaiknya kami tahu, tidak menyela pembicaraan, tidak offensive, segera meminta maaf bila dia merasa kata-katanya membuat kami salah paham, dsb dsb. Hal ini pastilah akan membuatku malu, bila suatu saat di momen seperti ini, aku tidak bisa memuliakan tamu atau membuat orang lain sakit hati karena sikap maupun kata-kataku. Aku ingat dan belajar dari Javuz mengenai hal ini.

Salah satu dari percakapan kami ketika di Topkapi Panorama 1453 M adalah tentang Ilmu Obat. Dia bercerita kalau dia pernah bereksperimen menghilangkan batu ginjal dengan natrium sitrat. Dia bertanya, apakah aku mengenal obat bernama natrium sitrat? Aku jawab, natrium citrate is generally a chemical. It can be a drug for some cases, but not for specific illness. Lalu berlanjut ke ranah yang lebih global soal Science, Javuz bercerita bahwa selama dia membaca banyak jurnal di PubMed, dia berkesimpulan bahwa banyak penyakit yang sebenarnya belum diketemukan obatnya. Kalaupun ada obat untuk terapi, maka obat itu hanyalah short term therapy, tidak mengobati namun hanya mengurangi atau menghilangkan rasa sakit sesaat saja. Lalu bagaimana bisa dunia Barat berbangga diri mengenai hal itu, bahwa mereka telah menemukan banyak obat baru, bla bla bla. Aku pun merespons: ...dan bahkan banyak orang pintar yang atheis hanya karena mereka menemukan bukti bahwa sesuatu di dunia ini pasti selalu ada jawaban dan realitanya. Mereka nggak sadar bahwa apa yang selama ini mereka temukan hanyalah serupa abstrak belaka, bla bla bla. Dia juga sangat concern perkembangan konflik sunni-syi’ah yang sampai-sampai di Indonesia pun sedang hits. Dia memaparkan sejarah dan faktanya saat ini, baik yang terjadi di Timur Tengah maupun di Asia Tenggara. Dia bahkan mempelajari mengapa dan bagaimana Indonesia begitu diminati negara-negara lain untuk menggalang kekuatan politik, bahwa sesungguhnya sedang ada perang berlangsung yang sipil pada umumnya mungkin nggak sadar.

Aku kagum pada orang yang tahu mengenai banyak hal, membaca banyak hal, pergi ke banyak tempat untuk menemukan kearifan hidup, yang mampu memposisikan dirinya dengan baik di antara lawan bicaranya, yang menyukai manusia karena pemikiran-pemikirannya dan bukan karena fisiknya, yang tidak suka menghakimi orang lain apalagi hanya karena suatu kesan sesaat yang subyektif.

Ini mengingatkanku bahwa suatu saat aku pernah berujar pada diriku sendiri:
“Terhadap setiap makhlukNya yang kamu temui, buat ia terberkahi olehNya, bersikaplah sebaik-baiknya dan seindah-indahnya kepadanya, hormati ia, muliakan ia. Niscaya aku yakin, rahmat Allah akan mengalir deras kepada hambaNya yang sedemikian.
Begitulah sikap kita seharusnya kepada sesama, apalagi kepada kawanmu, apalagi kepada keluargamu, apalagi kepada anak istrimu atau suamimu.”




Sabtu, 14 November 2015

"Pray for .."

Aku beneran anak Bapak Hanafi, ternyata. Sebuah pernyataan konyol. haha..
Betapa miripnya kami. Aku bersikap biasa saja akan suatu kejadian, tidak pernah heboh. Misalnya pada kejadian musibah Asap di Kalimantan dan Sumatera, musibah perang di Syria, perang di Palestina, atau yang baru-baru ini serangan penembakan ratusan orang di Paris.

Tadi pagi bangun tidur aku di-whatsapp temanku bahwa dia ingin membatalkan rencana kami ke Delft untuk mengambil baju-baju donasi buat refugee. Rencananya kami cewek berdua mau ke sana, tapi tidak jadi. Heran deh, kemana sih para cowok. Kenapa harus selalu cewek yang bergerak untuk hal kayak gini? Banyak cowok apatis di Nijmegen ini, sayang sekali. Kami tidak jadi ke Delft karena ada kejadian penembakan di Paris. Temanku takut pergi ke tempat-tempat umum semacam stasiun dan centrum di luar kota. Saya kurang paham karena tadi baru saja bangun tidur. Lalu aku membaca deh berita-berita di social media, dari telegraph, dailymail, bbc, dsb. Mereka bilang bahwa tersangkanya kemungkinan Muslim yang menyusup ke gelombang Refugee di Eropa Barat. Lalu di Facebook, Twitter, Path, banyak yang mengirim statement "Pray for Paris". Aku masih biasa saja.

Sedikit mencermati, sebenarnya serangan di Paris itu bukan hal baru dalam hal konflik. Dunia ini dipenuhi konflik yang ratusan tahun tak selesai. Kalau bicara kejahatan genosida, banyak korban konflik lainnya. Di Palestina, Afganistan, Irak, Syria, Afrika, Ukraine. Di Indonesia pun sampai sekarang masih berlangsung pembunuhan-pembunuhan oleh militer, yaitu di Papua. Dulu pernah ada konflik juga di Aceh, dan di Poso sampai sekarang. Jadi, kejadian di Paris mungkin bukan hal baru.

Yang membuatnya beda adalah peran media dan tempat kejadiannya. Media Internasional begitu menggemborkan kejadian ini, melakukan bias opini, menggiring pandangan publik ke arah isu SARA, membuat marah sebagian kelompok. Tidak heran, karena media Internasional yang beredar sekarang memang juga dikuasi oleh orang-orang yang destruktif. Tidak cuma media Nasional saja. Parahnya banyak penduduk dunia yang percaya saja dengan media semacam itu. Tempat kejadian juga membuat kesan berbeda dari peristiwa serangan di Paris. Paris, kota seribu turis. Bayangkan ada teror di tempat yang dianggap penduduk dunia itu tempat yang aman dan terkenal yang oleh karena itu semua orang bermimpi ingin ke sana. Tiba-tiba ada tembakan peluru dan bom di sana-sini. Tidak seperti tempat-tempat di Timur Tengah yang konfik sejak dulu. Bahkan di Paris bermukim para WNI yang hidup aman dan damai untuk kuliah dan bekerja atau berwisata.  Bisa jadi mereka adalah kolega, anaknya, istrinya, suaminya, ayahnya, ibunya, temannya penduduk dari mana saja. Tentu saja kesannya beda. Karena dua hal ini, tentu saja banyak yang heboh, banyak yang mengirimkan statement "Pray for Paris". Beda kasusnya dengan konflik di Timur Tengah yang sudah sejak dulu orang-orang menghindari berkunjung ke sana karena memang banyak peperangan. Beda pula kasusnya dengan Papua, yang tidak banyak penduduk dunia singgah ke sana, lagi pula tidak ada media yang sanggup mengabarkan pembunuhan di Papua karena suara media tersebut dimatikan oleh militer TNI.

Lagi-lagi aku cuma bersikap biasa saja dengan seluruh kejadian ini, seperti Bapak saya yang pasti juga hanya bersikap biasa saja dengan segala kejadian di luar sana. Mungkin kami menganggap dunia dari dulu memang seperti ini, nanti akan seperti itu, selanjutnya seperti apa pun boleh. Karena semua itu adalah Takdir, jadi pasrah aja. Nah, kalau anggapannya demikian, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi kan?

Framing Paris

Paris kembali berdarah-darah. Tahun ini tercatat 2 kali serangan teror, di kota yang bernama Paris. Kota yang terkenal di seantero dunia, yang orang-orang pada umumnya sangat ingin mengunjunginya tidak terkecuali saya dulu. Musim dingin tahun lalu, ketika saya berkesempatan mengunjungi Paris selama 4 hari, mengubah pandanganku tentang Paris. Memang, aku tidak sempat lebih jauh membaca sejarah tentang Paris sebelum aku ke sana. Aku tidak mempunyai fluktuasi pandangan tentang Paris, melainkan di sana ada gigantic menara Eiffel yang terkenal, Louvre yang legendaris, Versailles yang megah, kota Mode sedunia, dan sekelumit cerita Revolusi Perancis yang aku kurang begitu mendalaminya. Begitu aku tiba di Paris, hampir semua itu buyar oleh pandanganku dari sudut yang sama sekali lain. Paris tidaklah seromantis yang orang-orang bilang. Paris tidaklah seglamor yang orang-orang bilang. Paris tidaklah se-fashionable yang orang-orang bilang. Paris tidaklah secantik yang orang-orang bilang. Lebih dalam dari itu, ketika aku menyelami sudut-sudut dan pedalaman kota beserta museum-museumnya, Paris begitu menyimpan aura sejarah kelam masa lalu yang resonansinya terasa sampai sekarang.

Paris menyuguhnya banyak cerita dari museum-museumnya, monumen-monumen, bangunan-bangunan tua di setiap ruas jalan, yang kalau kita cermati dan dengarkan lebih teliti, mereka seolah bilang "Hey, umurku udah tua dan menyimpan banyak cerita yang masih sangat segar, ini lho sejarahku. Hey, dulu aku menyaksikan sejarah kejadian dan revolusi seperti ini. Hey, tahu nggak sih aku dibangun untuk apa?". Menyelami Paris membuatku menyadari arti sesungguhnya dari setiap monumen-monumen terkenal di seluruh dunia itu. Kebanyakan orang berfoto riang gembira bahkan berciuman romantis di depan menara Eiffel, Arc de Triomphe, Louvre, Sacre Cour tanpa tahu kejadian di balik pembangunan monumen itu semua. Tanpa menyadari, revolusi berdarah-darah dan kekejaman adalah hal yang mendasari monumen-moumen itu ada. Aneh sekali bukan? Begitulah, merantau membuatku terbiasa dengan segala keanehan yang terjadi di dunia ini. 

Kemarin adalah kali kedua Terror Attack di Paris tahun ini. Ratusan korban berjatuhan dan menumpahkan darahnya, di Paris. Paris kembali berdarah-darah lagi. Aku masih belum tahu, kenapa Paris? Kenapa tidak kota lain? Paris masih menorehkan sejarah kelamnya hingga sekarang. Media mengklaim bahwa teror tersebut dilakukan oleh orang Islam dan ada penyusupan teroris melalui gelombang pengungsi Syria. Sebagai orang Islam, aku takut penduduk Eropa melakukan penyamaan stereotype kepada semua Muslim yang tinggal di Eropa. Betapa tidak amannya situasi seperti ini. Eropa, benua yang kupilih untuk aku merantau karena amannya, karena damainya, karena penduduknya yang toleran, bisa saja berubah seketika menjadi benua yang Islamophobia karena kejadian ini. Apalagi Paris adalah kota yang sangat mewakili Eropa dalam berinteraksi dengan dunia Internasional. Semoga penduduk Eropa bersikap dewasa dalam memandang peristiwa teror ini. 






Jumat, 13 November 2015

Menyoal Tragedi 1965.

Sebenarnya masalahnya kompleks sekali kalau dibahas dari berbagai sisi.
Tapi juga sangat simpel dari salah satu sisi.

Simpelnya:
Apa sih yang bisa kita lakukan menyoal sejarah?
Menurutku hanya dua. Pertama, "We may forgive, but we can not forget". kedua, Ikhlas. Itu aja.

Kompleksmya:
Kita tidak boleh melupakan sejarah, seharusnya begitu. Oleh karena itu, kita harus mengusut setransparan mungkin tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi tanpa ada bias.
Hal ini menimbulkan masalah lain. Jarang aku temui seoarang peneliti sosial yang benar-benar netral, tidak bias dalam memberikan pandangannya. Selalu ada kecenderungan tentang keberpihakan dari seorang peneliti. Karena pada umumnya orang atau pembaca mudah terbawa-bawa, maka ia akan ikut larut saja pada pandangan peneliti tanpa bisa bersikap kritis. Tidak berhenti di situ, pembaca memiliki pandangan bermacam-macam tentang apa yang dibacanya. Kita tidak bisa memprediksinya untuk keperluan proyeksi di masa depan. Sejarah bisa kita ketahui lewat tulisan, media, dan cerita langsung dari orang. Semuanya mengandung pembiasan, tidak bisa dipastikan validitasnya kecuali mengacu pada banyak data dari berbagai sudut pandang. Kesimpulan pun bisa salah yang kita tidak tahu seberapa salah.
Jadi, OK kita tidak akan melupakan sejarah. Tapi sejarah versi yang mana nih? Nah, demikian.

Ada yang bilang, orang Indonesia yang paling bertanggungjawab atas peristiwa pembantaian 1965 adalah Pak Harto. Saat itu, Pak Harto dan sekelempok militer semacam Sarwo E.W. disetir oleh USA untuk menumbangkan rezim Orde Lama, yang mengakibatkan penumpasan PKI dan banyak manusia tak tahu apa-apa menjadi korban pembantaian. Jadi di sini, yang paling bertanggungjawab Pak Harto, tapi Pak Harto dkk sendiri disetir oleh pihak lain. Pak Harto dkk itu pun sekarang sudah wafat pula. Apa lantas anak dan keturunannya yang harus dihukum? Tentu saja keturunan mereka akan bilang, "Why us? We did not do such terrible thing. Our ancestor did, not we". Menurutku juga nggak adil menghukum keturunan mereka, seperti apa yang dilakukan orang Perancis, menumpas seluruh keturunan Louis saat Revolusi Perancis. Itu hanya akan menimbulkan nafsu dendam kesumat berkepanjangan. Mari baca dan belajar dari sejarah Revolusi Perancis! Seperti Paris yang berdarah-darah sampai sekarang. Seperti Dinasti Islamiyah abad 11-14 masehi. Seperti konflik Sunni-Syi'ah yang nggak kelar-kelar. Tau nggak sih, ketika orang Indonesia menceritakan kepada orang Belanda betapa dulu nenek moyang mereka menjajah negeri kita, mereka akan dengan simpel bilang "Oh.. menyedihkan memang ya. Tapi itu kan pendahulu kami, bukan kami, ya jangan salahkan kami donk. Sekarang kan jaman udah beda.".

Kemudian, negara melakukan permintaan maaf? Tidak segampang itu. Apalagi negara Indonesia yang memiliki beragam macam suku bangsa. Ada yang setuju, ada yang tidak, ada yang tidak peduli. Bagaimana negara mampu meng-cover seluruh aspirasi warganya yang sedemikian? Kecenderungan langkah yang diambil adalah memihak salah satu sudut pandang dan "ignore" sudut pandang lain. Dan itu dilakukan tanpa ada rekonsiliasi yang menimbulkan pertentangan di sana-sini. Baru masalah sepele aja warga negaranya ribut-ribut, apalagi masalah segedhe keadilan gini. Eh, tapi orang sekarang nggak bisa mbedain mana masalah gedhe, mana masalah urgent, mana masalah kecil. Gitu kan ya?
Intinya adalah, menegakkan keadilan dalam masalah ini tidaklah mudah. (Emang enak jadi Presiden???)

Dinamika cerita tiap Bangsa memiliki suatu pola, terkadang sama, menarik untuk disimak dan dipelajari.

Masalah lain lagi. Tidak semua orang bisa hanya memaafkan. Kalau ada pengakuan bahwa "negara memang salah (waktu itu)", tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang ingin membalas dendam atas kekejaman yang mereka terima waktu itu. Kehilangan keluarga, penyiksaan, diasingkan, dll. Tentu, memori pedih yang mengakar kuat bisa jadi menjadi sebuah boomerang untuk membalas dendam.

Lebih jauh dari itu, keterlibatan USA dalam masalah ini, sepertinya tidak bisa diakhiri hanya dengan pengakuan dan permintaan maaf dari mereka saja. Bisa saja, hal ini hanya dijadikan "alat" saja bagi mereka untuk mengejar misi selanjutnya. Okelah mengakui, dan meminta maaf. Tapi dibalik itu, masih ada hal terselubung lain yang mereka rencanakan, yang kita tidak tahu, tapi mungkin bisa diprediksi.

Bisa nggak sih, masalah dihentikan sampai klarifikasi sejarah, pengakuan, peradilan, dan permintaan maaf saja? Kalau itu bisa, selesai. Kita tinggal ambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Yang masih mengganjal, biarlah waktu yang akan mengungkapnya. Tapi, ya, mana bisa ..

Konflik tidak untuk diselesaikan, tapi untuk diminimalisir. Setidaknya itu yang dikatakan Carl Marx dulu (kata teman saya). Sejauh apa International People's Tribunal 1965 menyidangkan permasalahan ini? Apakah IPT1965 di Den Haag dimaksudkan untuk membesarkan konflik yang sudah-sudah serta untuk mengadu-domba bangsa kita biar terpecah belah? Mungkin itu pandangan sebagian orang. Namun sebagian lain beranggapan bahwa bagaimana pun, upaya menegakkan keadilan setransparan mungkin tetap harus dilakukan untuk meluruskan cerita sejarah dan membangun peradaban yang lebih baik. Saya setuju yang kedua. Tapi apabila niat baik ini disalahgunakan, menurut saya sih mending masalah ini biarkan saja tenggelam, tidak usah dibahas lagi. Biarkan para korban berkorban, mendapat kemuliaan di kehidupan selanjutnya. Case Closed.

Minggu, 11 Oktober 2015

The Fall in Autumn


Musim gugur sedang berlangsung. Musim gugur telah menjadi musim paling romantis buatku. Adakah yang lebih ikhlas dari dedaunan yang dengan relanya menggugurkan dirinya? Adakah yang lebih ikhlas dari bunga-bunga yang rela berhenti bermekaran dan rela tak dikunjungi serangga penyerbuk lagi? Adakah yang lebih ikhlas dari pepohonan yang rela menanggalkan mahkotanya dan memberikan binar warna kuning keemasan bagi mata manusia yang memandangnya? Angin dingin dari kutub utara pun bertiup sepoi, terkadang merasuk ke tulang-tulang. Aku yakin aku akan merindukan sensasinya, suatu hari nanti. Kali ini, di saat aku menulis ini, aku sangat bersyukur, aku sangat bahagia. Betapa indah semua yang ada di depan mata, betapa romantis aku merasakan nyanyian alam ini, betapa syahdu suasana seperti ini. Langit biru dengan gulungan putihnya awan, burung-burung terbang dan berkicau kesana kemari, daun kuning merah keemasan bergoyang-goyang, daun gugur diterpa angin lalu berserakan di atas tanah. Begitulah musim gugur saat ini, aku pikir musim gugur akan selalu dan akan tetap seindah ini. Aku pikir, tidak ada orang yang tidak menyukai musim gugur dengan segala keindahannya.

Terimakasih Ya Allah atas segala karuniamu, aku menyaksikan ciptaanmu yang indah seluruhnya tanpa cacat ini. Terimakasih. Segala puji bagi-Mu, segala puji bagi-Mu.. Sang Pencipta langit dan bumi, Sang Pemilik Arsy, Tuhan semesta alam.

Keindahan di sini dan di dalam hati ini, mungkin tidak bisa dirasakan sebagian orang lain. Ada yang sedang sedih. Aku pikir begitu. Memang, tidak ada yang abadi di dunia ini. Aku percaya, di detik berikutnya aku bisa mendadak sedih juga, lalu bahagia lagi. Seperti musim gugur yang akan segera terganti dengan musim dingin secepatnya, dimana kau tak akan bisa melihat matahari selama berhari-hari.

#

Tadi aku mendengar kabar bahwa suami salah seorang kawan Ph.D di Nijmegen didiagnosa menderita tumor ganas dan bahkan sudah masuk fase metastasis. Mereka adalah suami istri yang menjalani hidup terpisah. Sang istri sedang sekolah di Nijmegen selama kurang lebih 4 tahun, suami dan anak-anaknya di Bandung. Kini sang istri pulang untuk menemani dan merawat suaminya, meninggalkan pendidikan S3-nya untuk sementara waktu. Dengan kondisi suaminya yang tidak bisa dibilang baik-baik saja, sang istri bersikeras untuk tidak kembali ke Nijmegen. Namun sang suami berat hati, dan menyuruh sang istri untuk kembali ke Nijmegen dan melanjutkan sekolahnya. Kisah ini membuatku sangat terusik. Aku benar-benar mengandaikan diriku di posisi sang istri. Andaikan aku meninggalkan suami yang sedang sakit parah dengan anak-anak, aku pikir aku sudah pasti gila. Andaikan aku berhenti melanjutkan pendidikan S3, aku tidak siap mental meruntuhkan semua angan yang telah berusaha kubangun untuk kehidupan di masa depan. Oleh karenanya aku sangat sedih. Kali ini aku nanar menatap daun-daun kuning di depan jendela kamarku itu. Namun kalau aku harus memilih, aku akan tetap memilih untuk merawat keluargaku, akan rela meruntuhkan segala angan-angan indah sebelumnya dan kembali membuka lembaran hidup baru di kemudian hari. Seperti daun-daun yang berguguran itu. Yang kemudian seperti pohon di akhir musim dingin, yang pasti akan kembali bersemi dengan daun dan bunga-bunga baru yang tak kalah indah dari sebelumnya.

#

Kini, warna langit berubah lembayung.
Hidup memang dilakoni dengan pilihan-pilihan. Segala pilihan selalu kadang terbentur dengan keadaan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Pilihan untuk hijrah ke luar negeri telah kuputuskan jauh sebelum aku menikah dan menemukan seorang belahan jiwa. Aku telah konsisten menjalaninya. Kini aku telah berjanji untuk menghentikan semua impian individual dalam diriku. Kalau aku harus bermimpi lagi, aku ingin menyertakan dia dalam semua impianku nanti, dimana kami akan selalu bersama-sama, tidak terpisah lagi. Meskipun aku yakin itu tidak mudah, sebab jalan kami benar-benar berbeda.

Satu hal yang sedang terjadi, dia memiliki angan bahwa kami nanti akan hidup di sebuah desa yang jauh dari hingar bingar kota besar seperti Jakarta. Dalam bayangku sedari kecil, aku memang tak pernah membayangkan hidup di kota metropolitan. Paling jauh, aku hanya membayangkan Jogja sebagai kota yang mungkin aku akan menghabiskan sisa umurku. Tak pernah ada dalam mimpiku untuk hidup di Jakarta dengan segala keramaian, kemacetan, tempo, keragaman, orang-orang, maupun kapitalisme di dalamnya. Tak pernah ada dalam mimpiku aku harus rela menghabiskan waktu di jalan-jalan yang macet. Tak pernah ada dalam mimpiku aku akan membesarkan anak-anak di tengah lingkungan yang tidak ada kearifan budaya di dalamnya. 

Baru-baru ini dia memberitahuku sebuah impiannya bahwa secepatnya dia ingin hidup di desa, bertani dan beternak, mendidik anak dengan kearifan, bergaul dengan tetangga di sekitar rumah, dan memberdayakan desa-desa yang hampir mati ditinggal penduduknya ke ibukota. Aku pun tak punya ide tentang apa yang harus aku katakan maupun putuskan. Kembali ke desa berarti meninggalkan dan menanggalkan ladang yang telah bertahun-tahun, bahkan sejak kecil, ditekuninya. Katakanlah aku belajar ilmu kimia obat, aku ingin bisa membuat obat (dulu). Aku tak ada bayangan bakal membuat obat di desa. Katakanlah, dia belajar akuntansi pemerintahan. Dia tak hendak membawa ilmu akuntansi pemerintahannya untuk diterapkan di sawah, bukan?

Dia maupun saya sungguh sangat telat. Sedari kecil, kami dididik dan berorientasi untuk bisa hijrah dan bekerja ke kota, pikirku. Sekarang, setelah semua tercapai, tiba-tiba dia mengubah arah orientasinya, mengubah pandangan hidupnya. Hal ini benar-benar tidak mudah. Aku bahkan sedang tidak ada bayangan tentang apa yang bisa kulakukan di desa. Aku dan dia tidak tahu cara bertani maupun beternak. Sungguh telat, mengapa sewaktu kecil tidak ada yang mengajari kami bertani dan beternak? Padahal bertani dan beternak adalah pekerjaan penuh berkah, kesederhanaan, dan kearifan yang bisa dilakukan manusia. Mengapa ada banyak anak yang dididik agar bisa bekerja di kota? Lalu, apa yang akan terjadi dengan desa-desa mereka selanjutnya? Aku benar-benar tak ada ide, apakah kami harus bekerja di kota, atau kembali ke desa. Apabila kami harus kembali ke desa, kami akan seperti pepohonan di musim gugur yang rela merontokkan mahkota daun-daun dan bunganya ke tanah, untuk kemudian istirahat dan bersemi kembali.

Some things grow in order to Fall..

Muntweg 1A, Nijmegen
Pukul 19.45








Minggu, 04 Oktober 2015

Sosok Sederhana


Segala Puji Bagi Allah. Ia mengirimkan manusia yang dapat aku jadikan contoh di bumi yang gersang akan wirid pada-Nya ini.

Aku mengenalnya lumayan telat, baru awal tahun ini. Aku ngeh akan bagus kepribadiannya sejak di rumah Mbak Ainul, waktu itu kita mengadakan semacam pesta kecil, perkumpulan anak-anak beasiswa kami di Nijmegen, kebetulan kami mendapatkan beasiswa yang sama. Di rumah Mbak Ainul kami masak dan BBQ-an. Temanku ini orang yang sungguh sopan, ia memasak, menggoreng, memanggang, mengasapi daging untuk kami. Dia tidak makan sebelum masaknya usai, tidak makan sebelum semuanya mendapat jatah makanan, dia sabar. Waktu makan dia menikmati makanannya dan berucap syukur, wajah dan perangainya sungguh innocent, tidak dibuat-buat. Lalu aku bertanya-tanya dalam hati, dia ini seperti dari sebuah desa di Jawa, dia berasal dari mana ya? Kok ada student seperti ini di Belanda..


Sewaktu di Amsterdam, saya menemui Mbak Faiz di rumahnya dan kami mengobrol tentang PCI_NU Belanda, dia bilang “Kemarin temanmu di Nijmegen ada yang menginap di rumah kami. Itu, sewaktu Gus Mus ke Belanda, ia jadi salah satu panitia penyambutannya. Kamu kenal dia?”
Em.. belum tahu Mbak, saya belum pernah bertemu dengannya. Oh, ada anak NU ya di Nijmegen? Kok saya nggak tau.. kemana saja saya
Waktu itu sudah bulan Februari 2015 dan saya masih belum mengenal teman saya ini. Flash back, saya masih disibukkan dengan air mata, tinggal di Vossenveld yang jauh dari hingar-bingar acara mahasiswa Indonesia, saya sibuk dengan rasa rindu akan hangatnya rumah.

Akhirnya di rumah Mbak Ainul pun saya bertemu dengan teman saya ini, kami mengobrol tentang NU, tentang Madura, tentang UIN, tentang pesantren, dsb. Wow! Kami cocok sekali. Sudah lama saya tidak mengobrolkan hal ini, di Belanda pula. Dia bercerita kalau dirinya berasal dari Bangkalan, Madura. Hmm.. Okay. Kesan pertama yang hinggap di pikiran saya tentang teman saya tersebut adalah “sederhana”. Saking sederhananya saya sulit mendeskripsikan kesederhanannya.

Musim semi pun datang, udara masih menyisakan hawa dinginnya. Saya menyempatkan diri untuk olahraga bersama teman-teman di sport-centrum, bulu tangkis. Saya menemukan teman saya itu menjinjing tumpukan raket. Ternyata dia yang menyediakan raket-raket untuk kami. Saya pemanasan sedikit dan langsung main. Saat istirahat, saya menonton teman saya itu main bulu tangkis. Terbengong-bengong, ternyata dia adalah bintang bulu tangkis, keterampilannya “beyond expectation”. Dia pun direkrut Falma menjadi ketua komite olahraga di Nijmegen. Selanjutnya dia menyusun jadwal latihan dan formasi untuk Maastricht cup di Bulan April 2015. Saya turut menjadi supporter. Terbengong-bengong lagi, dia membawa tim kami meraih juara 1 di perlombaan. Dia menjadi pemain tunggal putra sekaligus ganda putra di sana, sehingga dia bermain dari pagi sampai sore non-stop dengan tanpa banyak komplain, tanpa banyak makan, dan tampilannya yang selalu sederhana itu. Kami sempat mengobrol, saya memberi tahunya bahwa dalam waktu dekat itu saya akan ke Wina. Dia ingin sekali turut serta, namun sayangnya dia ada jadwal ujian. Dia bilang kalau dia jarang ke luar Belanda. Saya pun terheran-heran, there's still someone from a countryside who doesn't have ambition to explore the whole Europe like how other common Indonesian people here. I appreciate how he lives. Sebenarnya saya tidak terlalu berambisi juga sih untuk keliling Eropa atau dunia, namun ketika ada kesempatan dan kawan bertualang, maka saya pergi, selebihnya saya lebih banyak di Belanda, belajar, merenung, ber-monolog, berdialog, berorganisasi, seperti teman saya itu.


Waktu itu kami sempat merayakan kemenangan tim kami di perhelatan bulu tangkis Maastricht cup. Kami merayakannya di koridor teman saya itu, di Hoogevelt. Kami memasak di dapurnya yang lumayan kecil. Sekali lagi, dia turut memasak, menggoreng, dan melayani keperluan kami semua dengan ringan tangan tanpa keluh kesah apa pun. Dia sediakan pula beras miliknya. Dia sangat ahli membuat sambal, segala sambal buatannya enak dan semua orang suka. Ketika masuk kamarnya, tidak ada yang mencolok, kamarnya hanya terisi sedikit barang. Sajadah sarung peci dan kitab suci dia tata dengan rapi di rak. Dia atur kamarnya supaya agak lowong dan bisa dijadikan tempat makan bersama. Dia tidak banyak memiliki makanan bumbu atau sayuran, hanya satu dua cemilan yang dia punya. Sederhana.

Bulan Rajab pun tiba. Saya mendapat ajakan untuk ikut tadarusan dan kajian keislaman setiap akhir pekan. Teman saya tadilah yang menginisiasi acara itu. Senang sekali bisa berkumpul bersama orang-orang, membaca Al Qur'an bersama, mengkaji Islam, makan, berdiskusi, cengagas-cengenges. Terbengong-bengong lagi, saya sangat menikmati lagu bacaan Al Qur'an teman saya itu. Tilawatil Qur'an paling bagus yang pernah saya dengar semenjak di Belanda, tajwid dan ketepatan huruf saat membaca tidak pernah salah. Kalau ada bayi menangis dan mendengarkan qira'ah-nya, mungkin si bayi dapat tertidur pulas. Saya pun bangga padanya bahwa begitulah lulusan pesantren seharusnya. Dia bilang kalau dia ingin kita mengkhatamkan Al-Qur'an, dia ingin majelis ini terus ada sampai setidaknya khatam 30 juz. Aku sangat mendukung idenya.

Tadarusan di Hatert 70

Ketika bulan ramadhan, kami dan beberapa orang teman lain pun diundang seorang warga Belanda untuk buka puasa bersama. Saya senang teman saya tadi ikut serta. Dia orang yang pandai mencairkan suasana. Dengan keahlian bahasa Arabnya, dia banyak mengobrol dengan seorang Mesir. Tuan rumah pun menyukainya, dan sering mengundang kami makan bersama.


Bulan Juli dan Agustus saya pulang ke Indonesia. Bulan September saya bertemu Mbak Fitri di Nijmegen, dia sudah mengenal teman saya tadi sejak lama. Mereka pernah memiliki acara bersama di sebuah program dari Kemenag selama 2 bulan penuh di Jakarta. Saya pun merasa sangat cocok dengan dua orang ini, karena bergaul dengan mereka mengingatkan akan cara hidup saya sewaktu saya masih kecil. Bersama mereka, saya kembali dapat bernostalgia dengan lingkungan rumah saya di desa. Di bulan September, kegiatan tadarusan dan kajian Islam masih berjalan. Kali ini, headquarter kami berpindah ke area Wilhelminaweg yang sebelumnya pernah di Hatert 70 dan Platolaan karena tuan rumah ada yang sudah pulang ke Indonesia sehingga tempat berganti-ganti. Teman saya ini masih menjadi penyemangat nomor 1 untuk tetap melanjutkan acara ini. Di hari weekdays di Bulan September, saya sering bertemu teman saya di area Erasmuslaan, baik di kantin refter, perpustakaan, maupun di kantornya mbak Fitri di lantai 14 Erasmusgebouw. Pernah suatu kali di kantin refter saya dan teman-teman makan sebuah menu ala Lebanon. Hari itu adalah H-2 hari Arafah. Teman saya ada di kantin tersebut dan ikut ngobrol bersama kami namun tidak makan. Saya pun menebak kalau dia sedang berpuasa. Padahal saat itu dia menjinjing raket, di saat puasa pun dia tetap berolahraga. Kami mengobrol bersama. Teman saya ini bercerita kalau awal Oktober dia ingin pulang karena akan menikah. Dia pun memberitahu kami tentang calon istrinya, kami tertawa-tawa dan sedikit meledeknya yang hendak jadi pengantin baru. Dia meminta saran apa saja yang harus dia persiapkan sebelum menikah? Apa yang harus dilakukannya saat pulang nanti dan meminang calon istrinya? Khusus dariku, aku memberinya sebuah saran, bahwa menikah itu butuh hati yang kosong dari segala ego pribadi. Kusarankan untuk menuntaskan dirinya, menyelesaikan dirinya dulu, sebelum mengucapkan “Qabiltu nikahaha..”. Dia pun mengangguk paham. Kami kembali berdiskusi mengenai adat pernikahan dan cengangas cengenges lagi. Di kantor Mbak Fitri, saya memesan tiket ke Turki untuk bulan Desember nanti. Sangat menyesalkan bahwa teman saya tadi sudah kembali ke tanah air saat Desember nanti sehingga dia tidak bisa turut bersama kami. Teman saya ini tinggal di Vossenveld bersama seorang kawan yang baru saja datang di Nijmegen yang sangat homesick karena meninggalkan anak-istrinya di Indonesia. Jadi, teman saya menemaninya dan menghiburnya, mengajarinya bagaimana hidup di Belanda, belanja dan memasak untuknya, sungguh mengayomi dan sabar.

Suatu kali di kantor Mbak Fitri, si mbak memberitahu saya mengenai teman saya ini, mengenai kepribadiannya yang mengagumkan. Dia bercerita bahwa teman saya ini orang yang sangat tawadhu' yang orang lain akan sulit membencinya atau menemukan kesalahannya kepada sesama orang lain. Ketika ada acara pembibitan di Depok Jakarta tahun 2013 akhir dulu, teman saya ini dikenal mbak Fitri dengan kesederhanaanya. Kalau makan selalu beli makan di warteg terdekat: nasi-telur-sayur atau nasi-tempe-sayur. Tidak pernah pergi ke restoran atau mall. Mbak Fitri sering nitip makanan, dan hanya itu yang dia belikan, sehingga si Mbak ini geli. Kok ada anak semacam dia di abad Millenium ini. Meskipun teman saya ini hemat soal makan, namun dia tidak hemat untuk membeli buku. Uang saku yang diterimanya tidak dia gunakan untuk foya-foya, namun dia pakai untuk membeli buku di Jakarta sampai ratusan ribu dan dibawanya pulang ke kost-nya di Malang. Semua orang pun terbengong-bengong, dia masih saja dengan wajah innocent-nya.

H-2 sebelum dia kembali ke Indonesia. Makan es krim Pistachio di centrum.

Suatu kali di kereta dari Amsterdam, teman sekamarnya teman saya ini, yang tadi saya ceritakan homesick tadi, bilang bahwa teman saya ini kalau sholat tidak pernah meninggalkan sholat sunnah, kalau malam sering bangun dan sholat, duduk dan wiridan lumayan lama, dia puasa Daud juga, tidak pernah dalam sehari tidak membaca Al Qur'an. Saya pun merasa tertampar sekaligus kagum. Di Belanda yang waktu siangnya sebegini lama, ada yang puasa Daud? Wow! Ketika sholat Idul Adha pun, dia yang ditunjuk menjadi imam karena bagus bacaannya dan matang amalannya, meskipun terbilang masih sangat muda. Dia seringkali dimintai bantuan teknis ini itu, dia bantu orang-orang tanpa keluh kesah. Dia seringkali diajak diskusi orang-orang dari semua kalangan, mengesankan betapa baik kepribadiannya. Dia tidak pernah melibatkan diri pada obrolan orang yang kadang mencari kesalahan orang lain, dia tidak pernah mengkritik cara hidup orang lain, rasa-rasanya, dia terima kehidupannya dengan apa adanya. Sebelum pulang kemarin, kami bersepeda ke centrum. Di jalan dia cerita bahwa dia mau menutup akun banknya, menceritakan pula tinggal berapa uangnya di bank yang akan dia gunakan untuk modal nikah dan membangun keluarga baru bulan ini. Dia cerita kalau sewaktu euro melemah kemarin, dia harus mengirim uang kepada keluarganya di desa untuk membayar biaya masuk kuliah adik-adiknya. Saya beruntung dapat mengenal orang semacam teman saya ini, yang saya pikir langka cara hidupnya. Sudah terlalu banyak saya memiliki teman yang memilih hidup dengan mewah, teman saya yang satu ini sederhana dengan apa adanya. Bulan ini dia menikah, di saat dia belum memiliki pekerjaan, belum memiliki rumah maupun kendaraan. Dia tidak banyak tahu mengenai investasi. Dia hanya berprinsip bahwa yang penting dia akan berusaha untuk bekerja dan mencukupi kehidupan rumah tangganya, seadanya. I appreciate how he can be that brave and sure.

Aku pun memutuskan untuk turut mengantar kepulangannya sampai Schipol. Jujur, sangat sedih teman saya yang sederhana hidupnya ini pergi dari Nijmegen. Kami masih menyisakan 4 juz lagi untuk bisa khatam, masih 4 pertemuan dalam majelis yang dia tidak akan ada di sana lagi, majelis yang dia buat untuk kami belajar agama di tanah yang jauh ini, majelis yang mendengungkan Al-Qur'an dan wirid di tanah yang miskin suasana spiritual ini. Nanti tidak akan ada orang tawadhu' dan ringan tangan lagi seperti dia di sini, tidak ada atlet bulu tangkis lagi yang memenangkan perlombaan antar kota sehebat dia, tidak ada role model kesederhanaan lagi di sekitar sini. Namun aku harap aku akan terus mengingat pribadi baiknya, sehingga aku bisa menjadi sebaik dia sebagai manusia.



Selamat jalan kawan, terimakasih atas segala bantuan, suntikan semangat, keteladanan, dan nilai-nilai yang kamu ciptakan di tengah-tengah kami. Selamat menikah dan berjuang lagi, semoga segala mimpimu lancar tercapai. Aamin

Kamis, 04 Juni 2015

Diversity

#
Boleh kita tidak setuju dan tidak suka dengan selera atau cara atau pendapat orang lain (eh, boleh kan ya tidak suka?). Namun tak perlulah mencemoohnya. Boleh jadi karena mereka belum tahu standar kebenaran menurut diri kita sehingga mereka tak peka. Karena meskipun engkau mengatakan standar kebenaranmu padanya, dia bisa saja tidak terima pula, seperti engkau tidak terima akan seleranya. Jadi cukuplah berkomentar, “Ya, terserah saja mau gimana. Tapi ya enggak gitu amat kali dek/mas/mbak."

#

Selama ini orang selalu menggaungkan semangat anti-diskriminasi. Dulu, sewaktu masih di Indonesia, aku tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Meskipun masih sering baca tentang wacana berkonsep pluralisme di Indonesia (eh, nyangkut sama tema anti-diskrimasi kan ya?). Aku tidak terlalu peduli karena "Toh sudah ada aktivis-aktivis yang getol menyuarakannya, mending aku ngurusin apa yang buatku menarik saja, seperti masalah teologi kek, yang melangit". Selain itu juga karena aku nggak menjumpai masalah diskriminasi di sekitarku, jadinya pasif deh. Namun setelah aku di Eropa dan bergaul dengan masyarakat sini, mataku jadi kebuka lebar. Jaman sekarang, ternyata masih ada ya diskriminasi, nyata dan aku mengalami sendiri. Meskipun tidak secara langsung mereka bilang "Aku nggak mau ah foto bareng kamu berdua doank, kamu kan orang Asia, nggak terlalu Internasional. Maunya sama orang berkulit putih, berambut kecoklatan, atau blonde, yang badannya tinggi menjulang, yang sangat Internasional". Bahkan hal tersebut dilakukan oleh orang non-Eropa loh, percaya nggak? Dalam hati "ora patheken juga sih ra foto bareng sampeyan, mesakke banget toh guys uripmu". Eh iya, kalau orang non-Eropa kan emang cenderung look up ke Eropa, karena peradaban barat masih menguasai ranah Asia-Afrika. Penyakit-penyakit warisan jaman kolonial masih sulit diobati. Diskriminasi secara tak langsung lainnya yang masih nyata adalah adanya kenyataan tentang perbedaan definisi antara imigran dan expat seperti yang dilaporkan The Guardian di sini dan di sini. They can deny that, but the fact tells you different story from what they have claimed. Yaa memang tidak semuanya sih mereka seperti itu, tapi ketika hidup di sini atmosfernya kurang lebih memang demikian, masih terjadi diskriminasi. Sehingga ini menjadi pelajaran juga buatku, kalau nanti di Indonesia (dan di sini juga) tidak boleh ada secuil pun perasaan membedakan hak antar sesama. InsyaAllah sih sudah khatam, karena sejak dulu aku mematok standar tinggi untuk toleransi antar sesama. Mau hidungmu pesek atau mancung, kulitmu item atau putih, rambutmu kribo atau lurus, otakmu tumpul atau tajam, agamamu Islam atau Katholik, mau miskin atau kaya, mau hidup di desa atau di kota, mau Jawa atau Indonesia atau Cina, mau pendek atau tinggi, aku tidak pernah mempermasalahkannya atau memperhatikan perbedaannya. Menjadi pelajaran juga ya buat kita, ingat, kalau nanti peradaban Indonesia sampai mempengaruhi dan menguasai dunia, sampai seluruh penduduk bumi look up ke kita, kita tidak boleh berlaku diskriminasi kepada mereka, tidak boleh sombong, harus mau merangkul semuanya.. haha. Kita juga tak seharusnya terlalu look up ke peradaban barat. Mana identitas kita? Tidak ingat toh dulu nenek moyang kita, sebelum orang-orang Barat ke sini, memiliki segalanya dan mereka membangun surga di tanah air kita. Kenapa tidak kita gali lagi tanah kaya warisan peradaban luhur yang tertutup pasir tebal itu? Kita harus bisa menjadi manusia yang benar-benar beradab, tidak mengulang kesalahan orang lain dalam sejarah. Kan, sudah belajar, sudah membaca, harus cerdas donk.

Minggu, 24 Mei 2015

Unraveling The World Outside

I have visited several cities in Europe when I had some break seasons of academic activities in the university. Let me remember, I was in Cologne when it was Autumn. I had been in Paris, Versailles, Bern, Luzern, Titlis, Zurich, Geneva, Munich, Salzburg during winter break. Recently, I visited Budapest, Vienna, Hallstatt, and St. Wolfgang. I am grateful to have memory because I had no clue in what extent I have to go and visit all those cities. By visiting the cities in Europe blindly, I came into boredom of their model because in many ways they are almost the same as each other. They exhibit old and well maintained historical building, with well regulated traffic, high tech and convenient transportation, large pedestrian area, and many equipped things that make your living become so much easier. Of course not all things are automatic over there, fortunately, they still empower human capital. Oh yeah, they built such peaceful yet complex place model with human brain and human labor decade by decade. Hallstatt is one place that I found it different from the others. It gives you mountainous place with lake in the slope of its hills as scenery that indulges your eyes along the way you go there.

Well, I always say this joke-like sentence to my friend every time we visit the cities in Europe “we have this kind of place in Indonesia, you know. We just have to pay more attention to our beautiful and rich country. Let's say Hallstatt. People come here and praise its magnificent beauty. What if these people were going to Toba Lake, I'm sure they would also say that our country has a really breathtaking place to visit.”
My friend then said, “do you also mean that they who travel here also have beautiful spots in their own country?”.
“Of course they have. That's why I said that exoticism means the hybridization of human culture and the nature itself. Every human culture is not comparable, they make their own way of being exotic”
“So, why are you comparing this place to our country?”
“I am not . Just give an insight that we should not discredit ours far there when we are witnessing the beauty of other country, here”
“Just save that thought in your mind, keep it tightly, we are here anyway, let's just enjoy our trip. It's once in a life time moment, remember?”
“Which moment is it not once in a life time? I don't remember.”
“Shut up!”

In fact, during my life time in Indonesia, I never went out of Java. I even never visited Bali or Madura or Bromo or Tea field in Bandung. At least, I saw their gorgeous pics in the Internet tho. Hahaha.. It lets me see my life in the other perspective that I had been so much happy living in the village with my family without going anywhere. I really treasured my life in Klaten-Jogja and am proud to be an innocent “gadis desa”. Because by that way, I became a fully loved-human. My family and my home are sort of sanctuary which I always miss when I am far from them. My decision to go abroad was spontaneous. Once, I said to my mother and father that I wanted to stay in the very different place from our village, I wanted to see the world outside like what we used to see in television, Internet, calendars, postcards, like what is stated in many books that I read. I wanted to prove that those places are really day dreaming place to live in. I wondered what kind of people who live there, how cold it is in winter, how developed their country, how advance their technology, how peaceful and classic it is, and many things. I admit that this place is just awesome, exactly like what it is written in the books. I am experiencing it now. But after really exploring those places a while, I realize that these beauty were not built instantly or free of charge. This simple beauty is not really simple, we do not know what really happened in the past, the turmoil, the revolution, the sacrifice of the ancestors, and much things that make these places become like this now. If we want to see the projection of our nation's future, just take a look at what we are doing now because that is the investment for the future. Do we also do some sacrifice for our successor? Seeing our nation is still struggling to be good, I think yes we do. Are we living peacefully in our country now? with this kind of government and societies, not that much! :))

All in all, I urge to come back to my country, Indonesia. I found Indonesia, with its flaws in many things, is the best place for me to live. I want to be a part of my nation in its journey to seek for its unique identity. I want my country to be different from the others, advance in its way, beautiful in its way. If we only imitate the way other countries develop, we have to lose our culture while I see culture is part of our identity. For instance, you will never see a sort of intimacy of neighborhood in Europe, no “nyinoman”, no “angkringan”. You will also never see hospitality in the society when it comes to an event such as Idul Fitri, no “mudik”, no youth comes back to visit the elders, and so on. Our own culture is unbeatable, right?

I count my living abroad as an experience to leave my comfort zone to get more matured. I was living very comfortably in the village with all the people I love. You know, living abroad is really hard for me, beyond my previous imagination. Actually, living in the metropolitan area such as Jakarta is kind of leaving comfort zone, haha.. why not? Don't we feel sorry to them who allow themselves to live in such polluted, traffic, urban place? All they are doing is working whole day until they do not remember sometimes who they are, what they aim to do thing. They live without warm neighbor because everyone tends to be individualist, because everything is available, already there if we have money, we don't depend on people anymore. But people dare to do that, they want to do that, to test how strong they are. Are they finally getting matured after coming back to their village for a while? Some yes, the other no. Even they lose their identity, no culture remains in their attitude. My friend who wanted to leave his job in Solo and moved to Jakarta said that he left his comfort zone. Coming to Jakarta means struggle, you learn something there. That is just an analogue, I do not want to lose my culture of being an innocent “gadis desa”, being the real Javanese. I just want to grab something that I need here to be brought to my sanctuary as a wisdom of life. For me, to travel is to open mind widely, increase knowledge, and respect culture.