Selasa, 21 Oktober 2014

The Chosen One

Suatu waktu di rumah, saya didatangi kawan-kawan SMA. Mereka berbanyak orang hendak mengklarifikasi apakah benar saya sedang menjalin hubungan dengan calon suami saya (waktu itu). Apa mau dikata, memang benar, saya jawab iya. Lalu mereka bertanya lagi, apa sih yang membuat saya menyukai calon suami saya (waktu itu)? Reflex saya menjawab karena dia pinter. Hahaha.. bahkan anak TK pun mampu menjawab jawaban seperti itu. Tapi ya memang begitulah adanya. Lalu kawanku bertanya lagi, jadi kalau Wisnu (calon suami saya waktu itu) nggak pinter, saya nggak mau sama dia? saya jawab lagi, enggak. Pokoknya saya maunya sama orang pinter, titik. Mereka menyimpulkan: "Jadi kami-kami ini nggak pinter?". saya pun tertawa, "Ya disimpulin sendiri aja, terserah" . Lalu kawan-kawanku (yang juga kawannya Wisnu) mengiyakan kalau Wisnu itu pinter, memang pinter, dia pernah ikut oliampiade, mendapat nilai tertinggi di ujian akhir, bisa masuk STAN tanpa banyak kesulitan (siapa waktu itu lulusan SMA yang kalau keterima STAN lalu nggak mengambil kesempatan itu? mana ada), apalagi.

Itu salah satu cerita.

Hari ini suami saya memberitahu hasil skor TOEFL sama TPA Bappenas dia, saya nggak terlalu kaget, dia mengalahkan skor TOEFL dan TPA Bappenas saya tanpa banyak kesulitan. Awal tahun ini saya sempat ikut 2 tes itu untuk masuk S2 ITB dan semuanya jauh memenuhi persyaratan minimal. Tapi sayangnya saya nggak jadi masuk ITB karena ternyata mendapat unconditional letter of acceptance dari Radboud University Nijmegen. Good Bye ITB. saya tahu kemampuan kognitif suami saya, dia jauh di atas rata-rata, sedangkan saya cukup rata-rata saja. Bila tes IQ, nilai saya pas-pasan. Untung saja nggak kena genetic disorder Intellectual Disability, saya sudah bersyukur. Meskipun pas-pasan, saya punya mimpi tinggi untuk bisa sekolah sampai jenjang paling tinggi. Whatever everybody might say, I won't care.

Suami saya sampai sekarang masih lulusan D3, sedangkan saya sekarang hendak menamatkan S2. Namun hal itu tidak bisa dibandingkan karena nasib kami sungguh berbeda. Gelas kami bentuknya berbeda. Gelasnya berupa Abdi Negara, gelasku berupa sekolah. Meskipun kemampuan kognitifnya melebihi saya, namun dia belum bisa melanjutkan belajar sampai seperti yang saya capai sekarang. Namun saya tetap bangga padanya..

Dia selalu menjadi seseorang melebihi apa yang saya pikirkan. Cinta yang ada padanya kepada saya, seperti menjawab tantangan lagu klasik berjudul "More Than Words". Dia lebih memilih untuk menunjukkan secara nyata bukti cintanya daripada hanya berkata-kata. Tapi sebagai perempuan saya terkadang sering nggak melihatnya kalau dia benar-benar mencintai saya. Seperti yang suami saya bilang, manusia terkadang ingin melihat apa yang tidak dilihatnya daripada apa yang benar-benar tampak di depan mata. Itu membuat saya merana sendiri dan buru-buru melihatnya dari sisi lain. Setelah itu saya sadar, suami saya sungguh cinta, sungguh dewasa, sungguh sabar, dan menyayangi saya apa adanya.

Saya beruntung menjadi seseorang yang dia cintai. Bayangkan saja, mana ada laki-laki yang mau ditinggalkan istrinya 2 tahun lamanya dengan alasan ingin sekolah. Pasti hanya sedikit dan suami saya termasuk yang sedikit itu. Bahkan dia yang mendukung saya habis-habisan, sejak saya masih S1 dulu, “Lakukan dulu, jangan bilang nggak bisa” dia bilang, hal itu mengubah pola pikirku. Kalau dia tidak seperti itu, mungkin sekarang saya masih berdiam diri di suatu tempat di Indonesia, tidak berkembang, dan stagnan. Di Eropa, saya belajar banyak hal, banyak sekali, semua sedang ada di otak saya dan belum mampu saya tumpahkan ke dimensi lain.

Sekarang, suami saya sedang sendiri di sana, saya merasa bersalah karena dia bilang bahwa dia melakukan banyak hal sendirian. Yah, tidak berbeda dengan saya, saya juga sendiri. Bahkan untuk bisa ngobrol via Skype pun kesulitan karena perbedaan waktu 5 jam, apalagi di sini lama waktu siang dan malam tidak seperti di Indonesia. Suami saya harus meluangkan waktu sampai tengah malam untuk bisa mengobrol. Tentu itu mengganggunya karena dia harus bekerja pagi harinya, pekerjaannya menuntut produktifitas dan profesionalisme sebagai abdi negara. Sampai-sampai saya berpikir, mengapa kita yang saling mencintai bisa terpisah seperti ini? Mengapa harus begitu? Sampai sekarang saya tidak habis berpikir. Suami saya pun bilang “karena ini jalan kita, dijalani saja dulu, pasti nanti akan ada waktu kita bisa bersama-sama”. Aneh kan.. Karena kami sudah memilih dan karena memang semua ini harus dijalani, apa boleh buat. Tanggal 29 Oktober nanti adalah mensiversary pernikahan kami yang ke-5, dan kami terpisah jarak yang jauh, sangat jauh. Ketika berada di dalam pesawat dalam perjalanan saya ke sini, saya selalu memperhatikan peta digital, melihat pesawat saya sedang berada di mana, yang menjauh dari posisi suami saya dan orang-orang yang saya cintai berada. Ketika saya sudah berada di sini, membuat saya ingin pulang, tidak percaya bahwa kami benar-benar jauh di benua yang berbeda.

Dear my husband, thank you for becoming the best man ever for me, thank you for becoming the one I want to annoy for the rest of my life. I’m really proud of you and do respect you as my leader. Don’t get lost in your way for the sake of ours. I’ll be your love as the best as I can.



Vossendijk 219, Nijmegen
Pukul 19.15

2 komentar:

AmWid mengatakan...

Niha...so sweet banget :D
Semoga Niha dan suami menjadi keluarga yang selalu berbahagia, di dunia dan akhirat

Nihaya mengatakan...

Aaamin.. terimakasih Lia doanya. Semoga. :)