Tampilkan postingan dengan label Pencarianku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pencarianku. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 September 2016

Medina

There will be a little Medina in my home.
The mother, the father, and the children will share the love with each other.
The Medina will be built as a kind of surau, medresa, or pesantren.
Every day, they will try to clean the heart so that the light from heaven can sparkle inside out.
The ones in it will be highly civilized scholars who will deliver good things for either themselves or the people outside.
The member of the Medina will share what other members don't know about.
They will discuss those things like a scholar.
Some will wander around, try to reach what other people say as bad things and good things.
They take all of them to be cooked evenly and to be served to the public on the dishes of love.

Sabtu, 06 Agustus 2016

10s vs 20s



Hai,

Baru saja aku membuka folder-folder lama jaman aku masih kuliah S1 di Jogja dulu. Aku yang familiar dengan isi folderku sekarang, merasakan betapa berbedanya aku sekarang dari aku yang dulu. Berbeda dari sudut pandang pengetahuanku akan isi dunia ini. Dulu aku udik sekali, betapa terasanya bahwa dulu aku benar-benar orang yang datang dari desa lalu hijrah sementara ke kota Jogja yang tidak bisa dibilang metropolitan. Aku orang yang tidak pernah pergi kemana-mana. Paling jauh aku pergi ke Jakarta, itu pun cuma sekali karena tabunganku tidak banyak. Selain Jakarta, aku hanya pergi ke pelosok desa-desa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Itu pun kusebut piknik. Padahal dalam diri ini waktu itu sangat penasaran dengan isi dunia ini, di dunia ini ada apa aja sih?, orang-orang di luar sana seperti apa sih?, apa yang tidak kutahu?, sudah benar belum ya kalau aku bersikap begini dan begitu?. Segala pertanyaan ingin aku temukan jawabannya. Tidak heran, waktu itu aku memiliki mimpi yang waktu itu juga bagi diriku sendiri terbilang mimpi setinggi langit. Aku ingin terbang naik pesawat ke benua lain dan melihat kehidupan di sana semacam apa. Aku tidak ingin membaca majalah atau review tentang apa yang ada di luar sana, aku tidak ingin membaca buku tentang apa yang orang imajinasikan tentang sebuah kota dan desa di sebuah negara, aku tidak ingin membaca pengalaman orang-orang yang pernah singgah di tempat-tempat itu. Aku ingin melihatnya sendiri, menyaksikannya sendiri, merasakannya sendiri suatu hari nanti. Waktu itu, aku takut bila aku sudah tau dari buku, majalah, dan cerita orang, aku akan jenuh dan kehilangan mimpi yang setinggi langit itu, aku takut aku akan cepat puas.

Sekarang aku pikir, segala pilihan hidupku sudah tepat. Kini pikiranku sudah mampu menampung lebih banyak hal dari hasil interaksiku dengan segala hal di luar diriku, aku makin lihai bagaimana harus bersikap yang baik di segala kondisi, tidak seperti dulu lagi. Andai saja aku terlalu banyak membaca buku dan menonton film dulu itu, mungkin aku tidak ingin bermimpi tinggi-tinggi, tidak ingin pergi jauh-jauh karena toh aku sudah tau. Mungkin aku tidak jadi terbang ke negara-negara lain, tidak jadi berkenalan dengan orang-orang asing, tidak bisa memahami dan merasakan segala pilihan hidup mereka dan segala keragaman yang ada di muka bumi ini, tidak mengerti mengapa orang-orang asing itu suka belajar ini atau belajar itu, tidak mengerti bahwa tanah di belahan dunia di sini pernah mencecap sejarah menarik yang berlika-liku juga. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa kulakukan sekarang ini selain sejenak bersyukur atas semua yang Tuhan berikan. Aku tahu ini tidak gratis. Aku sedang memikirkan cara untuk memberikan kembali kepada segala makhlukNya tentang apa yang sudah Tuhan berikan padaku. Aku ingin menjadi contoh yang baik minimal untuk anak-anakku nanti, bila tidak bisa untuk orang lain. Aku ingin mereka memiliki pikiran, minimal seluas pikiranku. Aku ingin mereka tidak udik. Aku kira, pengetahuan bisa didapatkan dari mana saja dan dari siapa saja. Namun, yang lebih dibutuhkan orang lain adalah daya tampung pikiran yang luas dan hati yang jernih untuk menerima segala pengetahuan itu. Itulah yang aku targetkan, karena udik adalah sebuah keterbelakangan.

Saat ini aku belum berani bermimpi lagi karena aku merasa aku sudah mendapatkan hal-hal baru yang berlebih, yang belum aku transfer balik ke orang lain yang mungkin membutuhkan, yang mungkin masih udik. Life is about taking and giving. I have taken a lot and I want to give half of it.

Kamis, 25 Februari 2016

Much Awaited Moment


Dulu aku mimpi bertemu sang guru di rumahnya. Aku sowan ke rumahnya.
Kali ini aku mimpi bertemu di pondoknya, bukan di rumahnya. Aneh, pondoknya berada di pinggir pantai bertebing-tebing dengan deburan ombak yang sangat besar. Pondok guruku ini seperti di dalam sebuah gua, dengan batu karang besar yang menghalangi deburan ombak masuk ke pondok guruku ini. Aku sowan ke sana bersama seorang kawanku di Belanda yang dalam kehidupan nyata sama sekali tidak mengenal sang guruku ini. Ketika aku sowan, lagi-lagi aku bertemu keluarga guruku mulai dari istrinya hingga anak-anaknya. Namun ada satu anaknya yang sudah menikah yang tidak ada di sana, kata istri sang guru, dia sedang di rumahnya. Di pondok itu, aku banyak berbincang dengan guruku. Tidak seperti mimpiku yang lalu, waktu itu aku banyak berbincang dengan istri dan anak-anaknya. Kali ini guruku memberikan waktu cukup panjang kepadaku untuk berbincang. Namun sayang sekali, perbincangan kami hanya seputar kesibukan guruku belakangan ini, bukan tentang ilmu yang aku ingin menimba darinya. Guruku ini baru saja pulang dari Jepang katanya, menemui para santrinya di sana. Di mimpiku itu, aku sowan ke pondoknya sore hari hingga malam hari. Setelah berbincang dan makan bersama, aku diajaknya sholat di musholla bareng para murid, istri, dan anaknya. Setelah wiridan, guruku pamit kepadaku dan kepada semuanya bahwa beliau harus pergi naik mobil ke suatu tempat yang jauh di suatu desa, bahwa besok pagi akan ada pertemuan penting bersama para ulama yang lain di sana. Aku pun melepas kepergian guruku ini di pondoknya. Seketika aku merasa sedih, kapan lagi aku berbincang denganmu wahai guruku.

Ini adalah kali kedua aku bermimpi tentang sang guruku ini. Sudah sejak tahun lalu aku banyak belajar dari beliau, meskipun tidak secara langsung. Aku merasa berhutang budi padanya karena aku belajar ilmu-ilmu yang aku tidak dapat dari guruku lainnya. Aku banyak belajar tentang sejarah, aku menyukai sejarah karenanya. Aku membaca buku sejarah dan tasawuf karenanya. “Bacalah sejarah, jernihkan hatimu dari segala materi yang menutupinya.” begitulah pesannya. Guruku ini sangat spesial bagiku karena beliau orang yang sangat brilliant, bagaikan mutiara di bebatuan. Beliau orang yang hafal banyak sekali kitab, dari kitab-kitab klasik hingga kontemporer. Terkadang memang aku mendapati kesalahan dari guruku ini ketika menyampaikan ilmunya kepada orang banyak. Namun di luar itu semua, beliau memiliki kualitas pribadi yang berbeda dari yang lainnya. Itulah sebabnya aku menjadikan ia sang guru. Bila aku mendengarkan suaranya ketika beliau mengkaji Al Qur'an, kitab Barzanji, kitab al Kamil fi At-Tarikh, maupun kitab-kitab klasik lainnya, bila aku mendengarnya melantunkan ayat-ayat di kitab-kitab itu dengan nada yang indah dan hafalan di luar kepala, maka seketika aku ingin pula membaca seluruh isi kitab itu, seketika aku haus akan ilmu, seketika aku merasa terkoneksi dengan Sang Khaliq. Itulah berkah dari aku mengenal sang guruku ini. Semoga beliau selalu dirahmati Allah SWT, diberi kesehatan dan dipanjangkan umurnya. Semoga tidak lelah mengawal umat akhir zaman ini. Aamin

Selasa, 23 Februari 2016

Cherishing You

Dear everybody,

I will always try to not judge you on however you are. I will always try to respect every choice that you make in your life, even if you do something bad in my point of view, even if it does not fit the public norms. How bad it is, I will always try to be humble, to never think that I am better than you.

I do this because of a fact that you are my God's creature, and because you bring divinity in your heart. I will remember that in one day, God infused His breath to the "water and clay" that form us, a human. God has made you valuable among other creatures. If you become like an evil, it's just because you are weak, because lots of veils impede you to feel the divinity inside you.

By means of this, I have no right to disdain you at all. Only you and God who have the right on you. You surely belong to God and to Him you shall return.


Kamis, 18 Februari 2016

Adrikni

Betapa jauh jarakku padamu, Ya RasulAllah
Engkau pembawa kabar gembira
Engkau sang pengingat bahwa manusia memiliki Allah Yang Tunggal
Engkau yang menyampaikan Al Qur'an
Engkau pulalah pengamal Al Qur'an yang paling sempurna
Engkau manusia suci dengan tingkat spiritualitas tertinggi yang pernah hidup
Engkau yang sampai sidratul muntaha, yang diperkenankan bertemu Allah Sang Pencipta

Apalah aku yang seperti debu ini
Manusia akhir zaman yang lemah, kecil, yang seringkali lupa
Berjarak ribuan tahun darimu
Mengharapkan bertemu engkau saja aku merasa tak pantas, meskipun aku akan selalu berharap
Namun juga aku sangat bersyukur bahwa aku manusia yang bersyahadat pada Allah dan pada engkau
Aku bersyukur bahwa bersaksiku yang sedemikian adalah atas kehendak Allah
Namun juga aku sangat mengharap syafa'atmu, Ya RasulAllah
Mohonkan ampunan kepada Allah kalau aku seringkali melupakanNya dalam banyak waktuku
Mohonkan ampun juga padaNya bahwa aku belum mampu menjadi makhlukNya yang baik, Ya RasulAllah
Musti pergi kemanakah aku ketika aku sedang alpa dan tersesat, padahal aku bukan manusia pada zamanmu
Ada yang bilang bahwa engkau selalu berada di dekat manusia yang bersholawat atasmu
Assholatu wassalamu 'alaika, Ya RasulAllah
Aku lemah, maka senantiasa temukanlah aku, peganglah tanganku.
Engkau adalah imamku di jalan menuju Rabbi.

Senin, 25 Januari 2016

Jodoh Itu Pilihan

Hari lalu suami saya menulis di halamannya bahwa hidup itu adalah juga persoalan memilih. Apa yang kita pilih di masa lalu menjadikan kita yang sekarang. Apa yang kita pilih sekarang menjadikan kita di masa depan. Allah telah menganugerahkan "freewill" kepada manusia untuk digunakan sebaik mungkin untuk meraih ridha-Nya. Freewill yang membuat manusia memiliki kesempatan menjadi khalifah di dunia, dan bahwa seorang khalifah adalah manusia yang mampu mengendalikan hawa-nafsunya. Dengan freewill ini, tidak serta merta bahwa Allah tidak turut campur atas apa yang terjadi pada makhluknya. Segala pilihan baik manusia dapat terjadi juga karena izin-Nya. Manusia yang memiliki niat baik dalam hidupnya, Allah memilihkan jalan terbaik bagi manusia yang terkadang tidak terduga-duga.

Atas izin Allah, hampir 2 tahun lalu saya menikah dengan suami saya. Saya percaya bahwa suami saya adalah memang jodoh saya sampai akhir hayat. Apabila Allah tidak mengizinkan, mungkin saja Dia dapat menggagalkan rencana saya untuk menikah dengan suami saya waktu itu dengan cara-cara yang tidak pernah saya bayangkan. Tetapi alhamdulillah, akhirnya kami pun menikah, dengan limpahan restu dari orang tua dan juga semua orang yang mengamini doa kami saat itu. Kami telah diizinkan untuk menyempurnakan setengah agama kami. Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Allah menjadikan manusia berpasang-pasangan. "Ja'ala" di Q.S An-Nahl:72 yang berarti "Allah menciptakan (bila manusia juga berikhtiar/berusaha)." Berarti bahwasannya jodoh harus diusahakan, harus di-ikhtiarkan. Manusia diizinkan untuk memilih dan mengusahakan siapa pasangannya. Manusia yang sudah menikah pun musti berusaha untuk menjaga ikatan pernikahan tersebut sampai akhir hayatnya, seberat apa pun cobaan yang diberikan-Nya.

Bagi kami, menikah adalah ibadah, bukan hanya persoalan sosial, bukan hanya persoalan cinta antara laki-laki dan perempuan, bukan hanya persoalan menghasilkan keturunan. Suami saya selalu meminta saya di akhir sholat kami, untuk selalu mendoakan agar kami berdua hidup bahagia, agar rumah tangga kami senantiasa dirahmati dan diridhoi oleh Allah SWT. Suami saya juga selalu berkata bahwa saya beruntung memilikinya. Saya pun selalu mengiyakan bahwa saya memang sangat beruntung telah diizinkan Allah untuk bisa memilikinya. Oleh karenanya saya sangat bersyukur atas apa yang Allah anugerahkan kepada saya, seorang pendamping hidup yang sangat baik. Apa yang menjadi kekurangannya tidak memiliki arti bagi saya, karena kelebihannya lebih melimpah dari semua kekurangannya. Output dari makhluk beragama adalah akhlaq yang baik. Sepenilaian saya, suami saya adalah makhluk Allah dengan akhlaq yang terpuji, hatinya pun sangat lembut. Saya tidak ragu bahwa memilikinya sebagai pendamping hidup saya dapat mempermudah kami beribadah dan berserah diri kepada Allah, mengantarkan kami bersama-sama ke surga-Nya.

Jumat, 15 Januari 2016

Jendela

seketika kupandang jendela besar di samping tempat dudukku
aku dapati pemandangan yang tidak sama
seorang laki-laki berjaket tebal dan bersyal berjalan cepat
dua orang perempuan berambut pirang melaju dengan sepedanya
di sampingku terdengar ketikan cepat keyboard dengan komputer yang berderet-deret
di luar lonceng gereja kampus berdentang-dentang sesore ini

sepertinya baru beberapa detik lalu
aku menyaksikan dari jendela lebar di kamarku setelah subuh
ketika ada rombongan santri bersarung, berbaju koko, bersandal jepit, dan berpeci rapi
sesekali kucium bau minyak wangi dari luar yang sangat khas
mereka berjalan cepat ke arah pondok sambil membawa kitab
sambil melagukan nadzom-nadzom berbarengan dengan nada beraturan
di barisan paling belakang berjalanlah seorang kyai sambil melagukan shalawat dengan merdu

ah, ternyata aku barusan tertidur di perpustakaan
kampung halamanku yang syahdu, tak pernah sekali pun aku lupa padanya
tempat dimana aku tumbuh
di rumah bapak ibuku
tempat dimana aku mengukir mimpi untuk dapat terus berjalan dan berlajar
seperti santri-santri itu
sampai sepintar dan sealim kyai itu

Tuhan pun memperkenankan impian kecil itu
sehingga sekarang aku di sini
di ujung benua nun jauh yang tak terbayangkan oleh ayah-ibu
mencoba menggali, merenungi, menghayati setiap titik demi titik ayatNya
hingga begitu terasa betapa kecil dan takberdayanya aku
hingga begitu terasa betapa semakin Maha Besar Ia.

takhentinya aku haturkan terimakasih kepadaNya atas kesempatan ini
kesempatan untuk aku dapat membuka pikiran selebar-lebarnya
untuk mengasah saraf sensorik dan motorikku agar lebih tanggap terhadap setiap petunjukNya
untuk semakin mendekat kepadaNya, mengenaliNya lebih jauh, dan mendamba cintaNya.
Tuhan, hamba mohon bimbinganMu.


in Radboud Library
Erasmuslaan, Nijmegen

Rabu, 30 Desember 2015

Faith



Suatu kali di Vienna musim semi lalu ketika sedang berjalan sendirian menyisiri jantung kota yang klasik itu, aku tiba di sebuah taman, Volksgarden namanya. Rupanya di sekitar Hofburg Palace sedang ada pertunjukan orchestra, Philharmonic. Aku pun menunggu untuk menyaksikan pertunjukan itu, sambil mengambil beberapa foto taman dan orang-orang di sana. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berkebangsaan Austria menyapa dan mengajakku ngobrol. Secara langsung dia memberi pernyataan bahwa aku seorang muslim karena memakai jilbab. Aku pun nggak terlalu terkejut, dan membenarkan penyataannya. Selanjutnya wanita itu bertanya kepadaku tentang Islam, agama yang kuanut. Beberapa pertanyaannya adalah:
  1. Mengapa kamu beragama Islam? Tidakkah karena tradisi?
  2. Apakah kamu tidak mencoba membandingkan agamamu dengan agama lain lalu mencari kebenaran di antaranya? Apakah kamu pernah membaca Bible?
  3. Apakah kau menganggap Islam agama paling benar?
  4. Bisakah kau ceritakan kepadaku tentang Muhammad?
  5. Muhammad memiliki istri yang sangat banyak. Bukankah dia orang yang disucikan? Mengapa dia berpoligami? Tidakkah itu melanggar hak asasi? Apa pendapatmu tentang itu?
  6. Aku tidak paham tentang konsep bahwa Muhammad pernah diangkat ke langit lalu kembali lagi. Bisakah kau menceritakan detailnya bagaimana seorang manusia bisa sampai surga lalu kembali ke bumi?
  7. Mengapa orang Islam menyembah sesuatu yang tidak kelihatan? Bagaimana kamu mempercayai Tuhan yang tidak ada wujudnya? Ketika kamu sembahyang, apa yang kamu sembah?
  8. Tidakkah kau tertarik untuk mengetahui siapa Jesus? Jesus berinkarnasi menjadi manusia, hidup, lalu mati untuk menebus dosa manusia. Kalau kalau berdosa, siapa yang akan menjamin surga bagimu? Bukankah Jesus sangat pengasih sehingga mau turun menjadi manusia dan menebus dosa?

Kami mengobrol cukup lama hanya untuk aku menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan wanita itu, kira-kira hampir dua jam kami berdiri sampai kakiku terasa mau copot. Bahkan ibu itu menawariku untuk duduk di bangku taman, namun ternyata tidak ada yang kosong sehingga kami harus berdiri. Jujur saja, aku tidak pernah membayangkan akan ditanya tentang keyakinanku beragama Islam secara random oleh orang yang tidak aku kenal di negeri antah berantah. Pertanyaan ibu itu sedikit banyak membuatku merombak ulang tentang bagaimana aku berkeyakinan terhadap Allah Yang Maha Tunggal. Sebenarnya tidak ada yang berubah dengan keyakinanku, malah semakin bertambah karena pertanyaan wanita itu, hanya saja, aku perlu merapikan konsep ketuhanan yang aku anut sehingga aku lebih paham bagaimana cara menjawab segala pertanyaan random dari orang yang ingin mengetahui Islam lebih jauh seperti wanita Vienna itu. Setelah aku tanya apa agamanya, dia menjawab bahwa dia penganut Christian. Jawabanku kepada wanita itu, kira-kira begini:
  1. Aku memang beragama Islam karena orang tuaku beragama Islam. Sejak kecil aku belajar untuk mengetahui bahwa Tuhan itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Allah. Sejak kecil aku belajar ilmu Tauhid, ayah memberi tahu bahwa belajar Tauhid itu wajib bagi setiap manusia. Setiap manusia wajib mengetahui bahwa Tuhan yang wajib disembah itu tunggal. Aku dan dunia seisinya ini diciptakan oleh Allah Yang Tunggal, yang Maha Kuasa, dan aku pikir itu masuk akal. Karena masuk akal, aku bersyukur sampai saat ini bahwa aku dilahirkan di tengah keluarga yang beragama Islam, agama yang dibawa Muhammad SAW, yang pernah bertemu dan berbicara sendiri dengan Allah Yang Tunggal. Jadi, memang awalnya aku beragama karena tradisi, tapi sekarang aku beragama karena keyakinanku sendiri. Aku sembahyang karena keinginan dan kebutuhanku sendiri, aku membaca Al Qur’an karena keinginan dan kesukaanku sendiri. 
  2. Aku tidak tertarik mempelajari agama lain karena aku mempunyai konsep yang sempurna tentang Tuhan maupun semesta dan seisinya yang dijelaskan lewat Al-Qur’an. Aku pernah membaca Bible. Ayahku memiliki satu Bible di rumah, entah Bible Markus, Mathius, Lukas, atau yang lain aku tidak tahu. Aku tidak paham mengapa ada banyak versi injil dengan beberapa perbedaan, yang mana yang benar? Berbeda dengan Al Qur’an yang cuma ada satu versi di seluruh dunia ini, yang di dalamnya berisi kalimat-kalimat langsung dari Tuhan, bukan dari ucapan manusia. Seluruh isi Al Qur’an adalah perkataan Tuhan. Dari sejak zaman Muhammad sampai sekarang tidak ada yang berubah, satu huruf pun tidak ada. Isi di dalamnya pun sangat indah, estetis, dan masuk akal. Ketika saya baca Bible saat remaja dulu, isi di dalamnya tidak masuk akal. Aku menemui banyak kalimat-kalimat porno, bagaimana bisa yang namanya kitab suci terkandung kalimat yang tidak pantas dibaca oleh anak kecil maupun orang secara umum? Bible hampir mirip dengan Hadits yang isinya riwayat dari para manusia yang me-refer kepada Nabi, bukan dari Tuhan langsung, sehingga menurut saya validitasnya cukup meragukan. Banyak sekali kekurangan yang aku temukan ketika membaca Bible. Therefore, I cannot accept the-right-now-version of Bible as a Holy Book, but I accept Al Qur’an because I find it so true and beautiful. Whenever I recite Al Qur’an, it is like God is talking to me, and I think yes, God is really talking to me. That is why I find a whole concept of religion in Islam, because Islam provides a perfect Holy Book.
  3.  Tentu saja aku menganggap Islam adalah agama yang paling benar, bila tidak maka aku sudah meninggalkannya. Namun perlu dicatat, meskipun aku menganggap Islam sebagai agama yang paling benar, aku tidak menganggap diriku lebih benar dari orang lain atau dari orang beragama lain. Ini perlu dibedakan. Dalam Islam, manusia itu tidak ada yang benar kecuali Muhammad SAW. Setiap sembahyang, aku masih selalu memohon kepada Tuhan agar ditunjukkan jalan yang benar. Thus, I will never support any kind of terrorism in the name of Islam. Terrorists think they are the most correct people, but they are wrong, they are definitely not the real Moslems.
  4. Muhammad adalah nabi terakhir yang diturunkan Tuhan untuk memberi peringatan kepada manusia yang melakukan kesalahan, untuk memberi kabar gembira bahwa Tuhan menurunkan Al Qur’an kepada seluruh umat manusia sebagai penerang dan pedoman yang mana AL Qur’an ini menyempurnakan kitab Taurat, Zabur, dan Injil yang dibawakan oleh Nabi sebelumnya. Muhammad adalah keturunan Nabi Ibrahim dari anaknya Ismail ‘alaihissalam, yang memiliki nasab orang-orang shaleh pada zamannya. Muhammad adalah nabi yang penuh kasih sayang dan dicintai oleh umat Muslim sedunia, yang berhasil menyampaikan risalah Allah dalam kurun waktu yang sangat singkat, yang kian hari pengikutnya kian bertambah banyak sampai saat ini. Muhammad adalah satu-satunya manusia suci yang pernah hidup di dunia, bebas dari kesalahan, yang Allah begitu mencintai dan menjaganya.
  5. Saya pikir anda memiliki konsep dan pemikiran yang kurang tepat mengenai poligami. Aku memakluminya, karena di Barat ini poligami dianggap sebagai sesuatu yang negative. Pada kenyataannya tidak demikian. Apabila anda mau mempelajarinya, poligami bisa jadi sesuatu yang positif karena meyelamatkan wanita dari fitnah, dari bahaya, dsb. Muhammad tidak berpoligami dengan alasan ingin menikahi gadis cantik, beliau tidak berpoligami dengan alasan ingin mendapatkan nafsu duniawi seperti anggapan orang-orang barat tentang laki-laki yang berpoligami. Muhammad bukan tipe manusia yang hidupnya dipenuhi dengan drama percintaan yang picisan. Bagaimana mungkin, padahal seluruh hidupnya beliau dedikasikan untuk menegakkan agama Islam, untuk mengajak manusia menyembah Allah SWT. Muhammad married with many women in order to spread his words as a Sunnah, in order to spread Islam to the foreign people and to the other people after him. You know, his words is really precious to know for every Moslem. He needed good people or good wives around him to memorize it and spread it. His life and his deeds become the perfect model for Moslem.
  6. Muhammad SAW memang memiliki keistimewaan, bahwa beliau diistimewakan Tuhan untuk diajak bertemu dan berbicara langsung dengan Allah melalui peristiwa Isra’ Mi’raj. Waktu itu, beliau sangat sedih karena dakwahnya di Tha’if tidak berhasil. Beliau dilempari batu hingga terluka. Istri dan paman beliau meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Sekembalinya berdakwah dari Tha’if, beliau bersembunyi dan berlindung di rumah seorang Nasrani. Lalu, beliau didatangi oleh Malaikat Jibril, kau tahu Gabriel? In Christian, it is called The Holy Spirit, but in Islam we call it Jibril, and Jibril is not part of God. Jibril adalah makhluk yang diciptakan Allah dari cahaya, Jibril membawakan cahaya untuk dijadikan kendaraan bagi Muhammad. Anda tahu berapa kecepatan cahaya bukan? Sangat cepat, sehingga Muhammad hanya perlu waktu semalam untuk pergi dan pulang lagi. Dalam perjalanannya, beliau bertemu dengan para Nabi pendahulunya, termasuk Isa ‘alaihissalam (or Yesus). Aku paham, bahwa peristiwa ini tidak masuk akal, apalagi bagi orang-orang yang terlalu mendewakan science dan materi. Kebanyakan orang seperti itu berbalik arah menjadi atheis, karena mereka sulit memahami dan membuktikan ilmu metafisika yang sebenarnya ada. Manusia memang dipenuhi keterbatasan, untuk itulah manusia dilarang sombong. You know, being atheist means being arrogant.
  7. Ketika sembahyang, aku bukan menyembah sesuatu yang tidak terlihat. Tidakkah kita sadar bahwa dunia dan seisinya beserta seluruh kejadiannya ini adalah firman-Nya? Jadi, Allah bagiku sungguh nyata. Bukankah begitu? Adanya aku, itu karena adanya Allah, Tuhan Sang Pencipta. Tidak adanya aku pun juga karena Allah, Tuhan Yang Maha Berkehendak. Di dalam diriku ketika dalam penuh kesadaran, bersemayamlah Allah. Tuhanku bahkan lebih dekat daripada urat nadiku. Setiap muslim berusaha menghadirkan Allah di dalam dirinya 5 kali sehari lewat sholat. Kami tidak membutuhkan patung atau segala macam simbol buatan manusia untuk menyembah Tuhan, karena Allah tidak bisa disimbolkan. Bila seorang Muslim melakukannya, maka muslim itu telah mengingkari Tuhan dan telah mengucilkan Tuhan. Tuhan telah merepresentasikan keberadaanNya lewat segala ciptaanNya yang tiada bandingannya ini, yang bahkan terkadang kita menyebutnya keajaiban, sesuatu yang terjadi di luar penalaran kita. Aku pernah membaca dalam Bible bahwa Yesus adalah firman Tuhan, karena itulah Christian menyembah Yesus padahal Yesus tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan. Menurut pemahaman saya, semua kita ini dan segala ciptaan Allah ini adalah firman Allah. Allah menciptakan sesuatu tanpa susah payah, cukup berfirman “Jadilah”, maka jadilah ia ("Be", and it is). Tak terkecuali Yesus, anda, maupun saya. Kita semua adalah representasi dan bukti akan keberadaan Allah Yang Maha Tunggal.
  8. Saya tidak terlalu tertarik akan Yesus sebagai Tuhan yang berinkarnasi. Tapi mungkin saya tertarik akan cerita sejarah tentang bagaimana bisa Yesus dianggap sebagai Tuhan, karena saya mempercayai adanya Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai Rasul yang diutus untuk bangsa Israil pada waktu itu. Peristiwa penyaliban cukup menarik bagi saya untuk diketahui sebagai cerita sejarah. Namun Al Qur’an sudah cukup menjelaskan peristiwa tersebut sehingga saya tahu kebenarannya karena saya percaya Al Qur’an sebagai kalam langsung dari Allah. Nabi Isa bukanlah Tuhan yang berinkarnasi karena beliau adalah manusia biasa ciptaan Allah. Menurut Al Qur’an, Nabi Isa tidak wafat di tiang salib. Nabi Isa tidak bisa menjadi penebus dosa bagi umat manusia. Masing-masing manusia harus bertanggungjawab akan setiap perbuatan yang dilakukannya. Apabila salah, harus meminta maaf. Apabila berbuat dosa, harus bertaubat yaitu menyadari dosa-dosanya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat itu harus diniatkan sungguh-sungguh dengan menghadirkan Allah di dalam hatinya sebagai saksi, meminta maaf kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Allah pun berfirman di dalam Al Qur’an di surat At-Taubah, bila manusia benar-benar bertaubat maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Allah sungguh Maha Pengampun, seorang Muslim tidak boleh ragu bahwa Allah Maha Pengampun. Jadi, Tuhan tidak perlu menciptakan drama kehidupan dengan cara berinkarnasi menjadi manusia, menderita, lalu wafat di tiang salib hanya untuk menjadi penebus dosa manusia di dunia. Kalau begitu caranya, tuhan terkesan lemah sekali padahal yang namanya Tuhan sungguh mustahil selemah itu. Allah hanya cukup berfirman dan manusia tidak perlu meragukanNya, manusia hanya cukup mempercayaiNya saja. Allah sudah memberikan segala macam bukti akan keberadaanNya. Allah sendiri jugalah yang menjamin surga bagi para manusia yang mau bertaubat dan mengakui kesalahannya. If you know, there are 99 attributes of Allah that we call it Asma’ul Husna, there are also 20 mandatory nature of God, and there are 20 impossible nature of God.

Diskusi ini berlangsung interaktif. Ada beberapa pertanyaan lain dari wanita Austria itu yang aku tidak ingat. Dia pun mengakui juga bahwa orang Eropa sudah banyak yang atheis. Menurut mereka, kehadiran agama terutama agama Christian menghambat perkembangan science. Orang yang mengaku Christian pun sudah banyak yang meninggalkan gereja, tidak pernah pergi ke gereja karena mereka tidak menyukai dogma-dogma. Mereka sungguh orang-orang yang kritis. Aku pun menyaksikan bahwa gereja-gereja di Eropa cukup sepi, hanya tinggal megahnya bangunan saja yang berdiri tinggi, besar, dan menjulang. Selanjutnya, wanita Austria ini memberitahuku bahwa dia adalah pegawai perpustakaan, bahwa dia banyak membaca buku tentang agama. Aku menarik perhatiannya karena aku mengenakan jilbab dan jalan-jalan sendirian di taman Volksgarden. Kemudian wanita Austria itu pamit bahwa dia ingin pulang. Sebelumnya dia bertanya apa yang hendak kulakukan, aku menjawab bahwa aku ingin menikmati beberapa nomor Beethoven dari Philharmonic yang akan dipentaskan sore itu. Dia pun mempersilakan dengan sangat sopan. Aku berterimakasih atas segala pertanyaan yang ia ajukan tentang Islam. Selanjutnya dia pergi, aku menunggu pentas dimulai dengan duduk di bangku taman, sedikit merenungkan arti sebuah keyakinan hingga saat ini.




Sampai saat ini dan insyaAllah sampai nanti, aku akan menganggap Islam sebagai agama paling benar. Tapi aku tak ingin menganggap diriku sebagai manusia yang paling benar dibandingkan orang lain. Dalam memperbandingkan agama, kita harus adil sejak dalam pikiran. Yaitu bagaimana kita bisa memposisikan diri kita pada mereka yang kuanggap memiliki keyakinan yang salah. Bukan orangnya yang salah, tapi keyakinannya yang salah. Adil dengan memposisikan diri kita bahwa mereka juga memiliki wilayah privasi, sebuah keyakinan yang kita tidak berhak menggugatnya. Let's discuss about religion objectively, without touching other's privacy. Kata guru saya, kamu boleh debat tapi hanya dalam rangka mencari titik temu. Kamu jangan berdebat bila kamu hanya ingin ngotot mempertahankan apa yang kamu percayai karena kamu menganggap pendapatmu paling benar. Tentu hal ini sulit sekali bila diterapkan dalam debat tentang agama karena sudah sewajarnya kita menganggap agama kita paling benar. Sehingga di sini, agama mungkin tidak untuk diperdebatkan. Lain halnya bila kamu berdiskusi, kamu harus memandang segala sesuatu secara obyektif. Jawab segala pertanyaan lawan bicaramu seadil-adilnya, sebaik-baiknya, setransparan mungkin. Diharapkan, di akhir diskusi nanti kamu akan mendapat hal baru, sebuah pencerahan tentang hal yang kamu anggap masih abstrak. Dengan keobyektifan, di sana akan tampak mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga diskusimu tadi memberi guna, bukan malah memperkeruh suasana. Keyakinan, bagiku adalah misteri, seperti sebuah penjanjian rahasia antara tiap manusia dengan Penciptanya. Wallahua'lam.

Selasa, 22 Desember 2015

Habibi

Aku mencintai suamiku karena Allah,


berarti bahwa aku mencintainya karena dia beriman pada Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang berserah diri pada Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena ia akan mengingatkanku untuk selalu mengingat Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang mendahulukan Allah daripada aku atau manusia lainnya

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang haus akan ilmu Allah, yang mampu mensinkronkan antara akal dan hatinya.

berarti bahwa aku mencintainya karena dia orang yang cerdas, yaitu orang yang tidak terlalu mencintaiku namun sangat mencintai Allah

berarti bahwa aku mencintainya karena dia laki-laki yang shaleh.

Senin, 07 Desember 2015

Sekelumit dari Turki

Di Turki, aku ketemu Javuz. Makasih Mbak Fitria, sudah membawaku bertemu orang yang aku pikir sangat tulus, sangat baik, santun, sangat ber-Islam. Aku banyak belajar dari mbak Fitria dan Javuz. Mbak Fitria sangat mengkritikku yang menurutnya aku terkesan sangat perhitungan soal uang. Padahal, suamiku sangat royal, aku kaget, bagaimana bisa aku menjadi perhitungan soal uang, aku nggak sadar. Aku memohon pada Tuhan untuk menjadikanku orang yang royal buat orang lain. Tidak terlalu memperhitungkan hutang, menyerahkan semua padaNya. Toh, rezeki adalah Dia yang mengatur. Mbak Fitri sangat juga mengkritikku bahwa aku kurang peka. Tapi aku pikir aku memiliki alasan mengapa aku berpembawaan demikian yang tanpa kesengajaan. Dia berpikir awalnya bahwa aku egois dan angkuh. Tapi setelah dia dekat denganku, alhamdulillah dia bilang aku enggak sejelek itu, hanya kesan pertamanya saja. Aku memang tak pintar membawa diri bersama orang-orang yang menurutku baru dalam hidupku. Aku harap aku dapat cepat beradaptasi dan menemukan diriku di antara orang-orang itu.

Dari Javuz, aku sangat kagum bagaimana dia bersikap dengan orang lain, dengan orang baru, dengan orang dari ras dan negara lain. Aku sangat kagum bahwa dia mampu membawa dirinya dengan sangat baik, memperlakukan kami sebagai tamu dengan sangat santun, tulus, ikhlas, hormat, dan melayani. Aku heran bahwa Allah mempertemukanku dengan orang yang sedemikian, dengan orang-orang yang sedemikian. Mungkin untuk dapat menjadi pembelajaran buatku bahwa aku harus juga bisa sebaik dia. Javuz menjemput di bandara Sabiha dengan mobilnya, mengantar ke rumahnya untuk makan pagi, memperkenalkan kami dengan para anggota keluarganya, mengambilkan makanan untuk kami, menjelaskan dengan detil jawaban atas segala segala pertanyaan kami, memperlihatkan buku-bukunya, sharing pengetahuan dan keingintahuannya, membuatkan kami minuman kopi mapun teh dengan gelas terbaiknya, mempersilakan kami duduk dengan kursi terbaik di rumahnya, mengajak kami merasakan jalan, naik bus dan berkeliling kota Istanbul, menyulut pembicaraan yang sarat pengetahuan, membelikan kami minuman dan makanan terbaik di kotanya, membawa kami ke tempat yang menurut dia sebaiknya kami tahu, tidak menyela pembicaraan, tidak offensive, segera meminta maaf bila dia merasa kata-katanya membuat kami salah paham, dsb dsb. Hal ini pastilah akan membuatku malu, bila suatu saat di momen seperti ini, aku tidak bisa memuliakan tamu atau membuat orang lain sakit hati karena sikap maupun kata-kataku. Aku ingat dan belajar dari Javuz mengenai hal ini.

Salah satu dari percakapan kami ketika di Topkapi Panorama 1453 M adalah tentang Ilmu Obat. Dia bercerita kalau dia pernah bereksperimen menghilangkan batu ginjal dengan natrium sitrat. Dia bertanya, apakah aku mengenal obat bernama natrium sitrat? Aku jawab, natrium citrate is generally a chemical. It can be a drug for some cases, but not for specific illness. Lalu berlanjut ke ranah yang lebih global soal Science, Javuz bercerita bahwa selama dia membaca banyak jurnal di PubMed, dia berkesimpulan bahwa banyak penyakit yang sebenarnya belum diketemukan obatnya. Kalaupun ada obat untuk terapi, maka obat itu hanyalah short term therapy, tidak mengobati namun hanya mengurangi atau menghilangkan rasa sakit sesaat saja. Lalu bagaimana bisa dunia Barat berbangga diri mengenai hal itu, bahwa mereka telah menemukan banyak obat baru, bla bla bla. Aku pun merespons: ...dan bahkan banyak orang pintar yang atheis hanya karena mereka menemukan bukti bahwa sesuatu di dunia ini pasti selalu ada jawaban dan realitanya. Mereka nggak sadar bahwa apa yang selama ini mereka temukan hanyalah serupa abstrak belaka, bla bla bla. Dia juga sangat concern perkembangan konflik sunni-syi’ah yang sampai-sampai di Indonesia pun sedang hits. Dia memaparkan sejarah dan faktanya saat ini, baik yang terjadi di Timur Tengah maupun di Asia Tenggara. Dia bahkan mempelajari mengapa dan bagaimana Indonesia begitu diminati negara-negara lain untuk menggalang kekuatan politik, bahwa sesungguhnya sedang ada perang berlangsung yang sipil pada umumnya mungkin nggak sadar.

Aku kagum pada orang yang tahu mengenai banyak hal, membaca banyak hal, pergi ke banyak tempat untuk menemukan kearifan hidup, yang mampu memposisikan dirinya dengan baik di antara lawan bicaranya, yang menyukai manusia karena pemikiran-pemikirannya dan bukan karena fisiknya, yang tidak suka menghakimi orang lain apalagi hanya karena suatu kesan sesaat yang subyektif.

Ini mengingatkanku bahwa suatu saat aku pernah berujar pada diriku sendiri:
“Terhadap setiap makhlukNya yang kamu temui, buat ia terberkahi olehNya, bersikaplah sebaik-baiknya dan seindah-indahnya kepadanya, hormati ia, muliakan ia. Niscaya aku yakin, rahmat Allah akan mengalir deras kepada hambaNya yang sedemikian.
Begitulah sikap kita seharusnya kepada sesama, apalagi kepada kawanmu, apalagi kepada keluargamu, apalagi kepada anak istrimu atau suamimu.”




Sabtu, 28 November 2015

Kritik kepada Guru


Ketika scrolling facebook, tidak sengaja membaca memo status mas tersebut di atas. #EAN, atau Mbah Nun, adalah salah satu guru saya yang saya hormati. Kali ini saya ingin melontarkan kritik atas pernyataan tersebut di atas.

Sebenarnya saya paham maksud Mbah Nun mengatakan hal tersebut di atas, yaitu bahwa orang Islam harus pintar menafsirkan Al-Qur'an dan Hadits. Orang Islam harus membuka pikiran selebar-lebarnya, berkreasi sepatut-patutnya, dan berpikir sekritis-kritisnya dengan akalnya sendiri ketika membaca firman Allah SWT maupun membaca sabda Kanjeng Nabi SAW. Kita tidak harus mengikuti pendapat selain apa yang difirmankan Allah dan disabdakan Kanjeng Nabi, karena pendapat manusia itu hanya mengandung kebenaran yang relatif. Sedangkan kebenaran mutlak adalah hak prerogratif Allah SWT yang mana kita tidak bisa mencapai atau menemuinya, kecuali apabila Allah sendiri yang menemui kita. Kita tidak seharusnya membatasi diri kita dengan hanya mengikuti pendapatnya orang lain kecuali pendapatnya Kanjeng Nabi yang dibimbing langsung oleh Allah SWT melalui Jibril. Mungkin Mbah Nun juga bermaksud menyampaikan bahwa umat Islam tidak perlu bertengkar dan terpecah belah hanya karena perbedaan pendapat ulama panutannya masing-masing, hanya karena perbedaan madzhab. Tidak perlulah mengkultus-kultaskan dan bersikap fanatik menjadi entah itu Sunni, Syi'ah, Wahabi, Ahlussunnah wal jama'ah, dll. Toh, ulama-ulama tersebut tidak pasti benarnya, yang paling benar tentu saja pendapatnya Kanjeng Nabi, karena beliau adalah kota ilmu atau sumbernya ilmu di dunia fana ini. Bahwa hanya dengan syafa'at dari Baginda Rasulullah saja saya bisa masuk surga, itu saya tidak mengingkarinya. Untuk sudut pandang yang seperti ini saya setuju.

Tapi bila dilihat dari sudut pandang lain, pernyataan Mbah Nun juga mengandung tafsir bahwa orang Islam zaman sekarang maupun orang Islam di zaman bukan sekarang tidak butuh, misalnya Khulafaur Rasyidin, Imam Syafi'i, Hasan Al Asy'ari, Imam Ghazali, dan 'ulama lainnya. Padahal, keberadan ulama tersebut di tengah-tengah umat Islam adalah takdir yang tidak bisa kita sangkal, seperti sebuah keniscayaan. Aku tak yakin, bila tidak ada mereka, akankah aku seperti ini? Akankah Islam tersebar ke seluruh dunia? Akankah Islam sampai ke Indonesia? Akankah aku beragama Islam? Akankah aku mengenal shalawatan, maulidan, burdahan, barzanjen, dsb yang syair-syairnya sangat indah itu? Kalaupun aku beragama Islam, maka Islam seperti apa bila tidak ada para ulama tersebut? Sholatku atau hajiku bakal seperti apa? Masihkah seperti sholat dan hajinya Rasulullah SAW? Umat Islam sekarang jadi seperti apa bila tidak ada mereka? Sulit sekali dibayangkan. Sepertinya, sepertinya ya, mustahil Islam sebegini ada atau Al-Qur'an sebegini abadi dan otentik sejak ia diturunkan  sampai hari ini, apabila ulama-ulama tersebut tidak ada. Pada kenyataannya, Allah menjaga Kitab Suci ini lewat keberadaan para ulama tersebut. Satu hal yang paling aku syukuri ketika hidup di dunia ini adalah Tuhan memberikan nikmat Islam sebagai agamaku dan Al Qur'an sebagai kitab suciku. Salah satu ayat favoritku adalah QS. Al Maidah 3:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam itu sebagai agamamu.

Ayat satu ini berkali-kali menggetarkan jiwa setiap kali aku baca, yang membuat aku sangat bersyukur bahwa aku beragama Islam. Selanjutnya membuatku berandai, mungkin saja Islam sampai padaku dan sampai pada orang tuaku berkat para ulama. Meskipun, mungkin saja juga, tanpa ada ulama tersebut, maka Allah bisa membuatku beragama Islam bagaimana pun caranya. Karena Dia sungguh misterius, ketetapanNya tidak bisa ditebak, Kun Faya Kun. Tapi kenyataanya Allah memiliki skenario dan aku tidak mengingkari takdirNya. Apabila Kanjeng Nabi adalah katalis, maka mungkin saja Allah menciptakan para ulama sebagai kofaktor. Bukankah orang yang berilmu itu berbeda? bukankah Allah mengatakan bahwa orang yang berilmu adalah manusia berderajat tinggi? bukankah orang yang berilmu itu adalah ulama? Darimana manusia mendapatkan ilmu-ilmu mendasar kalau tidak melalui ulama yang bersanad kepada Kanjeng Nabi? Sangat jarang manusia dapat langsung ditemui Allah SWT, yang mungkin karena manusianya tidak sadar kalau ia harus mendekat dulu padaNya. Bagaimana kita bisa mendekat kepadaNya tanpa perantara ulama yang memberitahu kita bahwasanya kita harus mendekat padaNya? Jadi kalau aku memuliakan para ulama di samping Kanjeng Nabi, lalu mengikuti pendapatnya yang menurutku masuk akal atau bahkan tidak masuk akal (karena pengetahuanku yang terbatas ini), maka aku tidak salah. Sehingga aku pikir, menurutku saja, aku tidak mungkin berislam tanpa keberadaan ulama.

Namun, terimakasih kepada Mbah Nun yang selalu setia mengajak umat Islam untuk terus bebas berpikir mencari kebenaran sejati, sampai kepada "the wildest thought that we can ever make" tanpa harus terbatasi oleh pendapat/pemikiran orang lain.

Rabu, 04 November 2015

Merantau

Mungkin aku sudah bercerita tentang sedikit kehidupanku di rantau. Namun aku rasa, aku belum banyak bercerita tentang pentingnya “Merantau” menurutku. Aku pikir, aku sedang sangat bersyukur karena dalam hidupku, aku dibiarkan olehNya untuk merasakan kehidupan di rantau.

Flashback dulu..Menurut hematku, aku sudah menjadi seorang perantau sejak berumur 13 tahun. Waktu itu aku dengan keputusanku sendiri, memutuskan untuk meninggalkan rumah dan hidup bersama budhe, menemaninya di hari tuanya. Waktu itu aku diminta budhe untuk tinggal bersamanya selepas pakdhe meninggal. Aku tidak pernah pulang, pulang hanya 2 bulan sekali, dan itu pun hanya 2 hari Sabtu-Minggu saja di rumah. Aneh sekali, aku tidak merasa kangen dengan ayah, ibu, dan para kakakku. Aneh sekali, sekecil itu aku sudah betah hidup di luar rumah ayah-ibu yang surgawi itu, memilih untuk tinggal bersama orang tua yang aku tidak tahu karakternya bagaimana. Di tempat budhe, aku ditempa menjadi orang yang disiplin, rajin, dan relijius. Aku membiasakan diri hidup dengan budhe yang karakternya sangat kuat dan keras. Aku tidak merasa teraniaya, aku senang aku bisa menjadi demikian. Lalu, selang 1,5 tahun kemudian, aku pun memutuskan pulang. Aku pikir aku sudah cukup kenyang dengan kehidupan bersama budhe. Aku kembali ke rumah, tapi bukan karena aku kangen dengan rumah. Entahlah, aku hanya menuruti kata hati saja, bahwa aku harus pulang. Sewaktu SMA, aku pun memutuskan untuk tidak tinggal di rumah. Jadi, selama 3 tahun itu aku hidup di sebuah kos. Meskipun jarak rumah dan sekolah tidak begitu jauh, namun aku memilih untuk tidak tinggal di rumah. Pulang hanya ketika akhir pekan saja. Pun aku juga memutuskan untuk belajar bahasa Inggris di Kediri selama sebulan penuh, tinggal di asrama, bertemu dengan orang-orang dari berbagai suku. Aku sangat senang. Beberapa waktu kemudian, aku menyadari, ternyata orang tuaku semakin lama semakin bertambah umur saja, beruban di sana-sini. Aku memutuskan untuk selalu pulang, dimana pun aku berada. Aku memutuskan untuk harus bertemu dengan ayah-ibu sesering aku bisa. Namun begitu, aku tetap menjalani kehidupan rantauku. Ayah adalah orang yang senang anaknya merantau dan berkembang. Aku pikir, aku telah hidup sesuai dengan apa yang ayah mau. Ketika kuliah, aku hidup bersama kakakku yang karakternya pun juga sangat kuat, berkenalan dengan para koleganya yang beraneka ragam, dengan kehidupan sosial tingkat tinggi karena kakakku adalah seorang aktivis. Namun aku masih selalu pulang ke rumah bertemu dengan ayah ibu. Di masa kuliah S1, aku mengumpulkan semangat dan mimpi-mimpi untuk hidup di luar negeri. Kakakkulah yang benar-benar memberikanku banyak cerita, bahwa manusia perlu merantau. Kakak iparku yang pernah tinggal di banyak negara di luar negeri, sungguh menyarankanku untuk juga merasakan kehidupan di luar negeri, merantau, sejauh yang aku bisa. Setelah itu, aku bekerja dan melanjutkan kuliah lagi.

Di masa kehidupan S2 inilah aku merasa aku benar-benar merantau, full time. Tidak bisa pulang sesering aku mau. Namun demikian, di masa inilah aku benar-benar mengalami kehidupan yang sungguh sangat berbeda, yang membuatku selalu berpikir dan berpikir ulang, tentang untuk apa aku hidup, kehidupan seperti apa yang aku cari, mengapa orang lain seperti itu, mengapa aku seperti ini, dsb dsb. 

Aku merasakan dinamika pemikiran yang lebih fluktuatif daripada sebelum-sebelumnya, yang akhirnya membuatku berpikir, bahwa benar apa yang dikatakan orang: merantau membuat kita semakin mengenal asal muasal kita. Aku sangat setuju, anak muda perlu merantau untuk mengenal berbagai karakter orang, mengenal berbagai macam situasi dan lingkungan di luar zona nyaman, berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan berbagai bidang ilmu, mengecilkan rasa takut dan mengembangkan keberanian.

Merantau membuat hidup kita sangat dinamis dengan setting cara berpikir yang sangat luas. Merantau membuat kita mudah memaklumi segala keanehan yang terjadi di dunia ini, yang kita akan memiliki argumen pribadi tentang segala keanehan tersebut, karena cara berpikir kita yang meluas itu. Cara berpikir kita yang luas sungguh sangat penting sebagai landasan dalam melakukan manajemen konflik. Kalian tahu, hidup di rantau membuatku dapat meneropong dan memetakan beberapa konflik yang ada di dunia ini, khususnya di Indonesia. Aku melihat, betapa banyak orang yang masih mudah diadu domba, betapa mudah orang-orang dipecah belah. Selain itu, merantau memberikan kita banyak ide dan landasan tentang apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Merantau dapat menyadarkan kita bahwasannya teori Relativitas itu sungguh sangat relevan bagi kehidupan manusia. Merantau dapat membuat kita mampu meredefinisi segala terminologi yang dibuat orang lain, yang mana kita mampu berpendapat sendiri tentang terminologi tersebut, sesuai standar kebenaran kita masing-masing. Merantau dapat menyadarkan kita tentang hakekat kehidupan yang sesungguhnya sejelas-jelasnya, meskipun tidak banyak perantau yang bisa meneruskan kesadaran ini dalam kehidupan praktisnya. Merantau membuat kita sadar, bahwa betapa berharganya kampung halaman kita, bahwa kita akan menemukan resonansi-resonansi kampung halaman kita di tempat-tempat tak terduga di dunia ini, yang membuat kita ingin segera pulang dan melakukan banyak hal di sana. Merantau mempertemukanku dengan kasih sayang (rahmat) Tuhan yang ternyata sungguh sangat luas sekali bagi segala ciptaanNya tanpa kecuali. Merantau tidak seperti hanya membaca buku (jendela dunia), merantau mempertemukan kita dengan kehidupan sebenarnya, bukan seperti cetakan tinta saja. Pun tidak seperti cetakan tinta dalam tulisanku ini, yang sebenarnya adalah lebih dari sekedar tulisan ini. Tulisan ini terlalu datar, tidak memiliki banyak rasa dan emosi, rasa sesungguhnya tidak dapat kuceritakan semuanya di sini. Oleh karena itu, aku setuju, setiap orang perlu merantau, untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa dan matang, dengan pemikiran yang sangat lapang.

Aku pikir aku belum menuliskan semuanya, tentang betapa pentingnya merantau menurutku. Tulisan di atas hanya mewakili sebagian kecil saja. Namun, aku akan melanjutkannya bila aku ingat, bahwa mengapa kita perlu merantau.

ditulis di Geert Groteplein
di tengah persiapan presentasi
pukul 13.32