Selasa, 31 Desember 2013

Wedangan for Power of Culture



Dua hari lalu saya ikutan kuis Terasolo tentang Wedangan. Kuisnya bertemakan “Power of Culture” dengan pertanyaan “Kalau kamu dapat kesempatan buat buka #Wedangan , kamu mau bikin wedangan yang seperti apa?”, dan inilah jawaban saya:

 

Di malam tahun baru ini, Terasolo mengumumkan pemenangnya. Here it is:



Tak menyangka ideku mendapat apresiasi, karena dari kecil aku tumbuh menjadi seorang anak yang kurang kreatif menilik ayah-ibu bukan orang yang ”masa kini”. Ibu adalah pribadi yang lebih sering “hidup di masa lalu”. Ayah adalah seseorang yang ingin maju,namun tak banyak mengenal sarananya. Berbekal semangat dari ayah dan karena aku merasa kurang kreatif, di saat remaja aku menjadi gemar membaca buku dan majalah yang seadanya. Koran Solo Pos menjadi langgananku pula demi menjadikan diri ini seseorang yang kreatif. Aku pun memesan beberapa film kepada Mbak Lika, yang sedang kuliah di Jogja, untuk aku tonton di rumah ketika weekend. Namun masih saja, meskipun beberapa ide muncul ketika diperlukan, aku masih kurang dapat mengeluarkannya dari dalam kepala. Aku pendiam, terkadang itu menjadi masalah, meskipun sekarang aku agak “speak up my mind”.

Well, back to the main topic. Aku merasa aku bisa memenangkan kuis Terasolo di atas. Awalnya, aku kesulitan menggali ide. Wedangan, suatu hal yang kugemari, namun aku melakukan wedangan dengan konsep yang biasa-biasa saja, nggak ada yang spesial. Aku sering wedangan di warung sendirian dan terkadang bersama kawan bila ia juga gemar sepertiku. Nggak banyak temanku yang mau berdiskusi mengenai suatu pokok masalah dibarengi dengan wedangan. Kebanyakan kami hanya ngobrol apa yang menjadi kegiatan sehari-hari, ngobrolin gosip, dan itu nggak spesial. Jadi, nggak ada ide.

Lalu, terlintas di kepala, Ibu memiliki rumah Joglo dan gebyok antik peninggalan nenek. Bulan lalu aku menginap di rumah salah seorang temanku yang memiliki rumah Joglo dan kebun yang sangat luas dengan buah-buahannya yang sedang ranum, kami mengobrolkan mimpi kami dengan masing-masing menyeduh wedang jeruk anget di atas dipan kayu beranyaman. Suasananya saat itu sore hari dan sehabis gerimis. Bau tanah basah menambah harum, suara gemericik air dari bambu yang dipakai untuk saluran air menjadi iramanya. Sungguh syahdu. Mirip suasana di rumah nenek.

Terlintas pula memori saat-saat aku berada di Klinikkopi di sekitaran Yogyakarta. Sempat aku ingin memiliki rumah dengan gaya bangunan di kafe tersebut dengan rumah panggung “woody frame style” yang dikelilingi ratusan pohon jati. Seperti apakah itu? Coba cari gambar bangunannya. Terimakasih kepada Mr. Enade yang telah menggiringku kesana dulu. Kami berdiskusi sesuatu yang sangat kuinginkan di masa depan untuk aku kuasai teori dan tekniknya. Sangat nikmat menyantap pahitnya "Wamena Low Coffein Americano" buatan mas Pepeng yang dibuat handmade dengan bantuan seperangkat alat pemeras espressonya. Wedangan menjadi semakin nikmat menjadi-jadi. Bayangkan rumah panggung kayu seperti gaya rumah di Sumatra khas Indonesia, memiliki frame-frame kaca yang luas dan dapat dibuka selebar-lebarnya seperti sebuah sanggar khas kontemporer, beserta rindang pepohonan Mangrove khas area tropis dengan semilir angin yang menggoyangkannya. Suara gesekan dedaunan, meskipun nggak semerdu pohon bambu, menjadi backsound di sela-sela obrolan para penikmat wedangan. Euh.. ini baru yang namanya Power of Culture, bukan? Setau saya, tidak banyak wedangan dengan konsep demikian.

Ide yang ketiga. Pernah suatu kali menonton film "Architecture 101"? Sejak saat itu saya mengoleksi bacaan terkait rumah dengan konsep “Green Roof”. Salah satu mimpi saya adalah memiliki rumah dengan desain Green Roof. Salah satu teman saya di kampus menyebut saya cukup visioner. Betapa tidak, dengan background ilmu tentang obat, namun saya juga menaruh perhatian besar tentang sebuah desain bangunan. Penelitian saya di kampus mendukung aplikasi Go Green atau Green Chemistry sehingga saya menggunakan bahan kimia minimalis dan alat praktis semacam microwave dalam mendesain dan mensintesis obat. Ide yang cukup kreatif dan jarang diaplikasikan di Indonesia. Tak terkecuali pemikiran tentang bangunan rumah. Bila saya ingin hidup di kota, maka konsep Go Green juga menjadi dasar pertimbangan. “Green Roof” adalah solusinya. Untuk orang seperti saya yang menyukai wedangan baik sendiri maupun bersama kawan ngobrol, Green Roof akan menjadi tempat pilihan bagi saya untuk bisa menikmati wedangan dengan pikiran yang santai. Bayangkan sebuah kedai wedangan dengan konsep Green Roof, lesehan, pelanggan diberi kebebasan untuk membuat sajiannya sesuai seleranya sendiri dengan diakomodir sang pemilik kedai wedangan. Bisa juga disediakan dipan balok-balok kayu untuk yang tidak suka duduk lesehan. Kedai berlokasi di dekat Bandara yang tentu saja sewaktu-waktu pesawat dapat tinggal landas maupun landing di atas kita. Rasanya? Saya dulu sering membaca buku di area terbuka Angkasa Pura AAU Yogyakarta. Awalnya ketika merasakan pesawat tepat berada di atas kepala saya dengan jarak yang hanya puluhan meter, maupun ketika pesawat tinggal landas mengarah ke kita, perasaan sangatlah berdesir-desir seperti sedang hysteria. Namun kelamaan menjadi terbiasa. Hal ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi pelanggan. Atau konsep Green Roof dengan pemandangan hamparan luas pantai berpadu cakrawala langit seperti di San Diego, US. Suasana telapak kaki dingin karena tanah berumput, angin semilir, dan atap biru langit sore maupun atap hitam langit malam dengan bintang gemintang dan cahaya bulan akan membuat suasana wedangan menjadi sempurna. Hiasan lentera antik gaya tradisional, eropa, maupun kontemporer dengan pencahayaan yang remang-remang akan menjadikan wedangan terasa elegan. Menarik bukan?






Namun, saya pun mengapresiasi salah satu ide nominee yang lain. Yaitu wedangan di dalam Bus. Saya teringat film "Stairway to Heaven" dimana ada adegan kencan menonton film menggunakan properti berkonsep movie box di dalam bus. Kedai wedangan di dalam bus dapat selalu berpindah ke tempat-tempat sesuai pesanan kita, dengan box load pelanggan yang dapat diatur desainnya. Sambil wedangan sambil traveling. Sangat menarik.

Anyway, Thanks to Terasolo who had broadened my mind! ;)



Senin, 16 Desember 2013

Man Arbitrary

Betapa masih ada laki-laki nggak gentle di luar sana. Seketika kutemui bapak-bapak yang membiarkan istrinya berjalan jauh sembari menggendong anaknya, hendak bertanya apakah warung di depan sana menjajakan Cap Cay. Si suami mengikutinya dengan melajukan motornya kencang. Mereka lalu makan di warung itu, sang istri masih memangku anaknya sambil makan Cap Cay kepanasan yang dipesannya sementara si suami makan dengan tanpa beban dosa. Wahai.. Ini sudah tahun berapa ribu masehi? Demi apa laki-laki masih bersikukuh menjunjung egonya tinggi-tinggi? Cinta pasti sedang tak utuh di sana. Beruntungnya aku pernah tumbuh bersama keluarga yang menjunjung nilai anti kekerasan terhadap perempuan sehingga aku tak akan mau ditindas keegoisan lelaki seperti jaman dulu kala. Sebagai pria kantoran nan metropolitan, bekerja di luar dengan menyenangkannya bersama kawan-kawan sembari disisipi arti pencarian nafkah, toh takseberat mengandung, melahirkan, menggendong, menyuapi (dll) anaknya. Don't be so sickening, you (if truly a) man!!

Sabtu, 07 Desember 2013

Keep Struggling!

Life is what happens to you while you are busy making other plans.”, Kincrut mengutip lirik lagu “Beautiful Boy” John Lennon sembari membayar enam belas ribu rupiah untuk seporsi kare ayam, seporsi rica-rica ayam, setusuk sate ati, 2 gelas teh anget, dan sebungkus rambak yang kami makan berdua di ujung Jalan Slamet Riyadi Solo menjelang hampir tengah malam itu. Ya, malam itu sesuatu mempertemukanku dengan rekan lamaku semasa SMA. Kala itu pula gilirannya bercerita, memberiku banyak informasi bagaimana kehidupan suatu titik berjalan, titik kehidupannya, setelah orang-orang lain yang aku temui juga bercerita panjang lebar. Kesimpulan yang kuambil pun berbeda namun masih hampir sama tiap aku bertemu orang yang berbeda, kesimpulan bagaimana hidup berjalan.
Sebelumnya, aku pun bertemu teman kampusku dulu, ia juga memberi cerita bagaimana hidupnya berjalan, bagaimana dia melalui momen-momen krusialnya, bagaimana dia menghadapi emosi dan pikirannya sendiri yang kadang tak bersahabat dengan fakta yang dilakoninya, daaaann…sebagainya. Cerita-cerita kawanku memberikan arti tersendiri buatku. Arti kehidupan yang kucoba sinkronkan dengan nilai pribadiku. Hampir sama. Inti dari cerita mereka dan aku di sini adalah: “kami anak muda yang memiliki kobaran harapan”. Harapan yang ingin kami raih dengan segala macam rintangannya. Jalan kami tidaklah mudah meskipun bila dilihat dengan perspektif tertentu sebenarnya jalan yang kami pilih ini cukup simpel untuk dilalui. Orang pasti akan berkomentar: “Ah, bisaaaa! Gitu aja kok. Apa sih yang sulit bagimu. Aku pikir kamu mampu kok.” Aku adalah orang lain bagi mereka, dan mereka juga orang lain bagiku, dan kalimat itulah yang saling kami lontarkan kepada satu sama lain. Namun, pada kenyataannya nggak mudah, karena apa? Karena kami sulit melawan diri kami sendiri, bukan melawan yang lainnya. Meskipun memang, di saat mereka bercerita, aku melihat guratan-guratan kesulitan menyertai mereka. Hanya karena aku larut dalam cerita, berempati, dan menilik diriku sendiri yang juga sedang merasa sulit melawan diri sendiri untuk meraih harapan. Salah satu kawanku merasa hidupnya sedang terperangkap dalam dunia yang tidak disukainya. Bukan ia yang memilihnya, tapi kehidupan mengalur demikian. Ia merancang harapan bahwa dia harus menemukan momentum yang tepat untuk keluar dari perangkap itu. Sekarang, ia sering merasa demotivasi karena dirinya memaksa melakukan pekerjaan yang bukan keinginannya. Itu sulit.
Pertemuan aku dengan kawan-kawanku menjadi momentum untuk memecahkan kebuntuan kami masing-masing karena siapa tahu kita dapat saling membantu, pun saling berbagi dapat membantu meringankan beban yang sedang dipikul. Karena kuakui, apa yang dialami salah satu kawanku yang lain tersebut tidaklah mudah. Tak dapat terbayangkan bila aku menjadi dirinya. Sebagai gambaran saja, mulai sekarang dia harus melakoni hidup dengan perencanaan yang runtut dan tepat. Bila lengah sedikit saja, maka rintangan yang ada bakalan semakin besar dan sulit. Hidupnya beresiko. Meskipun sebenarnya bila dia menyerah dan memilih jalan hidup lain dapat menjadi alternatif baginya. Namun apakah menyerah adalah solusi? Aku membayangkan diriku sedang mempertahankan sebuah prestasi dengan para pesaing yang cerdas, bila aku lengah sedikit saja, maka aku tak dapat lagi menjadi juara seperti biasa. Begitulah.. menyerah adalah gagal. Pernahkah mendengar kegagalan itu sebagai solusi? Atau katakanlah, bangkit dari kegagalan (atau menyerah) dengan memilih sesuatu lain yang tidak terlalu beresiko tinggi. Tetap saja namanya “telah gagal” bukan?
We struggle our life. Terkadang, aku harus menanggapi sendiri pernyataan itu: “Struggle for what? In the name of.. what?”. Aku merasa kurang bisa menjawab sendiri pertanyaan itu. Begitu pula kincrut setelah dia bercerita panjang lebar tentangnya. Sehingga, itulah yang menjadi pegangan ketika niat terasa kurang pas dengan nilai kehidupan seharusnya. Aku pun, teramat puas ketika aku merasa bahwa aku sedang memperjuangkan sesuatu yang tidak mudah. Hidupku berjalan terkadang sesuai perencanaan dan terkadang tidak sesuai perencanaan. Namun, sepanjang aku memperjuangkan sesuatu secara runtut dan pantang menyerah, aku puas. That’s it. Karena buatku, konsep kesuksesan adalah tentang kepuasan. Aku sukses bila aku puas. Aku bahagia bila aku sukses. Demikianlah premisnya. Jadi ketika kepuasan adalah tentang perjuangan, maka proses adalah intinya. Proses memperjuangkan sesuatu yang tidak mudah, memperjuangkan mimpi yang bagi diri sendiri tidak sederhana, adalah kepuasan. Hasil bagiku adalah fatamorgana, entah itu hasil bagus atau hasil jelek. Jadi, bila kesuksesan terpatok pada sebuah hasil, kebahagiaan akan kesuksesan itu tak bakal terasa lama, dan kita tak akan pernah puas padanya, ingin yang lain yang lebih lagi dan lagi. Lantas apalah sukses itu. Sehingga, menikmati proses perjuangan adalah hidup yang sebenarnya hidup, kita tak akan tertipu oleh fatamorgana. Tak ada yang namanya perjuangan itu mudah, semua orang merasakan kesulitannya masing-masing. Tak akan pernah sia-sia bila yang kita perjuangkan itu adalah hal yang baik. Setitik pun tak akan pernah sia-sia. Kegagalan bagiku adalah ketika berhenti berjuang, menyerah pada keadaan yang sedang tak mudah.