Sabtu, 14 November 2015

"Pray for .."

Aku beneran anak Bapak Hanafi, ternyata. Sebuah pernyataan konyol. haha..
Betapa miripnya kami. Aku bersikap biasa saja akan suatu kejadian, tidak pernah heboh. Misalnya pada kejadian musibah Asap di Kalimantan dan Sumatera, musibah perang di Syria, perang di Palestina, atau yang baru-baru ini serangan penembakan ratusan orang di Paris.

Tadi pagi bangun tidur aku di-whatsapp temanku bahwa dia ingin membatalkan rencana kami ke Delft untuk mengambil baju-baju donasi buat refugee. Rencananya kami cewek berdua mau ke sana, tapi tidak jadi. Heran deh, kemana sih para cowok. Kenapa harus selalu cewek yang bergerak untuk hal kayak gini? Banyak cowok apatis di Nijmegen ini, sayang sekali. Kami tidak jadi ke Delft karena ada kejadian penembakan di Paris. Temanku takut pergi ke tempat-tempat umum semacam stasiun dan centrum di luar kota. Saya kurang paham karena tadi baru saja bangun tidur. Lalu aku membaca deh berita-berita di social media, dari telegraph, dailymail, bbc, dsb. Mereka bilang bahwa tersangkanya kemungkinan Muslim yang menyusup ke gelombang Refugee di Eropa Barat. Lalu di Facebook, Twitter, Path, banyak yang mengirim statement "Pray for Paris". Aku masih biasa saja.

Sedikit mencermati, sebenarnya serangan di Paris itu bukan hal baru dalam hal konflik. Dunia ini dipenuhi konflik yang ratusan tahun tak selesai. Kalau bicara kejahatan genosida, banyak korban konflik lainnya. Di Palestina, Afganistan, Irak, Syria, Afrika, Ukraine. Di Indonesia pun sampai sekarang masih berlangsung pembunuhan-pembunuhan oleh militer, yaitu di Papua. Dulu pernah ada konflik juga di Aceh, dan di Poso sampai sekarang. Jadi, kejadian di Paris mungkin bukan hal baru.

Yang membuatnya beda adalah peran media dan tempat kejadiannya. Media Internasional begitu menggemborkan kejadian ini, melakukan bias opini, menggiring pandangan publik ke arah isu SARA, membuat marah sebagian kelompok. Tidak heran, karena media Internasional yang beredar sekarang memang juga dikuasi oleh orang-orang yang destruktif. Tidak cuma media Nasional saja. Parahnya banyak penduduk dunia yang percaya saja dengan media semacam itu. Tempat kejadian juga membuat kesan berbeda dari peristiwa serangan di Paris. Paris, kota seribu turis. Bayangkan ada teror di tempat yang dianggap penduduk dunia itu tempat yang aman dan terkenal yang oleh karena itu semua orang bermimpi ingin ke sana. Tiba-tiba ada tembakan peluru dan bom di sana-sini. Tidak seperti tempat-tempat di Timur Tengah yang konfik sejak dulu. Bahkan di Paris bermukim para WNI yang hidup aman dan damai untuk kuliah dan bekerja atau berwisata.  Bisa jadi mereka adalah kolega, anaknya, istrinya, suaminya, ayahnya, ibunya, temannya penduduk dari mana saja. Tentu saja kesannya beda. Karena dua hal ini, tentu saja banyak yang heboh, banyak yang mengirimkan statement "Pray for Paris". Beda kasusnya dengan konflik di Timur Tengah yang sudah sejak dulu orang-orang menghindari berkunjung ke sana karena memang banyak peperangan. Beda pula kasusnya dengan Papua, yang tidak banyak penduduk dunia singgah ke sana, lagi pula tidak ada media yang sanggup mengabarkan pembunuhan di Papua karena suara media tersebut dimatikan oleh militer TNI.

Lagi-lagi aku cuma bersikap biasa saja dengan seluruh kejadian ini, seperti Bapak saya yang pasti juga hanya bersikap biasa saja dengan segala kejadian di luar sana. Mungkin kami menganggap dunia dari dulu memang seperti ini, nanti akan seperti itu, selanjutnya seperti apa pun boleh. Karena semua itu adalah Takdir, jadi pasrah aja. Nah, kalau anggapannya demikian, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi kan?

Tidak ada komentar: