Jumat, 11 September 2015

Cita-Cita

Cita-cita dan Ambisi. Apakah keduanya sama? Bisakah kita mempunyai cita-cita namun tanpa dibarengi ambisi? Aku sering membayangkan hal ini.
Membayangkan diriku memiliki cita-cita namun tanpa dibarengi ambisi harus terwujud. Lantas apa gunanya memiliki cita-cita kalau demikian? Aku sering membayangkan diriku tidak disibukkan dengan usahaku untuk mencapai target yang merupakan bagian dari cita-citaku. Aku sering membayangkan bagaimana caranya aku bisa hidup dengan santai, membiarkan semua berjalan apa adanya, tak usah terlalu memperhitungkan waktu maupun kondisi datangnya sebuah kesempatan. Namun seringkali aku masih ketakutan, takut bahwa aku menjadi orang yang tidak mau mencoba dan menggunakan kesempatan sebaik mungkin. Waduh.. kok jadi terkesan oportunis. Begini, seringkali aku mau mencoba dan bersusah-susah mewujudkan cita-cita adalah karena aku ingin menunjukkan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa. Itu saja. It's a matter of gaining self-confidence, perhaps. Begitulah awalnya. Semakin kesini saya merangkum daftar cita-cita saya dulu sembari membaca beberapa kitab yang membolak-balikkan pemikiranku tentang kehidupan. Kemudian menyadari, kok cita-cita saya dangkal sekali ya. Apa sih yang aku cari dalam hidup ini? Dulu saya bercita-cita ingin keliling dunia, sekolah di luar negeri bersama orang-orang yang sama sekali baru dan berbeda denganku, mempelajari ilmu alam dengan gaya a la bule-bule barat, keluar zona nyaman dari rumah ayah dan ibu, dst..dst.. sekarang? Aku menganggap hal tersebut adalah cita-cita yang dangkal. Namun hidup bagimana pun tetap saja hidup dan harus diisi dengan hal berguna bagi sesama kan. Orang lain memiliki kehidupan juga yang mungkin buatku merupakan kehidupan yang dangkal juga, biasa, layaknya orang hidup pada umumnyalah. Dari permukaan mungkin kehidupan orang lain tersebut terlihat dangkal, namun tentu aku tak tahu seberapa dalam mereka menyelami nilai-nilai kebaikan yang mereka anut di dalam kehidupan yang terlihat dangkal tersebut. Dan itu bukan urusanku, aku memiliki kepentingan sendiri dalam penerapan nilai kehidupan dalam hidupku yang sekarang kuanggap "dangkal" ini. Kehidupan manusia memang berfase, salah satu fase tersebut adalah tentang kematangan akal sehat. Di titik saya berada sekarang ini, saya berusaha mencari definisi dan nilai dari kehidupan yang tengah kujalani. Setidaknya, saat saya menjalani cita-cita saya dulu yang seperti ini membuatku sadar bahwa manusia seperti saya tetap bertanya-tanya "apa sih yang aku cari dalam hidup ini?". Setelah capek-capek berambisi mewujudkan cita-cita, saya masih saja belum menemukan "saya yang sebenarnya", belum mencapai puncak kalo boleh bilang. Malah saya merasa saya sedang berada dalam jurang. Tapi segala posisi memang relatif terhadap posisi orang lain. Bagi sebagian orang, saya mungkin sedang di dalam jurang, namun jurang di dataran tinggi. Tetap saja lebih tinggi bagi mereka yang di dataran rendah. Gambaran masa depan terkadang terasa seperti fatamorgana. Kita mengira bahwa jalan di depan kita menanjak, berjurang, dan kadang landai, tapi kalau kita melihat dari suatu perspektif yang sangat jauh sesungguhnya jalan kehidupan itu melingkar.

Sehingga, untuk saat ini saya ingin off dari segala ambisi. Baiklah, saya masih memiliki cita-cita, namun saya telah belajar bahwa terlalu berambisi akan membuat akal sehatku tidak jalan, akan kehilangan arah sendiri nantinya meskipun pada akhirnya aku menemukan jalan keluar. Namanya juga pelajaran, kalau tidak salah maka tidak tahu mana yang benar atau seharusnya. Terkadang muncul pemikiran, "lantas apa setelah saya disumpah menjadi apoteker? lantas apa setelah saya bisa meyelesaikan S2? lantas apa setelah saya bisa melihat menara Eiffel? lantas apa setelah saya bisa sampai puncak Alpen? lantas apa setelah saya memiliki teman-teman baru dari berbagai belahan dunia? lantas saya menjadi keren begitukah?" Dari permukaan mungkin terlihat iya, namun akan terasa sangat dangkal sekali kalau aku tidak menemukan nilai kebaikan dari seluruh perjalanan ini. Sekarang ini aku sampai heran, mengapa ayah-ibu mengijinkanku dan bahkan mendukungku untuk merantau jauh ke ujung dunia, padahal mereka telah memakan asam garam kehidupan dan menurutku telah sampai pada fase nol ambisiusitas. Aku belum menemukan jawabannya, aku nggak mau bertanya pada mereka karena aku tidak ingin mereka menganggapku sedang hilang arah. Aku tidak hilang arah, tapi "mencari arah" pada kebaikan. Hhh... Dari sisi ini, lantas aku heran juga bila menemukan ada orang yang berambisi untuk jadi presiden, jadi menteri, jadi bupati, atau yang sejenisnya. Jadi orang macam begituan kan bikin hidup stressed dan runyam. Kok ada ya yang mau, kok ada ya yang berambisi sedemikian. Mungkin ini akibat dari kecenderungan pola pikir "rumangsa bisa". Mengapa mereka nggak berambisi untuk memiliki hidup yang benar-benar "peaceful"? Atau jangan-jangan mereka menganggap kalau memilih untuk menjadi menteri, presiden, bupati begitu membuat kehidupan mereka "peaceful"? Kalau iya.. Waah, masyarakat salah pilih orang! Tapi kembali lagi, namanya juga fase hidup, kalau tidak menjalani yang salah maka tak tahu yang benar kan? Kayak saya donk.

Dari titik ini, aku sadar bahwa aku tak boleh menganggap remeh kepada mereka yang aku pikir hidupnya tanpa cita-cita, mungkin saja mereka sampai tahap seperti aku ini, mereka memiliki cita-cita namun tidak ambisius sehingga hidupnya terlihat datar-datar saja.

Kesimpulannya, overall, cita-cita saya sekarang adalah bahwa saya tidak ingin jadi apa-apa atau siapa-siapa melainkan bisa memungut setiap kebaikan yang saya temui di jalan. Dengan begitu saya akan berusaha untuk bisa berusaha tanpa berambisi. Saya ingin bisa memberikan porsi lebih banyak kepada tangan Tuhan di pikiran saya dalam mengatur diri saya, sehingga saya tidak kecapekan dan hilang arah lagi.

Dear Allah SWT, please guide me to the way You want me to go, to the best of me being. Aamin

Tidak ada komentar: