Kamis, 18 Desember 2014

Finding Me

People here are spreading the love at this moment because they will celebrate Christmas. One week right before winter break I get some presents and treats from people around and they really are sincere to do it. Teresa said while giving the present "Niha, this is for you from us, please accept this Christmas present. It's not much but we do it with love" and we have bear hug with each other. A person from CMBI also gave me a shopping voucher as present, "This is for you Nihaya". Today Suzanne brought us some cakes, she invited me to eat some bites, I said "Really? may I?" then Prof. Geert who sit beside me replied "Of course you are more than welcome to eat every food served here". Because everyone is full of love, I will also spread the love instead of becoming a hater that makes me lose. So, today I remark some assignments as follows for myself that I have to complete during my life, at least before I'm lost in somewhere again in my upcoming journey (by which it makes me really depressed).

  • Belajar memahami lagi dan lagi, membaca manusia dengan segala pikiran, perasaan, dan kompleksitasnya.
  • Belajar mengalah pada mereka yang tidak mau memahami.
  • Belajar menerima bahwa hidup berjalan kadang tidak sesuai harapan, yang ketetapannya tidak pernah diketahui. Tidak lagi menaruh harapan terlalu tinggi, apalagi kepada manusia.
  • Belajar melepaskan sesuatu dan mencintainya tidak terlalu.
  • Belajar untuk tidak mengharapkan imbalan atas cinta atau sesuatu yang kita beri.
  • Belajar mencintai apa yang dipunyai sampai akhir waktu.
  • Belajar untuk kembali tersenyum lebar, menatap dunia dengan penuh mantap, meskipun masalah yang menyengsarakan selalu kembali datang. 
  • Make my heart empty so there will be great space for God's love, and..
  • Spreading the love everywhere and everytime! 


In this case let's not dwell on the past. People here show me that love is everywhere and it will not make me feel lonely.

I will leave Nijmegen on Saturday and go back here when the year is already changing. I hope I will find a lot of fun outside with all my trip-mates. They really care about all we need, the destination, and what we have to do.

See you next year then, Happy new year!

-Nijmegen with love-

Rabu, 17 Desember 2014

1st Culture Shock

Awal tinggal di Eropa aku nggak peduli kalau aku minoritas. Hidupku masih berjalan normal seperti aku tinggal di Indonesia, asal aku masih bisa mengurus diriku sendiri. Begitulah pikirku. Aku muslim, orang Asia, Indonesia, Jawa, orang Timur, yang mana berkebalikan sekali dengan orang Eropa baik dari cara makan, minum, bergaul, berpakaian, berbicara, tertawa, menyapa, mandi, pokoknya segala hal tentang budaya. Awalnya hidupku masih biasa, karena menurutku sejak di indonesia aku orang yang cukup toleran akan perbedaan. Orang lain mau apa terserah. Kawan-kawan mau minum bir, makan daging babi, masak daging anjing, memanggang daging menjangan, mabuk, pesta sampai malam, terserah. Yang penting aku hidup dengan caraku sendiri, tidak bisa diganggu gugat, caraku yang tidak banyak merugikan dan merepotkan orang-orang di sekitar.

Sampai tiba saatnya aku diundang pesta oleh kolega di kampus dan di apartemen. Karena yang mengundang menyangkut kehidupan inti sosialku, maka aku memenuhi undangan mereka. Sebelum-sebelumnya aku juga diundang pesta di bar dan di suatu tempat tertentu, karena yang mengundang bukan kawan dekat, maka tidak aku pedulikan. Masa bodoh kalau dianggap tidak gaul. Aku selalu mengatakan ke kawan-kawan "I don't like party, I don't like crowded place, I'm sorry". Namun aku menghargai mereka yang mengundangku, yang menyadari keberadaanku di sini (sehingga mereka mengundang). Menjelang natal ini, teman di apartemen dan laboratorium mengundang dinner party.

#1
Dinner Party bersama teman di laboratorium berlangsung di daerah Malden, desa kecil area kuliner dekat Nijmegen yang dapat ditempuh dengan bus selama 30 menit. Mereka memesan restoran Italy dan Jepang, Lime Restaurant. Hidangan yang disajikan berupa wine, red wine, cookies, sushi, salad, cocholate, ikan koolvis, daging menjangan, potato, peer, ice cream, pancake, pokoknya sampai lambung kita tidak muat menampung semuanya. Semuanya gratis karena Prof. Geert yang baik hati. Di sana kami berbagi cerita. Terutama tentang pasangan masingmasing. Aku menceritakan bagaimana aku berkenalan dengan mantan pacar dan sampai sekarang yang sudah menjadi suami saya. Ketika aku bercerita kalau aku LDR sejak kami pacaran, mereka menganggapku gila, tidak habis pikir, tidak bisa membayangkan, dan demi apa aku menjalani hidup seperti ini. Suzanna bahkan berkata "Even if I'm capable of taking my PhD in USA, I won't do that, I don't like to be separated from my boyfriend. I'd rather do something makes much sense for me". Manja, kawanku bertanya mengapa aku tidak minum wine padahal menurutnya wine sangat enak. Lalu aku bingung menjawabnya. "Just because wine usually contains much alcohol, I do not drink alcohol". Tidak puas dia bertanya, mengapa? Aku mendapat clue untuk menjawab secara ilmu medis. “You must ever read that if we drink alcohol while we are in the middle of consuming drugs, the drug effect will be more toxic, its concentration in the blood will be significantly elevated. In other words, alcohol is intoxicating. It is worse when we drink alcohol while we consume so much fatty food, or herb-rich food” Dia bilang kalau alkohol tidak dikonsumsi setiap hari, paling-paling kalau lagi pesta. “Who can guarantee me not become contagious? You said that wine is really good, I can not take for granted something like this. The same as smoking, I won’t try to smoke just for knowing how it feels like.” Teman-teman berkomentar kalau aku sungguh normal, orang yang sangat normal dan mereka tidak normal. Well, I do not say that, they do. Aku pun bertanya mengapa mereka memakan daging rusa, mereka bilang karena lezat. Aku bilang, aku tidak doyan, tidak biasa, dan merasa aneh kalau aku sampai memakannya. Aku bilang aku hanya makan daging ayam dan daging sapi, itu pun yang bercap halal. Sehingga mereka memesankanku ikan laut untuk main course-nya. Thank you! Dari obrolan selanjutnya aku baru tahu kalau teman seruanganku, orang Polandia, seorang lesbi. Satunya gay. Oh my God.. Aku kira selama ini mereka normal. Hingga detik ini aku menjadi bingung bagaimana harus bergaul dengan mereka, bingung bagaimana menyamakan cakrawala sudut pandang. Dalam hidup, it is OK if we have different perspective, but it will be easier if we have the same horizon of to where we look at, so at least we can point to somewhere or something the same. Takut juga kan bergaul sama lesbi, (dia lakinya atau dia perempuannya? Aku nggak tau momen seperti apa sehingga aku bertanya dia ini cowoknya atau ceweknya?). Trus ada gay, bagaimana aku harus memperlakukan dia? Aku memang kurang membaca buku-buku anti-mainstream tentang hal-hal semacam itu. Aku tidak berminat karena aku pikir aku tidak akan pernah tersentuh hal-hal semacam itu dalam kehidupan sosialku. Ternyata, dunia ini tidak seluas yang aku kira.

#2
Teresa (Tesa) mengundangku pesta makan malam sebelum dia pulang, sebagai Christmas dinner. Aku menyambut baik, dia bertanya apa yang akan aku masak atau bawa buat makanannya. Aku sedang tidak ada ide, maka aku spontan bilang kalau aku mau membawakan mereka Yoghurt Milbona yang enak itu. She replied “What? But we will not have breakfast, it’s dinner! Haha..” Dia tertawa, aku pun tertawa balik dengan kebingungan. Memangya ada aturan kapan harus makan yoghurt? “But why? Can we eat yoghurt at dinner? It’s really healthy anyway.” Aku jawab. Hari berikutnya Tesa mengirimiku pesan “Sorry for bothering you, but I don’t know what you will do tomorrow L at dinner party, I don’t know why you want to bring yoghurt.” Trus aku musti gimana.. Kan ya aku tidak tahu aku harus bawa apa, mereka suka makan babi dan minum anggur. Sehingga aku balsas “I’m sorry, because I never go to Christmas dinner so I don’t have idea what to bring for food or drink. Well, I was thinking to make Macaroni Schotel, I think it is good idea since we really loved Italian macaroni!” Teresa bilang, “Really? That will be fine. Just tell me if you need help”. Sehingga pagi harinya aku pergi ke took Turki membeli daging sapi cincang halal. Tentu saja HARUS halal. Aku tidak mau makan daging yang tidak halal sekalipun di Eropa, aku membeli macaroni, dan keju. Sore sepulang dari lab aku mulai meracik, 1 jam setelah dioven akhirnya jadi. Estelle membuat pancake dan waffle sebagai dessert. Teesa membuat salad, mentimun mayonnaise, salame (daging babi), terong rebus, sandwich, dan oseng paprika. Caterina membuat sekotel juga! Sekotel versi Italia tapi dicampur daging babi L. Leon membuat steak babi, Vlad dan Kevin membawa Alcohol dan Wine, Tesa dan Leon juga membuat jamu saripati red wine yang dicampur markisa dan apel, finally Jung membawa minuman yang dapat aku minum dengan lega.. Cocacola dan Juice. Aku pun harus pilih-pilih hidangan yang tersaji di meja. Jangan sampai mengambil makanan yang tidak halal. Di pesta makan malam itu pun ada ritual tukar kado. Namun Tesa mengkoreksiku “We are not exchanging Christmas presents, but we give Christmas presents”. Okay, noted.


Jadi, kali ini, setelah hidup selama 4 bulan di Eropa, aku baru benar-benar merasa culture-shocked!


Minggu, 14 Desember 2014

In Aktiesport Shop

I am kinda a fan of running shoes since my husband bought me a pair of running shoes and it is really comfortable to use for traveling, walking, and running. So I always use the running shoes everyday  in my activities here. But apparently I can not make use of those running shoes everyday in this month because the rain falls quite often so I have to get used to wear boots and since that winter has minus degrees Celsius so ship-skin boots  are really helping to warm my feet.
Yesterday I visited Aktiesport shop in Nijmegen Centrum to see whether The Nike running shoes are on sale. I had little ridiculous conversation with the employer.

me: *having a look around Nike shoes*
employer: kan ik u helpen?
me: oh yeah, I just want to look and choose if the shoes are suitable for me.
employer: please feel free to call me if you need the help
me: bedankt

* I tried two models of Nike shoes: Nike Dual Fusion Run 2 which has a masculine color and Nike Revolution which has feminine color *

me: is there 37 size for these shoes?
employer: I'll check it, so please wait for a while.
*bring me the 37 size*
me: thank you
employer: oh yeah, do you need accessory to make your feet more comfortable when running? here, it is only 20 euro, just try and feel the differences.
me: what? em.. I think I do not need this stuff.
employer: why? most of all people who buy running shoes also buy this.
me: haha.. you wish, but I do not like to do sport especially running.
employer: *staring at me with dumbfounded face* so what makes you want to buy running shoes?
me: hehe.. well because I just don't like to wear any other kinds of shoes, I do not have another option. Running shoes are very comfortable to be used in much activities, right?
employer: *still unbelieving* haha.. of course they are. So just choose which one you like and feel free to call me if they fit you.
me: bedankt!

I was back home without buying running shoes because I have to contact my husband to make consideration which one of the shoes suit me. Well, I am the one who always ask my husband about everything I need to choose because he has good taste in style although he often buys second hand stuffs.
XD

Nijmegen Verse

Hidup di rantau harus menjalin komunikasi dengan orang-orang yang bisa memberikan rasa tenang kepada kita. Begitulah menurut saya. Ketika SMA, saya tidak tinggal di rumah, melainkan di dormitory bersama kawan-kawan dan kakak-kakak kelas. Kita hidup seperti sebuah keluarga, sering ngobrol bareng, main gitar bareng, curhat, nonton TV bareng, berangkat dan pulang sekolah bareng, lari-lari bareng di stadion Trikoyo, makan siang dan makan malam bareng, belanja bareng di minimarket, jalan-jalan bareng di alun-alun. Mereka sangat menenangkan. Ada Titis, Fitri, Mbak Arin, Mbak Bel, Mbak Nila, Mbak Intan, Mbak Mela, Mbak Windy, Galuh, Tiara, Mbak Diah, mbak Diana, dek Lulut, dek Putri. Hidup bersama mereka menciptakan kenangan tersendiri yang tidak mungkin saya lupakan, menenangkan.

Di Belanda, saya menjalin komunikasi dengan Mbak Astri, Mbak Ainul, Mas Ferry, Fuji, Falma, Rizka, dll. Setiap kali saya merasa gundah, homesick, dan didera ketidakjelasan perasaan, saya pasti menyambangi mereka untuk becerita apa saja cerita yang ingin saya bagi. Paling sering ke Mbak Astri, ngobrol di kamarnya sampai berjam-jam. Sering merepotkan dia karena biasanya minta teh hangat, dan dia menyajikan cookies pula. Pernah datang  waktu dia masak di koridornya, sehingga sekalian makan malamlah saya di sana. Hari berikutnya gantian saya yang mengundangnya untuk makan malam di koridor saya.

Jumat sore lalu seharusnya saya menyambangi rumah Mbak Ainul di Neerbosch-Oost (distrik kecil di Nijmegen yang indah) untuk bercerita juga. Namun karena hujan angin kencang dan hari cepat gelap, saya tidak jadi ke sana. Niatnya ingin meminta cerita dia bagaimana rasanya kuliah di UCSD (University of California, San Diego), USA. Mbak Ainul adalah alumni Fulbrighter yang mengambil  Master of Peace and Justice di sana dan sekarang PhD student di Nijmegen. Entah mengapa saya bermimpi lagi untuk bisa ke San Fransisco, UCSF. Mempelajari Medicinal Chemistry sesuai apa yang saya mau. Bidang MedChem di UCSF hanya menerima PhD student di Graduate School, bukan master. Namun ditempuh selama 6-8 tahun. Yeah, bisa dibilang kalau mimpi saya benar-benar terwujud, maka saya bisa menua di San Fransisco. Sedangkan, mimpi saya yang lain adalah hidup sederhana, bahagia, menua dengan suami saya di desa di bagian Jawa Indonesia, mempunyai banyak anak. I came across my intersection again! Karena belum ada waktu ke Neerbosch Oost, saya belum bisa memecahkan telur masalah yang satu ini, masih gundah.

Hari ini adalah jadwal pertemuan saya dengan salah satu teman Latin dari Mexico, Paty. Kami berpisah di akhir kuartal pertama karena kami memiliki tema riset yang berbeda. Saya sering menjulukinya Emma Watson dari Mexico karena dia begitu mirip dengannya, cantik dan manis. Pagi hari sebelum bertemu Paty, saya mengajak Mbak Astri ke downtown of Nijmegen untuk sekedar menyaksikan sungai Waal dengan hawa dinginnya ketika Winter. Ya, tangan saya beku kembali, sakit. Namun saya mencoba menikmatinya karena saya yakin saya akan merindukan rasa dingin di sini. Nijmegen ini sangat cantik, memiliki banyak kastil tua. Namun karena saya tidak sanggup menahan dingin, saya memutuskan untuk jalan ke Centrum menghangatkan badan, belum bisa menyambangi kastil-kastilnya. Mungkin ketika salju turun atau musim semi datang, saya akan berkeliling Nijmegen. Kalau boleh saya bilang, Nijmegen bahkan lebih cantik dari Cologne, Germany. Hohenzollernbrucke bagi saya tidak lebih indah dan tidak lebih romantis daripada Waalburg. Di Koln, jembatan dan gereja gotiknya penuh orang, anak muda dengan kegelisahannya. Di Nijmegen, pinggir sungai dan jembatannya sunyi, sering terlihat kakek-nenek berdua saling berpelukan memandangi air sungai, menenangkan. It makes me wander my thought of how my old age would be while now I am here alone without family or someone I love.

Vossendijk 219 K6
Pukul 23.57
























Rabu, 10 Desember 2014

Random Thought

Setiap kali di CMBI saya melakukan data mining, mengolah sambil menganalisis, menginterpretasikan apakah dengan langkah yang saya ambil hasilnya bagus. Setiap hari merasa tidak tenang. Bila merasa sedikit tidak masuk akal, harus menikirkan cara lain agar penelitian bisa dilanjutkan, namun harus tetap pragmatis, to always keep in mind that I will arrive at my goals. Beginilah menjadi peneliti, tidak mudah. So many things to think, so many things to do, so little time remains. Konsepnya simpel, tapi seperti kehidupan pada umumnya, tidak mudah dijalani. Meskipun begitu, harapan selalu ada di tiap lembaran detik baru. Semoga penelitian saya hasilnya bagus.

Malam ini, ketika saya pusing-pusing, saya melihat foto orang-orang di internet. Trus tiba-tiba punya pendapat: pasangan yang belum nikah kalau foto bareng, entah itu selfie atau enggak, kok rasanya ada yang kurang ya. Sedikit menuju pada ketidakpantasan, sedikit. They are not supposed to act like that way. It is strange to see couple taking photo together or dating somewhere while they haven't been married. Atau aku yang aneh? Aku udah mikir kalau aku yang aneh, tapi kalau lihat foto model begituan, balik lagi, rasanya ada yang kurang, tidak komplit. Entah apa. Malah tidak terlihat kesan romantisnya, terlihat 'sedikit' konyol. Beneran! Kan foto bareng supaya romantis, terlihat romantis, atau apalah itu yang berkaitan dengan romantika. *Ditoyor banyak orang. Memangnya menikah itu semudah membalik telapak tangan? Kayak belum pernah pacaran saja* Iya sekarang nyadar kalau dulu pas pacaran ternyata konyol juga. Makanya kenapa para orang tua banyak yang tidak menyetujui pacaran, meskipun memang pedekate perlu. Tapi menurutku, ala kadarnya saja.
Nah, hidup itu memang tidak mudah bukan?
Jadi saat ini, aku berpikir bahwa keputusanku untuk menikah muda memang tidak salah. Aku sudah menyukai seseorang bertahun-tahun dan dengan menikah aku bisa hidup dengan tenang bersamanya. Ketika sedang jalan bareng, atau foto bareng, atau tinggal serumah bareng, tidak dianggap aneh oleh orang lain. *But that is not the main idea why I decided to get married, I told you before*

Minggu, 07 Desember 2014

Memuliakan Tamu

#1
Pernah suatu kali bertamu ke rumah seseorang. Kami menuju rumahnya naik kereta. Orang itu menyajikan makanan dan minuman kepada kami. Makanan yang disajikan biasa saja, bukan enak tapi juga bukan tidak enak, biasa. Kami makan selayaknya seorang tamu, namun karena kami dan orang yang kami kunjungi masih sama-sama muda sehingga kami kasual saja ketika mengambil makanan yang disajikan. Pemilik rumah tersebut bilang kalau akan ada tamu siang agak sore nanti. Benar saja, ada tamu lain datang, membawa mobil BMW. Pemilik rumah, orang yang kami kunjungi menyambutnya, karena kami sudah agak lama di sana dan sudah mengobrol banyak hal, kami pun memutuskan pamit setelah pemilik rumah menyambut tamunya. Sebelumnya saya melihat pemilik rumah mengeluarkan beberapa sajian lain dari dapurnya untuk tamunya yang baru saja datang, hanya saja makanan yang disajikan lebih enak dari yang disajikan kepada kami. Saya pun heran, kenapa dia menyajikan makanan yang berbeda kualitasnya kepada tamu-tamunya?

#2
Ketika resepsi pernikahanku, kakak pernah mengusulkan agar di gedung pernikahan diadakan kursi VIP dan kursi biasa. Kursi VIP untuk para sedulur, kursi biasa untuk para tamu yang diundang. Namun hal itu ditentang oleh Bapak. Kata beliau, kenapa harus dibedakan antara kursi untuk sedulur dan kursi untuk tamu? Lebih baik kursi ya 1 macam, semua tamu dan sedulur mendapat kursi yang sama bentuk dan kualitasnya. Toh tamu dan sedulur sama-sama diundang dengan maksud yang sama, untuk datang memberikan doa dan restu. Sehingga di gedung pernikahan saya, tidak ada perbedaan kursi untuk berbagai macam tamu, kursinya 1 macam. Kecuali kursi untuk mempelai tentu saja, yang sudah sepaket dengan dekorasi gebyok pada umumnya.

Dari hal tersebut, hal yang terlihat remeh tersebut, saya pun belajar. Saya kira ayah saya benar, kita tidak boleh membedakan tamu-tamu yang datang ke rumah atau hajatan kita. Mereka sama-sama manusia, setara, tidak pantas dibeda-bedakan dan didiskriminasikan sesuka hati kita. Darimana pun asalnya, apa pun latar belakangnya. Kita wajib menyambut siapa pun tamu yang datang (baik-baik) dengan tangan terbuka, menyajikan sajian yang pantas, sepunya dan semampu kita.

A'dam dan Pak En

Hari ini cukup penting bagi saya. Akhirnya saya berhasil mendapatkan dagkaart dari mas Halim (S2 master of Computer Science di Nijmegen) untuk saya gunakan berkereta ke Amsterdam. Tanpa dagkaart saya harus membayar 40 euro kereta pulang-pergi. Dengan dagkaart, saya hanya perlu membayar 14 euro saja pulang-pergi. Sebenarnya ada yang lebih murah, yaituu menggunakan grup tiket dengan hanya 7 euro saja kita bisa pulang-pergi bersama 10 orang lain yang akan menuju ke kota yang sama di Belanda. Tetapi karena saya sedang tidak memiliki grup sebanyak itu, maka saya memilih menggunakan dagkaart. Jam 10 saya menunggu bus Lijn 4 di Hatert Centrum untuk pergi ke stasiun. Seharusnya saya bisa bersepeda, tapi karena musim ini malam datang lebih cepat, jadi saya memilih ke stasiun menggunakan bus. Di bus ada segerombolan mahasiswa dari Spanyol yang akan pergi ke Maastricht, di dalam bus berasa seperti sedang berlangsung siaran telenovela deh, Spanish surrounded. Namun saya seneng mendengar orang-orang berbahasa lain selain Dutch, saya bosan mendengar semua orang berbicara bahasa Belanda di kampus, bahasanya nggak estetis menurut saya, mendingan bahasa Korea, didengar enak. Perempuan cantik Belanda menjadi tidak cantik ketika mereka ngomong, entah mengapa, menurut saya. Meskipun kebanyakan orang Belanda bisa berbahasa Inggris dengan sangat lancar. Aku mendapati alasan mengapa banyak orang Belanda mampu berbahasa Inggris lancar sementara banyak negara tetangga mereka tidak bisa berbahasa Inggris lancar. Salah satunya karena alasan sejarah, yaitu menikahnya putri Mary II of England Duke of York (British) dengan pangeran William III of Orange (Dutch).

(cerita sejarah dikit yaa…)

Keduanya Protestan, sedangkan ayah Mary II yaitu King of Scotland-Ireland-England James II adalah Katolik. (Panjang deh kalau bicara sejarah) Waktu itu William of Orange bersama Mary II yang protestan menentang Louis XIV dari Perancis (yang notabene sepupu James II King of England blablabla itu). Kalau ke Rijksmuseum Amsterdam ada lukisan dimana patung-patung di gereja (waktu abad 17) diturunkan (Protestan tidak menghendaki simbolisasi seperti yang Katolik lakukan). Pada abad itu, lukisan-lukisan yang muncul di Belanda tidak lagi dipengaruhi gaya Italy yang banyak melukiskan dan merepresentasikan makhluk-makhluk titisan surga dengan sayap-sayapnya yang terkesan holy. Akan tetapi muncul pelukis terkenal seperti Johannes Vermeer yang banyak melukis tentang kehidupan manusia Belanda sehari-hari. Beberapa yang terkenal adalah lukisan berjudul The Milkmaid yang unik dengan pencahayaan jendelanya, The Girl with the Wine Glass, The Little Street, The Astronomer, The Geographer, dll. Pelukis lain yang terkenal adalah Rembrandt dengan The Nachtwacht (Penjaga malam, atau tukang ronda, hehe) dengan pencahayaannya yang juga unik (cahaya di malam hari, kalau yang The Milkmaid tadi cahaya matahari). Kita bisa membaca Belanda dengan sejarahnya di Rijksmuseum, lengkap! Asalkan bersama seorang antropolog atau sejarawan, karena kebanyakan lukisan dan patung, dan replika, namun dengan instalasi yang bagus, seakan-akan mereka bercerita dari awal sampai akhir, runut pokoknya. Sampai sekarang wilayah Belanda pada umumnya beragama Protestan, sedangkan warga Nijmegen (kota tempat saya tinggal) penganut Katolik. Ancestor dari William II juga memiliki hubungan dengan putri kerajaan Britain, panjang pokoknya, saya tidak hafal.

(back to the main topic…)

Dari stasiun Nijmegen saya ketinggalan kereta langsung ke Amsterdam Central arah Den Helder, sehingga saya harus naik kereta yang transit di Utrecht, karena jam 1 saya harus sudah di Rijksmuseum, saya tidak mau telat. Sudah menjadi komitmen saya untuk tidak menjadi orang yang membudayakan ketidaktepatan waktu. Belanda mengajari saya untuk tidak menjadi orang yang ngaret. Saya tidak mau kalah dengan para manusia Belanda, mereka komitmen untuk selalu tepat waktu, sehingga saya harus juga tepat waktu. Sampai di Utrecht saya bingung karena nomor peron tidak sesuai dengan yang tertera di jadwal. Kereta menuju Amsterdam central ternyata di peron 7a, padahal saya sudah lari ke peron 5a, sehingga saya harus balik ke peron 7a, untungnya masih satu koridor, kalau harus pindah koridor saya sudah ketinggalan kereta. Di kereta saya tidak kebagian tempat duduk, banyak sekali orang yang menuju Amsterdam dari Utrecht, saya segerbong bersama tante-tante dan om-om Belanda yang cerewet sekali, tawanya menggelegar, sungguh tidak sopan dan membuat saya tidak tahan untuk segera sampai Amsterdam.

Akhirnya jam 12.17 kereta berhenti, dan saya turun menuju pemberhentian Tram. Senangnya di Amsterdam ada transportasi bernama Tram, setengah kereta, setengah bus. Tram inilah yang membuat distrik Amsterdam central menjadi begitu sempit jalanannya, banyak orang dan terkesan semrawut. Namun sebenarnya tidak semrawut sih, karena sistemnya tentu. Kalau hendak menyeberang jalan di Amsterdam harus hati-hati karena siapa tahu ada Tram lewat, namun biasanya mereka mengklakson bila jalanan ramai (padahal Amsterdam selalu ramai setiap saat setiap waktu). Selain di Amsterdam, Tram juga tersedia di Den Haag, namun Den Haag sepi, tidak seramai Amsterdam yang youth lived. Setelah sampai stop di Rijksmuseum, saya ditelefon Pak En bahwa beliau akan tiba setengah jam lagi karena beliau dari Haarlem. Saya memutuskan jalan-jalan sampai ke concert gebouw. Waktu itu di depan museum ada Ice skating spot. Betapa banyak Belanda dari anak-anak sampai orang tua main ice skating dengan bahagianya.. haha. Di pinggirannya ada coffee shop, ingin sekali memesan espresso, namun karena saya sendirian dan memakai jilbab rasanya agak aneh masuk coffee shop yang lebih terlihat seperti bar itu. Jadi saya lanjut jalan ke Concertgebouw sambil menikmati matahari yang bersinar cukup terang untuk ukuran winter dan memotret sana-sini, juga menikmati lagu klasik yang datang dari permainan musik orang jalanan, melodinya sungguh indah, bergaung hingga puluhan meter. Entah itu lagu apa, seperti irama lagu Mediterania. Akhirnya ketemu juga dengan Pak En, kami memesan tiket untuk masuk Rijksmuseum sambil bercerita tentang kuliah dan tentang Belanda. Beliau sangat paham tentang Belanda, sudah lebih dari 6 tahun tinggal di Belanda. Saya memberi tahu dia bahwa saya ingin internship di VU Amsterdam (kalau bisa) di tahun kedua saya, karena saya pikir memiliki supervisor berbeda akan lebih menguntungkan karena lingkup ilmunya tidak monoton. Namun Pak En menyarankan untuk lanjut di Nijmegen saja karena Prof. Vriend sungguh orang yang peduli dengan mahasiswanya dan sangat menyenangkan. Suatu waktu saya akan menulis juga tentang Prof. Vriend, beliau adalah professor Bioinformatics di departemen tempat saya internship sekarang, di Nijmegen.

Pukul 4.30 kami keluar museum dan naik tram menuju Koninklijk Centrum mengantar Pak En membeli tas di outlet Kipling, lalu ke English Book Store yang menjual buku-buku berbahasa Inggris cukup murah. Bisa menjadi referensi saya bila nanti ingin belanja buku. Karena hari semakin gelap, saya harus pulang, saya berpisah dengan Pak En di Dam Square dan lanjut naik Tram ke Amsterdam CS.

Well, Pak En adalah orang yang berpengaruh dalam hidup saya, semenjak saya S1 saya mendengar cerita tentang beliau yang waktu itu masih Ph.D di VU, sehingga waktu itu saya juga memiliki cita-cita untuk melanjutkan kuliah ke Belanda. Pada akhirnya saya berkenalan dengan Pak En setahun sebelum saya berangkat ke Belanda. Beliau yang memberi rekomendasi saya, akhirnya saya diterima. Sungguh keajaiban bagi saya. Saya menghargainya sebagai ilmuan Kimia Komputasi Medisinal yang mengedepankan validasi data dan hasil. Beliau adalah salah satu alasan saya berada di Belanda saat ini. Sehingga, bisa jalan-jalan di Amsterdam bersama Pak En adalah mimpi yang menjadi nyata. Lihat, betapa mimpi saya selalu menjadi kenyataan. Sekarang saya tidak takut lagi untuk bermimpi tinggi. Karena semesta selalu berhasil dengan konspirasinya mewujudkan apa yang menjadi kebutuhan dan harapan saya.
Thanks God, my life is beautiful.

Vossendijk
Pukul 1.47 pagi


Oleh-oleh dari Rijksmuseum Amsterdam:

---sekitar museum---



pohon ini sangat menyejukkan di musim panas, kita bisa bernaung di bawahnya ketika hari begitu panas, dan bersantai di kursi malas dengan angin yang bertiup sepoi




---orang Belanda main Ice Skating---




---jalan menuju concertgebouw---









Orang ini memainkan musik yang melodinya bergaung hingga puluhan meter, musik Mediterania yang sangat indah, sepertinya tangannya beku, karena saya membalut tangan dengan sarung tangan saking dinginnya

---di dalam museum---




(gambar tentang cerita dan sejarah Belanda saya skip ya.. kalau ada waktu saya unggah, karena banyak sekali, ada banyak gambar dari Museum Volkenkunde juga, namun harus saya ceritakan, dan belum memiliki banyak waktu, semoga ada waktu luang)

---bersama Pak En---
Termakasih Bapak, You are my inspiration
Amsterdam Central Station di malam hari

---see you again---



Rabu, 03 Desember 2014

Winter is Coming

Today is the coldest day along November until now. The temperature now is reaching -2°C outside. When I got home this evening, it was -1°C and enough to make my hands freeze. Do you know how it felt? It really hurt because my veins got pressed so the peripheral nerves did not like it and tortured me. Well, perhaps I need another gloves that suitable for winter. Oh yeah, winter is coming, but it seems like there will be no snowfall in December because I heard many people said about it. They also said it's because of global warming as of last year that there was no snowfall. I do not know, but it has been snowing in Scandinavia since September.

Whatever about snow, besides my hands, my lip is the most troublesome that it gets injured because of low humidity. The Lip ice or lip balm I brought from Indonesia are not sufficient to moisturize my lip! Also, my shocks, sweater, shoes, and.. I forgot. I need to buy new ones, all in all, to face very cold weather. Since the last days in Indonesia was hot, I could not imagine how cold here in winter, neither you, right? Preparing winter season is the costliest activity. I understand why many people here spend their winter break by visiting tropical zones, they miss sunshines, of course. I turn on the heater in level 5 and sitting beside it but still not feeling warm.

While many people are now leaving their bike in the bike parking spot and choose to go by bus, I still have to take my bike to go to campus. The wind blows freezingly -7°C that you can not imagine how it can slap your face. Luckily I have thermal long shocks which people call it long john. So, only my face directly contact to the freezing air.

It's funny to see the differences in winter clothing style between the native Dutch and the foreigners especially Mediterraneans. Mediterraneans usually cover their body very tightly with very thick clothes while the native Dutch can hold on the cold weather by only wearing a layer of coat without scarf. We foreigners need sweater before wearing coat and scarf and bonnet. :))
Who cares, no one can deny how cold -2°C is. Come here, come on!

Minggu, 30 November 2014

3ยบ C

Apakabar?

Bulan November ini saya menghabiskan hari Sabtu untuk pergi ke luar kota. Sebenarnya saya ingin lebih mengeksplorasi Nijmegen yang cantik, mungil, romantis, dan tua ini. Namun karena kesempatan memiliki partner plesir lebih jarang, maka sekali ada partner berplesir maka saya akan ikut kemana mereka pergi. Memiliki partner bepergian sangat penting bagi saya, karena bila saya pergi sendirian, I have nothing to do although it is in a well-known place that you know every path of that town as if you know the path of your hand. Mengapa harus bepergian? Jawaban saya adalah sebuah pertanyaan, “Buat apa saya jauh-jauh naik pesawat dan belajar di Belanda kalau saya hanya stuck di satu tempat? The world is too beautiful to be left-unexplored! It can drain your balance though, but it is worth to find something new that can pop up from our mind after seeing the world outside. A partner is important to help us gain the idea by two-way interactive communication.” Jadi partner plesir membuat kita tidak merasa “allienated” di tempat asing. Saya memiliki beberapa partner bepergian di sini. Rizka dan Falma adalah dua orang yang sering menjadi teman saya bepergian karena memang tiap minggu mereka tidak pernah tidak ke luar kota. Sehingga ketika saya memiliki waktu, maka saya akan ikut kemana mereka pergi. Mereka berdua memiliki tipe selera yang sama, termasuk Jehan. Mereka bertiga dari Jakarta, dan seperti anak Jakarta pada umumnya, easy going dan gaul. Kemudian ada mas Ferry, orang yang Sunda-nya kelihatan banget. Dia perfeksionis, memiliki banyak barang ber-merk terkenal. Kalau pergi harus well-planned dan sangat menikmati setiap langkah kakinya jalan-jalan di kota-kota di Eropa sambil memotret sana sini. Berbeda dengan Rizka, Falma, Jehan yang kalau jalan sangat cepat dengan prinsip asalkan sudah mengambil gambar diri mereka (dan gambar-gambar bangunan) di tempat “iconic”, maka sudah afdhol. Saya banyak menumpang gambar diri saya di kamera mereka, hehe. Rizka, Falma, Mas Ferry masing-masing memiliki kamera dengan lensa yang bagus, seperti kamera-kamera a la fotografer. Saya hanya memiliki kamera pocket saja karena memang saya terlalu malas bawa barang berat kemana-mana.

Yang paling saya nantikan ketika jalan-jalan adalah bila teman plesir yang bernama Fuji ikut. Dia berasal dari Kotagede Yogyakarta yang kalau bercerita bahasanya aneh karena sudah lupa bagaimana meenggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan baik dan benar semenjak dia banyak berinteraksi dengan banyak imigran dan orang Eropa di sini sehingga bahasanya campur-campur dengan pilihan kata nggak karuan. Dia lulusan Antropologi FISIPOL UGM dan menjadi lulusan terbaik jurusannya di periode wisuda pada November 2012. Entah mengapa dia selalu bercerita hal-hal yang membuat saya antusias. Segala ceritanya menyimbolkan bahwa betapa Antropolog itu sangat berperan penting bagi peradaban umat manusia. Bagi saya yang seumur hidup mempelajari ilmu-ilmu hayati, hal tentang sosial humaniora menjadi sangat menarik bagiku bila diceritakan oleh Fuji. Saya tidak suka cara guru sosial humaniora mengajar di kelas yang menurut saya membosankan dan tidak menarik minat saya untuk mempelajarinya. Lewat Fuji, saya mau mendengarkan setiap kata demi kata dengan ekspresinya yang khas mulai dari kehidupan manusia di Jogja, di Jakarta, di Sumatra (Batak, Padang, Aceh, dll), Suku Dayak, Orang Madura, kehidupan orang Suriname, Belanda modern, Belanda kuno, Jawa dari Majapahit sampai Mataram, perbedaan Polinesia sampai Melanesia, asal muasal ide cerita Sponges Bob, Sri Lanka, Kubilai khan, dan masih buanyak lagi. Sampai-sampai saya ingin merekam omongannya namun kok rasanya aneh.. Haha. Baiklah, saya menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial humaniora tidak menarik bila disajikan secara formal di kelas dengan harus mengikuti ujian untuk lulus bila mau mempelajarinya. Ilmu yang penuh perspektif karena mempelajari perilaku manusia dengan isi otaknya yang berbeda satu sama lain. Masak iya, harus lulus dalam mata kuliah tertentu ketika kita menggunakan perspektif dalam menjawab permasalahan. It doesn’t make any sense. Saya lebih suka mempelajari ilmu sosial lewat cara-cara informal seperti mengobrol secara interaktif dimana saya akan selalu bisa bertanya secara langsung dan menginterupsi cerita di tengah bila saya mulai tidak paham dan tidak merasa logis. Saya akan mendebat bila saya mulai paham dengan ide baru, langsung ke orang yang menyajikan ilmunya ke saya. Berbeda dengan ilmu hayati yang saya pelajari, saya pikir ilmu tersebut harus dipelajari secara formal di kelas dengan detail yang sedemikian rupa. Teori di ilmu hayati tidak melulu didasarkan pada perspektif melainkan bukti nyata yang harus bisa dikembangkan di labortorium. Tidak fleksibel memang, namun saya menyukai untuk mempelajarinya, di kelas.

Hari ini saya menerima ajakan Fuji berkereta ke Leiden, bertolak dari Nijmegen, kami transit di Utrecht dan harus berlarian mengejar kereta di platform lain dengan harus naik eskalator dan turun eskalator dengan jarak yang jauh yang mana kereta hanya transit selama 4 menit, saya pikir 4 menit tidak cukup bagi kami mengejarnya bahkan dengan berlari. Apalagi kereta di sini sangat tepat waktu. Dari Utrecht, kami menuju Amsterdam untuk transit lagi dan akhirnya 30 menit ke Leiden dari Amsterdam. Sebelum berkereta, saya mempunyai kebiasaan membeli satu gelas besar Latte Machiatto panas di Albert Heijn di dalam stasiun untuk diseruput pelan-pelan sampai habis di dalam kereta. Kalian tahu? Sangat nikmat, apalagi ini musim dingin. Kami memilih tempat duduk “non-silent corridor” karena saya ingin mendengarkan cerita Fuji di dalam kereta untuk mulai aktif mempelajari manusia.

Di dalam kereta kami melihat betapa tanah di Belanda ini masih kosong luas sekali, hijau dengan banyak kanal dari ukuran 2 meter sampai puluhan meter lebarnya. Seringkali terlihat sapi dan kuda makan rumput, seringkali terlihat banyaknya kincir angin, windmill, dll. Orang Jawa tidak tahan melihat tanah kosong, mereka akan berpikir bagaimana caranya membeli tanah tersebut dan dibangun rumah megah nan mewah bak istana raja atau sekedar diwariskan ke anak-cucu. Sampai heran, kok bisa orang Jawa seperti itu. Meskipun tidak bisa digeneralisir, namun begitulah menurut kami. Orang Jawa terkenal dengan keahliannya membuka lahan hutan untuk dijadikan pemukiman. Sedangkan orang luar Jawa termasuk Kalimantan atau Papua, mereka akan menjadikan hutan sebagai apotek hidup, menanamnya dan menjaganya tetap awet. Sampai-sampai Antropolog kolonial jaman Hindia Belanda kreatif untuk mengungsikan orang Jawa ke Suriname dan membiarkan orang Jawa berkreasi dengan keahliannya membabad hutan dan menjadikannya pemukiman. Kita bisa melihat di desa-desa di Jawa bagaimana satu kelurahan isinya satu saudara dekat semuanya. Betapa orang Jawa kental dengan kekeluargaannya. Jaman dahulu mereka tidak mau jauh dari keluarga, memilih untuk tinggal dekat dengan orang tua sampai tua dikubur di tanah kelahiran bersama saudara mereka yang lain yang sudah mendahului wafat. Saya termasuk orang yang merasa aneh jauh dari orang tua, ingin berada di dekat mereka sampai mereka tiada dan di kubur dekat dengan makam mereka suatu waktu nanti. Saya Jawa asli. Berbeda dengan orang di Eropa, mereka terbiasa hidup individualis sejak kecil dan hidup sendiri sejak 18 tahun. Memiliki tanah untuk rumah tidak terlalu besar, kalau mati akan menyumbangkan bagian tubuh mereka untuk keperluan penelitian dan tidak untuk dikubur. Saya jarang menjumpai ada kuburan di sini, ada namun tidak banyak. Saya ingat cerita bahwa ada banyak orang Jawa yang sudah memesan tanah petak kuburannya di desa tempat kelahirannya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka dan orang-orang melihat "rumah masa depan" alias kuburan mereka sendiri. Orang Jawa menyukai memiliki banyak anak dengan jarak usia yang dekat satu sama lain hingga pulau Jawa sangat padat. Orang Eropa memiliki anak ketika umurnya 30 ke atas dan hanya 1 atau 2 dengan jarak usia yang cukup jauh. Belanda sampai sekarang hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 16 ribu, dan itu pun termasuk imigran-imigran di dalamnya. Sehingga saya berpikir, program transmigrasi dan KB itu penting. Namun kembali lagi, bahwa mengatur manusia tidak semudah mengatur benda mati. Manusia adalah makhluk berbudaya dan kita tidak bisa hidup tanpa budaya termasuk saya. Akan sangat sulit bila tiba-tiba saya harus hidup di pulau Natuna, terasing dan tidak bisa mengunjungi ayah-ibu semau saya suka. Saya ingin memiliki 4 anak agar rumah saya ramai dan ketika saya tua saya tidak merasa seperti zombie kesepian di rumah tua sendirian seperti nenek kakek di sini. Kalau saya memiliki banyak anak, maka hidup saya lebih berwarna. Itu perspektif saya, sebagai orang Jawa. Tidak salah dan tidak boleh disalahkan. Betapa ilmu sosial itu penuh perspektif, tidak bisa dirumuskan dengan mutlak. Mempelajari ilmu sosial secara formal di kelas tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus membaca, melihat, merasakan apa pun di mana pun untuk menggali ide dan memecahkan masalah.

Banyak lagi cerita tentang manusia dan kemanusiaan yang kami bicarakan hari ini. Sampai museum kami pun sibuk mengobrol tentang setiap benda, gambar, video dan semua instalasi di dalamnya selama 3 jam dan tidak selesai. Kami harus keluar sebelum gelap untuk sekedar berfoto di kanal-kanal Leiden yang mungil dan cantik serta membeli makanan Turki yang murah untuk mengganjal perut yang kelaparan. Kami jalan-jalan hingga pukul 7 malam di centrum Leiden yang sepi dan gelap dengan suhu 3ยบ C seperti kalkun jalan-jalan di dalam kulkas. Tangan dan kaki beku karena lupa membawa sarung tangan tebal sampai tidak bisa banyak memotret gedung-gedung Leiden yang tua dan eksotis. Menarik sekali pokoknya. Saya akan bercerita lebih panjang lagi kalau pikiran saya sedang kosong dari pekerjaan di laboratorium.
Nantikan ya.. See you in the healthy body.









Vossendijk, 30 November 2014
Pukul 2.00 am

Kamis, 20 November 2014

Marriage

I want to tell you what I think about marriage. Since I am not a story teller and don’t have much occupation in long lines sentence, this story will come up in simple way. Marriage, I am a married woman and you don't have to believe me because I am saying this not to convince you about anything. Well, people keep saying that I am still as cute as teenager and I look inclusive when they chat with me, people can talk about everything without burden in front of me. Yes, I am. Why not to become an inclusive one while we live in social community? My own privacy is still here, just fine and nothing changes. Marriage is in the same stage about what I previously talk, my marriage and my privacy is still here, inside me and my husband while people are there. It’s one thing.

The other thing is that how I decided to get married. This year, special event was going on when someone recited the sacred sentence which means he changed my status, became a married woman. Perhaps, everything around was different since that time, people say. But what actually happened was that I feel as usual as the previous moment before I got married. I think, it’s because of my perspective about marriage. I decided to get married in order to have a happy and relieved life, with someone I love. Happy, because finally I can be together with him, the one I can’t take my mind off for long stretches of time. Relieved, because finally people and God witnessed us being together. I know, love is poisonous sometimes, it has it’s own concentration. But as Raima said, “love perhaps is similar to taking care of a garden. Hoping that in your garden, a beautiful flower will bloom, a cool breeze will blow in the presence of warm sunlight and occasionally a magical shower.” I am doing in simple way and do not care too much about or afraid of what future is going to be as long as I am doing the right thing, I just need to maintain the feeling, the chemistry, and not the love because the love inside me is just still the same, I fall for him almost everyday and everytime since 5 years ago. It is something beyond our mind, we together still do not know how we can be in love by this way. Especially because since 2008 we did not meet frequently as other lovers do. They say, they cannot do as I do, to live in separated place while being in love with the one. I say, It’s not something to think of, just go along with what we believe and finally we can see that everything is fine here and there, happily.

To get married, in my perspective, is not something that I have to think it over after I met him. In the moment when I decided to know him more and more I thought that I would not end up in hating him or being hearted-far from him. So, I tried to catch him up everytime he runs away, to hug him everytime it feels like we are faraway. I made it. By that way, how can I let him go simply? No, I don’t think so. Since then, I thought that we will get married after all. As of the day and the other days in the past that I will not let anyone or anything in this world become the reason of our separation on purpose. How? Just do the best as I can, believe that miracles happen almost everytime, I create it, he creates it, people do, and universe does?

Technically, it is not simple though, but I give you the big picture of how marriage for me is. Probably we have our own philosophy regarding marriage. As we can see that there are people who decided to make baby without first getting married. They live together until getting old, they finally get married when their child are adulthood already. It is something beyond my mind too because I never think to have long lasting relationship without getting married. Moreover for Javanese, it doesn’t make any sense, at least in my culture. I do not say this to only consider my marriage is a culture-business, neither does it only to abolish any rules. More than those, I decided to get married because I want to perpetuate my relationship with someone I love and perpetuate the love (to all surroundings) I have inside me. Day after day, my marriage story will give new insight for me and I still need to adapt everytime it goes up and down, I suppose. In this one side of walk of life, what a long journey, by the way.

Jumat, 14 November 2014

Late Autumn

Malam ini hujan turun lebih deras dari biasanya. Aku melaju di sepanjang Erasmuslaan dengan lampu belakang sepeda yang tidak menyala karena selalu lupa menyalakannya. Sudah 5 hari aku pulang malam, sebenarnya bukan malam, mungkin sore, karena pada musim panas lalu, jam 5 sore masih terang dengan matahari yang masih setia bersinar. Namun musim gugur memiliki kesannya sendiri, ia membuat malam lebih cepat datang, udara semakin dingin, angin tidak lagi bertiup dengan sepoi, orang tidak lagi bisa keluyuran tanpa membalut badannya dengan lapisan sweater dan jas hangat tidak pula tanpa sarung tangan atau sepatu boots.

Sekarang aku harus membiasakan diri untuk berangkat ke Geert Grooteplein-Zuid pukul 8.30 pagi dan pulang ke Vossendijk pukul 5 malam. Mungkin puncak dari ketidaknyamanan ini adalah pertengahan Desember hingga awal Januari dimana pukul 8.30 pagi masih gelap, dan pukul 5 sore sudah gelap. Aku mulai lupa panasnya Jakarta, Yogya, atau Semarang. Aku mulai lupa hangatnya matahari. Sudah sejak aku tiba di sini, segalanya dingin, dingin, dan dingin. Mungkin kamu bertanya-tanya, seperti apa dingin di sini. Uniknya, dingin di sini tidak sampai membuat badanku sakit, tidak sampai membuatku bersin-bersin, tidak sampai membuatku demam, tidak sampai membuat tulang-tulangku linu. Hanya saja ketika sedang di luar, dingin itu tetap menusuk tulangmu, dingin itu tetap membuat nafasmu mengeluarkan uap, dingin itu tetap membuatmu menyesal mengapa kau tidak memakai pakaian yang lebih tebal lagi.

Oh iya aku lupa, ini masih musim gugur, belum pula musim dingin. Mungkin aku akan memberitahukan seperti apa dingin musim dingin di sini, mungkin berbeda dengan dingin musim gugur.

Senin lalu, ketika pertama kalinya aku pulang malam setelah seharian berada di laboratorium, aku merasa terasing. Meskipun hampir 3 bulan di sini, saya adalah orang yang jarang pergi ketika hari sudah gelap. Aku akan mengalami sindrom keterasingan ketika aku harus menjumpai diriku berkeluyuran ketika hari sudah gelap. Diriku akan menjadi gelisah dan mulai merasa aneh seolah sedang di dunia lain. Aku berpikir "Kenapa aku bisa ada di sini sendirian? mereka yang ada di sini ini siapa? Bukankah aku sedang hilang? Ini dimana? Kenapa jalan pulang menjadi semakin jauh? Kenapa diriku tidak segera sampai rumah?", begitulah rasanya. Itulah rasanya hari Senin sore kemarin. Ketika aku harus mampir supermarket untuk membeli makanan, jalanan seperti perkampungan mati, sepi, terang dengan lampu jalan temaram, mobil satu dua di lampu merah, ada orang bersepeda kencang dengan mantel hitam tebal dan penutup kepala. Sampai kamar aku memutar film-film musim gugur di Eropa, dan begitulah kondisinya, seperti yang aku alami. Membuatku semakin sadar kalau aku ada, tidak hilang, tidak di dunia lain, hanya di Eropa, hanya sejauh 13 jam kecepatan pesawat terbang dari rumahku di timur jauh.

Hari ini aku memberhentikan pekerjaanku terkait protein data base pukul 5.15 sore, berpamitan dengan Profesor Vriend untuk pulang. Keluar Labortorium seperti biasa, hari sudah gelap. Aku berjalan dari Grooteplein ke Huygens karena aku memarkir sepedaku di sana. Aku ada janji dengan pihak KBRI di Thomas van Aquinostraat pukul 6 sore, maka aku memutuskan untuk minum segelas coklat panas dulu di Huygens. Entah kenapa aku sekarang memiliki hobi baru di musim gugur ini. Setiap pagi aku selalu minum Espresso, siang aku minum Cappucino, sore minum coklat panas. Espresso, Cappucino, dan Coklat di sini benar-benar sangat memanjakan lidahku, enak sekali bila dikombinasikan dengan udara dingin yang menusuk tulang. Gaya dalam meminumnya pun unik, aku selalu memegang cup dengan kedua tangan, meniup minumannya, dan mulai menyeruputnya dengan lidahku. Mungkin ini adalah sensasi yang hanya bisa kujumpai di negara empat musim. Terima kasih kepada teman-teman dari Italy yang mengajarkan bagaimana menikmati kopi dengan sebenar-benarnya nikmat.

Malam ini aku benar-benar menikmati hidup. Aku mengobrol dengan kawan-kawan di TvA sampai pukul 8.30 malam, pulang sendiri ke flat menikmati hujan yang mengguyur lumayan deras, sungguh tak peduli pada tubuhku yang kedinginan atau jaket dan sepatuku yang basah, tak peduli pada ketidaklengkapan suasana. Mungkin ini adalah waktu diriku menerima segala kondisi yang sedang terjadi, tidak merasa terasing lagi. Segalanya terasa indah dan membahagiakan. Musim gugur akan menjadi satu musim yang aku rindukan seumur hidupku nanti.

Vossendijk
Pukul 22.58

Minggu, 02 November 2014

Perempuan

Suatu hari di Jogja.

Setelah pulang dari kampus, rumah kakakku sepi. Keponakanku sedang bermain di luar bersama teman sekolahnya. Aku menuju meja makan, melihat hidangan makan malam sudah rapi tertata di meja. Mbak Umilah yang memasaknya. Keponakanku pun pulang, berteriak-teriak dengan suara khasnya mencari mamanya, mengira mamanya sudah pulang."Lek Niha, mama mana?" tanyanya. "Belum pulang sayang", jawabku. Dia balik badan dan kembali bermain di luar, di rumah tetangga. Anak itu tidak bisa dipisahkan dari ibunya. Ia selalu menghargai kakakku sebagai sebenar-benar ibunya. Hal yang paling membuatnya sedih adalah bila kakakku sedih, marah, atau merasa ibunya sedang tidak serius kepadanya. Itu membuatku sangat haru, betapa manisnya dia.

Kakakku pun datang, pulang dari kerja dan mencari anaknya. Suaminya waktu itu sedang ke luar negeri entah kemana aku tidak ingat saking seringnya dinas. Aku bilang kalau anaknya sedang bermain entah dimana. Kakakku bilang "kamu ini gimana kok nggak tahu dimana dia main". "Biarkan dia bebas", jawabku. Lalu aku mengambil makanan dan menyalakan TV sementara kakakku masuk kamar berganti baju dan mulai mencari anaknya.

Dua orang itu datang, keponakanku begeleyotan dipinggang mamanya sambil bercerita menggebu-gebu tentang kegiatannya hari ini. Kakakku setengah mendengarkan setengah tidak sambil melihat-lihat bunga anggreknya. Keponakanku mulai marah, "kok mama nggak memperhatikan aku sih! yaudah kalo gitu aku nggak mau lagi sama mama". "Kamu cerita aja, bunda dengerin kok" jawab kakakku. "Mama tu mbok ya kalau diajak ngomong lihat aku gitu lho", keponakanku protes. "Iya sayang, ayo dilanjutkan ceritanya. Oiya, mau makan apa? Bunda lapar nih makan yuk" jawab kakakku. "Nggak mau!" keponakaku sambil melipat kedua tangannya.  Akhirnya kakakku harus mengiming-imingi sesuatu pada anak kecil itu agar mau makan.

Keponakanku adalah anak yang "mama-sentris". Dia bisa dewasa, bisa juga manja, dengan taraf seperti anak kecil pada umumnya. Karena dia belum mempunyai adik juga sih..

Jam semakin menuju malam. Jam 7.30 malam saat kakakku menemani anaknya belajar, kakakku terlihat memegangi HP-nya. Keponakanku pun berkata "Kok mama diem, mama kenapa?", dia sensitif bila mamanya diam karena tidak mau melihat mamanya sedih. "Tidak apa-apa sayang, sudah belum belajarnya? kalau sudah ke kamar yuk tidur bareng bunda, ngantuk nih" kakakku menjawab. Bila aku mengamati, kakakku selalu pergi ke kamar lebih cepat bila tidak ada suaminya. Entah tidur cepat atau kenapa. Bila ada suaminya, mereka selalu lebih lama mengobrol dan bercanda di ruang tengah, terkadang bercanda bertiga di dalam kamar sambil tertawa-tawa bahagia. Setiap minggu mereka selalu pergi ke luar rumah mencari suasana baru, olahraga bersama, pergi ke desa-desa bersama, mudik ke kampung halaman sambil membawa banyak oleh-oleh, belanja bersama, masak makanan khas di rumah bersama, dll. Memang mereka keluarga yang harmonis dan menjadi panutanku.  Beruntung aku pernah tinggal bersama mereka. Tentu saja itu pula yang membuat keponakanku tidak mau lepas dari mamanya, karena bersamanya itu sudah cukup, bahagia.

Kakakku orang yang "suami-sentris", akan sangat sedih bila tidak ada suaminya di rumah. Bila suaminya di rumah, itu adalah hal yang paling membuatnya bahagia, meskipun ada anaknya atau aku atau ibu dan bapakku, tetapi tanpa suami, kakakku seperti kehilangan setengah jiwanya. Hari-hari dilewatinya dengan banyak diam dan murung. Meski pun ketika bertemu banyak orang dia cerewet, tetapi aku tahu, dalam lubuk hatinya paling dalam, kakakku merasa kesepian tanpa suaminya. Aku pikir perempuan yang seperti kakakku tidak salah, karena menurutku, ketika perempuan memutuskan menikah, dia sekaligus memutuskan untuk menyerahkan jiwa raganya untuk suaminya. Setidaknya perempuan Jawa kebanyakan seperti itu. Seperti ibuku, budheku, sepupu-sepupuku, dan kakak-kakakku yang lain. Ketika suaminya tidak ada, wajar bila hidupnya tidak lengkap.

Adakah kalian perempuan sedemikian? Mungkin memang perempuan memiliki dunia yang tidak mudah dipahami, mereka memiliki rahasia yang tak terungkapkan. Mereka ingin mengungkapkannya, tetapi dunia ini tidak cocok untuk mendengarkan ungkapannya yang dalam itu. Oleh karenanya mereka banyak diam, menunggu, dan pasif. Sulit memang. Aku pun tidak bisa menembus diamnya kakakku, sedihnya dia, atau tangisnya dia dikala ada perasaan yang tak tersampaikan. Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Jadi, aku yang bersimpati ketika dia kesepian juga hanya bisa diam, melakukan apa yang bisa aku perbuat untuknya.