Life Science
Sewaktu kuliah, semester 8 ketika tengah
mengerjakan skripsi, aku dekat dengan salah seorang senior yang memiliki
perhatian besar terhadap Life Science. Segala yang kami perbincangkan adalah
tentang Ilmu yang menuntut imajinasi lebih dalam untuk memahaminya, karena
ilmu-ilmu tersebut sangat jauh dari visualisasi mata telanjang. Hanya bisa
dilihat secara personal lewat pemikiran otak. Perlu Tuhan YMK yang mampu
membukakan tabir orang-orang mau mempelajarinya. Sebut saja Kimia Organik dan
Biologi Molekuler. Kedua ilmu tersebut mempelajari hal-hal yang penuh
imajinasi, tak bisa disaksikan oleh mata telanjang, namun kita menguasai
teorinya, logika kami jalan. Ilmu-ilmu tersebut dapat kami pertanggungjawabkan
lewat logika kami.
Aku? Aku adalah salah seorang yang sudah
terlatih bagaimana harus berimajinasi dalam mempelajari kedua ilmu tersebut. Sehingga
tak banyak kesulitan kuhadapi, aku mampu memahaminya dengan baik. Thanks God!
Nah, seniorku tadi, amat sangat ahli
dalam berlogika. Ia adalah seorang yang sangat konsisten dan logis, mempercayai
sesuatu berdasarkan ilmu. Sampai dimana ilmunya, sampai situlah kepercayaannya.
Meskipun begitu, ia adalah orang yang open minded, selalu mengekspansi
pengetahuan sampai ke tingkat apa saja. Haus ilmu. Itulah seniorku. Dia berhasil
mendidikku untuk bertanggung jawab dengan ilmu yang telah aku peroleh. Dialah Muhammad
Radifar. Terimakasih banyak senior.. tak akan pernah kulupa jasamu. Bagiku, Mas
Radif adalah salah seorang scientist
terbaik negeri ini. Aku percaya kalau dunia membutuhkannya, lewat jalan
pikirnya yang logis, ia mampu berkreasi dan cepat menemukan solusi. Aku tahu
ini karena ialah yang memperkenalkanku pada film dokumenter Genius of Design. Ia sungguh
terkagum-kagum bagaimana manusia berkreasi lewat ketelitian desain. Bagiku, ia
berhasil mengaplikasikannya. Apalagi, ia sudah kurasa telah menemukan jati
dirinya.
Aku? Aku masih saja menerawang, bisakah
aku? Bilakah aku menjadi sehebat itu? Betapa tidak percaya dirinya aku ini. Maafkan
adikmu ini ya, Mas.
Di akhir pembuatan skripsiku, dia pernah
bilang bahwa dia khawatir. “Ketika aku
dipapari Applied Science di Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) kelak, akankah
aku melupakan semua Life Science yang telah aku pelajari?” . Aku sempat
menjawab lewat pesan implisit, “Jangan
khawatir, aku mencintai life science sejak SMA, itulah mengapa aku masuk
fakultas ini, life science adalah alasanku. Cinta itu beda dengan hanya sekedar
suka, kan? Itulah mengapa aku merelakan diriku mengambil tema penelitian ini,
meskipun kutahu, di Indonesia, penelitian ini sulit berkembang. Lihatlah, aku
begitu bergantung padamu. Bagiku, kaulah promotorku. Kelak, setelah aku lulus,
aku akan mendalaminya lebih jauh lagi ke bagian dunia dimana bidang ilmu ini
berkembang sangat pesat, bukan Indonesia memang. Aku akan terus semangat
mengusahakannya. Jadi, jangan khawatir.” Kemudian aku memiliki pikiran,
kelak, aku akan menjadi salah satu pionir cabang ilmu yang sekarang sedang
tidak berkembang pesat di Indonesia ini. Ah, kendala masalah dana. Indonesia
tidak memiliki prospek dalam bidang ilmu yang aku geluti karena Indonesia pelit
dana penelitian. Itu membuatku berpikir masa depanku begitu buram. Apalah artinya
sukses bila orang lain, misalnya bangsa sendiri, tak mendukung adanya sebuah
sukses itu. Berat memang. Bangsa ini sedang tak memiliki mental. Indonesiaku,
aku tak mungkin berdiri sendirian kan. Aku yang sendiri tidaklah memiliki arti
bangsa. Beruntunglah ada Mas Radif yang masih mau berdiri tegar, meski bangsa
sendiri tak mendukungnya. Ia bagaikan Pramoedya Ananta Toer yang kala itu
berjuang seorang diri mempertahankan sebuah idealisme. Baginya, Idealismenya
adalah harga mati yang tak seorang pun boleh merusuhinya. I wish, I’ll be with you there.
Aku pernah bercerita kan, aku ini seseorang
yang antusias dalam berbagai hal. Selama kuliah di PSPA, benar saja, aku banyak
dipapari Applied Science. Mata kuliah
yang begitu kompleks harus kami kuasai dasar-dasarnya. Dari hukum, komunikasi,
ekonomi, sampai pendalaman life science yang pernah aku pelajari dahulu. Otakku sungguh
terbuka menerima itu semua. Namun, karena iklim yang santai, aku sering tidak
sadar bahwa ada banyak hal yang perlu kutanyakan. Karena kesantaian itu, otakku
sering telat menerima informasi detail. Hal itu tak menggangguku, jadi
kubiarkan saja diriku santai. Selama aku masih bisa memegang erat substansi
dasarnya, aku yakin, segala sesuatu akan mengalir sendiri. Pada akhirnya, aku
akan menemui masalah dan memecahkannya. Aku yakin aku bisa.
Applied Science
Nah, hari ini, aku mendapat kuliah
mengenai keadaan Ekonomi Nasional dan Domestik. Ada beberapa penjabaran tentang
Makroekonomi dan Mikroekonomi. Aku merasa, sungguh amat menyenangkan menjadi pengamat
ekonomi itu. Meskipun tidak akan menyenangkan bila kita terlibat langsung dalam
mengurus perekonomian yang tidak kalah rumit itu. Karena banyak sekali faktor
resikonya, apalagi dalam kapasitas sebagai leader
(bukan technician). Namun,
kuanggap itu adalah tantangan. Betapa sempat terpikirkan olehku untuk bisa
menjadi manajer di sebuah perusahaan manufacturing
based on chemical entity. Menjadi manajer, betapa menyenangkan dan
menantang. Melalui Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro, kita bisa mengetahui bagaimana
keuangan dunia ini berjalan. Kita meneliti dengan terjun langsung ke dalamnya,
mendapatkan data dan menganalisis setajam-tajamnya. Lalu menjadikannya sebagai
dasar hidup perusahaan jangka pendek dan
jangka panjang. Itulah kerjaan manajer hingga direktur. Applied Science! Sebelum kita menggagas masalah ekonomi, kita pun
harus paham dan memiliki kapasitas dalam melakukan Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling. Keempat kemampuan
tersebut menurutku dapat diasah sambil jalan. Asalkan kita ini orang yang long-live learner dan memiliki semangat,
inisiatif, kreatif.
Aku? Bagiku, aku sendiri telah sukses
melakukan manajemen diri. Segala targetku telah banyak yang terpenuhi, baik jangka
panjang dan jangka pendek serta tak banyak kekacauan kuciptakan. Karena apa? Karena
aku menguasai self-controlling! Itulah
sedikit kelebihanku yang bisa kuceritakan di sini dalam hal ini.
Tidak salah kan untuk berpikir dan
bercita-cita “Setidaknya aku pasti bisa menjadi seorang manajer”. Entah Manajer
Produksi, Manajer Jaminan Mutu, atau Manajer Kontrol Kualitas. Meskipun aku tak
mengambil mata kuliah manajemen pemasaran. Ah, pemasaran, itu terlalu applied science. aku tak berencana untuk
terjun ke dunia pemasaran karena aku masih setia menjaga bara api untuk kembali
ke life science suatu saat nanti (contoh self-controlling).
Itulah, semuanya adalah kerjaan. Kerjaan
yang harus dilakukan baik di masa sekarang atau pun di masa depan. Pak Purwandi
(Direktur Produksi Perusahaan Farmasi), di dalam kuliah menyebutkan bahwa “Kerjaan
muncul dari niatan kita untuk melakukan perbaikan-perbaikan sampai mendekati
kesempurnaan.” Dalam bahasa life science-ku,
“Kita bekerja untuk menyeimbangkan entropi yang terjadi.”
Daripada bingung memilih Applied Science atau Life Science, prinsip yang harus
kubangun sekarang adalah: Lakukan segala hal yang harus dilakukan sekarang. Lakukanlah
dengan jalan terbaik yang bisa ditempuh. Aku telah memilih 2 hal itu. Sisanya,
biarlah Tuhan turut campur tangan. It
remains going with the flow. Aku tak mungkin mengambil porsi Tuhan, kan? Do’a
adalah juga hal yang bisa kulakukan. Do’akan saya ya, readers! Agar dapat menjadi manusia yang baik di dunia ini. Manusia
terbaik adalah yang berguna untuk hajat hidup manusia lainnya kan? Jangan lupakan
itu! :)
P.S.: Untuk kakak seniorku, jangan
kecewa ya! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar