Sabtu, 14 November 2015

Framing Paris

Paris kembali berdarah-darah. Tahun ini tercatat 2 kali serangan teror, di kota yang bernama Paris. Kota yang terkenal di seantero dunia, yang orang-orang pada umumnya sangat ingin mengunjunginya tidak terkecuali saya dulu. Musim dingin tahun lalu, ketika saya berkesempatan mengunjungi Paris selama 4 hari, mengubah pandanganku tentang Paris. Memang, aku tidak sempat lebih jauh membaca sejarah tentang Paris sebelum aku ke sana. Aku tidak mempunyai fluktuasi pandangan tentang Paris, melainkan di sana ada gigantic menara Eiffel yang terkenal, Louvre yang legendaris, Versailles yang megah, kota Mode sedunia, dan sekelumit cerita Revolusi Perancis yang aku kurang begitu mendalaminya. Begitu aku tiba di Paris, hampir semua itu buyar oleh pandanganku dari sudut yang sama sekali lain. Paris tidaklah seromantis yang orang-orang bilang. Paris tidaklah seglamor yang orang-orang bilang. Paris tidaklah se-fashionable yang orang-orang bilang. Paris tidaklah secantik yang orang-orang bilang. Lebih dalam dari itu, ketika aku menyelami sudut-sudut dan pedalaman kota beserta museum-museumnya, Paris begitu menyimpan aura sejarah kelam masa lalu yang resonansinya terasa sampai sekarang.

Paris menyuguhnya banyak cerita dari museum-museumnya, monumen-monumen, bangunan-bangunan tua di setiap ruas jalan, yang kalau kita cermati dan dengarkan lebih teliti, mereka seolah bilang "Hey, umurku udah tua dan menyimpan banyak cerita yang masih sangat segar, ini lho sejarahku. Hey, dulu aku menyaksikan sejarah kejadian dan revolusi seperti ini. Hey, tahu nggak sih aku dibangun untuk apa?". Menyelami Paris membuatku menyadari arti sesungguhnya dari setiap monumen-monumen terkenal di seluruh dunia itu. Kebanyakan orang berfoto riang gembira bahkan berciuman romantis di depan menara Eiffel, Arc de Triomphe, Louvre, Sacre Cour tanpa tahu kejadian di balik pembangunan monumen itu semua. Tanpa menyadari, revolusi berdarah-darah dan kekejaman adalah hal yang mendasari monumen-moumen itu ada. Aneh sekali bukan? Begitulah, merantau membuatku terbiasa dengan segala keanehan yang terjadi di dunia ini. 

Kemarin adalah kali kedua Terror Attack di Paris tahun ini. Ratusan korban berjatuhan dan menumpahkan darahnya, di Paris. Paris kembali berdarah-darah lagi. Aku masih belum tahu, kenapa Paris? Kenapa tidak kota lain? Paris masih menorehkan sejarah kelamnya hingga sekarang. Media mengklaim bahwa teror tersebut dilakukan oleh orang Islam dan ada penyusupan teroris melalui gelombang pengungsi Syria. Sebagai orang Islam, aku takut penduduk Eropa melakukan penyamaan stereotype kepada semua Muslim yang tinggal di Eropa. Betapa tidak amannya situasi seperti ini. Eropa, benua yang kupilih untuk aku merantau karena amannya, karena damainya, karena penduduknya yang toleran, bisa saja berubah seketika menjadi benua yang Islamophobia karena kejadian ini. Apalagi Paris adalah kota yang sangat mewakili Eropa dalam berinteraksi dengan dunia Internasional. Semoga penduduk Eropa bersikap dewasa dalam memandang peristiwa teror ini. 






Tidak ada komentar: