Minggu, 11 Oktober 2015

The Fall in Autumn


Musim gugur sedang berlangsung. Musim gugur telah menjadi musim paling romantis buatku. Adakah yang lebih ikhlas dari dedaunan yang dengan relanya menggugurkan dirinya? Adakah yang lebih ikhlas dari bunga-bunga yang rela berhenti bermekaran dan rela tak dikunjungi serangga penyerbuk lagi? Adakah yang lebih ikhlas dari pepohonan yang rela menanggalkan mahkotanya dan memberikan binar warna kuning keemasan bagi mata manusia yang memandangnya? Angin dingin dari kutub utara pun bertiup sepoi, terkadang merasuk ke tulang-tulang. Aku yakin aku akan merindukan sensasinya, suatu hari nanti. Kali ini, di saat aku menulis ini, aku sangat bersyukur, aku sangat bahagia. Betapa indah semua yang ada di depan mata, betapa romantis aku merasakan nyanyian alam ini, betapa syahdu suasana seperti ini. Langit biru dengan gulungan putihnya awan, burung-burung terbang dan berkicau kesana kemari, daun kuning merah keemasan bergoyang-goyang, daun gugur diterpa angin lalu berserakan di atas tanah. Begitulah musim gugur saat ini, aku pikir musim gugur akan selalu dan akan tetap seindah ini. Aku pikir, tidak ada orang yang tidak menyukai musim gugur dengan segala keindahannya.

Terimakasih Ya Allah atas segala karuniamu, aku menyaksikan ciptaanmu yang indah seluruhnya tanpa cacat ini. Terimakasih. Segala puji bagi-Mu, segala puji bagi-Mu.. Sang Pencipta langit dan bumi, Sang Pemilik Arsy, Tuhan semesta alam.

Keindahan di sini dan di dalam hati ini, mungkin tidak bisa dirasakan sebagian orang lain. Ada yang sedang sedih. Aku pikir begitu. Memang, tidak ada yang abadi di dunia ini. Aku percaya, di detik berikutnya aku bisa mendadak sedih juga, lalu bahagia lagi. Seperti musim gugur yang akan segera terganti dengan musim dingin secepatnya, dimana kau tak akan bisa melihat matahari selama berhari-hari.

#

Tadi aku mendengar kabar bahwa suami salah seorang kawan Ph.D di Nijmegen didiagnosa menderita tumor ganas dan bahkan sudah masuk fase metastasis. Mereka adalah suami istri yang menjalani hidup terpisah. Sang istri sedang sekolah di Nijmegen selama kurang lebih 4 tahun, suami dan anak-anaknya di Bandung. Kini sang istri pulang untuk menemani dan merawat suaminya, meninggalkan pendidikan S3-nya untuk sementara waktu. Dengan kondisi suaminya yang tidak bisa dibilang baik-baik saja, sang istri bersikeras untuk tidak kembali ke Nijmegen. Namun sang suami berat hati, dan menyuruh sang istri untuk kembali ke Nijmegen dan melanjutkan sekolahnya. Kisah ini membuatku sangat terusik. Aku benar-benar mengandaikan diriku di posisi sang istri. Andaikan aku meninggalkan suami yang sedang sakit parah dengan anak-anak, aku pikir aku sudah pasti gila. Andaikan aku berhenti melanjutkan pendidikan S3, aku tidak siap mental meruntuhkan semua angan yang telah berusaha kubangun untuk kehidupan di masa depan. Oleh karenanya aku sangat sedih. Kali ini aku nanar menatap daun-daun kuning di depan jendela kamarku itu. Namun kalau aku harus memilih, aku akan tetap memilih untuk merawat keluargaku, akan rela meruntuhkan segala angan-angan indah sebelumnya dan kembali membuka lembaran hidup baru di kemudian hari. Seperti daun-daun yang berguguran itu. Yang kemudian seperti pohon di akhir musim dingin, yang pasti akan kembali bersemi dengan daun dan bunga-bunga baru yang tak kalah indah dari sebelumnya.

#

Kini, warna langit berubah lembayung.
Hidup memang dilakoni dengan pilihan-pilihan. Segala pilihan selalu kadang terbentur dengan keadaan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Pilihan untuk hijrah ke luar negeri telah kuputuskan jauh sebelum aku menikah dan menemukan seorang belahan jiwa. Aku telah konsisten menjalaninya. Kini aku telah berjanji untuk menghentikan semua impian individual dalam diriku. Kalau aku harus bermimpi lagi, aku ingin menyertakan dia dalam semua impianku nanti, dimana kami akan selalu bersama-sama, tidak terpisah lagi. Meskipun aku yakin itu tidak mudah, sebab jalan kami benar-benar berbeda.

Satu hal yang sedang terjadi, dia memiliki angan bahwa kami nanti akan hidup di sebuah desa yang jauh dari hingar bingar kota besar seperti Jakarta. Dalam bayangku sedari kecil, aku memang tak pernah membayangkan hidup di kota metropolitan. Paling jauh, aku hanya membayangkan Jogja sebagai kota yang mungkin aku akan menghabiskan sisa umurku. Tak pernah ada dalam mimpiku untuk hidup di Jakarta dengan segala keramaian, kemacetan, tempo, keragaman, orang-orang, maupun kapitalisme di dalamnya. Tak pernah ada dalam mimpiku aku harus rela menghabiskan waktu di jalan-jalan yang macet. Tak pernah ada dalam mimpiku aku akan membesarkan anak-anak di tengah lingkungan yang tidak ada kearifan budaya di dalamnya. 

Baru-baru ini dia memberitahuku sebuah impiannya bahwa secepatnya dia ingin hidup di desa, bertani dan beternak, mendidik anak dengan kearifan, bergaul dengan tetangga di sekitar rumah, dan memberdayakan desa-desa yang hampir mati ditinggal penduduknya ke ibukota. Aku pun tak punya ide tentang apa yang harus aku katakan maupun putuskan. Kembali ke desa berarti meninggalkan dan menanggalkan ladang yang telah bertahun-tahun, bahkan sejak kecil, ditekuninya. Katakanlah aku belajar ilmu kimia obat, aku ingin bisa membuat obat (dulu). Aku tak ada bayangan bakal membuat obat di desa. Katakanlah, dia belajar akuntansi pemerintahan. Dia tak hendak membawa ilmu akuntansi pemerintahannya untuk diterapkan di sawah, bukan?

Dia maupun saya sungguh sangat telat. Sedari kecil, kami dididik dan berorientasi untuk bisa hijrah dan bekerja ke kota, pikirku. Sekarang, setelah semua tercapai, tiba-tiba dia mengubah arah orientasinya, mengubah pandangan hidupnya. Hal ini benar-benar tidak mudah. Aku bahkan sedang tidak ada bayangan tentang apa yang bisa kulakukan di desa. Aku dan dia tidak tahu cara bertani maupun beternak. Sungguh telat, mengapa sewaktu kecil tidak ada yang mengajari kami bertani dan beternak? Padahal bertani dan beternak adalah pekerjaan penuh berkah, kesederhanaan, dan kearifan yang bisa dilakukan manusia. Mengapa ada banyak anak yang dididik agar bisa bekerja di kota? Lalu, apa yang akan terjadi dengan desa-desa mereka selanjutnya? Aku benar-benar tak ada ide, apakah kami harus bekerja di kota, atau kembali ke desa. Apabila kami harus kembali ke desa, kami akan seperti pepohonan di musim gugur yang rela merontokkan mahkota daun-daun dan bunganya ke tanah, untuk kemudian istirahat dan bersemi kembali.

Some things grow in order to Fall..

Muntweg 1A, Nijmegen
Pukul 19.45








Tidak ada komentar: