Segala Puji Bagi
Allah. Ia mengirimkan manusia yang dapat aku jadikan contoh di bumi
yang gersang akan wirid pada-Nya ini.
Aku mengenalnya
lumayan telat, baru awal tahun ini. Aku ngeh akan bagus
kepribadiannya sejak di rumah Mbak Ainul, waktu itu kita mengadakan
semacam pesta kecil, perkumpulan anak-anak beasiswa kami di Nijmegen,
kebetulan kami mendapatkan beasiswa yang sama. Di rumah Mbak Ainul
kami masak dan BBQ-an. Temanku ini orang yang sungguh sopan, ia
memasak, menggoreng, memanggang, mengasapi daging untuk kami. Dia
tidak makan sebelum masaknya usai, tidak makan sebelum semuanya
mendapat jatah makanan, dia sabar. Waktu makan dia menikmati
makanannya dan berucap syukur, wajah dan perangainya sungguh
innocent, tidak dibuat-buat.
Lalu aku bertanya-tanya dalam hati, dia ini seperti dari sebuah desa
di Jawa, dia berasal dari mana ya? Kok ada student
seperti ini di Belanda..
Sewaktu
di Amsterdam, saya menemui Mbak Faiz di rumahnya dan kami mengobrol
tentang PCI_NU Belanda, dia bilang “Kemarin temanmu di Nijmegen ada
yang menginap di rumah kami. Itu, sewaktu Gus Mus ke Belanda, ia jadi
salah satu panitia penyambutannya. Kamu kenal dia?”
“Em..
belum tahu Mbak, saya belum pernah bertemu dengannya. Oh,
ada anak NU ya di Nijmegen? Kok saya nggak tau.. kemana saja saya”
Waktu
itu sudah bulan Februari 2015 dan
saya masih belum mengenal teman saya ini. Flash back, saya masih
disibukkan dengan air mata, tinggal di Vossenveld yang jauh dari
hingar-bingar acara mahasiswa Indonesia, saya sibuk dengan rasa rindu
akan hangatnya rumah.
Akhirnya
di rumah Mbak Ainul pun saya bertemu dengan teman saya ini, kami
mengobrol tentang NU, tentang Madura, tentang UIN, tentang pesantren,
dsb. Wow! Kami cocok sekali. Sudah lama saya tidak mengobrolkan hal
ini, di Belanda pula. Dia bercerita kalau dirinya berasal dari
Bangkalan, Madura. Hmm.. Okay. Kesan pertama yang hinggap di pikiran
saya tentang teman saya tersebut adalah “sederhana”. Saking
sederhananya saya sulit mendeskripsikan kesederhanannya.
Musim
semi pun datang, udara masih menyisakan hawa dinginnya. Saya
menyempatkan diri untuk olahraga bersama teman-teman di
sport-centrum, bulu tangkis. Saya menemukan teman saya itu menjinjing
tumpukan raket. Ternyata dia yang menyediakan raket-raket untuk kami.
Saya pemanasan sedikit dan langsung main. Saat istirahat, saya
menonton teman saya itu main bulu tangkis. Terbengong-bengong,
ternyata dia adalah bintang bulu tangkis, keterampilannya “beyond
expectation”. Dia pun direkrut Falma menjadi ketua komite olahraga
di Nijmegen. Selanjutnya dia menyusun jadwal latihan dan formasi
untuk Maastricht cup di Bulan April 2015. Saya turut menjadi
supporter. Terbengong-bengong lagi, dia membawa tim kami meraih juara
1 di perlombaan. Dia menjadi pemain tunggal putra sekaligus ganda
putra di sana, sehingga dia bermain dari pagi sampai sore non-stop
dengan tanpa banyak komplain, tanpa banyak makan, dan tampilannya
yang selalu sederhana itu. Kami sempat mengobrol, saya memberi
tahunya bahwa dalam waktu dekat itu saya akan ke Wina. Dia ingin
sekali turut serta, namun sayangnya dia ada jadwal ujian. Dia bilang
kalau dia jarang ke luar Belanda. Saya
pun terheran-heran, there's still someone from a
countryside who doesn't have ambition to explore the whole Europe
like how other common Indonesian people here. I appreciate how he
lives. Sebenarnya saya tidak
terlalu berambisi juga sih untuk keliling Eropa atau dunia, namun
ketika ada kesempatan dan kawan bertualang, maka saya pergi,
selebihnya saya lebih banyak di Belanda, belajar, merenung,
ber-monolog, berdialog, berorganisasi, seperti teman saya itu.
Waktu itu kami
sempat merayakan kemenangan tim kami di perhelatan bulu tangkis
Maastricht cup. Kami merayakannya di koridor teman saya itu, di
Hoogevelt. Kami memasak di dapurnya yang lumayan kecil. Sekali lagi,
dia turut memasak, menggoreng, dan melayani keperluan kami semua
dengan ringan tangan tanpa keluh kesah apa pun. Dia sediakan pula
beras miliknya. Dia sangat ahli membuat sambal, segala sambal
buatannya enak dan semua orang suka. Ketika masuk kamarnya, tidak ada
yang mencolok, kamarnya hanya terisi sedikit barang. Sajadah sarung
peci dan kitab suci dia tata dengan rapi di rak. Dia atur kamarnya
supaya agak lowong dan bisa dijadikan tempat makan bersama. Dia tidak
banyak memiliki makanan bumbu atau sayuran, hanya satu dua cemilan
yang dia punya. Sederhana.
Bulan
Rajab pun tiba. Saya mendapat ajakan untuk ikut tadarusan dan kajian
keislaman setiap akhir pekan. Teman saya tadilah yang menginisiasi
acara itu. Senang sekali bisa berkumpul bersama orang-orang, membaca
Al Qur'an bersama, mengkaji Islam, makan, berdiskusi,
cengagas-cengenges. Terbengong-bengong lagi, saya sangat menikmati
lagu bacaan Al Qur'an teman saya itu. Tilawatil Qur'an paling bagus
yang pernah saya dengar semenjak di Belanda, tajwid dan ketepatan
huruf saat membaca tidak pernah salah. Kalau ada bayi menangis dan mendengarkan qira'ah-nya, mungkin si bayi dapat tertidur pulas. Saya pun bangga padanya bahwa
begitulah lulusan pesantren seharusnya. Dia bilang kalau dia ingin
kita mengkhatamkan Al-Qur'an, dia ingin majelis ini terus ada sampai
setidaknya khatam 30 juz. Aku sangat mendukung idenya.
Tadarusan di Hatert 70 |
Ketika
bulan ramadhan, kami dan beberapa orang teman lain pun diundang
seorang warga Belanda untuk buka puasa bersama. Saya senang teman
saya tadi ikut serta. Dia orang yang pandai mencairkan suasana.
Dengan keahlian bahasa Arabnya, dia banyak mengobrol dengan seorang
Mesir. Tuan rumah pun
menyukainya, dan sering mengundang kami makan bersama.
Bulan
Juli dan Agustus saya pulang ke Indonesia. Bulan September saya
bertemu Mbak Fitri di Nijmegen, dia sudah mengenal teman saya tadi
sejak lama. Mereka pernah memiliki acara bersama di sebuah program
dari Kemenag selama 2 bulan penuh di Jakarta. Saya pun merasa sangat
cocok dengan dua orang ini, karena bergaul dengan mereka mengingatkan
akan cara hidup saya sewaktu saya masih kecil. Bersama mereka, saya
kembali dapat bernostalgia dengan lingkungan rumah saya di desa. Di
bulan September, kegiatan tadarusan dan kajian Islam masih berjalan.
Kali ini, headquarter kami
berpindah ke area Wilhelminaweg yang sebelumnya pernah di Hatert 70
dan Platolaan karena tuan
rumah ada yang sudah pulang ke Indonesia sehingga tempat
berganti-ganti. Teman saya ini masih menjadi penyemangat nomor 1
untuk tetap melanjutkan acara ini. Di hari weekdays di Bulan
September, saya sering bertemu teman saya di area Erasmuslaan, baik
di kantin refter, perpustakaan, maupun di kantornya mbak Fitri di
lantai 14 Erasmusgebouw. Pernah suatu kali di kantin refter saya dan
teman-teman makan sebuah menu ala Lebanon. Hari itu adalah H-2 hari
Arafah. Teman saya ada di kantin tersebut dan ikut ngobrol bersama
kami namun tidak makan. Saya pun menebak kalau dia sedang berpuasa.
Padahal saat itu dia menjinjing raket, di saat puasa pun dia tetap
berolahraga. Kami mengobrol bersama. Teman saya ini bercerita kalau
awal Oktober dia ingin pulang karena akan menikah. Dia pun
memberitahu kami tentang calon istrinya, kami tertawa-tawa dan
sedikit meledeknya yang hendak jadi pengantin baru. Dia meminta saran
apa saja yang harus dia persiapkan sebelum menikah? Apa yang harus
dilakukannya saat pulang nanti dan meminang calon istrinya? Khusus
dariku, aku memberinya sebuah saran, bahwa menikah itu butuh hati
yang kosong dari segala ego pribadi. Kusarankan untuk menuntaskan
dirinya, menyelesaikan dirinya dulu, sebelum mengucapkan “Qabiltu
nikahaha..”. Dia pun mengangguk paham. Kami kembali berdiskusi
mengenai adat pernikahan dan cengangas cengenges lagi. Di
kantor Mbak Fitri, saya memesan tiket ke Turki untuk bulan Desember
nanti. Sangat menyesalkan bahwa teman saya tadi sudah kembali ke
tanah air saat Desember nanti sehingga dia tidak bisa turut bersama
kami. Teman saya ini tinggal
di Vossenveld bersama seorang kawan yang baru saja datang di Nijmegen
yang sangat homesick karena meninggalkan anak-istrinya di Indonesia.
Jadi, teman saya menemaninya dan menghiburnya, mengajarinya bagaimana
hidup di Belanda, belanja dan memasak untuknya, sungguh mengayomi dan
sabar.
Suatu
kali di kantor Mbak Fitri, si mbak memberitahu saya mengenai teman
saya ini, mengenai kepribadiannya yang mengagumkan. Dia bercerita
bahwa teman saya ini orang yang sangat tawadhu' yang orang lain akan
sulit membencinya atau menemukan kesalahannya kepada sesama orang
lain. Ketika ada acara pembibitan di Depok Jakarta tahun 2013 akhir
dulu, teman saya ini dikenal mbak Fitri dengan kesederhanaanya. Kalau
makan selalu beli makan di warteg terdekat: nasi-telur-sayur atau
nasi-tempe-sayur. Tidak pernah pergi ke restoran atau mall. Mbak
Fitri sering nitip makanan, dan hanya itu yang dia belikan, sehingga
si Mbak ini geli. Kok ada anak semacam dia di abad Millenium ini.
Meskipun teman saya ini hemat soal makan, namun dia tidak hemat untuk
membeli buku. Uang saku yang diterimanya tidak dia gunakan untuk
foya-foya, namun dia pakai untuk membeli buku di Jakarta sampai
ratusan ribu dan dibawanya
pulang ke kost-nya di Malang.
Semua orang pun terbengong-bengong, dia masih saja dengan wajah
innocent-nya.
H-2 sebelum dia kembali ke Indonesia. Makan es krim Pistachio di centrum. |
Suatu
kali di kereta dari Amsterdam, teman sekamarnya teman saya ini, yang
tadi saya ceritakan homesick tadi, bilang bahwa teman saya ini kalau
sholat tidak pernah meninggalkan sholat sunnah, kalau malam sering
bangun dan sholat, duduk dan wiridan lumayan lama, dia puasa Daud juga, tidak pernah dalam sehari
tidak membaca Al Qur'an. Saya pun merasa tertampar sekaligus kagum.
Di Belanda yang waktu siangnya sebegini lama, ada yang puasa Daud?
Wow! Ketika sholat Idul Adha pun, dia yang ditunjuk menjadi imam
karena bagus bacaannya dan matang amalannya, meskipun terbilang masih
sangat muda. Dia seringkali
dimintai bantuan teknis ini itu, dia bantu orang-orang tanpa keluh
kesah. Dia seringkali diajak diskusi orang-orang dari semua kalangan,
mengesankan betapa baik kepribadiannya. Dia tidak pernah melibatkan
diri pada obrolan orang yang kadang mencari kesalahan orang lain, dia
tidak pernah mengkritik cara hidup orang lain, rasa-rasanya, dia
terima kehidupannya dengan apa adanya. Sebelum pulang kemarin, kami
bersepeda ke centrum. Di jalan dia cerita bahwa dia mau menutup akun
banknya, menceritakan pula tinggal berapa uangnya di bank yang akan
dia gunakan untuk modal nikah dan membangun keluarga baru bulan ini.
Dia cerita kalau sewaktu euro melemah kemarin, dia harus mengirim
uang kepada keluarganya di desa untuk membayar biaya masuk kuliah
adik-adiknya. Saya beruntung dapat mengenal orang semacam teman saya
ini, yang saya pikir langka cara hidupnya. Sudah terlalu banyak saya
memiliki teman yang memilih hidup dengan mewah, teman saya yang satu
ini sederhana dengan apa adanya. Bulan ini dia menikah, di saat dia
belum memiliki pekerjaan, belum memiliki rumah maupun kendaraan. Dia
tidak banyak tahu mengenai investasi. Dia hanya berprinsip bahwa yang
penting dia akan berusaha untuk bekerja dan mencukupi kehidupan rumah
tangganya, seadanya. I appreciate how he can be that brave
and sure.
Aku
pun memutuskan untuk turut mengantar kepulangannya sampai Schipol.
Jujur, sangat sedih teman saya yang sederhana hidupnya ini pergi dari
Nijmegen. Kami masih menyisakan 4 juz lagi untuk bisa khatam, masih 4
pertemuan dalam majelis yang dia tidak akan ada di sana lagi, majelis
yang dia buat untuk kami belajar agama di tanah yang jauh ini,
majelis yang mendengungkan Al-Qur'an dan wirid di tanah yang miskin
suasana spiritual ini. Nanti tidak akan ada orang tawadhu' dan ringan
tangan lagi seperti dia di sini, tidak ada atlet bulu tangkis lagi
yang memenangkan perlombaan antar kota sehebat dia, tidak ada role
model kesederhanaan lagi di sekitar sini. Namun aku harap aku akan
terus mengingat pribadi baiknya, sehingga aku bisa menjadi sebaik dia
sebagai manusia.
Selamat
jalan kawan, terimakasih atas segala bantuan, suntikan semangat, keteladanan, dan nilai-nilai yang kamu ciptakan di tengah-tengah kami. Selamat menikah dan berjuang lagi, semoga segala mimpimu
lancar tercapai. Aamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar