Jumat, 13 November 2015

Menyoal Tragedi 1965.

Sebenarnya masalahnya kompleks sekali kalau dibahas dari berbagai sisi.
Tapi juga sangat simpel dari salah satu sisi.

Simpelnya:
Apa sih yang bisa kita lakukan menyoal sejarah?
Menurutku hanya dua. Pertama, "We may forgive, but we can not forget". kedua, Ikhlas. Itu aja.

Kompleksmya:
Kita tidak boleh melupakan sejarah, seharusnya begitu. Oleh karena itu, kita harus mengusut setransparan mungkin tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi tanpa ada bias.
Hal ini menimbulkan masalah lain. Jarang aku temui seoarang peneliti sosial yang benar-benar netral, tidak bias dalam memberikan pandangannya. Selalu ada kecenderungan tentang keberpihakan dari seorang peneliti. Karena pada umumnya orang atau pembaca mudah terbawa-bawa, maka ia akan ikut larut saja pada pandangan peneliti tanpa bisa bersikap kritis. Tidak berhenti di situ, pembaca memiliki pandangan bermacam-macam tentang apa yang dibacanya. Kita tidak bisa memprediksinya untuk keperluan proyeksi di masa depan. Sejarah bisa kita ketahui lewat tulisan, media, dan cerita langsung dari orang. Semuanya mengandung pembiasan, tidak bisa dipastikan validitasnya kecuali mengacu pada banyak data dari berbagai sudut pandang. Kesimpulan pun bisa salah yang kita tidak tahu seberapa salah.
Jadi, OK kita tidak akan melupakan sejarah. Tapi sejarah versi yang mana nih? Nah, demikian.

Ada yang bilang, orang Indonesia yang paling bertanggungjawab atas peristiwa pembantaian 1965 adalah Pak Harto. Saat itu, Pak Harto dan sekelempok militer semacam Sarwo E.W. disetir oleh USA untuk menumbangkan rezim Orde Lama, yang mengakibatkan penumpasan PKI dan banyak manusia tak tahu apa-apa menjadi korban pembantaian. Jadi di sini, yang paling bertanggungjawab Pak Harto, tapi Pak Harto dkk sendiri disetir oleh pihak lain. Pak Harto dkk itu pun sekarang sudah wafat pula. Apa lantas anak dan keturunannya yang harus dihukum? Tentu saja keturunan mereka akan bilang, "Why us? We did not do such terrible thing. Our ancestor did, not we". Menurutku juga nggak adil menghukum keturunan mereka, seperti apa yang dilakukan orang Perancis, menumpas seluruh keturunan Louis saat Revolusi Perancis. Itu hanya akan menimbulkan nafsu dendam kesumat berkepanjangan. Mari baca dan belajar dari sejarah Revolusi Perancis! Seperti Paris yang berdarah-darah sampai sekarang. Seperti Dinasti Islamiyah abad 11-14 masehi. Seperti konflik Sunni-Syi'ah yang nggak kelar-kelar. Tau nggak sih, ketika orang Indonesia menceritakan kepada orang Belanda betapa dulu nenek moyang mereka menjajah negeri kita, mereka akan dengan simpel bilang "Oh.. menyedihkan memang ya. Tapi itu kan pendahulu kami, bukan kami, ya jangan salahkan kami donk. Sekarang kan jaman udah beda.".

Kemudian, negara melakukan permintaan maaf? Tidak segampang itu. Apalagi negara Indonesia yang memiliki beragam macam suku bangsa. Ada yang setuju, ada yang tidak, ada yang tidak peduli. Bagaimana negara mampu meng-cover seluruh aspirasi warganya yang sedemikian? Kecenderungan langkah yang diambil adalah memihak salah satu sudut pandang dan "ignore" sudut pandang lain. Dan itu dilakukan tanpa ada rekonsiliasi yang menimbulkan pertentangan di sana-sini. Baru masalah sepele aja warga negaranya ribut-ribut, apalagi masalah segedhe keadilan gini. Eh, tapi orang sekarang nggak bisa mbedain mana masalah gedhe, mana masalah urgent, mana masalah kecil. Gitu kan ya?
Intinya adalah, menegakkan keadilan dalam masalah ini tidaklah mudah. (Emang enak jadi Presiden???)

Dinamika cerita tiap Bangsa memiliki suatu pola, terkadang sama, menarik untuk disimak dan dipelajari.

Masalah lain lagi. Tidak semua orang bisa hanya memaafkan. Kalau ada pengakuan bahwa "negara memang salah (waktu itu)", tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang ingin membalas dendam atas kekejaman yang mereka terima waktu itu. Kehilangan keluarga, penyiksaan, diasingkan, dll. Tentu, memori pedih yang mengakar kuat bisa jadi menjadi sebuah boomerang untuk membalas dendam.

Lebih jauh dari itu, keterlibatan USA dalam masalah ini, sepertinya tidak bisa diakhiri hanya dengan pengakuan dan permintaan maaf dari mereka saja. Bisa saja, hal ini hanya dijadikan "alat" saja bagi mereka untuk mengejar misi selanjutnya. Okelah mengakui, dan meminta maaf. Tapi dibalik itu, masih ada hal terselubung lain yang mereka rencanakan, yang kita tidak tahu, tapi mungkin bisa diprediksi.

Bisa nggak sih, masalah dihentikan sampai klarifikasi sejarah, pengakuan, peradilan, dan permintaan maaf saja? Kalau itu bisa, selesai. Kita tinggal ambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Yang masih mengganjal, biarlah waktu yang akan mengungkapnya. Tapi, ya, mana bisa ..

Konflik tidak untuk diselesaikan, tapi untuk diminimalisir. Setidaknya itu yang dikatakan Carl Marx dulu (kata teman saya). Sejauh apa International People's Tribunal 1965 menyidangkan permasalahan ini? Apakah IPT1965 di Den Haag dimaksudkan untuk membesarkan konflik yang sudah-sudah serta untuk mengadu-domba bangsa kita biar terpecah belah? Mungkin itu pandangan sebagian orang. Namun sebagian lain beranggapan bahwa bagaimana pun, upaya menegakkan keadilan setransparan mungkin tetap harus dilakukan untuk meluruskan cerita sejarah dan membangun peradaban yang lebih baik. Saya setuju yang kedua. Tapi apabila niat baik ini disalahgunakan, menurut saya sih mending masalah ini biarkan saja tenggelam, tidak usah dibahas lagi. Biarkan para korban berkorban, mendapat kemuliaan di kehidupan selanjutnya. Case Closed.

Tidak ada komentar: