Senin, 07 Desember 2015

Sekelumit dari Turki

Di Turki, aku ketemu Javuz. Makasih Mbak Fitria, sudah membawaku bertemu orang yang aku pikir sangat tulus, sangat baik, santun, sangat ber-Islam. Aku banyak belajar dari mbak Fitria dan Javuz. Mbak Fitria sangat mengkritikku yang menurutnya aku terkesan sangat perhitungan soal uang. Padahal, suamiku sangat royal, aku kaget, bagaimana bisa aku menjadi perhitungan soal uang, aku nggak sadar. Aku memohon pada Tuhan untuk menjadikanku orang yang royal buat orang lain. Tidak terlalu memperhitungkan hutang, menyerahkan semua padaNya. Toh, rezeki adalah Dia yang mengatur. Mbak Fitri sangat juga mengkritikku bahwa aku kurang peka. Tapi aku pikir aku memiliki alasan mengapa aku berpembawaan demikian yang tanpa kesengajaan. Dia berpikir awalnya bahwa aku egois dan angkuh. Tapi setelah dia dekat denganku, alhamdulillah dia bilang aku enggak sejelek itu, hanya kesan pertamanya saja. Aku memang tak pintar membawa diri bersama orang-orang yang menurutku baru dalam hidupku. Aku harap aku dapat cepat beradaptasi dan menemukan diriku di antara orang-orang itu.

Dari Javuz, aku sangat kagum bagaimana dia bersikap dengan orang lain, dengan orang baru, dengan orang dari ras dan negara lain. Aku sangat kagum bahwa dia mampu membawa dirinya dengan sangat baik, memperlakukan kami sebagai tamu dengan sangat santun, tulus, ikhlas, hormat, dan melayani. Aku heran bahwa Allah mempertemukanku dengan orang yang sedemikian, dengan orang-orang yang sedemikian. Mungkin untuk dapat menjadi pembelajaran buatku bahwa aku harus juga bisa sebaik dia. Javuz menjemput di bandara Sabiha dengan mobilnya, mengantar ke rumahnya untuk makan pagi, memperkenalkan kami dengan para anggota keluarganya, mengambilkan makanan untuk kami, menjelaskan dengan detil jawaban atas segala segala pertanyaan kami, memperlihatkan buku-bukunya, sharing pengetahuan dan keingintahuannya, membuatkan kami minuman kopi mapun teh dengan gelas terbaiknya, mempersilakan kami duduk dengan kursi terbaik di rumahnya, mengajak kami merasakan jalan, naik bus dan berkeliling kota Istanbul, menyulut pembicaraan yang sarat pengetahuan, membelikan kami minuman dan makanan terbaik di kotanya, membawa kami ke tempat yang menurut dia sebaiknya kami tahu, tidak menyela pembicaraan, tidak offensive, segera meminta maaf bila dia merasa kata-katanya membuat kami salah paham, dsb dsb. Hal ini pastilah akan membuatku malu, bila suatu saat di momen seperti ini, aku tidak bisa memuliakan tamu atau membuat orang lain sakit hati karena sikap maupun kata-kataku. Aku ingat dan belajar dari Javuz mengenai hal ini.

Salah satu dari percakapan kami ketika di Topkapi Panorama 1453 M adalah tentang Ilmu Obat. Dia bercerita kalau dia pernah bereksperimen menghilangkan batu ginjal dengan natrium sitrat. Dia bertanya, apakah aku mengenal obat bernama natrium sitrat? Aku jawab, natrium citrate is generally a chemical. It can be a drug for some cases, but not for specific illness. Lalu berlanjut ke ranah yang lebih global soal Science, Javuz bercerita bahwa selama dia membaca banyak jurnal di PubMed, dia berkesimpulan bahwa banyak penyakit yang sebenarnya belum diketemukan obatnya. Kalaupun ada obat untuk terapi, maka obat itu hanyalah short term therapy, tidak mengobati namun hanya mengurangi atau menghilangkan rasa sakit sesaat saja. Lalu bagaimana bisa dunia Barat berbangga diri mengenai hal itu, bahwa mereka telah menemukan banyak obat baru, bla bla bla. Aku pun merespons: ...dan bahkan banyak orang pintar yang atheis hanya karena mereka menemukan bukti bahwa sesuatu di dunia ini pasti selalu ada jawaban dan realitanya. Mereka nggak sadar bahwa apa yang selama ini mereka temukan hanyalah serupa abstrak belaka, bla bla bla. Dia juga sangat concern perkembangan konflik sunni-syi’ah yang sampai-sampai di Indonesia pun sedang hits. Dia memaparkan sejarah dan faktanya saat ini, baik yang terjadi di Timur Tengah maupun di Asia Tenggara. Dia bahkan mempelajari mengapa dan bagaimana Indonesia begitu diminati negara-negara lain untuk menggalang kekuatan politik, bahwa sesungguhnya sedang ada perang berlangsung yang sipil pada umumnya mungkin nggak sadar.

Aku kagum pada orang yang tahu mengenai banyak hal, membaca banyak hal, pergi ke banyak tempat untuk menemukan kearifan hidup, yang mampu memposisikan dirinya dengan baik di antara lawan bicaranya, yang menyukai manusia karena pemikiran-pemikirannya dan bukan karena fisiknya, yang tidak suka menghakimi orang lain apalagi hanya karena suatu kesan sesaat yang subyektif.

Ini mengingatkanku bahwa suatu saat aku pernah berujar pada diriku sendiri:
“Terhadap setiap makhlukNya yang kamu temui, buat ia terberkahi olehNya, bersikaplah sebaik-baiknya dan seindah-indahnya kepadanya, hormati ia, muliakan ia. Niscaya aku yakin, rahmat Allah akan mengalir deras kepada hambaNya yang sedemikian.
Begitulah sikap kita seharusnya kepada sesama, apalagi kepada kawanmu, apalagi kepada keluargamu, apalagi kepada anak istrimu atau suamimu.”




Tidak ada komentar: