Di
Turki, aku ketemu Javuz. Makasih Mbak Fitria, sudah membawaku bertemu
orang yang aku pikir sangat tulus, sangat baik, santun, sangat ber-Islam.
Aku banyak belajar dari mbak Fitria dan Javuz. Mbak Fitria sangat
mengkritikku yang menurutnya aku terkesan sangat perhitungan soal uang.
Padahal, suamiku sangat royal, aku kaget, bagaimana bisa aku menjadi
perhitungan soal uang, aku nggak sadar. Aku memohon pada Tuhan untuk
menjadikanku orang yang royal buat orang lain. Tidak terlalu
memperhitungkan hutang, menyerahkan semua padaNya. Toh, rezeki adalah
Dia yang mengatur. Mbak Fitri sangat juga mengkritikku bahwa aku kurang
peka. Tapi aku pikir aku memiliki alasan mengapa aku berpembawaan
demikian yang tanpa kesengajaan. Dia berpikir awalnya bahwa aku egois
dan angkuh. Tapi setelah dia dekat denganku, alhamdulillah dia bilang
aku enggak sejelek itu, hanya kesan pertamanya saja. Aku memang tak
pintar membawa diri bersama orang-orang yang menurutku baru dalam
hidupku. Aku harap aku dapat cepat beradaptasi dan menemukan diriku di
antara orang-orang itu.
Dari
Javuz, aku sangat kagum bagaimana dia bersikap dengan orang lain,
dengan orang baru, dengan orang dari ras dan negara lain. Aku sangat
kagum bahwa dia mampu membawa dirinya dengan sangat baik, memperlakukan
kami sebagai tamu dengan sangat santun, tulus, ikhlas, hormat, dan
melayani. Aku heran bahwa Allah mempertemukanku dengan orang yang
sedemikian, dengan orang-orang yang sedemikian. Mungkin untuk dapat
menjadi pembelajaran buatku bahwa aku harus juga bisa sebaik dia. Javuz
menjemput di bandara Sabiha dengan mobilnya, mengantar ke rumahnya untuk
makan pagi, memperkenalkan kami dengan para anggota keluarganya,
mengambilkan makanan untuk kami, menjelaskan dengan detil jawaban atas segala segala
pertanyaan kami, memperlihatkan buku-bukunya, sharing pengetahuan dan
keingintahuannya, membuatkan kami minuman kopi mapun teh dengan gelas
terbaiknya, mempersilakan kami duduk dengan kursi terbaik di rumahnya,
mengajak kami merasakan jalan, naik bus dan berkeliling kota Istanbul,
menyulut pembicaraan yang sarat pengetahuan, membelikan kami minuman dan
makanan terbaik di kotanya, membawa kami ke tempat yang menurut dia
sebaiknya kami tahu, tidak menyela pembicaraan, tidak offensive, segera
meminta maaf bila dia merasa kata-katanya membuat kami salah paham, dsb
dsb. Hal ini pastilah akan membuatku malu, bila suatu saat di momen
seperti ini, aku tidak bisa memuliakan tamu atau membuat orang lain
sakit hati karena sikap maupun kata-kataku. Aku ingat dan belajar dari
Javuz mengenai hal ini.
Salah
satu dari percakapan kami ketika di Topkapi Panorama 1453 M adalah
tentang Ilmu Obat. Dia bercerita kalau dia pernah bereksperimen
menghilangkan batu ginjal dengan natrium sitrat. Dia bertanya, apakah
aku mengenal obat bernama natrium sitrat? Aku jawab, natrium citrate is
generally a chemical. It can be a drug for some cases, but not for
specific illness. Lalu berlanjut ke ranah yang lebih global soal
Science, Javuz bercerita bahwa selama dia membaca banyak jurnal di
PubMed, dia berkesimpulan bahwa banyak penyakit yang sebenarnya belum
diketemukan obatnya. Kalaupun ada obat untuk terapi, maka obat itu
hanyalah short term therapy, tidak mengobati namun hanya mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit sesaat saja. Lalu bagaimana bisa dunia Barat
berbangga diri mengenai hal itu, bahwa mereka telah menemukan banyak
obat baru, bla bla bla. Aku pun merespons: ...dan bahkan banyak orang
pintar yang atheis hanya karena mereka menemukan bukti bahwa sesuatu di
dunia ini pasti selalu ada jawaban dan realitanya. Mereka nggak sadar
bahwa apa yang selama ini mereka temukan hanyalah serupa abstrak
belaka, bla bla bla. Dia juga sangat concern perkembangan konflik
sunni-syi’ah yang sampai-sampai di Indonesia pun sedang hits. Dia
memaparkan sejarah dan faktanya saat ini, baik yang terjadi di Timur
Tengah maupun di Asia Tenggara. Dia bahkan mempelajari mengapa dan
bagaimana Indonesia begitu diminati negara-negara lain untuk menggalang
kekuatan politik, bahwa sesungguhnya sedang ada perang berlangsung yang
sipil pada umumnya mungkin nggak sadar.
Aku
kagum pada orang yang tahu mengenai banyak hal, membaca banyak hal,
pergi ke banyak tempat untuk menemukan kearifan hidup, yang mampu
memposisikan dirinya dengan baik di antara lawan bicaranya, yang
menyukai manusia karena pemikiran-pemikirannya dan bukan karena
fisiknya, yang tidak suka menghakimi orang lain apalagi hanya karena
suatu kesan sesaat yang subyektif.
Ini mengingatkanku bahwa suatu saat aku pernah berujar pada diriku sendiri:
“Terhadap
setiap makhlukNya yang kamu temui, buat ia terberkahi olehNya,
bersikaplah sebaik-baiknya dan seindah-indahnya kepadanya, hormati ia,
muliakan ia. Niscaya aku yakin, rahmat Allah akan mengalir deras kepada
hambaNya yang sedemikian.
Begitulah
sikap kita seharusnya kepada sesama, apalagi kepada kawanmu, apalagi
kepada keluargamu, apalagi kepada anak istrimu atau suamimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar