Minggu, 13 September 2015

Cara Saya Mencari Kebenaran

Waktu kecil, ketika saya bertanya kepada ibuk mengenai sebuah hal yang boleh atau tidak boleh saya lakukan, ibuk selalu menjawab sesuatu dengan dasar keyakinan dan pengetahuannya. Terkadang Ibuk menimpali “berdasarkan kitab kuning yang pernah diajarkan Pak Kyai… blablabla”, atau “Tanya bapakmu sana”, atau “Mbah Munir dulu sih bilang..” (bagi Ibuk, ayahnya adalah seorang Ulama karena ayahnya adalah santri sepanjang hidup dan hafal banyak kitab termasuk kitab Alfiyah-nya Imam Malik).

Waktu kecil juga (sampai sekarang), saya seringkali mengamati bagaimana ayah hidup dan beribadah. Ayah adalah “role model” paling lengkap yang pernah saya miliki sampai-sampai sekarang ini saya menjulukinya kitab suci Tuhan yang berjalan. Seringkali ayah duduk di antara kami (anak-istrinya) lalu mengutarakan cara pandangnya dalam suatu hal/masalah dengan sangat tawadhu’, saya terkadang mencatat apa yang beliau utarakan dan merekamnya kuat-kuat dalam ingatan. Ayah adalah orang yang pikirannya terbuka luas (lebih luas daripada ibuk), mau menerima segala informasi tanpa pandang bulu, memfilter informasi-informasi tersebut sesuai parameter yang dianutnya, mengeluarkannya lagi dalam bentuk output yang penuh hikmah. Saya sangat bersyukur memiliki ayah yang dapat menjadi teladan kebaikan sepanjang hidup saya. Parameter yang dianutnya cukup seimbang, tidak terlalu low-dose, tidak juga terlalu high-dose. Kalau dalam ilmu farmasi, sesuai takaranlah. Ayah juga yang memperkenalkanku banyak macam buku bacaan. Beliau membawakan buku-buku yang dibelinya  di kota-kota besar sewaktu kakak-kakakku masih kecil. Buku adalah oleh-oleh yang biasa dibawa sepulangnya setor dagangan di banyak kota di pulau Jawa. Ketika kakak-kakakku sudah beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk nyantri di pondok pesantren, ia simpan buku-buku itu dan menyajikannya ke saya anaknya yang paling kecil. Setiap pagi setelah shubuh, beliau membaca juga kitab-kitab salafus shalih sembari minum kopi di ruang tamu, sampai tertidur dan beranjak lagi untuk Ibadah Dhuha.

Saya tumbuh besar di lingkungan pesantren kecil di sebuah desa, pesantren bercorak Nahdlatul ‘Ulama (NU) karena para kyai pengajar adalah santri-santri NU. Jalan depan rumah ayah-ibu selalu penuh santri yang jalan kaki membawa kitab dan pena setiap pagi dan sore yang hendak pergi mengaji ke rumah para guru atau kyai. Saya sangat senang melihat para santri yang hendak belajar tersebut. Saya pun adalah santri kalong yang belajar Al-Qur’an pada seorang nenek yang memiliki rumah di pinggir sungai, yang hidup sangat sederhana sampai akhir hayatnya. Saya memiliki teman ngaji yang 2 tahun lebih tua dari saya, yang saya sangat berhutang budi kepadanya karena teman saya tersebut mengajarkan adab dan akhlak dalam menuntut ilmu. Bersama teman saya tersebut, saya pernah menjadi murid paling cepat memahami pelajaran agama (ngaji), baik menghafal, mentafsir, maupun berlogika. Sayangnya ketika saya beranjak remaja dan dewasa, saya tak melanjutkan nyantri belajar secara sorogan dengan seorang guru. Saya masuk ke sebuah sekolah umum dengan ilmu sangat berbeda dari yang sehari-hari pernah saya pelajari. Dunia saya berubah seketika. Saya pun belajar ngaji otodidak, sambil membaca buku dari para guru maya, ulama-ulama baik dari Jawa maupun luar Jawa. Kebanyakan mereka sudah sangat sepuh, bahkan ada yang sudah meninggal.  Ilmu dari para guru ngajiku dulu menjadi pondasi yang sangat penting dalam membangun parameter kebenaran dalam diri saya.

Di umur 20-an, saya memiliki guru baru yang sangat matang sekali ilmunya, beliau adalah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Di fase ini saya belajar semi-autodidak. Sebenarnya saya bertemu dengan guru saya tersebut sudah sejak saya masih kecil. Lingkungan di sekitar rumah memperkenalkan saya padanya lewat banyak karyanya semacam lagu, puisi, syair, esai. Pernah suatu kali guru saya tersebut datang ke desa saya berbagi cara pandang yang khas. Kemudian saya tau bahwa beliau banyak menghabiskan waktunya untuk berbagi dengan masyarakat di seluruh pelosok negeri maupun luar negeri tanpa kenal lelah. Hal utama yang saya pelajari darinya adalah sebuah dasar tentang betapa pentingnya manusia memiliki akal sehat dan menggunakannya untuk membedakan baik dan buruk, asli dan palsu, indah dan tidak indah, serta banyak kontradiksi lain yang mengisi dimensi kehidupan manusia. Terutama di zaman sekarang ini ketika informasi simpang siur dapat dengan mudah merasuk ke pikiran orang-orang, kita memerlukan akal sehat agar pikiran kita dapat “loading” setiap saat menerima kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kemudian readjust dan revalidate parameter-parameternya sejauh yang kita pahami sebagai keindahan, kebaikan, kebenaran, keaslian, dsb. Sehingga pada akhirnya dapat muncul output yang berakhlak, adil, dan penuh hikmah. Tentunya, output tersebut adalah refleksi dari seberapa bagus kita menggunakan akal sehat dalam berpikir. Guru saya yang satu ini sangat mumpuni dalam hal ini. Sehingga ketika saya mendapati diri saya kurang adil dalam berpikir dan bertindak, saya akan kembali mengingat nasehat-nasehatnya agar pikiran saya dapat “loading” kembali dengan akal sehat.

Demikianlah latar belakang bagaimana saya membangun parameter kebenaran. Dunia ini tempatnya manusia yang melakukan kesalahan, dunia ini juga tempatnya manusia belajar dan mencari kebenaran. Mengapa kebenaran perlu dicari? Karena apa yang kita anggap benar sekarang, bisa jadi salah di masa depan. Apa yang kita anggap benar, bisa jadi salah di mata orang karena beda sudut pandang. Apa yang kita lihat di depan mata, bisa jadi bukan realita sesungguhnya. Kebenaran bisa berada di mana pun, di tempat terbuka maupun di tempat yang paling tersembunyi sekali pun. Seperti guru-guru saya, dalam hidup ini saya mencari Islamnya Muhammad SAW. Rasulullah adalah kota ilmu di dunia, ilmu yang sangat luas, pembawa risalah dari Allah SWT secara langsung. Karena begitu luas dan komprehensif ajaran yang dibawanya, saya membutuhkan guru atau ulama yang secara langsung memadatkan dan menyimpulkan ilmu-ilmu tersebut untuk bisa saya serap ke dalam tunnel pikiran saya yang terkadang sempit ini. Saya sangat berhati-hati memilih orang untuk saya jadikan guru, karena kalau salah, maka salahlah jalan hidup saya.

Emha Ainun Nadjib adalah guru yang sedikit berbeda dari kebanyakan guru saya lainnya. Ibarat ada barang rusak yang harus diperbaiki, maka beliau memperbaikinya dari dalam secara sistematis, bukan hanya menambal kerusakannya. Beliau mencari akar kerusakannya, bukan hanya melihat dari permukaannya yang rusak saja yang kemudian memperbaikinya. Ibarat orang terjangkit narkoba, beliau membawakan supply energy jasmani dan rohani, bukan hanya membawakan obat penyembuh jasmani saja. Bagaimana beliau memperbaiki kerusakan dari akarnya itulah yang saya pelajari darinya.

# Contoh: Demokrasi menurut Cak Nun vs menurut Gus Dur #

Dua guru bangsa ini mungkin memiliki definisi yang sama mengenai demokrasi dan pada dasarnya sama-sama menganggap bahwa demokrasi itu baik. Bagi Gus Dur, demokrasi sangat cocok bagi bangsa Indonesia yang besar dan plural. Oleh karenanya, Demokrasi harus ditegakkan dalam kehidupan bernegara secara nyata, bukan hanya wacana semata. Selama bertahun-tahun Gus Dur dan para Nahdliyyin berjuang menegakkan demokrasi di Ibu Pertiwi ini untuk menambal penyakit akibat kekuasaan Orde Baru, seperti pengekangan hak berbicara dan berpikir maupun ketidakadilan dalam perlakuan hukum. Setelah Orde Baru, ketika kesempatan menegakkan Demokrasi terbuka lebar, pada kenyataannya Demokrasi masih tetap menjadi wacana semata, meskipun level penerapannya masih lebih tinggi daripada sewaktu zaman Orde Baru. Penerapan Demokrasi masih menyisakan lubang di sana sini yang mengakibatkan luka tidak segera sembuh, namun malah menghasilkan luka-luka baru, yang mungkin lebih kompleks dari zaman Orde Baru, seperti masalah korupsi, konflik pemilu-pilkada, terpilihnya pemimpin yang tidak amanah, manipulasi hukum, provokasi media, dsb. Setelah Gus Dur wafat, Gusdurians dan para Nahdliyyin lainnya pun sampai sekarang masih optimis berjuang menambal luka-luka itu satu per satu dengan cara yang santun demi utuhnya NKRI. Gus Dur adalah salah satu guru saya, sewaktu remaja saya banyak membaca tulisannya yang mengagumkan. Semangatnya menegakkan kebaikan dan keutuhan Ibu Pertiwi adalah suatu teladan luar biasa yang sepenuhnya saya apresiasi. Pemikiran dan intelektualitasnya sebagai tokoh bangsa di atas rata-rata. Banyak kaum minoritas merasa berhutang budi padanya karena beliau telah menolong mereka agar tidak didiskriminasi di negara ini.

Lain Gus Dur, lain pula Cak Nun. Bagi Cak Nun, Demokrasi tidak harus tegak di Indonesia. Meskipun Demokrasi baik, baginya tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna karena semua ada baik dan buruknya. Kekacauan yang terjadi sekarang ini adalah bukti bahwa Demokrasi pada kenyataannya kurang kompatibel dengan bangsa Indonesia, meskipun konsepnya bagus namun prakteknya sulit. Luka-luka sejak zaman Orde Baru tidak lantas sembuh setelah reformasi, malah semakin menimbulkan komplikasi dan menjadi penyakit kronis. Oleh karena itu, Cak Nun dengan konsep Maiyahan-nya mengajak masyarakat untuk memperbaikinya dari dalam secara sistematis. Kalau perbaikan a la Gus Dur memiliki sasaran “Bangsa” pada umumnya, perbaikan a la Cak Nun memiliki sasaran tiap individu dan tiap elemen di negeri ini. Dengan kesabaran dan ketulusannya membantu tiap manusia yang mau mendengarkannya untuk berpikir, berijtihad, dan sadar kembali menggunakan logika dan akal sehatnya agar menjadi pribadi yang madani secara utuh. Apabila tiap individu mampu melakukannya, bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa berperadaban tinggi yang juga sesuai cita-cita NKRI. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang konsep import apa pun tidak akan mempan untuk bisa mengaturnya. Sehingga, bangsa ini perlu menemukan (invent) jalannya sendiri untuk bisa tetap utuh dan berperadaban.

Cak Nun menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melayani dan “mengobati” individu-individu yang merasa diri mereka “terluka” tanpa mengharap imbalan apa pun, membimbing mereka menemukan kebenaran-kebenaran baru. Sampai sekarang, beliau tetap menjadi pribadi yang low profile, yang tidak mengharapkan label apa pun disematkan ke dalam namanya. Meskipun orang seperti saya menganggapya Ulama atau Kyai karena keluasan ilmu dan cara berpikirnya, beliau tetap saja menyebut dirinya Emha Ainun Nadjib semata. Kalau kata Gus Mus, Kyai yang sesungguhnya itu tidak mau disebut dirinya Kyai. Sungguh itu adalah juga teladan yang luar biasa. Seringkali beliau bilang bahwa beliau tidak mau diikuti oleh siapa pun, melainkan setiap orang harus tabayun kepada diri sendiri dan harus berdaulat akan pilihannya sendiri. Menurut beliau, setiap manusia memiliki kebebasan berpikir dan bertindak asalkan segalanya bisa dipertanggungjawabkannya sendiri. Setiap orang seharusnya merdeka, namun merdeka yang bertanggungjawab. Manusia memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu seharusnya berdasarkan pilihannya sendiri, bukan karena mengikuti siapa-siapa atau apa-apa. Dari beliau saya belajar bahwa manusia boleh salah, namun harus tetap mencari mana yang benar. Kalau sudah menemukan yang benar menurutnya, maka harus meninggalkan yang salah, bukan malah mengulang kesalahan yang sama. Sehingga kualitas tiap individu dapat ter-upgrade setiap waktu. Begitulah cara beliau membimbing bangsa ini mengobati luka yang kronis secara sistematis.

Saya berhutang budi kepada NU, karena lewat NU-lah saya membangun cara berpikir yang moderat, yang tidak dengan gampangnya memandang diri sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Moderat, yang tidak terlalu ekstrim radikal, tidak juga terlalu ekstrim liberal. Saya tidak menyukai cara beragama yang kaku, tanpa humor, sering main bid’ah, sangat mementingkan syari’at tanpa mementingkan akhlak, dan tidak fleksibel. Saya juga tidak menyukai cara beragama yang terlalu liberal, yang menganggap semua agama sama. Bagi saya, Islam tetap agama dengan nilai-nilai paling benar, namun begitu saya tak menyalahkan agama lainnya karena saya tidak memiliki hak untuk menyalahkannya. Selain itu karena saya menghormati pilihan dan keyakinan orang lain, yang bagi saya keyakinan adalah hal yang privat untuk tiap manusia yang saya tak boleh mencampurinya. Saya menghormati perbedaan dan sangat terbuka pada segala macam pemikiran. Saya belajar untuk berhati-hati membagi informasi yang berpotensi dapat melukai suatu kaum, informasi yang mengandung provokasi, karena apa yang kita bagi adalah yang harus kita pertanggungjawabkan akibatnya. Saya selalu berusaha untuk tetap memegang teguh standar kebenaran menurut diri saya, sesuai pemahaman saya. Saya belajar untuk tetap santun dalam memberikan pendapat agar tak menimbulkan defense kepada orang yang saya ajak bicara. Saya berusaha menghindarkan diri saya dari menghujat orang lain yang menurut saya cara pandangnya salah. Dari setiap orang yang pemikirannya tidak saya setujui, saya tak lantas membencinya, melainkan tetap memungut kebaikan yang ada darinya. Hal ini atas dasar pemikiran saya bahwa sesungguhnya tidak ada yang namanya sampah di dunia ini. Segalanya bersiklus dan segala yang kita anggap sampah pun bisa mengalami recycle. Bahwa kita pun bisa menemukan kebaikan dalam diri orang sejahat apa pun meskipun sedikit.

Lewat NU saya belajar ngaji kepada ulama-ulama pesantren yang ilmunya bernasab dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bagi saya, NU yang diprakarsai Mbah Hasyim Asy’ari sangat berjasa kepada umat muslim di negeri ini. Lewat ulama-ulama kampung, umat muslim belajar ngaji dari hal syariah, muamalah, adab, akhlak, sampai aqidah sehingga umat muslim di Indonesia tidak menjadi umat beragama yang buta ilmu, yang tidak tau bagaimana tata-cara beribadah mahdoh maupun membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Saya dapat mengatakan hal ini karena melihat Muslim Jawa-Suriname di Belanda, yang tidak paham bagaimana cara sholat dan membaca AlQur’an. Itu karena mereka tidak memiliki ulama yang mengajarkannya secara sistematis.


Akhirul kalam, saya bersyukur telah dipertemukan dengan para guru yang luar biasa dalam membimbing saya mencari kebenaran, Islamnya Muhammad SAW. Dengan rasa syukur saya ini, saya berusaha untuk tidak mengkultuskan mereka. Namun saya juga berusaha untuk dapat selalu menghormati mereka dengan akhlak baik selayaknya seorang murid yang berhutang budi kepada gurunya. Saya berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada mereka karena saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik setiap kali saya dekat dengan mereka.

Tidak ada komentar: