Waktu kecil, ketika saya bertanya
kepada ibuk mengenai sebuah hal yang boleh atau tidak boleh saya lakukan, ibuk selalu
menjawab sesuatu dengan dasar keyakinan dan pengetahuannya. Terkadang Ibuk
menimpali “berdasarkan kitab kuning yang pernah diajarkan Pak Kyai… blablabla”,
atau “Tanya bapakmu sana”, atau “Mbah Munir dulu sih bilang..” (bagi Ibuk,
ayahnya adalah seorang Ulama karena ayahnya adalah santri sepanjang hidup dan
hafal banyak kitab termasuk kitab Alfiyah-nya Imam Malik).
Waktu kecil juga (sampai
sekarang), saya seringkali mengamati bagaimana ayah hidup dan beribadah. Ayah
adalah “role model” paling lengkap yang pernah saya miliki sampai-sampai
sekarang ini saya menjulukinya kitab suci Tuhan yang berjalan. Seringkali ayah
duduk di antara kami (anak-istrinya) lalu mengutarakan cara pandangnya dalam
suatu hal/masalah dengan sangat tawadhu’, saya terkadang mencatat apa yang
beliau utarakan dan merekamnya kuat-kuat dalam ingatan. Ayah adalah orang yang
pikirannya terbuka luas (lebih luas daripada ibuk), mau menerima segala
informasi tanpa pandang bulu, memfilter informasi-informasi tersebut sesuai
parameter yang dianutnya, mengeluarkannya lagi dalam bentuk output yang penuh
hikmah. Saya sangat bersyukur memiliki ayah yang dapat menjadi teladan kebaikan
sepanjang hidup saya. Parameter yang dianutnya cukup seimbang, tidak terlalu low-dose, tidak juga terlalu high-dose. Kalau dalam ilmu farmasi,
sesuai takaranlah. Ayah juga yang memperkenalkanku banyak macam buku bacaan.
Beliau membawakan buku-buku yang dibelinya
di kota-kota besar sewaktu kakak-kakakku masih kecil. Buku adalah
oleh-oleh yang biasa dibawa sepulangnya setor dagangan di banyak kota di pulau
Jawa. Ketika kakak-kakakku sudah beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk
nyantri di pondok pesantren, ia simpan buku-buku itu dan menyajikannya ke saya
anaknya yang paling kecil. Setiap pagi setelah shubuh, beliau membaca juga
kitab-kitab salafus shalih sembari minum kopi di ruang tamu, sampai tertidur
dan beranjak lagi untuk Ibadah Dhuha.
Saya tumbuh besar di lingkungan
pesantren kecil di sebuah desa, pesantren bercorak Nahdlatul ‘Ulama (NU) karena
para kyai pengajar adalah santri-santri NU. Jalan depan rumah ayah-ibu selalu
penuh santri yang jalan kaki membawa kitab dan pena setiap pagi dan sore yang
hendak pergi mengaji ke rumah para guru atau kyai. Saya sangat senang melihat
para santri yang hendak belajar tersebut. Saya pun adalah santri kalong yang
belajar Al-Qur’an pada seorang nenek yang memiliki rumah di pinggir sungai,
yang hidup sangat sederhana sampai akhir hayatnya. Saya memiliki teman ngaji
yang 2 tahun lebih tua dari saya, yang saya sangat berhutang budi kepadanya
karena teman saya tersebut mengajarkan adab dan akhlak dalam menuntut ilmu.
Bersama teman saya tersebut, saya pernah menjadi murid paling cepat memahami
pelajaran agama (ngaji), baik menghafal, mentafsir, maupun berlogika. Sayangnya
ketika saya beranjak remaja dan dewasa, saya tak melanjutkan nyantri belajar
secara sorogan dengan seorang guru. Saya masuk ke sebuah sekolah umum dengan
ilmu sangat berbeda dari yang sehari-hari pernah saya pelajari. Dunia saya
berubah seketika. Saya pun belajar ngaji otodidak, sambil membaca buku dari
para guru maya, ulama-ulama baik dari Jawa maupun luar Jawa. Kebanyakan mereka
sudah sangat sepuh, bahkan ada yang sudah meninggal. Ilmu dari para guru ngajiku dulu menjadi
pondasi yang sangat penting dalam membangun parameter kebenaran dalam diri
saya.
Di umur 20-an, saya memiliki guru
baru yang sangat matang sekali ilmunya, beliau adalah Emha Ainun Nadjib (Cak
Nun). Di fase ini saya belajar semi-autodidak. Sebenarnya saya bertemu dengan
guru saya tersebut sudah sejak saya masih kecil. Lingkungan di sekitar rumah memperkenalkan
saya padanya lewat banyak karyanya semacam lagu, puisi, syair, esai. Pernah
suatu kali guru saya tersebut datang ke desa saya berbagi cara pandang yang
khas. Kemudian saya tau bahwa beliau banyak menghabiskan waktunya untuk berbagi
dengan masyarakat di seluruh pelosok negeri maupun luar negeri tanpa kenal
lelah. Hal utama yang saya pelajari darinya adalah sebuah dasar tentang betapa
pentingnya manusia memiliki akal sehat dan menggunakannya untuk membedakan baik
dan buruk, asli dan palsu, indah dan tidak indah, serta banyak kontradiksi lain
yang mengisi dimensi kehidupan manusia. Terutama di zaman sekarang ini ketika
informasi simpang siur dapat dengan mudah merasuk ke pikiran orang-orang, kita
memerlukan akal sehat agar pikiran kita dapat “loading” setiap saat menerima
kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kemudian readjust dan revalidate
parameter-parameternya sejauh yang kita pahami sebagai keindahan, kebaikan,
kebenaran, keaslian, dsb. Sehingga pada akhirnya dapat muncul output yang
berakhlak, adil, dan penuh hikmah. Tentunya, output tersebut adalah refleksi
dari seberapa bagus kita menggunakan akal sehat dalam berpikir. Guru saya yang
satu ini sangat mumpuni dalam hal ini. Sehingga ketika saya mendapati diri saya
kurang adil dalam berpikir dan bertindak, saya akan kembali mengingat
nasehat-nasehatnya agar pikiran saya dapat “loading” kembali dengan akal sehat.
Demikianlah latar belakang
bagaimana saya membangun parameter kebenaran. Dunia ini tempatnya manusia yang
melakukan kesalahan, dunia ini juga tempatnya manusia belajar dan mencari
kebenaran. Mengapa kebenaran perlu dicari? Karena apa yang kita anggap benar
sekarang, bisa jadi salah di masa depan. Apa yang kita anggap benar, bisa jadi
salah di mata orang karena beda sudut pandang. Apa yang kita lihat di depan
mata, bisa jadi bukan realita sesungguhnya. Kebenaran bisa berada di mana pun, di
tempat terbuka maupun di tempat yang paling tersembunyi sekali pun. Seperti
guru-guru saya, dalam hidup ini saya mencari Islamnya Muhammad SAW. Rasulullah
adalah kota ilmu di dunia, ilmu yang sangat luas, pembawa risalah dari Allah
SWT secara langsung. Karena begitu luas dan komprehensif ajaran yang dibawanya,
saya membutuhkan guru atau ulama yang secara langsung memadatkan dan
menyimpulkan ilmu-ilmu tersebut untuk bisa saya serap ke dalam tunnel pikiran
saya yang terkadang sempit ini. Saya sangat berhati-hati memilih orang untuk
saya jadikan guru, karena kalau salah, maka salahlah jalan hidup saya.
Emha Ainun Nadjib adalah guru
yang sedikit berbeda dari kebanyakan guru saya lainnya. Ibarat ada barang rusak
yang harus diperbaiki, maka beliau memperbaikinya dari dalam secara sistematis,
bukan hanya menambal kerusakannya. Beliau mencari akar kerusakannya, bukan
hanya melihat dari permukaannya yang rusak saja yang kemudian memperbaikinya.
Ibarat orang terjangkit narkoba, beliau membawakan supply energy jasmani dan rohani,
bukan hanya membawakan obat penyembuh jasmani saja. Bagaimana beliau
memperbaiki kerusakan dari akarnya itulah yang saya pelajari darinya.
# Contoh: Demokrasi menurut Cak Nun
vs menurut Gus Dur #
Dua guru bangsa ini mungkin
memiliki definisi yang sama mengenai demokrasi dan pada dasarnya sama-sama
menganggap bahwa demokrasi itu baik. Bagi Gus Dur, demokrasi sangat cocok bagi
bangsa Indonesia yang besar dan plural. Oleh karenanya, Demokrasi harus
ditegakkan dalam kehidupan bernegara secara nyata, bukan hanya wacana semata.
Selama bertahun-tahun Gus Dur dan para Nahdliyyin berjuang menegakkan demokrasi
di Ibu Pertiwi ini untuk menambal penyakit akibat kekuasaan Orde Baru, seperti
pengekangan hak berbicara dan berpikir maupun ketidakadilan dalam perlakuan hukum.
Setelah Orde Baru, ketika kesempatan menegakkan Demokrasi terbuka lebar, pada
kenyataannya Demokrasi masih tetap menjadi wacana semata, meskipun level
penerapannya masih lebih tinggi daripada sewaktu zaman Orde Baru. Penerapan
Demokrasi masih menyisakan lubang di sana sini yang mengakibatkan luka tidak
segera sembuh, namun malah menghasilkan luka-luka baru, yang mungkin lebih
kompleks dari zaman Orde Baru, seperti masalah korupsi, konflik pemilu-pilkada,
terpilihnya pemimpin yang tidak amanah, manipulasi hukum, provokasi media, dsb.
Setelah Gus Dur wafat, Gusdurians dan para Nahdliyyin lainnya pun sampai
sekarang masih optimis berjuang menambal luka-luka itu satu per satu dengan
cara yang santun demi utuhnya NKRI. Gus Dur adalah salah satu guru saya,
sewaktu remaja saya banyak membaca tulisannya yang mengagumkan. Semangatnya
menegakkan kebaikan dan keutuhan Ibu Pertiwi adalah suatu teladan luar biasa
yang sepenuhnya saya apresiasi. Pemikiran dan intelektualitasnya sebagai tokoh
bangsa di atas rata-rata. Banyak kaum minoritas merasa berhutang budi padanya
karena beliau telah menolong mereka agar tidak didiskriminasi di negara ini.
Lain Gus Dur, lain pula Cak Nun.
Bagi Cak Nun, Demokrasi tidak harus tegak di Indonesia. Meskipun Demokrasi
baik, baginya tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna karena semua ada baik
dan buruknya. Kekacauan yang terjadi sekarang ini adalah bukti bahwa Demokrasi
pada kenyataannya kurang kompatibel dengan bangsa Indonesia, meskipun konsepnya
bagus namun prakteknya sulit. Luka-luka sejak zaman Orde Baru tidak lantas
sembuh setelah reformasi, malah semakin menimbulkan komplikasi dan menjadi
penyakit kronis. Oleh karena itu, Cak Nun dengan konsep Maiyahan-nya mengajak
masyarakat untuk memperbaikinya dari dalam secara sistematis. Kalau perbaikan a
la Gus Dur memiliki sasaran “Bangsa” pada umumnya, perbaikan a la Cak Nun
memiliki sasaran tiap individu dan tiap elemen di negeri ini. Dengan kesabaran
dan ketulusannya membantu tiap manusia yang mau mendengarkannya untuk berpikir,
berijtihad, dan sadar kembali menggunakan logika dan akal sehatnya agar menjadi
pribadi yang madani secara utuh. Apabila tiap individu mampu melakukannya,
bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa berperadaban tinggi yang juga sesuai
cita-cita NKRI. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang konsep import
apa pun tidak akan mempan untuk bisa mengaturnya. Sehingga, bangsa ini perlu
menemukan (invent) jalannya sendiri
untuk bisa tetap utuh dan berperadaban.
Cak Nun menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk melayani dan “mengobati” individu-individu yang merasa
diri mereka “terluka” tanpa mengharap imbalan apa pun, membimbing mereka
menemukan kebenaran-kebenaran baru. Sampai sekarang, beliau tetap menjadi
pribadi yang low profile, yang tidak
mengharapkan label apa pun disematkan ke dalam namanya. Meskipun orang seperti
saya menganggapya Ulama atau Kyai karena keluasan ilmu dan cara berpikirnya,
beliau tetap saja menyebut dirinya Emha Ainun Nadjib semata. Kalau kata Gus Mus,
Kyai yang sesungguhnya itu tidak mau disebut dirinya Kyai. Sungguh itu adalah
juga teladan yang luar biasa. Seringkali beliau bilang bahwa beliau tidak mau
diikuti oleh siapa pun, melainkan setiap orang harus tabayun kepada diri sendiri
dan harus berdaulat akan pilihannya sendiri. Menurut beliau, setiap manusia
memiliki kebebasan berpikir dan bertindak asalkan segalanya bisa
dipertanggungjawabkannya sendiri. Setiap orang seharusnya merdeka, namun
merdeka yang bertanggungjawab. Manusia memilih untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu itu seharusnya berdasarkan pilihannya sendiri, bukan karena
mengikuti siapa-siapa atau apa-apa. Dari beliau saya belajar bahwa manusia
boleh salah, namun harus tetap mencari mana yang benar. Kalau sudah menemukan
yang benar menurutnya, maka harus meninggalkan yang salah, bukan malah
mengulang kesalahan yang sama. Sehingga kualitas tiap individu dapat
ter-upgrade setiap waktu. Begitulah cara beliau membimbing bangsa ini mengobati
luka yang kronis secara sistematis.
Saya berhutang budi kepada NU,
karena lewat NU-lah saya membangun cara berpikir yang moderat, yang tidak
dengan gampangnya memandang diri sendiri adalah yang paling benar dan yang lain
salah. Moderat, yang tidak terlalu ekstrim radikal, tidak juga terlalu ekstrim
liberal. Saya tidak menyukai cara beragama yang kaku, tanpa humor, sering main
bid’ah, sangat mementingkan syari’at tanpa mementingkan akhlak, dan tidak
fleksibel. Saya juga tidak menyukai cara beragama yang terlalu liberal, yang menganggap
semua agama sama. Bagi saya, Islam tetap agama dengan nilai-nilai paling benar,
namun begitu saya tak menyalahkan agama lainnya karena saya tidak memiliki hak
untuk menyalahkannya. Selain itu karena saya menghormati pilihan dan keyakinan
orang lain, yang bagi saya keyakinan adalah hal yang privat untuk tiap manusia
yang saya tak boleh mencampurinya. Saya menghormati perbedaan dan sangat
terbuka pada segala macam pemikiran. Saya belajar untuk berhati-hati membagi
informasi yang berpotensi dapat melukai suatu kaum, informasi yang mengandung
provokasi, karena apa yang kita bagi adalah yang harus kita pertanggungjawabkan
akibatnya. Saya selalu berusaha untuk tetap memegang teguh standar kebenaran
menurut diri saya, sesuai pemahaman saya. Saya belajar untuk tetap santun dalam
memberikan pendapat agar tak menimbulkan defense
kepada orang yang saya ajak bicara. Saya berusaha menghindarkan diri saya dari
menghujat orang lain yang menurut saya cara pandangnya salah. Dari setiap orang
yang pemikirannya tidak saya setujui, saya tak lantas membencinya, melainkan
tetap memungut kebaikan yang ada darinya. Hal ini atas dasar pemikiran saya
bahwa sesungguhnya tidak ada yang namanya sampah di dunia ini. Segalanya
bersiklus dan segala yang kita anggap sampah pun bisa mengalami recycle. Bahwa kita pun bisa menemukan
kebaikan dalam diri orang sejahat apa pun meskipun sedikit.
Lewat NU saya belajar ngaji
kepada ulama-ulama pesantren yang ilmunya bernasab dari Kanjeng Nabi Muhammad
SAW. Bagi saya, NU yang diprakarsai Mbah Hasyim Asy’ari sangat berjasa kepada
umat muslim di negeri ini. Lewat ulama-ulama kampung, umat muslim belajar ngaji
dari hal syariah, muamalah, adab, akhlak, sampai aqidah sehingga umat muslim di
Indonesia tidak menjadi umat beragama yang buta ilmu, yang tidak tau bagaimana
tata-cara beribadah mahdoh maupun membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Saya
dapat mengatakan hal ini karena melihat Muslim Jawa-Suriname di Belanda, yang
tidak paham bagaimana cara sholat dan membaca AlQur’an. Itu karena mereka tidak
memiliki ulama yang mengajarkannya secara sistematis.
Akhirul kalam, saya bersyukur
telah dipertemukan dengan para guru yang luar biasa dalam membimbing saya
mencari kebenaran, Islamnya Muhammad SAW. Dengan rasa syukur saya ini, saya
berusaha untuk tidak mengkultuskan mereka. Namun saya juga berusaha untuk dapat
selalu menghormati mereka dengan akhlak baik selayaknya seorang murid yang
berhutang budi kepada gurunya. Saya berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada
mereka karena saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik setiap kali saya
dekat dengan mereka.