Selasa, 07 Oktober 2014

Kangen, Mimpi, Realita

Saya kangen. Kangen sama suami, diikuti kangen sama ayah ibuk di Indonesia. Sampe nangis sesenggukan tanpa henti, mata merah, hidung meler, perasaan rindu mengharu biru, sangat biru di relung jiwa. Sudah puluhan kali di sini saya seperti ini. Mungkin iya, waktu itu, pergi ke sini adalah keputusan paling bodoh yang pernah saya ambil. Menjauh dari frekuensi semua orang-orang yang saya cintai. Hingga hampir 2 bulan perpisahan ini, saya lupa bau suami saya, bau rumah ayah ibu saya, meskipun suara mereka masih sangat aku ingat. Mungkin iya, bila waktuku di sini banyak kuhabiskan untuk menangis, aku akan menyesal pada akhirnya. Apalah arti menyesal kalau sekarang pun saya merasa menyesal telah menjauh dari mereka. Mungkin iya, menyesal itu akan selalu ada, baik di saat saya memutuskan iya atau tidak. Mungkin iya, bahwa hal paling baik yang bisa saya lakukan adalah mengikhlaskan segalanya. Mengikhlaskan seluruh keputusanku, baik yang sudah maupun yang akan. Mengikhlaskan segala sesuatu yang terjadi, baik yang sudah maupun yang akan. Tapi berat! Mana ada manusia yang setiap waktu bisa ikhlas.
Saya tak juga memandang-mandang kehidupan dari kacamata orang banyak. Padahal saya berada di sini salah satunya adalah untuk itu. Dan juga untuk menjalani mimpi-mimpi yang saya kira indah di masa lalu. Sekarang pun saya masih bermimpi, setinggi-tingginya. Ah mungkin saya adalah manusia yang hidup dalam mimpi yang tak juga sadar akan realita. Karena realitanya adalah saya harus menyelesaikan mimpi masa lalu saya dengan realistis dan membuatnya berakhir dengan indah yang orang lain tak tahu betapa puasnya diri saya nanti.

Tidak ada komentar: