Suatu waktu di rumah, saya didatangi
kawan-kawan SMA. Mereka berbanyak orang hendak mengklarifikasi apakah benar
saya sedang menjalin hubungan dengan calon suami saya (waktu itu). Apa mau dikata,
memang benar, saya jawab iya. Lalu mereka bertanya lagi, apa sih yang membuat
saya menyukai calon suami saya (waktu itu)? Reflex saya menjawab karena dia
pinter. Hahaha.. bahkan anak TK pun mampu menjawab jawaban seperti itu. Tapi ya
memang begitulah adanya. Lalu kawanku bertanya lagi, jadi kalau Wisnu (calon
suami saya waktu itu) nggak pinter, saya nggak mau sama dia? saya jawab lagi,
enggak. Pokoknya saya maunya sama orang pinter, titik. Mereka menyimpulkan:
"Jadi kami-kami ini nggak pinter?". saya pun tertawa, "Ya
disimpulin sendiri aja, terserah" . Lalu kawan-kawanku (yang juga kawannya
Wisnu) mengiyakan kalau Wisnu itu pinter, memang pinter, dia pernah ikut
oliampiade, mendapat nilai tertinggi di ujian akhir, bisa masuk STAN tanpa
banyak kesulitan (siapa waktu itu lulusan SMA yang kalau keterima STAN lalu nggak mengambil kesempatan itu? mana ada), apalagi.
Itu salah satu cerita.
Hari ini suami saya memberitahu hasil skor
TOEFL sama TPA Bappenas dia, saya nggak terlalu kaget, dia mengalahkan skor
TOEFL dan TPA Bappenas saya tanpa banyak kesulitan. Awal tahun ini saya sempat
ikut 2 tes itu untuk masuk S2 ITB dan semuanya jauh memenuhi persyaratan
minimal. Tapi sayangnya saya nggak jadi masuk ITB karena ternyata mendapat
unconditional letter of acceptance dari Radboud University Nijmegen. Good Bye ITB. saya tahu kemampuan kognitif suami saya, dia jauh di atas rata-rata,
sedangkan saya cukup rata-rata saja. Bila tes IQ, nilai saya pas-pasan. Untung
saja nggak kena genetic disorder Intellectual Disability, saya sudah
bersyukur. Meskipun pas-pasan, saya punya mimpi tinggi untuk bisa sekolah
sampai jenjang paling tinggi. Whatever everybody might say, I won't care.
Suami saya sampai sekarang masih lulusan D3,
sedangkan saya sekarang hendak menamatkan S2. Namun hal itu tidak bisa
dibandingkan karena nasib kami sungguh berbeda. Gelas kami bentuknya berbeda.
Gelasnya berupa Abdi Negara, gelasku berupa sekolah. Meskipun kemampuan kognitifnya
melebihi saya, namun dia belum bisa melanjutkan belajar sampai seperti yang
saya capai sekarang. Namun saya tetap bangga padanya..
Dia selalu menjadi seseorang melebihi apa
yang saya pikirkan. Cinta yang ada padanya kepada saya, seperti menjawab
tantangan lagu klasik berjudul "More Than Words". Dia lebih memilih
untuk menunjukkan secara nyata bukti cintanya daripada hanya berkata-kata. Tapi
sebagai perempuan saya terkadang sering nggak melihatnya kalau dia benar-benar
mencintai saya. Seperti yang suami saya bilang, manusia terkadang ingin melihat
apa yang tidak dilihatnya daripada apa yang benar-benar tampak di depan mata.
Itu membuat saya merana sendiri dan buru-buru melihatnya dari sisi lain.
Setelah itu saya sadar, suami saya sungguh cinta, sungguh dewasa, sungguh
sabar, dan menyayangi saya apa adanya.
Saya beruntung menjadi seseorang yang dia
cintai. Bayangkan saja, mana ada laki-laki yang mau ditinggalkan istrinya 2
tahun lamanya dengan alasan ingin sekolah. Pasti hanya sedikit dan suami saya
termasuk yang sedikit itu. Bahkan dia yang mendukung saya habis-habisan, sejak
saya masih S1 dulu, “Lakukan dulu, jangan bilang nggak bisa” dia bilang, hal
itu mengubah pola pikirku. Kalau dia tidak seperti itu, mungkin sekarang saya
masih berdiam diri di suatu tempat di Indonesia, tidak berkembang, dan stagnan.
Di Eropa, saya belajar banyak hal, banyak sekali, semua sedang ada di otak saya
dan belum mampu saya tumpahkan ke dimensi lain.
Sekarang, suami saya sedang sendiri di
sana, saya merasa bersalah karena dia bilang bahwa dia melakukan banyak hal
sendirian. Yah, tidak berbeda dengan saya, saya juga sendiri. Bahkan untuk bisa ngobrol via Skype pun kesulitan karena perbedaan waktu 5 jam, apalagi di sini lama waktu siang dan malam tidak seperti di Indonesia. Suami saya harus meluangkan waktu sampai tengah malam untuk bisa mengobrol. Tentu itu mengganggunya karena dia harus bekerja pagi harinya, pekerjaannya menuntut produktifitas dan profesionalisme sebagai abdi negara. Sampai-sampai
saya berpikir, mengapa kita yang saling mencintai bisa terpisah seperti ini?
Mengapa harus begitu? Sampai sekarang saya tidak habis berpikir. Suami saya pun
bilang “karena ini jalan kita, dijalani saja dulu, pasti nanti akan ada waktu
kita bisa bersama-sama”. Aneh kan.. Karena kami sudah memilih dan karena memang
semua ini harus dijalani, apa boleh buat. Tanggal 29 Oktober nanti adalah mensiversary
pernikahan kami yang ke-5, dan kami terpisah jarak yang jauh, sangat jauh.
Ketika berada di dalam pesawat dalam perjalanan saya ke sini, saya selalu
memperhatikan peta digital, melihat pesawat saya sedang berada di mana, yang
menjauh dari posisi suami saya dan orang-orang yang saya cintai berada. Ketika
saya sudah berada di sini, membuat saya ingin pulang, tidak percaya bahwa kami
benar-benar jauh di benua yang berbeda.
Dear my husband, thank you for becoming
the best man ever for me, thank you for becoming the one I want to annoy for
the rest of my life. I’m really proud of you and do respect you as my leader.
Don’t get lost in your way for the sake of ours. I’ll be your love as the best
as I can.
Vossendijk 219, Nijmegen
Pukul 19.15