Senin, 10 September 2012

Catatan Sore

Seperti halnya kuliah tadi pagi, ini adalah tulisan random.

#
Dosen-dosen profesi UGM dengan cerdasnya memberikan analogi-analogi yang ciamik.
Apoteker ada untuk memberikan informasi dan konseling, bukan untuk menambah masalah, dalam hal ini lingkup kesehatan
Saya hendak menjadi apoteker, itu adalah suatu profesi dan hal yang tergolong spesifik di dunia ini. Setelah nanti saya resmi menjadi apoteker,  maka saya harus jeli mengidentifikasi masalah pasien, bijak-etis-akurat dalam memberikan informasi dan konseling yang dibutuhkan pasien. Hal tersebut pun juga tergolong sebagai bentuk pengabdian. Alangkah kerennya...
Saya, pun juga bukan hanya seorang calon apoteker, namun manusia yang juga berinteraksi dengan orang lain yang bukan hanya seorang pasien. Kemajemukan tipe manusia di dunia ini menjadi tantangan besar untukku.
Sekarang menginjak ke ranah virtual. Saya yang aktif berkecimpung di dalam beberapa sosial media, menjadi kepikiran untuk juga melakukan pemberian informasi dan konseling, bukan problem maker disana. Sejelek-jeleknya, saya memberikan informasi meskipun bukan konseling. Sebenarnya ini bahasan sudah agak kadaluarsa bagi saya. Karena sudah bertahun-tahun yang lalu saya introspeksi bagaimana supaya tidak kebanyakan mengeluh di sosial media. Tapi karena tadi kuliah membahas tentang kewajiban apoteker mengenai "Informasi vs Konseling", jadilah saya menulis ini.
Bagi saya, memilih untuk seperti itu bukan hal yang susah. Awalnya, membenahi mindset mengenai sosial media, lalu merubah niatan dan tujuan.

Mengenai jenis manusia yang bersikap di sosial media, janganlah pula dipikirkan. Kebanyakan kerjaan orang psikologi adalah mengelompokkan orang menjadi tipe-tipe yang beraneka ragam.  Bila kita terjebak ke dalam jurang pengelompokan itu, tidak cerdaslah kita. Bagiku, pengelompokan manusia hanya diperlukan sebagai formalitas.
Misalnya saja sewaktu melamar pekerjaan, tentu kita akan ditanya "Apa kelemahan dan kelebihanmu?". Nah saat itulah kita perlu mempelajari hal psikologis itu. Karena segala tes psikologis akan selalu seperti itu guna untuk kemashlahatan perusahaan/company/etc.

Namun bila memang sulit berubah, ya ndak apa-apa. Saya pribadi memahami, mengapa orang suka mengeluh di sosial media. Saya nggak pernah ambil pusing. Kalau saya risih ya saya block atau remove atau mute atau apalah itu. Namun bukan berarti saya membencinya atau menyalahkannya, karena saya yang bermasalah, bukan dia. Itu salah satu cara saya memahami kemajemukan manusia. Percaya, di suatu fase, manusia akan bosen mengeluh. Di suatu fase, ia akan sangat full of information, dan juga sangat kita perlukan. Manusia seperti itu memiliki guna untuk manusia lain yang mungkin tidak kita tahu, jadi hal apa yang membuat kita memiliki kebencian? kitalah yang rugi, tentu saja.  Ini bukan hanya soal mengeluh, namun segala apa pun yang membuat kita membencinya atau merasa terganggu oleh manusia selain diri kita.

#
Ah ya, ada satu dosen lagi yang tadi pagi memberikan analogi. Tapi bahasannya beda bangeettt. Tadi, sewaktu kuliah farmakokinetika klinik, dosen saya menerangkan bahwa obat yang diberikan secara ekstravaskuler, bioavailabilitasnya memiliki opportunity 0-1. Kebanyakan < 1 pokoknya. Selalu ada yang tidak nempel ke reseptornya. Bahkan, yang intravaskuler pun, kemungkinan tidak selalu 1 bioavailabitasnya, tapi masih saja dianggap 1. Bagaimana bisa ada standardisasi bioavailabititas intravaskuler itu adalah 1? Ya begitulah, selalu ada standardisasi untuk banyak hal di dunia ini.
Analogi yang dipaparkan oleh Bapak dosen adalah, penetapan hilal di bulan Ramadhan. Bahwa ada sekelompok umat muslim yang ketika dia menghitung secara matematika, maka sudah ada bulan di sudut 1 derajat. Bulan apa itu? tentu saja bulan Ramadhan. Eh, tapi tunggu dulu, bulannya (hilal) belum kelihatan. Jadi tidak boleh langsung menetapkan tanggal tersebut adalah tanggal 1. Padahal hilal sudah 1 derajat, namun standardisasi menyatakan itu belum bisa disebut bulan baru karena belum terlihat mata.
Intinya, matematika dan keyakinan itu terkadang tidak memiliki muara yang sama karena hal keterbatasan rasio. Manusia majemuk tidak bisa saling memaksakan.

Tidak ada komentar: