Kamis, 20 Agustus 2009

Seperti Dialah Makhluk Peradaban Itu

Puisi W. S. Rendra : Renungan Indah

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya :
Mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua
“derita” adalah hukum bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

"Orang-orang harus dibangunkan!!", pekik Rendra.

Seperti kata John F Kennedy, ”Tatkala kuasa mengarahkan orang pada kepongahan, puisi mengingatkan akan keterbatasannya. Tatkala kuasa menyempitkan ruang kepedulian orang, puisi mengingatkan akan kekayaan dan keragaman hidupnya. Tatkala kuasa korup, puisi membersihkannya. Karena seni membentuk dasar kebenaran manusia yang mesti menjadi landasan keputusan kita.” Ya. Harusnya memang seperti itu. Tapi, apakah kita yang terlalu bodoh? Wallahu 'alam.

Aku mengenalnya 7 tahun yang lalu, dengan nama Kantata. Dan parahnya, hanya nama itu yang aku kenal. Karena kawanku selalu mengusik otakku dengan karya-karya mereka yang ada di sana. Yah, sedikit banyak aku mulai mengerti Rendra itu siapa. Terimakasih kawan... engkau mengenalkanku pada seorang hebat nan tangguh pengusung peradaban. Karena ternyata, kesenian-kebudayaan-sastra adalah wadah yang terlampau kecil untuk seorang Rendra. Rendra telah berhasil hidup jauh di luar itu semua. Ia adalah makhluk peradaban. Ia adalah seorang Kasyif. Ia bukanlah burung merak yang terbuat dari plastik seperti burung-burung lain yang hidup di sekitarnya.

Ya Rendra... Engkau pun telah menari di atas batas. Kenanglah kami yang sedikit mengenangmu ini. Semoga Engkau tidak benar-benar meninggalkan kami.



Tidak ada komentar: