Selasa, 18 Agustus 2009

Meneropong Batas

Sekarang aku mau berteori sok tahu lagi. Nggak apa-apa ya.. hehe kalu mau baca ya lanjut aja. Mumpung masih hidup dan diakui sebagai manusia sih. :D

o Karena minggu lalu aku bertemu pak Jaya Setiabudi di Grha Sabha UGM, siapa beliau? Kalau pernah denger, beliau adalah pengarang buku “The Power of Kepepet”, nah mungkin yang aku tulis disini berhubungan dengan ‘judul’ buku yang beliau tulis. Sebenarnya juga aku belum pernah membaca buku itu. Isinya seperti apa pun aku juga nggak tahu. Tapi judul bukunya memberikan sebuah hasrat untukku menulis tulisan ini.

o Kemudian di siang hari pas capek-capeknya menggarap persiapan penyambutan maba/i di sekber kampus, secara tak sengaja aku membaca tulisan berbunyi “menari di atas batas”. Oh waw… tulisan ini memberikan arti buatku.

o Lalu, kemarin-kemarin pagi habis shubuh aku browsing by PC dan tanpa sengaja pula aku menemukan artikel mengenai kehidupan Pak Pram. Mbak Lika antusias sekali waktu melihat foto Pak Pram, dan akhirnya dia bercerita panjang pendek mengenai kisah hidupnya. Salah satunya bila dikalimatkan ulang adalah seperti ini, “Pram itu banyak menghabiskan hidupnya di penjara karena selalu menentang rezim. Padahal dia itu seorang aktivis dan demonstran sejati. Yang aku tau aktivis sejati tak akan rela hidupnya terutama masa mudanya berlalu tanpa arti begitu saja tanpa melakukan apa pun untuk memperjuangkan kata hatinya. Aktivis maupun demonstran itu butuh komunikasi dengan dunia luar yang benar-benr dunianya. Sehingga sewaktu di dalam penjara Pram banyak sekali menulis, menulis dan menulis. Karena hanya dengan menulislah dia bisa berhubungan dengan dunia sejatinya. Dan menulis adalah pilihan kata hatinya. Buaaaanyak sekali tulisan yang dihasilkannya ketika hidup di penjara. Namun malangnya nasib bangsa ini, tulisan emas sang demontran harus direlakan begitu saja menjadi seonggok abu. Rezim Suharto telah membakar habis sebagian besar karyanya. Dan tulisan Pram yang masih bisa ditemui saat ini hanyalah segelintir sangat kecil dari apa yang dikaryakannya.”. kata-kata mbak Lika juga memberi arti tersendiri buatku.

Apakah arti-arti itu? Ketiga hal tadi kuhubungkan dengan kata batas dan muncullah argumenku. Yaitu “batas itu luar biasa sekali ya…”. Betapa tidak, seringkali keterbatasan membuat seseorang melakukan perjuangan maksimalnya, totalitas. Menurut kamus yang aku baca, arti batas sendiri adalah perhinggan atau sebuah patokan bagi manusia, dimana manusia dapat memprediksi sampai sejauh mana frekuensi zona amannya. Maka di saat manusia telah sampai pada suatu batas tentu saja dia hampir/menjelang keluar dari titik amannya. Nah dalam titik ini manusia dituntut untuk bisa memecahkan end point permasalahan yang paling rumit yang sedang menimpanya.

Langsung saja deh, bagi manusia yang diberi anugerah kesadaran, beruntunglah. Karena manusia yang sadar, segala keterbatasan akan menjadi kesempatan besar baginya untuk benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Untuk tidak menjadi manusia plastik atau manusia-manusiaan atau manusia jadi-jadian atau apalah namannya

Nah, bukankah enak sekali memiliki keterbatasan? Ah mungkin kalimat itu kurang pas. Bukankah enak juga memiliki keterbatasan? Tak ada yang salah dengan keterbatasan. Manusia cerdas pasti bisa menemukan kesempatan bagaimana pun keadaan dirinya. Misalnya saja ketika tertimpa berbagai macam keterbatasan, maka dia bakal memaknainya bahwa dialah orang terpilih –the choose one. Mengapa terpilih? Ya iyalah, itu kan berarti dia memiliki banyak kelebihan yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Karena dalam kitab-Nya tertulis bahwa Dia tak akan memberikan permasalahan bagi hambaNya di luar batas kemampuan seorang manusia itu. Sebagai orang beriman, tentulah kita percaya hal itu. Jadi, tak ada yang salah dengan keterbatasan. Yang ada harusnya malah kita ini bersyukur karenanya. Karena kita adalah orang terpilih.

Adalah aku membaca sesuatu seperti ini, ‘Amr bin Al-Jamuh, seorang lelaki pincang dari bani Najjar diminta rehat ketika hari Uhud tiba. “Dengan kaki pincangku inilah”, katanya. “aku akan melangkah ke surga!”, jiwanya menari di atas batas meski jasad harus bersipayah mengimbanginya, dan Sang Nabi di hari Uhud bersaksi, “Ia kini telah berada di antara para bidadari, dengan kaki yang utuh tak pincang lagi!”.

Maka, dengan nikmat yang begitu besar atas jiwa dan raga kita ini, apa yang harus kita katakan pada ‘Amr bin Al-Jamuh, pada seorang Pram, pada para pejuang, dan pada orang-orang terpilih lainnya saat kita disaput diam dan santai?

Semisal kita merasa bahwa kita ini tidak mempunyai keterbatasan, tapi bukankah kita ini hidup dalam dimensi waktu. Dan… betapa terbatasnya waktu itu. Tadi malam aku mendengar kata bahwa waktu itu identik dengan (perjalanan) kehidupan dunia. Yang paling berpengalaman terhadap kehidupan dunia ini adalah alam semestanya. Maka alam semestalah guru terbaik kita. Hehe :)

Sekali lagi, beruntunglah orang-orang yang sedang berada pada suatu tempat yang bernama batas..

Tidak ada komentar: