Ketika scrolling facebook, tidak sengaja membaca memo status mas tersebut di atas. #EAN, atau Mbah Nun, adalah salah satu guru saya yang saya hormati. Kali ini saya ingin melontarkan kritik atas pernyataan tersebut di atas.
Sebenarnya saya paham maksud Mbah Nun mengatakan hal tersebut di atas, yaitu bahwa orang Islam harus pintar menafsirkan Al-Qur'an dan Hadits. Orang Islam harus membuka pikiran selebar-lebarnya, berkreasi sepatut-patutnya, dan berpikir sekritis-kritisnya dengan akalnya sendiri ketika membaca firman Allah SWT maupun membaca sabda Kanjeng Nabi SAW. Kita tidak harus mengikuti pendapat selain apa yang difirmankan Allah dan disabdakan Kanjeng Nabi, karena pendapat manusia itu hanya mengandung kebenaran yang relatif. Sedangkan kebenaran mutlak adalah hak prerogratif Allah SWT yang mana kita tidak bisa mencapai atau menemuinya, kecuali apabila Allah sendiri yang menemui kita. Kita tidak seharusnya membatasi diri kita dengan hanya mengikuti pendapatnya orang lain kecuali pendapatnya Kanjeng Nabi yang dibimbing langsung oleh Allah SWT melalui Jibril. Mungkin Mbah Nun juga bermaksud menyampaikan bahwa umat Islam tidak perlu bertengkar dan terpecah belah hanya karena perbedaan pendapat ulama panutannya masing-masing, hanya karena perbedaan madzhab. Tidak perlulah mengkultus-kultaskan dan bersikap fanatik menjadi entah itu Sunni, Syi'ah, Wahabi, Ahlussunnah wal jama'ah, dll. Toh, ulama-ulama tersebut tidak pasti benarnya, yang paling benar tentu saja pendapatnya Kanjeng Nabi, karena beliau adalah kota ilmu atau sumbernya ilmu di dunia fana ini. Bahwa hanya dengan syafa'at dari Baginda Rasulullah saja saya bisa masuk surga, itu saya tidak mengingkarinya. Untuk sudut pandang yang seperti ini saya setuju.
Tapi bila dilihat dari sudut pandang lain, pernyataan Mbah Nun juga mengandung tafsir bahwa orang Islam zaman sekarang maupun orang Islam di zaman bukan sekarang tidak butuh, misalnya Khulafaur Rasyidin, Imam Syafi'i, Hasan Al Asy'ari, Imam Ghazali, dan 'ulama lainnya. Padahal, keberadan ulama tersebut di tengah-tengah umat Islam adalah takdir yang tidak bisa kita sangkal, seperti sebuah keniscayaan. Aku tak yakin, bila tidak ada mereka, akankah aku seperti ini? Akankah Islam tersebar ke seluruh dunia? Akankah Islam sampai ke Indonesia? Akankah aku beragama Islam? Akankah aku mengenal shalawatan, maulidan, burdahan, barzanjen, dsb yang syair-syairnya sangat indah itu? Kalaupun aku beragama Islam, maka Islam seperti apa bila tidak ada para ulama tersebut? Sholatku atau hajiku bakal seperti apa? Masihkah seperti sholat dan hajinya Rasulullah SAW? Umat Islam sekarang jadi seperti apa bila tidak ada mereka? Sulit sekali dibayangkan. Sepertinya, sepertinya ya, mustahil Islam sebegini ada atau Al-Qur'an sebegini abadi dan otentik sejak ia diturunkan sampai hari ini, apabila ulama-ulama tersebut tidak ada. Pada kenyataannya, Allah menjaga Kitab Suci ini lewat keberadaan para ulama tersebut. Satu hal yang paling aku syukuri ketika hidup di dunia ini adalah Tuhan memberikan nikmat Islam sebagai agamaku dan Al Qur'an sebagai kitab suciku. Salah satu ayat favoritku adalah QS. Al Maidah 3:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam itu sebagai agamamu.”
Ayat satu ini berkali-kali menggetarkan jiwa setiap kali aku baca, yang membuat aku sangat bersyukur bahwa aku beragama Islam. Selanjutnya membuatku berandai, mungkin saja Islam sampai padaku dan sampai pada orang tuaku berkat para ulama. Meskipun, mungkin saja juga, tanpa ada ulama tersebut, maka Allah bisa membuatku beragama Islam bagaimana pun caranya. Karena Dia sungguh misterius, ketetapanNya tidak bisa ditebak, Kun Faya Kun. Tapi kenyataanya Allah memiliki skenario dan aku tidak mengingkari takdirNya. Apabila Kanjeng Nabi adalah katalis, maka mungkin saja Allah menciptakan para ulama sebagai kofaktor. Bukankah orang yang berilmu itu berbeda? bukankah Allah mengatakan bahwa orang yang berilmu adalah manusia berderajat tinggi? bukankah orang yang berilmu itu adalah ulama? Darimana manusia mendapatkan ilmu-ilmu mendasar kalau tidak melalui ulama yang bersanad kepada Kanjeng Nabi? Sangat jarang manusia dapat langsung ditemui Allah SWT, yang mungkin karena manusianya tidak sadar kalau ia harus mendekat dulu padaNya. Bagaimana kita bisa mendekat kepadaNya tanpa perantara ulama yang memberitahu kita bahwasanya kita harus mendekat padaNya? Jadi kalau aku memuliakan para ulama di samping Kanjeng Nabi, lalu mengikuti pendapatnya yang menurutku masuk akal atau bahkan tidak masuk akal (karena pengetahuanku yang terbatas ini), maka aku tidak salah. Sehingga aku pikir, menurutku saja, aku tidak mungkin berislam tanpa keberadaan ulama.
Namun, terimakasih kepada Mbah Nun yang selalu setia mengajak umat Islam untuk terus bebas berpikir mencari kebenaran sejati, sampai kepada "the wildest thought that we can ever make" tanpa harus terbatasi oleh pendapat/pemikiran orang lain.