Selasa, 19 Januari 2010

Dari Mereka untuk Gus Dur

Saya telah lama dan banyak membaca tulisan-tulisannya yang tinggi kuantitas maupun kualitas. Yang membuat saya begitu terkagum-kagum atas perjuangannya, atas kesederhanaannya yang tidak rumit. Berikut ini saya mengutip berbagai tulisan dari para jurnalis maupun pengamat tokoh yang mana kata-katanya begitu mewakili apresiasi besar saya terhadap salah seorang manusia terbaik yang pernah hidup di dunia pada abad ini, Gus Dur alias KH. Abdurrahman Wahid.

Abd Moqsith Ghazali menututurkan:

Jelas, Gus Dur bukan hanya pemikir dan ulama yang hanya bertafsir dan berteologi dari atas menara. Ia adalah seorang aktivis yang terlibat dalam kerja-kerja advokasi terutama terhadap kelompok-kelompok yang tertindas, baik dari agama, etnis, maupun gender. Ia akan hadir misalnya ketika buruh dan pedagang kaki lima mengalami ketidakadilan. Ia bersumpah akan terus membela hak-hak sipil kelompok Ahmadiyah tatkala hak-hak mereka itu dirampas. Ia akan datang begitu ada rumah ibadah yang dibakar. “Manusia perlu dibela, Tuhan tidak”, kata Gus Dur. Gus Dur seperti punya banyak simpanan energi untuk melakukan pembelaan demi pembelaan.

Energi Gus Dur itu kiranya tegak di atas dua kekuatan. Pertama, kapasitas intelektualnya yang mumpuni. Ia meminati banyak disiplin ilmu, mulai dari ilmu-ilmu keislaman seperti fikih, kalam, dan tafsir hingga ilmu-ilmu sekuler seperti politik, filsafat, sastra, dan film. Ia tak canggung untuk berdiskusi dengan seniman, penyair, dan filosuf. Kedua, Gus Dur memiliki basis kultural yang kuat. Kakek dan ayahnya adalah dua figur ulama yang disegani. Sang kakek, KH Hasyim Asy’ari, adalah guru dari para kiai terutama di tanah Jawa. Rasanya tak ada pesantren di Jawa dan Madura yang tak mempunyai genealogi keilmuan dengan Tebuireng, tempat Mbah Hasyim mengajar. Itu sebabnya dukungan terhadap Gus Dur dari kalangan pesantren cukup besar. Pernyataan-pernyataan Gus Dur yang dianggap kontroversial tak menimbulkan guncangan berarti dari para kiai dan santri.

Dengan dua kekuatan itu, Gus Dur sangat percaya diri. Ia bisa beradu argumen dengan para intelektual lain ketika ide-idenya disanggah. Gus Dur kerap terlibat polemik dengan para sejarawan, pemikir politik, sastrawan, dan budayawan. Dan ia juga berani melawan ketika kelompok-kelompok fundamentalis radikal Islam menggunakan penggalangan massa untuk menggertaknya. Ini karena ia yakin bahwa di belakang dirinya ada ribuan mungkin jutaan orang yang siap mendukungnya. Walau kita tahu bahwa Gus Dur tak pernah mengijinkan massa pendukungnya untuk melakukan tindak kekerasan, hatta dengan alasan agama sekalipun

Dari Aboeprijadi Santosa as a journalist, he told at The Jakarta Post:

Gus Dur’s values and courage, mixed with pragmatism, are reflected in his dealings with Aceh and Papua. When he planned his first trip to Aceh, the rebellious province that demanded a referendum, he told Radio Netherlands (July 7, 1999) "as a nationalist, I wish both (East Timor and Aceh) will remain parts of the Republic, but as a democrat, I know, I should respect their rights to self-determination". --->> GREAT WORDS…!!!

Ada yang lebih luwes dan blak-blakan dari salah seorang pengamat tokoh yang saya lupa namanya. Here it is:

Abdurrahman Wahid Addakhil atau lebih dikenal Gus Dur telah pergi. Namun ia meninggalkan warisan, pengaruh dan kenangan yang tak akan pernah pupus bagi banyak orang. Bukan hanya bagi warga NU, tapi bagi rakyat Indonesia pada umumnya.

Lahir di Denanyar Jombang 69 tahun yang lalu, Gus Dur adalah sosok yang unik dan kontroversial. Humornya sering mengundang gelaktawa, dan gagasan-gagasannya sering mengejutkan dan memicu perdebatan. Namun semua itu seolah semakin mengukuhkan kecerdasan, wawasan serta visinya yang jauh ke depan.

Bagi generasi muda NU, Gus Dur adalah sosok pembaharu, kyai pendobrak yang membawakan obor pencerahan (aufklärung) di tengah kebutaan banyak warga NU atas dunia. Keteguhan dan keberaniannya dalam menentang ketidakadilan dan membela yang lemah juga menjadi inspirasi lahirnya aktivis-aktivis muda NU di era 80 dan 90-an, dan pergaulannya yang lintas sektoral membantu kyai-kyai untuk mengembangkan sikap terbuka dan menanamkan watak kosmopolitan.

Gus Dur tak ubahnya meteor kaum nahdliyyin yang sulit dicari bandingannya. Ia adalah pemikir yang brilian, menguasai dengan baik khazanah pemikiran Islam tetapi juga akrab dengan khazanah Barat. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris dan Perancis dengan baik, fasih membaca kitab kuning namun juga akrab dengan ilmu sosial dan buku-buku kiri, serta pecandu sastra dan musik—selain sepakbola. Masa remajanya dipenuhi gabungan tiga hal: kegilaan atas sepakbola, kecintaan akan buku dan kegandrungan terhadap musik.

Di saat santri-santri NU di seantero negeri hanya berkutat dengan tafsir, hadits dan ushul fiqh (kitab kuning), ia sudah membaca Das Kapital-nya Marx, What is To Be Done-nya Lenin dan Prison Notebook-nya Gramsci, serta bercumbu dengan novel-novelnya John Steinbeck, Hemingway, Tolstoy dan Dostoevsky. Di saat warga NU hanya akrab dengan rebana dan kasidahan serta para kyai masih berselisih paham soal hukum sejumlah alat musik, Gus Dur sudah menenggelamkan diri dalam kemerduan suara Ummi Kultsum dan kemegahan aransemen Beethoven serta Bach, dan berjingkrak dalam entakan Summertime dan Me and Bobby McGee-nya Janis Joplin.

Sepertinya, Gus Dur adalah orang NU pertama yang memiliki minat yang sedemikian luas atas kebudayaan dunia, atau bahkan mungkin satu-satunya. Ia mengetahui dengan baik sejarah Amerika, Eropa, Timur Tengah dan tentu saja Indonesia. Ia sangat tertarik dengan Aera Europa-nya Jan Romein, dan mengagumi Franklin D. Roosevelt yang ia anggap punya visi dan semangat hidup yang luar biasa. Berdasar pengetahuan penulis, hanya adik bungsunya, Hasyim Wahid atau lebih dikenal Gus Im, yang memiliki minat yang kurang lebih sama.

Persentuhan Gus Dur dengan beragam bacaan itulah yang melatari keterbukaan sikap dan pikirannya, selain didikan orang tuanya, K.H. Wahid Hasyim. Sejak kecil ia sering menyaksikan ayahnya berbincang akrab dengan tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengannya, termasuk Tan Malaka, di mana Gus Dur sering membukakan pintu sang tamu malam ayahnya itu. Ketika menempuh SMEP di Jogja, alih-alih ditempatkan di pesantren NU yang cukup banyak jumlahnya, Gus Dur justru dititipkan oleh ayahnya pada K.H. Juneidi yang notabene anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah, organisasi yang sering dianggap berseberangan dengan NU.

Isyarat sang ayah dari berbagai sikap dan perlakuannya itu membuat Gus Dur tidak pernah punya ketakutan untuk berhubungan dengan siapa pun dan mempelajari apa pun. Ia tidak pernah tabu untuk membaca buku, namun selalu mendudukkan diri sebagai pembaca yang kritis. Ia, misalnya, mengkritik V.S. Naipaul karena dianggap memberi gambaran yang keliru atas Islam dan pesantren di Indonesia dalam bukunya, Among the Believers.

Membaca, bagi Gus Dur, tidak sama dengan persetujuan. Justru dengan membaca buku-buku yang tidak kita setujuilah kita bisa memperkuat gagasan kita. Ada dialektika gagasan di sana, dan itu bisa membawa pada pemikiran baru yang lebih maju. Sebagaimana para filsuf pencerahan di Eropa, Gus Dur berusaha membangun ruang publik (public sphere) dan iklim diskursif di mana gagasan-gagasan dan tabu diperdebatkan.

Keterbukaan Gus Dur bukan hanya dalam soal pemikiran, tapi juga tercermin dalam sikap keimanannya. Tak segan-segan Gus Dur melontarkan kritik atas kejumudan berfikir dan ortodoksi umat Islam, yang hal itu membuat ia sering dihujani cercaan, bahkan dicap kafir oleh sejumlah golongan. Bagi Gus Dur, ikhtiar mempertebal keimanan bukan dengan cara membentengi diri dengan tembok tebal konservatisme dan menutup mata atas kekeliruan, namun dengan keberanian mengoreksi keyakinan dan penafsiran.

Ajaran orang tuanya, petualangannya atas berbagai macam buku dan aliran serta sejumlah pengalaman hidupnya (diantaranya pertemuannya dengan sahabat Yahudinya, Ramin, di Irak) pada gilirannya membawa Gus Dur pada satu sikap yang tak pernah tergoyahkan: menegakkan Islam yang mengayomi semuanya (rahmatan lil alamin). Gus Dur sering mendapat serangan karena sikap rahmatan lil alamin-nya ini, namun sebagaimana namanya, Addakhil yang berarti sang penakluk, Gus Dur tidak pernah gentar.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur sering mengingatkan agar umat Islam selalu bersikap adil kepada siapa pun, termasuk kepada mereka yang non-muslim, kaum minoritas tak berkuasa, karena minoritas tak berkuasalah yang biasa menjadi korban ketidakadilan. Ia pun menyitir ayat Qur’an yang berbunyi, “Jangan sampai ketidaksukaanmu terhadap suatu kaum membuat kamu bertindak tidak adil.” (Al-Maidah ayat 8).

Semangat keadilan ini pula yang mendasari sikap Gus Dur terhadap kaum Yahudi, yang membuat ia acap disebut agen zionis. Namun tentu saja semua itu gugur, karena sepanjang hidupnya Gus Dur tidak pernah mengecilkan diri menjadi agen kelompok atau aliran mana pun. Banyak orang tidak tahu, bahwa sewaktu kuliah di Mesir, Gus Dur terlibat demo membela pemimpin Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthb, yang dijatuhi hukuman mati oleh Gamal Abdel Nasser.

Gus Dur tidak menyukai kesewenang-wenangan, baik atas nama agama maupun negara. Ia juga tidak menyukai jalan kekerasan, dan oleh karenanya begitu prihatin dan terpukul atas keterlibatan NU dalam pembantaian 65-66. Untuk menebusnya, Gus Dur bertekad menyebarkan sikap toleran dan anti-kekerasan, yang ia buktikan ketika menjadi Ketua Tanfidziyah NU maupun ketika menjadi presiden dengan meminta maaf dan mengusulkan pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tentang Pelarangan PKI dan Ajaran Marxisme.

Tidak ada komentar: