Sabtu, 04 Agustus 2012

Anak Semua Bangsa ~ Buru Quartets


Pramoedya Ananta Toer
Betapa murahnya hidup ini, Ann. Untuk seterusnya kita takkan dapat bicara dan bercengkrama lagi. Kau takkan lagi dengar cerita-ceritaku. Antara kita berdua tinggal hanya sepenggal kenang-kenangan indah, dan semua yang indah saja.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 51)

Biar aku pengagum Jepang, tak pernah kusangka bangsa yang tak pernah dijajah Eropa ini bisa memperoleh kehormatan Internasional begitu tinggi di antara bangsa-bangsa termaju di dunia. Kapal perangnya menjelajahi semua perairan dunia. Moncong meriamnya menuding langit dan laut. Betapa akan bangganya setiap bangsa Asia dengan kehormatan seperti itu. Tidak pernah merangkak berkowtow pada kekuatan asing.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 66)

Sampai dengan masa-masa hidup kita ini, Minke, terus menerus bangsa-bangsa dari utara datang padamu untuk menginjak-injak kau. Ya, sampai dengan masa-hidup kita, Minke. Kau sendiri ikut mengalami. Utara sendiri selalu jadi mata angin keramat bagi bangsamu, sampai-sampai dalam impian. Kan mimpi berlayar ke utara selalu dianggap oleh bangsamu sebagai firasat bakal mati. Kan sejak jaman-jaman tak dikenal bangsamu menguburkan mayatnya ke utara bujur? Kan ideal rumah kalian adalah menghadap ke utara? Kata Papa, karena dari utaralah datang kaki segala bangsa, meninggalkan kalian  setelah jadi buncit, dan sampah-sampahnya yang kalian dapatkan? Dan penyakitnya? Dan hanya sedikit dari ilmunya?
Miriam de La Croix. (Anak Semua Bangsa, p. 67)

Martin Nijman: Angkatan muda Cina yang terpelajar cemburu melihat kemajuan Jepang. Jepang yang itu juga, yang merampas bagian-bagian negerinya. Cemburu! Juga geram dan gusar karena kesadaran yang tak berdaya.
Minke: Seperti aku seorang.
Anak Semua Bangsa, p. 68

Mengapa kau hanya menulis dalam Belanda? Mengapa kau hanya bicara pada orang Belanda dan mereka yang mengertinya? Kau tak berhutang budi sedikit pun pada mereka seperti pernah dikatakan oleh ibumu. Apa yang kau harapkan dari mereka maka kau selalu bicara pada mereka?
Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu.
Kommer lebih mengenal Pribumi daripada kau! Kau tak kenal bangsamu sendiri. Melalui pembaca-pembaca Melayu, yang buta huruf pun ikut jadi tahu. Tergerak perasaan mereka, tersinggung perasaan keadilan mereka ….
Jean Marais. (Anak Semua Bangsa, p. 71-73)

Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan, dan pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu contoh yang dekat –aku, orang desa, tapi bisa juga sewa orang-orang Eropa yang ahli. Juga kau bisa. Kalau mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?
Nenek moyang kita menggunakan namanya yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya –kehebatan dalam kekosongan? Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu tetaplah penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.
Nak, di dunia ini tinggal kau sekarang yang ada padaku. Sendiri begini aku di dunia ini. Hampir-hampir tak tahu lagi aku apa guna masih harus bekerja begini. Sebenarnya aku bisa lewatkan hidup ini tanpa mengerjakan sesuatu apa pun. Tapi perusahaan ini tak boleh mati merana. Dia adalah anakku sendiri, anak pertama. Dia harus tetap sebagai anakku tercinta, sekali pun jatuh ke tangan orang lain. Dia tidak boleh rusak seperti yang lain-lain. Dia tak boleh hanya diperlakukan sebagai sapi perahan. Dia adalah sesuatu yang hidup.
Nyai Ontosoroh. (Anak Semua Bangsa, p. 100-105)

Batu-batu kali, kerikil, dan cadas pun bisa menyatakan perasaannya. Jangan remehkan satu orang, apalagi dua, karena satu pribadi pun mengandung dalam dirinya kemungkinan tanpa batas
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 108)

Perantau-perantau Jepang pulang ke negerinya membawa ilmu, yang dengan rendahhati mau mempelajari apa saja di negeri mana saja mereka mencari penghidupan, dan dibawa pulang menjadi daya pengembang negeri dan bangsanya sendiri. Suatu bangsa membutuhkan ilmu dan pegetahuan, kesadaran akan perubahan, terutama manusia baru berjiwa baru yang rela bekerja untuk bangsa dan negerinya. Ilmu penetahuan hanya syarat. Dengan ilmu-pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. Tuan tahu yang kumaksudkan: Eropa.
Khouw Ah Soe. (Anak Semua Bangsa, p. 116)

Dulu suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai: alam dan manusia sekaligus. Tak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi ….
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 123)

Perasaan tidak enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini kembali bicara ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi dia dan berbaik-baik? Tapi kau sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya. Dia salah seorang dari bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau tulis kalau kausudah mulai belajar mengenalnya!
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 237)

Berapa ratus, ribu tahun turun-temurun mereka tidur seperti ini? Sungguh jenis manusia yang sangat tahan, kuat. Antara sebentar tanganku bergerak membebaskan diri dari gigitan nyamuk dan kepinding. Dan mata tetap tak terpincingkan. Lama-kelamaan aku jadi jengkel dan duduk dalam kegelapan. Tapi nyamuk dan kepinding tidak peduli pada kejengkelanku. Mereka terus juga jahil dan haus darah seakan tak ada makhluk lain yang membutuhkan hidup kecuali mereka. Betapa mahalnya biaya hanya untuk tak didakwa tak mengenal bagsa sendiri. Dan sekiranya aku tidak memberikan uang belanja, mungkin selama sehari ini aku belum lagi makan. Apa sesungguhnya mereka makan sehari-hari? Aku belum lagi tahu.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 254)

Ya, memang belum banyak yang bisa kudapatkan dalam diriku. Jean Marais bercita-cita mengisi hidup dengan lukisan-lukisannya, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis sampai mendapatkan kemashuran sebanyak itu? Hanya untuk memburu kepuasan diri semata? Kau tidak adil, Minke, kalau dengan memburu kepuasan saja bisa mendapatkan kemashuran. Tidak adil! Orang-orang lain bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapat kemashuran, hanya untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa.
Dan kau tidak beda dari orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi dari Trunodongso. Itu kalau kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang, Minke?
Dan teringatlah aku pada Khouw Ah Soe. Dia telah mengisi hidupnya. Juga Pribumi Filipina yang mencoba manghalau Spanyol, mereka telah mengisi hidupnya. Dan menghalau Amerika Serikat.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 279)

Belum jamannya seorang berkaki telanjang mencoba memulai percakapan dengan yang bersepatu. Dalam cerita-cerita nenek moyang, yang berkasut dan bersepatu hanya para pandita dan para dewa. Dan sepatu oleh orang-orang sederhana ini dianggap telah mewakili kekuasaan Eropa, dianggap senyawa dengan senapan dan meriam kompeni. Mereka lebih takut pada sepatu daripada belati dan parang, pedang, atau pun keris, tombak. Kalian hampir-hampir tepat, Herbert, Sarah dan Miriam de la Croix: mereka sudah berhasil dibikin sedemikian rendahnya, oleh bangsa Eropa, oleh pembesar-pembesar Pribumi sendiri. Mereka sudah sedemikian penakutnya, ketakutan sebagai pesangon dari kekalahan terus-menerus selama tigaratus tahun di medan-perang menghadapi peradaban Eropa.
Nah, Kommer, masih juga aku tak mengenal bangsa sendiri? Orang masih akan menganggap aku kurang penuh, tertawa di belakang punggungku, hanya karena aku cuma bisa menulis Belanda? Aku sudah bisa menjawab: biar Cuma secuwil, aku sudah mulai mengenal bangsa sendiri, bangsa tani ini.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 357-358)

Dari lampu-lampu jalanan dapat kulihat mereka menjadi gelisah mengetahui masuknya seorang dokter dalam kehidupan Truno. Ah, betapa yang serba Eropa menganiaya kedamaian batin mereka. Aku merasa tak mampu membuka percakapan lebih lanjut. Sadarlah aku pada adanya jarak berabad antara aku dengan mereka. Jarak berabad! Inilah mungkin yang dikatakan oleh guru sejarah dulu: jarak sosial, boleh jadi juga jarak sejarah. Dalam satu bangsa, dengan satu asal makan dan satu asal minum, di atas satu negeri, bahkan dalam satu andong, bisa terjadi suatu jarak, belum atau tidak terseberangi. Kami seandong berdiam diri dengan gapaian pikiran masing-masing.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 361)

Tidak ada komentar: