Pramoedya Ananta Toer
Betapa murahnya
hidup ini, Ann. Untuk seterusnya kita takkan dapat bicara dan bercengkrama
lagi. Kau takkan lagi dengar cerita-ceritaku. Antara kita berdua tinggal hanya
sepenggal kenang-kenangan indah, dan semua yang indah saja.
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 51)
Biar aku
pengagum Jepang, tak pernah kusangka bangsa yang tak pernah dijajah Eropa ini
bisa memperoleh kehormatan Internasional begitu tinggi di antara bangsa-bangsa
termaju di dunia. Kapal perangnya menjelajahi semua perairan dunia. Moncong
meriamnya menuding langit dan laut. Betapa akan bangganya setiap bangsa Asia
dengan kehormatan seperti itu. Tidak pernah merangkak berkowtow pada kekuatan
asing.
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 66)
Sampai dengan
masa-masa hidup kita ini, Minke, terus menerus bangsa-bangsa dari utara datang
padamu untuk menginjak-injak kau. Ya, sampai dengan masa-hidup kita, Minke. Kau
sendiri ikut mengalami. Utara sendiri selalu jadi mata angin keramat bagi
bangsamu, sampai-sampai dalam impian. Kan mimpi berlayar ke utara selalu
dianggap oleh bangsamu sebagai firasat bakal mati. Kan sejak jaman-jaman tak
dikenal bangsamu menguburkan mayatnya ke utara bujur? Kan ideal rumah kalian
adalah menghadap ke utara? Kata Papa, karena dari utaralah datang kaki segala
bangsa, meninggalkan kalian setelah jadi
buncit, dan sampah-sampahnya yang kalian dapatkan? Dan penyakitnya? Dan hanya
sedikit dari ilmunya?
Miriam de La Croix. (Anak
Semua Bangsa, p. 67)
Martin Nijman:
Angkatan muda Cina yang terpelajar cemburu melihat kemajuan Jepang. Jepang yang
itu juga, yang merampas bagian-bagian negerinya. Cemburu! Juga geram dan gusar
karena kesadaran yang tak berdaya.
Minke: Seperti
aku seorang.
Anak Semua Bangsa, p. 68
Mengapa kau
hanya menulis dalam Belanda? Mengapa kau hanya bicara pada orang Belanda dan
mereka yang mengertinya? Kau tak berhutang budi sedikit pun pada mereka seperti
pernah dikatakan oleh ibumu. Apa yang kau harapkan dari mereka maka kau selalu
bicara pada mereka?
Kau Pribumi
terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin
mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka,
dengan bahasa yang mereka tahu.
Kommer lebih
mengenal Pribumi daripada kau! Kau tak kenal bangsamu sendiri. Melalui pembaca-pembaca
Melayu, yang buta huruf pun ikut jadi tahu. Tergerak perasaan mereka,
tersinggung perasaan keadilan mereka ….
Jean Marais. (Anak Semua
Bangsa, p. 71-73)
Eropa tidak
lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang
ilmu, pengetahuan, dan pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu
contoh yang dekat –aku, orang desa, tapi bisa juga sewa orang-orang Eropa yang
ahli. Juga kau bisa. Kalau mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa
membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?
Nenek moyang
kita menggunakan namanya yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia
dengan kehebatannya –kehebatan dalam kekosongan? Eropa tidak berhebat-hebat
dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu
tetaplah penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.
Nak, di dunia
ini tinggal kau sekarang yang ada padaku. Sendiri begini aku di dunia ini. Hampir-hampir
tak tahu lagi aku apa guna masih harus bekerja begini. Sebenarnya aku bisa
lewatkan hidup ini tanpa mengerjakan sesuatu apa pun. Tapi perusahaan ini tak
boleh mati merana. Dia adalah anakku sendiri, anak pertama. Dia harus tetap
sebagai anakku tercinta, sekali pun jatuh ke tangan orang lain. Dia tidak boleh
rusak seperti yang lain-lain. Dia tak boleh hanya diperlakukan sebagai sapi
perahan. Dia adalah sesuatu yang hidup.
Nyai Ontosoroh. (Anak
Semua Bangsa, p. 100-105)
Batu-batu kali,
kerikil, dan cadas pun bisa menyatakan perasaannya. Jangan remehkan satu orang,
apalagi dua, karena satu pribadi pun mengandung dalam dirinya kemungkinan tanpa
batas
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 108)
Perantau-perantau
Jepang pulang ke negerinya membawa ilmu, yang dengan rendahhati mau mempelajari
apa saja di negeri mana saja mereka mencari penghidupan, dan dibawa pulang
menjadi daya pengembang negeri dan bangsanya sendiri. Suatu bangsa membutuhkan
ilmu dan pegetahuan, kesadaran akan perubahan, terutama manusia baru berjiwa
baru yang rela bekerja untuk bangsa dan negerinya. Ilmu penetahuan hanya
syarat. Dengan ilmu-pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas,
dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu
pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan.
Tuan tahu yang kumaksudkan: Eropa.
Khouw Ah Soe. (Anak Semua
Bangsa, p. 116)
Dulu suatu
bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang
tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan
kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai
individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu
pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai: alam dan
manusia sekaligus. Tak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa
ini kecuali ilmu pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia
yang lebih berbudi ….
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 123)
Perasaan tidak
enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini
kembali bicara ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari
golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi dia dan berbaik-baik? Tapi kau
sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya.
Dia salah seorang dari bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau
tulis kalau kausudah mulai belajar mengenalnya!
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 237)
Berapa ratus,
ribu tahun turun-temurun mereka tidur seperti ini? Sungguh jenis manusia yang
sangat tahan, kuat. Antara sebentar tanganku bergerak membebaskan diri dari
gigitan nyamuk dan kepinding. Dan mata tetap tak terpincingkan. Lama-kelamaan
aku jadi jengkel dan duduk dalam kegelapan. Tapi nyamuk dan kepinding tidak
peduli pada kejengkelanku. Mereka terus juga jahil dan haus darah seakan tak
ada makhluk lain yang membutuhkan hidup kecuali mereka. Betapa mahalnya biaya
hanya untuk tak didakwa tak mengenal bagsa sendiri. Dan sekiranya aku tidak
memberikan uang belanja, mungkin selama sehari ini aku belum lagi makan. Apa
sesungguhnya mereka makan sehari-hari? Aku belum lagi tahu.
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 254)
Ya, memang
belum banyak yang bisa kudapatkan dalam diriku. Jean Marais bercita-cita
mengisi hidup dengan lukisan-lukisannya, bukan hanya menyambung hidup. Untuk
apa aku menulis sampai mendapatkan kemashuran sebanyak itu? Hanya untuk memburu
kepuasan diri semata? Kau tidak adil, Minke, kalau dengan memburu kepuasan saja
bisa mendapatkan kemashuran. Tidak adil! Orang-orang lain bekerja sampai
berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapat kemashuran, hanya untuk
dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa.
Dan kau tidak
beda dari orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi dari Trunodongso. Itu kalau
kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang, Minke?
Dan teringatlah
aku pada Khouw Ah Soe. Dia telah mengisi hidupnya. Juga Pribumi Filipina yang
mencoba manghalau Spanyol, mereka telah mengisi hidupnya. Dan menghalau Amerika
Serikat.
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 279)
Belum jamannya
seorang berkaki telanjang mencoba memulai percakapan dengan yang bersepatu. Dalam
cerita-cerita nenek moyang, yang berkasut dan bersepatu hanya para pandita dan
para dewa. Dan sepatu oleh orang-orang sederhana ini dianggap telah mewakili
kekuasaan Eropa, dianggap senyawa dengan senapan dan meriam kompeni. Mereka
lebih takut pada sepatu daripada belati dan parang, pedang, atau pun keris,
tombak. Kalian hampir-hampir tepat, Herbert, Sarah dan Miriam de la Croix:
mereka sudah berhasil dibikin sedemikian rendahnya, oleh bangsa Eropa, oleh
pembesar-pembesar Pribumi sendiri. Mereka sudah sedemikian penakutnya, ketakutan
sebagai pesangon dari kekalahan terus-menerus selama tigaratus tahun di
medan-perang menghadapi peradaban Eropa.
Nah, Kommer,
masih juga aku tak mengenal bangsa sendiri? Orang masih akan menganggap aku
kurang penuh, tertawa di belakang punggungku, hanya karena aku cuma bisa menulis
Belanda? Aku sudah bisa menjawab: biar Cuma secuwil, aku sudah mulai mengenal
bangsa sendiri, bangsa tani ini.
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 357-358)
Dari
lampu-lampu jalanan dapat kulihat mereka menjadi gelisah mengetahui masuknya
seorang dokter dalam kehidupan Truno. Ah, betapa yang serba Eropa menganiaya
kedamaian batin mereka. Aku merasa tak mampu membuka percakapan lebih lanjut. Sadarlah
aku pada adanya jarak berabad antara aku dengan mereka. Jarak berabad! Inilah
mungkin yang dikatakan oleh guru sejarah dulu: jarak sosial, boleh jadi juga jarak
sejarah. Dalam satu bangsa, dengan satu asal makan dan satu asal minum, di
atas satu negeri, bahkan dalam satu andong, bisa terjadi suatu jarak, belum atau tidak terseberangi. Kami
seandong berdiam diri dengan gapaian pikiran masing-masing.
Minke. (Anak Semua Bangsa,
p. 361)