Salam dari Nunukan..
Iya, saya sedang di Nunukan, pulau kecil di pucuk utara Kalimantan
yang menjadi pulau dengan kegiatan administratif dan roda perekonomian paling
sibuk maupun berpenduduk paling banyak di kabupaten Nunukan yang merupakan
kabupaten perbatasan dengan Sabah Malaysia. Pulau Nunukan memiliki tetangga
pulau Sebatik dimana sepulau kecil bernegara Indonesia dan Malaysia sekaligus.
Entahlah dulu bagaimana sejarahnya kok bisa begitu, kenapa pulau sekecil itu
bisa terbagi menjadi 2 negara. Haha..
Karena Nunukan adalah sebuah border dan pulaunya memiliki
kegiatan ekonomi paling sibuk daripada semua kecamatan di pulau lain, maka di
pulau ini dibangun kantor-kantor yang memiliki akses langsung dengan ibukota
negara Indonesia. Suami saya ditugaskan di pulau ini untuk bekerja di kantor
perwakilan perbendaharaan negara yang konon kerjaannya mencairkan APBN (atau
APBD ya?) di daerah. Saya pernah bertanya, kenapa di pulau yang sungguh
terpencil ini, yang bahkan di peta Indonesia
atau peta dunia nggak kelihatan batangnya pun ada kantor macam
perbendaharaan negara segala? Suami saya bilang, supaya pemerintah pusat
terlihat masih peduli pada daerah perbatasan yang terpencil, yang notabene
merupakan border dengan Sabah Malaysia. Eh, atau mungkin emang peduli sih
karena kabarnya di pulau Sebatik dan perairan sekitar memiliki pegawai bea
cukai yang ditugaskan di sana. Kata kawan di sini, di suatu area bawah tanah
pulau ini terdapat timbunan emas pula. Di pulau ini juga memiliki kantor cabang
penarikan pajak negara (*nggak mau sebut merk*), cuma cabang doank, kantor
utamanya di Tarakan sono, bukan di pulau kecil ini. Tarakan juga termasuk
Kaltara tapi lebih accessible dengan
“dunia luar” karena memiliki rute direct
flight dengan Jakarta dan Balikpapan meskipun jarang-jarang. Haha..
Saya sendiri tahu ada daerah di Indonesia bernama Nunukan
setelah calon suami saya waktu itu bilang kalau dia memperoleh SK kerja di
Nunukan. Kalah tahu sama Bapak saya yang tak paham internet, beliau tahu
Nunukan karena terkenal bersama kata perbatasan di Kalimantan bagian utara.
Saya tak terlalu terkejut sewaktu mendapat kabar calon suami
saya ditugaskan di pulau kecil ini, karena saya pikir dia tidak akan selamanya
bertugas di sini dan lagi pula saya juga berencana untuk melanjutkan S2 di
Belanda. Jadi, saat dia kerja di Nunukan, saat itulah saya di Belanda. Selain
itu dulu saya pikir, merantau ke luar pulau sesaat itu bagus karena dapat
menambah pengalaman hidup bagaimana rasanya merantau jauh ke ujung negara,
ujung benua, ujung dunia. Namun takdir berkata sedikit lain, bahwa calon suami
saya belum jadi merantau ke luar Jawa secepatnya waktu itu karena tenaga dan
pikirannya masih dibutuhkan di ibukota. Alias, suami saya ditangguhkan di
Jakarta selama 2 tahun untuk membuat sistem akuntansi pelaporan keuangan di
kantor perbendaharaan pusat bagi semua satuan kerja pemerintahan di seluruh
Indonesia. Sepertinya bukan pekerjaan yang santai, karena suami saya sering
kerja lembur dan tak pernah ambil cuti yang membuatnya jadi terkesan workaholic bagi saya. Bahkan seusai pernikahan dengan
saya, dia tidak ambil cuti dan langsung bertugas ke Malang selama 4 hari
meninggalkan saya, sampai sehari sebelum keberangkatan saya ke Belanda baru
ambil libur sehari. Ohkay.. I think that’s enough. Suami saya kembali sibuk
lagi selama setahun saya di Belanda sehingga jarang ada waktu untuk melakukan video call. Ah, untung masih ada
Whatsapp.. meskipun balesnya telat-telat seenggaknya masih berhubungan satu
sama lain walau terpisahkan jarak bermil-mil jauhnya. Liburan musim panas saya
memutuskan untuk balik ke Indonesia sekalian merayakan idul fitri bersama keluarga besar dan bertemu sanak
saudara lain. Sudah sejak beberapa bulan sebelum arrival saya di Indonesia, suami saya memberitahu kalau bulan Juli
adalah batas waktunya untuk mulai
bekerja di Nunukan sesuai SK dari bagian kepegawaian 2 tahun lalu. Saya
sih biasa saja, toh merantau adalah kehidupanku selama 2 tahun ini, umur juga
masih 24/25, jadi mau kemana pun ayok aja. Masih ada waktu 2 minggu di kampung
halaman sebelum touchdown tempat
kerja barunya suami. Kami pun menghabiskan waktu tersebut untuk menikmati
nyamannya hidup di kampung halaman yang dekat dengan ayah ibu kami. Ngobrol
sana sini, bersepeda ke gunung, pergi ke pasar, memasak bareng ibuk, nostalgia
ke Klaten, Jogja, dan Solo.
Aku tinggal di daerah Nunukan Timur dan termasuk dataran
tinggi relative terhadap dataran lainnya meskipun dekat laut. Aneh memang.
Kabarnya sinar UV di sini memiliki level cukup tinggi, sehingga orang-orang
daerah sini memiliki kulit coklat kehitaman. Perantau berkulit kekuningan di
sini pun kulitnya akan cepat menghitam kalau tidak memakai tabir surya.
Gara-gara pernah hidup di Belanda, sampai Indonesia saya berkulit lumayan
kuning.. haha. Di Indonesia aku jadi gemar ber-sunscreen ria karena ternyata pigmen kulit saya sangat aktif.
Sebelum ke Belanda aku orang yang masa bodoh sama warna kulit pribadi, jarang
memakai pemutih atau sunscreen karena
tidak suka mempunyai kulit lengket-lengket akibat lotion apa pun, mengingat di negeri tropis ini sangat lembab dan
kebanyakan produk kecantikan bikin kulit makin lembab dan berminyak.
Entah kenapa di Nunukan ini aku gemar tidur siang (*nasib
kerjaan tesis terhambat!*). Kalo nggak tidur rasanya capek banget, lalu malam
harinya tidur cepet, habis isya’ langsung nggak kuat melek. Ohya, di sini masuk
ke WITA, namun waktu sholatnya tidak seperti WIB walaupun seharusnya menurutku
lumayan masuk ke WIB. Karena, pukul 4.45 pagi baru shubuh, pukul 12.30 baru
dzuhur, pukul 3.30 baru asar, pukul 6.30 sore baru maghrib, dan 7.30 sore baru
isya’. Waktu sholat memang nggak bisa bohong, karena relative terhadap waktu
siang dan malam, meskipun standar jam relative terhadap waktu GMT. Cuaca di
sini sangat tidak bisa terprediksi. Dalam satu hari bisa hujan deras 2 kali dan
panas terik menyengat sekaligus, setiap hari, meskipun di bumi Jawa sedang
dilanda musim kering. Saat matahari bersinar terang-terangnya, tiba-tiba
gumpalan awan hujan datang meliputi seluas langit terpandang lalu hujan deras
berjam-jam, lalu panas lagi. Yang membuatku terpesona adalah langit di sini
terlihat sangat biru dan lebih luas daripada di Jawa, awan terlihat putih
jelas, kalau malam bintang dan bulan terlihat lebih besar dan terang, terkadang
kelihatan pula bintang-bintang jatuh, kalaupun sedang mendung maka awan akan
terlihat membayang-bayang.
Dengan cuaca yang sering hujan, aku heran mengapa
orang-orang di sini tidak menanam padi. Harga beras mahal lho, beras dari Jawa
rata-rata 5 kilo seharga 65ribu rupiah. Banyak sekali merk beras yang dijual di
toko kelontong, campuran produk Malaysia, Indonesia Jawa, dan Thailand. Kalau
kata suami karena masyarakat sini banyak sekali orang Bugis yang tidak suka
bercocok tanam, melainkan suka berdagang. Setelah mempertimbangkan untung rugi,
menanam padi bukanlah pekerjaan strategis yang dapat menghasilkan uang banyak
(mungkin). Berbeda dengan orang Jawa yang gemar bercocok tanam meskipun uang
yang dihasilkan tidak seberapa. Ah, jadi teringat almarhum Mbah Munir yang dulu
hidup di desa mBabad Trucuk, hidupnya sederhana bersama Mbah Ummi Kultsum sampai
tua dengan kelima anaknya, bekerja hanya mengandalkan cocok tanam, menanam padi
dan segala sayuran di ladang, makan juga dari hasil panen sendiri.
Selain beras, mari membicarakan sayuran. Masyarakat di sini
lumayan gemar menanam sayuran, terutama masyarakat asli Nunukan dan pendatang
dari Jawa. Namun sayuran dan buah yang ditanam hanya terbatas pada kangkung, bayam,
daun singkong, cabe, daun menir, papaya, pisang, durian, semangka, rambutan,
mangga, buah naga dan entahlah yang lain, saya belum sempat mengekplorasi
lagi.. mungkin bayam juga termasuk salah satunya. Namun lagi, para pedagang
sayuran menjual sayuran dengan harga serba “lima ribu dapat dua” contohya bayam
dan gambas, serba “lima ribu dapat tiga” contohnya tahu, tempe dan telur, “lima
ribu dapat satu” contohnya wortel (itu pun wortel yang sudah tidak segar lagi).
Sebagai pendatang anyaran dari Jawa, tentu saya rada syiok dengan harga para
kebutuhan pokok tersebut. Kelihatannya, untuk perantau seperti saya yang juga
sudah sampai Eropa, memang harus tidak mematok standar suatu harga bila ingin
hidup berkecukupan gizi terlepas dari seberapa besar pendapatan per-bulan. Di kompleks
rumah yang saya tinggali terdapat kebun belakang yang ditanami sayuran seperti
kangkung, terong, pandan, papaya, dan jeruk purut. Lalu ada pula pohon
belimbing dan pohon mangga di depan rumah. Ya mungkin memang itu solusinya
dalam menghemat pengeluaran makan yang harga bahan mentahnya cukup mahal,
bercocok tanam sendiri! Kasian sekali penduduk di sini, harus membayar mahal
untuk makan makanan bergizi dan beraneka ragam. Segala bahan kebutuhan banyak
didatangkan dari pulau lain dan harus diangkut dengan kapal. Terutama untuk
sayuran dan buah yang hanya bisa ditanam di pegunungan karena di sini bukan
daerah pegunungan yang sejuk. Mau nyari brokoli dan kecambah pun juga susah,
padahal kan itu sayuran kece badai dilihat dari segi nutrisinya, udah terbiasa makan
itu pula aku. Owh.. jadi PR buat para agro-scientists
donk, gimana membuat sayuran dan buah tropis yang bisa lebih tahan lama agar
dapat didistribusikan merata ke seluruh Indonesia tanpa khawatir cepat busuk,
kalau perlu ke seluruh dunia. Mereka para ilmuwan itu pada dimana sik.. kok PR
kayak gini nggak kelar-kelar. Eropa aja udah khatam. Ada banyak temen kuliah di
Wageningen Uniersity sama Cornell University belajar agro-teknologi, cepetan
pulang woy! Ada PR gedhe menyangkut hajat hidup orang banyak nih.
Air. Di Nunukan, baru awal tahun ini diadakan pengadaan PAM
(perusahaan air minum). Air sumur jarang-jarang karena katanya airnya tidak
bersih, kuning kotor seperti berkarat. Sebelum ada PAM, masyarakat mengandalkan
air hujan untuk mandi. Atau kalau tidak ada air hujan, mereka mandi pakai air
suling yang dibeli pake gallon, satu gallon berharga 6 ribu. Air gallon
tersebut juga dipakai untuk sumber air minum sampai sekarang.. rasanya? Jauh
nggak enak dari air dari mata air di Cokro Tulung Klaten sono. Namun daripada
nggak minum toh, dienak-enakin sendiri deh di mulut. Tapi ngomong-ngomong aku
mendapati air bening lho, di sungai daerah hutan Binusan sana airnya bening
asalkan tidak tercampur lumpur kecoklatan. Di sini pasirnya berupa lumpur
coklat, tidak memiliki gunung sih.. Tak punya pasir hitam atau pasir putih,
jadi airnya terlihat seperti air Milo. Padahal, sesungguhnya bening. Hmmh… aku
masih juga tak paham tentang ilmu perairan. Mengapa di tanah dekat laut gini,
yang tiap hari hujan gini, yang airnya tumpah-tumpah dan mbleber di laut gini,
mau minum dan mandi dengan benar dan nyaman aja sulit. Haha.. ya, manusia hidup
memang tidak bisa sekonyong-konyong tinggal hidup aja. Kita masih perlu
teknologi dan budaya, coy. Manusia sekarang memiliki standar berbeda dari manusia
jaman dulu untuk hidup. Jangan berhenti belajar, berpikir, dan berinovasi!
Demikian reportase kehidupan di pulau Nunukan dari saya
selama seminggu pertama tinggal di sini. Tulisan ini akan berlanjut jikalau ada
hal lain yang saya temukan dan menarik untuk ditulis di sini, dan yang
terpenting yaitu jikalau saya tidak sedang malas menulis. Maafkan untuk mood
yang sering berubah ini.
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar