Apakabar?
Bulan November ini saya menghabiskan
hari Sabtu untuk pergi ke luar kota. Sebenarnya saya ingin lebih mengeksplorasi
Nijmegen yang cantik, mungil, romantis, dan tua ini. Namun karena kesempatan
memiliki partner plesir lebih jarang, maka sekali ada partner berplesir maka
saya akan ikut kemana mereka pergi. Memiliki partner bepergian sangat penting
bagi saya, karena bila saya pergi sendirian, I have nothing to do although it
is in a well-known place that you know every path of that town as if you know
the path of your hand. Mengapa harus bepergian? Jawaban saya adalah sebuah
pertanyaan, “Buat apa saya jauh-jauh naik pesawat dan belajar di Belanda kalau
saya hanya stuck di satu tempat? The world is too beautiful to be
left-unexplored! It can drain your balance though, but it is worth to find
something new that can pop up from our mind after seeing the world outside. A
partner is important to help us gain the idea by two-way interactive
communication.” Jadi partner plesir membuat kita tidak merasa “allienated” di
tempat asing. Saya memiliki beberapa partner bepergian di sini. Rizka dan Falma
adalah dua orang yang sering menjadi teman saya bepergian karena memang tiap
minggu mereka tidak pernah tidak ke luar kota. Sehingga ketika saya memiliki
waktu, maka saya akan ikut kemana mereka pergi. Mereka berdua memiliki tipe
selera yang sama, termasuk Jehan. Mereka bertiga dari Jakarta, dan seperti anak
Jakarta pada umumnya, easy going dan gaul. Kemudian ada mas Ferry, orang yang
Sunda-nya kelihatan banget. Dia perfeksionis, memiliki banyak barang ber-merk
terkenal. Kalau pergi harus well-planned dan sangat menikmati setiap langkah
kakinya jalan-jalan di kota-kota di Eropa sambil memotret sana sini. Berbeda dengan Rizka, Falma, Jehan
yang kalau jalan sangat cepat dengan prinsip asalkan sudah mengambil gambar
diri mereka (dan gambar-gambar bangunan) di tempat “iconic”, maka sudah afdhol.
Saya banyak menumpang gambar diri saya di kamera mereka, hehe. Rizka, Falma,
Mas Ferry masing-masing memiliki kamera dengan lensa yang bagus, seperti
kamera-kamera a la fotografer. Saya hanya memiliki kamera pocket saja karena
memang saya terlalu malas bawa barang berat kemana-mana.
Yang paling saya nantikan ketika
jalan-jalan adalah bila teman plesir yang bernama Fuji ikut. Dia berasal dari
Kotagede Yogyakarta yang kalau bercerita bahasanya aneh karena sudah lupa
bagaimana meenggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
semenjak dia banyak berinteraksi dengan banyak imigran dan orang Eropa di sini
sehingga bahasanya campur-campur dengan pilihan kata nggak karuan. Dia lulusan
Antropologi FISIPOL UGM dan menjadi lulusan terbaik jurusannya di periode
wisuda pada November 2012. Entah mengapa dia selalu bercerita hal-hal yang
membuat saya antusias. Segala ceritanya menyimbolkan bahwa betapa Antropolog
itu sangat berperan penting bagi peradaban umat manusia. Bagi saya yang seumur
hidup mempelajari ilmu-ilmu hayati, hal tentang sosial humaniora menjadi sangat
menarik bagiku bila diceritakan oleh Fuji. Saya tidak suka cara guru sosial
humaniora mengajar di kelas yang menurut saya membosankan dan tidak menarik
minat saya untuk mempelajarinya. Lewat Fuji, saya mau mendengarkan setiap kata
demi kata dengan ekspresinya yang khas mulai dari kehidupan manusia di Jogja,
di Jakarta, di Sumatra (Batak, Padang, Aceh, dll), Suku Dayak, Orang Madura,
kehidupan orang Suriname, Belanda modern, Belanda kuno, Jawa dari Majapahit
sampai Mataram, perbedaan Polinesia sampai Melanesia, asal muasal ide cerita
Sponges Bob, Sri Lanka, Kubilai khan, dan masih buanyak lagi. Sampai-sampai saya
ingin merekam omongannya namun kok rasanya aneh.. Haha. Baiklah, saya
menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial humaniora tidak menarik bila disajikan
secara formal di kelas dengan harus mengikuti ujian untuk lulus bila mau
mempelajarinya. Ilmu yang penuh perspektif karena mempelajari perilaku manusia
dengan isi otaknya yang berbeda satu sama lain. Masak iya, harus lulus dalam
mata kuliah tertentu ketika kita menggunakan perspektif dalam menjawab permasalahan.
It doesn’t make any sense. Saya lebih suka mempelajari ilmu sosial lewat
cara-cara informal seperti mengobrol secara interaktif dimana saya akan selalu
bisa bertanya secara langsung dan menginterupsi cerita di tengah bila saya
mulai tidak paham dan tidak merasa logis. Saya akan mendebat bila saya mulai
paham dengan ide baru, langsung ke orang yang menyajikan ilmunya ke saya.
Berbeda dengan ilmu hayati yang saya pelajari, saya pikir ilmu tersebut harus
dipelajari secara formal di kelas dengan detail yang sedemikian rupa. Teori di
ilmu hayati tidak melulu didasarkan pada perspektif melainkan bukti nyata yang
harus bisa dikembangkan di labortorium. Tidak fleksibel memang, namun saya
menyukai untuk mempelajarinya, di kelas.
Hari ini saya menerima ajakan Fuji
berkereta ke Leiden, bertolak dari Nijmegen, kami transit di Utrecht dan harus
berlarian mengejar kereta di platform lain dengan harus naik eskalator dan
turun eskalator dengan jarak yang jauh yang mana kereta hanya transit selama 4
menit, saya pikir 4 menit tidak cukup bagi kami mengejarnya bahkan dengan
berlari. Apalagi kereta di sini sangat tepat waktu. Dari Utrecht, kami menuju
Amsterdam untuk transit lagi dan akhirnya 30 menit ke Leiden dari Amsterdam.
Sebelum berkereta, saya mempunyai kebiasaan membeli satu gelas besar Latte
Machiatto panas di Albert Heijn di dalam stasiun untuk diseruput pelan-pelan
sampai habis di dalam kereta. Kalian tahu? Sangat nikmat, apalagi ini musim
dingin. Kami memilih tempat duduk “non-silent corridor” karena saya ingin
mendengarkan cerita Fuji di dalam kereta untuk mulai aktif mempelajari manusia.
Di dalam kereta kami melihat betapa
tanah di Belanda ini masih kosong luas sekali, hijau dengan banyak kanal dari
ukuran 2 meter sampai puluhan meter lebarnya. Seringkali terlihat sapi dan kuda
makan rumput, seringkali terlihat banyaknya kincir angin, windmill, dll. Orang
Jawa tidak tahan melihat tanah kosong, mereka akan berpikir bagaimana caranya
membeli tanah tersebut dan dibangun rumah megah nan mewah bak istana raja atau
sekedar diwariskan ke anak-cucu. Sampai heran, kok bisa orang Jawa seperti itu.
Meskipun tidak bisa digeneralisir, namun begitulah menurut kami. Orang Jawa
terkenal dengan keahliannya membuka lahan hutan untuk dijadikan pemukiman.
Sedangkan orang luar Jawa termasuk Kalimantan atau Papua, mereka akan
menjadikan hutan sebagai apotek hidup, menanamnya dan menjaganya tetap awet.
Sampai-sampai Antropolog kolonial jaman Hindia Belanda kreatif untuk
mengungsikan orang Jawa ke Suriname dan membiarkan orang Jawa berkreasi dengan
keahliannya membabad hutan dan menjadikannya pemukiman. Kita bisa melihat di
desa-desa di Jawa bagaimana satu kelurahan isinya satu saudara dekat semuanya.
Betapa orang Jawa kental dengan kekeluargaannya. Jaman dahulu mereka tidak mau
jauh dari keluarga, memilih untuk tinggal dekat dengan orang tua sampai tua
dikubur di tanah kelahiran bersama saudara mereka yang lain yang sudah
mendahului wafat. Saya termasuk orang yang merasa aneh jauh dari orang tua,
ingin berada di dekat mereka sampai mereka tiada dan di kubur dekat dengan
makam mereka suatu waktu nanti. Saya Jawa asli. Berbeda dengan orang di Eropa,
mereka terbiasa hidup individualis sejak kecil dan hidup sendiri sejak 18
tahun. Memiliki tanah untuk rumah tidak terlalu besar, kalau mati akan
menyumbangkan bagian tubuh mereka untuk keperluan penelitian dan tidak untuk
dikubur. Saya jarang menjumpai ada kuburan di sini, ada namun tidak banyak. Saya ingat cerita bahwa ada banyak orang Jawa yang sudah memesan tanah petak kuburannya di desa tempat kelahirannya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka dan orang-orang melihat "rumah masa depan" alias kuburan mereka sendiri. Orang Jawa menyukai memiliki banyak anak dengan jarak usia yang dekat satu sama
lain hingga pulau Jawa sangat padat. Orang Eropa memiliki anak ketika umurnya 30 ke atas
dan hanya 1 atau 2 dengan jarak usia yang cukup jauh. Belanda sampai sekarang
hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 16 ribu, dan itu pun termasuk
imigran-imigran di dalamnya. Sehingga saya berpikir, program transmigrasi dan
KB itu penting. Namun kembali lagi, bahwa mengatur manusia tidak semudah
mengatur benda mati. Manusia adalah makhluk berbudaya dan kita tidak bisa hidup
tanpa budaya termasuk saya. Akan sangat sulit bila tiba-tiba saya harus hidup
di pulau Natuna, terasing dan tidak bisa mengunjungi ayah-ibu semau saya suka.
Saya ingin memiliki 4 anak agar rumah saya ramai dan ketika saya tua saya tidak
merasa seperti zombie kesepian di rumah tua sendirian seperti nenek
kakek di sini. Kalau saya memiliki banyak anak, maka hidup saya lebih berwarna.
Itu perspektif saya, sebagai orang Jawa. Tidak salah dan tidak boleh
disalahkan. Betapa ilmu sosial itu penuh perspektif, tidak bisa dirumuskan
dengan mutlak. Mempelajari ilmu sosial secara formal di kelas tidak akan
menyelesaikan masalah. Kita harus membaca, melihat, merasakan apa pun di mana
pun untuk menggali ide dan memecahkan masalah.
Banyak lagi cerita tentang manusia dan
kemanusiaan yang kami bicarakan hari ini. Sampai museum kami pun sibuk mengobrol
tentang setiap benda, gambar, video dan semua instalasi di dalamnya selama 3
jam dan tidak selesai. Kami harus keluar sebelum gelap untuk sekedar berfoto di
kanal-kanal Leiden yang mungil dan cantik serta membeli makanan Turki yang
murah untuk mengganjal perut yang kelaparan. Kami jalan-jalan hingga pukul 7
malam di centrum Leiden yang sepi dan gelap dengan suhu 3º C seperti kalkun
jalan-jalan di dalam kulkas. Tangan dan kaki beku karena lupa membawa sarung
tangan tebal sampai tidak bisa banyak memotret gedung-gedung Leiden yang tua
dan eksotis. Menarik sekali pokoknya. Saya akan bercerita lebih panjang lagi
kalau pikiran saya sedang kosong dari pekerjaan di laboratorium.
Nantikan ya.. See you in the healthy
body.
Vossendijk, 30 November 2014
Pukul 2.00 am