Dua hari lalu
saya ikutan kuis Terasolo tentang Wedangan. Kuisnya bertemakan “Power of
Culture” dengan pertanyaan “Kalau kamu dapat
kesempatan buat buka #Wedangan , kamu mau bikin wedangan yang seperti apa?”, dan inilah jawaban
saya:
Di malam tahun baru ini, Terasolo mengumumkan pemenangnya. Here it is:
Tak menyangka ideku mendapat apresiasi, karena dari kecil aku tumbuh
menjadi seorang anak yang kurang kreatif menilik ayah-ibu bukan orang yang ”masa
kini”. Ibu adalah pribadi yang lebih sering “hidup di masa lalu”. Ayah adalah
seseorang yang ingin maju,namun tak banyak mengenal sarananya. Berbekal
semangat dari ayah dan karena aku merasa kurang kreatif, di saat remaja aku
menjadi gemar membaca buku dan majalah yang seadanya. Koran Solo Pos menjadi
langgananku pula demi menjadikan diri ini seseorang yang kreatif. Aku pun
memesan beberapa film kepada Mbak Lika, yang sedang kuliah di Jogja, untuk aku
tonton di rumah ketika weekend. Namun
masih saja, meskipun beberapa ide muncul ketika diperlukan, aku masih kurang
dapat mengeluarkannya dari dalam kepala. Aku pendiam, terkadang itu menjadi
masalah, meskipun sekarang aku agak “speak up my mind”.
Well, back to the main topic. Aku merasa aku bisa memenangkan kuis
Terasolo di atas. Awalnya, aku kesulitan menggali ide. Wedangan, suatu hal yang
kugemari, namun aku melakukan wedangan dengan konsep yang biasa-biasa saja,
nggak ada yang spesial. Aku sering wedangan di warung sendirian dan terkadang
bersama kawan bila ia juga gemar sepertiku. Nggak banyak temanku yang mau
berdiskusi mengenai suatu pokok masalah dibarengi dengan wedangan. Kebanyakan
kami hanya ngobrol apa yang menjadi kegiatan sehari-hari, ngobrolin gosip, dan
itu nggak spesial. Jadi, nggak ada ide.
Lalu, terlintas di kepala, Ibu memiliki rumah Joglo dan gebyok antik
peninggalan nenek. Bulan lalu aku menginap di rumah salah seorang temanku yang
memiliki rumah Joglo dan kebun yang sangat luas dengan buah-buahannya yang sedang
ranum, kami mengobrolkan mimpi kami dengan masing-masing menyeduh wedang jeruk
anget di atas dipan kayu beranyaman. Suasananya saat itu sore hari dan sehabis
gerimis. Bau tanah basah menambah harum, suara gemericik air dari bambu yang
dipakai untuk saluran air menjadi iramanya. Sungguh syahdu. Mirip suasana di
rumah nenek.
Terlintas pula memori saat-saat aku berada di Klinikkopi di sekitaran
Yogyakarta. Sempat aku ingin memiliki rumah dengan gaya bangunan di kafe
tersebut dengan rumah panggung “woody frame style” yang dikelilingi ratusan
pohon jati. Seperti apakah itu? Coba cari gambar bangunannya. Terimakasih
kepada Mr. Enade yang telah menggiringku kesana dulu. Kami berdiskusi sesuatu
yang sangat kuinginkan di masa depan untuk aku kuasai teori dan tekniknya. Sangat
nikmat menyantap pahitnya "Wamena Low Coffein Americano" buatan mas Pepeng yang
dibuat handmade dengan bantuan seperangkat alat pemeras espressonya. Wedangan
menjadi semakin nikmat menjadi-jadi. Bayangkan rumah panggung kayu seperti gaya
rumah di Sumatra khas Indonesia, memiliki frame-frame kaca yang luas dan dapat
dibuka selebar-lebarnya seperti sebuah sanggar khas kontemporer, beserta
rindang pepohonan Mangrove khas area tropis dengan semilir angin yang
menggoyangkannya. Suara gesekan dedaunan, meskipun nggak semerdu pohon bambu,
menjadi backsound di sela-sela obrolan para penikmat wedangan. Euh.. ini baru yang
namanya Power of Culture, bukan? Setau saya, tidak banyak wedangan dengan
konsep demikian.
Ide yang ketiga. Pernah suatu kali menonton film "Architecture 101"? Sejak
saat itu saya mengoleksi bacaan terkait rumah dengan konsep “Green Roof”. Salah
satu mimpi saya adalah memiliki rumah dengan desain Green Roof. Salah satu
teman saya di kampus menyebut saya cukup visioner. Betapa tidak, dengan background ilmu tentang obat, namun saya
juga menaruh perhatian besar tentang sebuah desain bangunan. Penelitian saya di
kampus mendukung aplikasi Go Green atau Green Chemistry sehingga saya
menggunakan bahan kimia minimalis dan alat praktis semacam microwave dalam mendesain dan mensintesis obat. Ide yang cukup
kreatif dan jarang diaplikasikan di Indonesia. Tak terkecuali pemikiran tentang
bangunan rumah. Bila saya ingin hidup di kota, maka konsep Go Green juga
menjadi dasar pertimbangan. “Green Roof” adalah solusinya. Untuk orang seperti
saya yang menyukai wedangan baik sendiri maupun bersama kawan ngobrol, Green
Roof akan menjadi tempat pilihan bagi saya untuk bisa menikmati wedangan dengan
pikiran yang santai. Bayangkan sebuah kedai wedangan dengan konsep Green Roof,
lesehan, pelanggan diberi kebebasan untuk membuat sajiannya sesuai seleranya
sendiri dengan diakomodir sang pemilik kedai wedangan. Bisa juga disediakan
dipan balok-balok kayu untuk yang tidak suka duduk lesehan. Kedai berlokasi di
dekat Bandara yang tentu saja sewaktu-waktu pesawat dapat tinggal landas maupun
landing di atas kita. Rasanya? Saya dulu sering membaca buku di area terbuka
Angkasa Pura AAU Yogyakarta. Awalnya ketika merasakan pesawat tepat berada di
atas kepala saya dengan jarak yang hanya puluhan meter, maupun ketika pesawat tinggal
landas mengarah ke kita, perasaan sangatlah berdesir-desir seperti sedang
hysteria. Namun kelamaan menjadi terbiasa. Hal ini akan menjadi daya tarik
sendiri bagi pelanggan. Atau konsep Green Roof dengan pemandangan hamparan luas
pantai berpadu cakrawala langit seperti di San Diego, US. Suasana telapak kaki
dingin karena tanah berumput, angin semilir, dan atap biru langit sore maupun
atap hitam langit malam dengan bintang gemintang dan cahaya bulan akan membuat
suasana wedangan menjadi sempurna. Hiasan lentera antik gaya tradisional,
eropa, maupun kontemporer dengan pencahayaan yang remang-remang akan menjadikan wedangan terasa elegan. Menarik
bukan?
Namun, saya pun mengapresiasi salah satu ide nominee yang lain. Yaitu
wedangan di dalam Bus. Saya teringat film "Stairway to Heaven" dimana ada adegan kencan menonton film menggunakan properti berkonsep
movie box di dalam bus. Kedai wedangan di dalam bus dapat selalu berpindah
ke tempat-tempat sesuai pesanan kita, dengan box load pelanggan yang dapat
diatur desainnya. Sambil wedangan sambil traveling. Sangat menarik.
Anyway, Thanks to Terasolo who had broadened my mind! ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar