Minggu, 17 Juni 2012

Pengkhianatan


Mengamati kehidupan orang-orang. 

Cerita pertama. Ada salah seorang tetangga desa yang sepertinya sedang menjadi korban pengkhianatan suaminya. Masalahnya bukan karena si suami selingkuh dengan wanita lain, saya tidak tahu mengenai hal itu, hanya saja maksud pengkhianatan di sini lebih pada pengkhianatan akan sebuah pengorbanan dan kepercayaan sang istri. Riwayatnya, dulu sang istri pernah meninggalkan suaminya yang pertama karena jatuh cinta kepada laki-laki yang sekarang manjadi suaminya. Mereka berdua menjalin kehidupan rumah tangga yang mungkin awalnya bahagia, mempunyai anak, kehidupan ekonomi pun lancar jaya. Ekonomi rumah tangga mereka setahu saya berada di bawah komando sang istri, dengan kata lain, sang istrilah yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka. Sedangkan si suami, entahlah, tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Konon, mereka menjalankan bisnis yang modalnya didapatkan dari hutang bank. Dengan bisnis yang lancar jaya seperti itu, tentu saja seharusnya hutang bank dapat dikembalikan dengan mudah. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Ada faktor lain yang membuat hutang bank tidak tertutupi, yaitu pengkhianatan si suami karena si suami menggelapkan uang yang digunakan untuk membayar hutang bank, digunakan untuk hal-hal yang menurut norma masyarakat tidaklah baik. Dikarenakan kepercayaan sang istri kepada suaminya, sehingga si suamilah yang disuruhnya mengembalikan hutang bank. Akibatnya, rumah mereka berdua kini dilelang bank yang bersangkutan. Rumah yang sudah terkenal alamatnya kepada para pelanggan bisnisnya, sungguh amat disayangkan bukan? Apa ini yang namanya karma karena si istri pernah mengkhianati suaminya yang pertama? Suami yang mencintainya apa adanya yang kemudian ditinggalkannya karena tidak dapat memberinya keturunan, suami yang pada akhirnya meninggal dunia karena menderita penyakit leukemia yang telah lama disembunyikannya kepada sang istri dengan dalih supaya istrinya tidak meninggalkannya? Namun akhirnya ditinggalkannya ia, menyedihkan sekali kisah suami pertamanya…


Cerita kedua. Ada seorang direktur perusahaan yang cerdas dan sukses membesarkan perusahaannya mulai dari Nol. Perusahaan tersebut kini sudah berjalan hampir 10 tahun dan telah cukup besar. Direktur tersebut memiliki beberapa orang kepercayaan, dan diberikannya beberapa kuasa dalam mengendalikan perusahaan dengan berbagai pertimbangan tentunya. Akan tetapi, sebaik-baik rencana manusia pastilah ada sesuatu yang luput. Hingga pada akhirnya, salah seorang kepercayaannya seolah-olah mengendalikan perusahaan penuh. Ia menjadi berubah, haus akan kekuasaan. Politik jelek pun bermain di sini. Dikarenakan direkturnya baik hati, dimanfaatkanlah kebaikannya oleh salah seorang kepercayaannya tersebut untuk mengendalikan perusahaan. Sebelum sang direktur sadar penuh dengan apa yang sedang terjadi, muncullah fitnah dari seorang karyawannya. Hal ini tentu saja sungguh menguntungkan orang kepercayaannya tadi untuk mengambil alih penuh roda perusahaan. Akhirnya, diusirlah sang direktur, dengan kata lain ia dipecat. Saham-sahamnya pun dinon-aktifkan. Ini soal pengkhianatan juga, kan? Semua terjadi diluar kontrol sang direktur karena menyangkut fitnah. Apalagi yang dapat dilakukan sang direktur? Kepercayaan dari orang-orang tidak punya, harta diambil dengan paksa, istri pun belum punya. Mengapa istri saja ia belum punya? Karena jiwa raganya dulu telah dibaktikannya kepada perusahaanya. Kejam sekali bukan dunia ini? Namun, pada akhirnya sang mantan direktur memulai segalanya kembali dari Nol. Kabarnya, mantan direktur yang cerdas tersebut akan mendirikan perusahaan saingan, ia berhijrah dari keterpurukan dengan segala daya dan upaya. Baiklah, mari kita doakan semoga ia sukses seperti sediakala.


Cerita ketiga. Ini bukan cerita kehidupan asli, melainkan cerita dari Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Cerita mengenai salah seorang tokoh di sana, Nyai Ontosoroh. Kita tahu, bahwa Nyai Ontosoroh adalah seorang gundik dari seorang Belanda, Tuan Herman Mellema. Awal kehidupannya dengan Herman Mellema memang dipenuhi dengan ketakutan dan goncangan jiwa. Akan tetapi pada pertengahan hidupnya, Nyai Ontosoroh mulai meyakini dan menghormati Herman Mellema karena kesabaran dan kebaikannya mengajari Nyai Ontosoroh tentang kehidupan yang kebanyakan orang Pribumi saat itu pun sulit untuk mengerti dan memahami. Nyai Ontosoroh menjalankan bisnis rumah tangga yang tergolong besar untuk ukuran rumah tangga, karena menjadi pemasok hasil pertanian, perkebunan, hutan, maupun peternakan. Atas ajaran dari Tuan Herman Mellema, Nyai Ontosoroh menjadi pebisnis wanita yang berhasil, ia pun juga menjadi wanita pribumi yang cerdas dan berpikiran terbuka mengenai segala hal, seorang otodidak yang sangat sukses. Akan tetapi dikarenakan suatu hal, ia pun harus mengalami goncangan jiwa untuk yang kedua kalinya, yaitu hilangnya kepercayaannya kepada Herman Mellema. Herman Mellema seketika berubah menjadi orang asing bagi Nyai Ontosoroh dikarenakan tidak mampu menjadi ayah yang baik bagi kedua anaknya, tidak bisa lagi menjadi Herman Mellema yang dulu pernah mengajari Nyai Ontosoroh dengan sabar dan baik hati. Herman Mellema, karena tak dapat mengendalikan keadaan pribadinya, akhirnya menjadi penyebab kehancuran Nyai Ontosoroh dan anak-anaknya. Segalanya berakhir dengan tragis.


Pelajaran apa yang dapat diambil dari ketiga cerita di atas?

Betapa labilnya diri manusia itu, gampang terombang ambing. Seharusnyalah kita sebagai manusia mempunyai pijakan dan prinsip. Memegang teguh prinsip itu agar tidak sampai kehidupan kita merugikan orang lain dan membuat orang lain ikut sengsara dalam arus kita. Karena bagaimana pun, hidup kita mau tak mau bersinggungan juga dengan hidup orang lain. Telah ada agama yang menyediakan pedoman dan pegangan untuk manusia. Keperluan kita hanyalah belajar bagaimana menggunakan pedoman itu dengan baik. Sembari selalu introspeksi, sudah baguskah kualitas hidup yang kita jalankan? Sudah berhasilkah kita menjalani kehidupan yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta? Bila belum, mari kita pikirkan caranya. Terus mencari apa yang kita perlukan untuk memperbaiki kualitas hidup kita. Jangan sampai grafiknya menurun. Apabila kualitas hidup telah jelek, memperbaiki pun tak salah, karena kita masih diberi kesempatan. Justru itu menjadi keharusan. Janganlah kita menjadi manusia yang labil dan menyengsarakan orang lain. Selesaikan diri kita secepatnya.

saya akui, hal ini memang sulit... :|

Tidak ada komentar: