Rabu, 09 Maret 2011

Dekomposisi Obat

Bagaimana obat bisa kadaluarsa? Bagaimana obat sudah tak layak lagi disebut obat? Yak itu bila dosis obat sudah tak sesuai dengan yang seharusnya sesuai untuk bisa mengobati sakit. Apa cuma karena dosis yang nggak tepat saja? Tentu tidak, kalau dosis itu berkaitan dengan zat aktif obat, sedangka isi obat itu biasanya nggak hanya zat aktif saja, maka obat tak layak lagi disebut obat bila eksipien obat juga rusak dan mengalami dekomposisi. Apalagi kalo yang nge-formulasi obat itu farmasis geblek, milih eksipien obat yang nggak inert. Otomatis akan mempengaruhi stabilitas zat aktifnya, kan?

Oke. Sekarang, apa yang menyebabkan obat terdegradasi? Itu adalah karena terjadi dekomposisi kimiawi dan fisika, serta bila obatnya sudah terkontaminasi mikroba, biasanya jamur endofit serta bakteri gitu… dan obat seperti itu, apabila tetap dikonsumsi, akan bisa mengurangi efek ~~> tidak berefek ~~> menimbulkan efek samping ~~> (dan akhirnya) obat itu menjadi TOKSIS! Jadi, jangan coba-coba mengonsumsi obat yang sudah kadaluarsa. Oke, temans! Lalu bagaimana para analis mengetahui suatu obat telah rusak? Salah satunya dengan menetapkan kadar obat tersebut, dan itu menjadi salah satu pekerjaan  para analitik di bagian Quality and Assurance di Industri obat. (konon katanya, biasanya para farmasis nggak banyak berminat kerja di bagian ini, mending di marketing ato produksi gitu. Sama tingkat gajinya, beda tingkat pusingnya, chuy! Hehehehe :p)

1.  Dekomposisi Kimiawi Obat
a.       Oksidasi
Obat yang teroksidasi biasanya mengalami perubahan warna, karena biasanya oksidator menyebabkan reduktor  (lemah atau kuat)makin banyak memiliki ikatan rangkap terkonjugasi, sehingga warnanya makin jelas. Lihat saja pada keterangan gambar-gambarnya. Sistem kromofornya (ikatan rangkap berselang-seling) jadi lebih panjang.
·         Contoh pertama nih ya : produk Vitamin C bila kemasannya nggak rapat dan terlalu lama dibuka maka warnanya menjadi bintik-bintik kecoklatan. Tetapi, vitamin C murni memiliki warna putih, dan bila teroksidasi warnanya menjadi kekuningan.
·         Contoh keduanya adalah : obat tetes mata Epinefrin yang teroksidasi akan menjadi berwarna merah.
 
b.       Membentuk produk toksis, contohnya…
·         Tetrasiklin. Antibiotik yang satu ini sekarang sudah jarang digunakan karena diketahui memiliki efek samping yang fatal. Yah, semua antibiotic memang tergolong dalam obat keras. Maka penggunaannya harus dengan resep dokter. Tetrasiklin dapat memiliki efek yang fatal karena dapat berubah menjadi epianhidrotetrasiklin setelah termetabolisme di liver, yang nantinya akan mnengakibatkan Fanconi Syndrome. Apa itu? Yaitu kerusakan sel-sel ginjal.
Penyebab kerusakan ginjal antara lain : obat, metabolit obat analgetik, dan penyakit Diabetes Mellitus.
Efek samping kedua dari Tetrasiklin adalah menyebabkan gigi kuning sampai agak coklat, abu-abu (seperti gigi mati). Penggunaan tetrasiklin berlebihan pada balita, maka efeknya akan terlihat setelah si balita berumur belasan tahun dan perubahan warna gigi ini permanen! So, beware! Tentu saja bila ini terjadi akan sangat mengganggu etika dan estetika, mau keep smiling jadi susah…hehe. Apalagi buat cewek. Kalau cowok mungkin dikira dia perokok berat,  ya kan?
Nah, antibiotik yang sampai sekarang masih aman adalah derivat penisilin. Contohnya ampisilin, amoksisilin, penisilin G, penisilin H.

·         Benzil penisilin. Antibiotik ini bila terhidrolisis akan menyebabkan dia berubah menjadi asam penisilinat. Asam ini dapat menyebabkan alergi. Jadi ceritanya, obat yang biasanya menyebabkan alergi itu ada dua, yaitu derivat penisilin dan analgetik (parasetamol, aspirin, dll). Alergi ringan bisa berupa mual atau gatal-gatal (tergantung sensitivitas masing-masing orang). Sedangkan alergi berat bisa berupa shock anaphylaxis yang bisa sampai berakibat meninggal. Penisilin alam yang diperoleh dari Penisilium notatum diketahui dapat menyebabkan shock anaphilaxis.
Hasil sintesis penisilin alam adalah Benzil Penisilin, Ampisilin, Amoksisilin, Penisilin G, Penisilin H, yang kesemuanya mengandung cincin β-Laktam. Tanpa cincin ini, maka tak akan bersifat sebagai antibiotik. Bila cincin β-Laktam rusak maka akan menjadi suatu asam dan semuanya akan memiliki efek samping alergi. Parahnya, gugus aktif ini tak boleh dimodifikasi  karena merupakan gugus utama. Sedangkan rantai sampingnya (cincin benzene) juga dapat menimbulkan sifat alergi, akan tetapi rantai samping ini bukan gugus utama sehingga boleh dimodifikasi.
Perlu diketahui juga, gedung yang membuat antibiotic ini pun disendirikan. Hal ini untuk mencagah kemungkinan penisilin berinteraksi dengan obat lain dan untuk menghindari reaksi alergi pada pekerjanya. Pekerja pada bagian ini pun sebelum masuk diperiksa dulu, apakah menderita alergi atau tidak. Begitu…hehe

·    Asetosal. Obat ini dapat berubah menjadi asetosal anhidrat. Jadi mengalami reaksi anhidrasi alias kehilangan air. Sehingga tabletnya dapat mengeras. Apa yang terjadi bila tablet asetosal mengeras? Maka obat akan sulit terdisintegrasi di usus, dan lambat memberikan efek. Asetosal anhidrat ini pun kalau berefek juga dapat menyababkan alergi. Selain itu asetosal yang terhidrolisis membentuk asam salisilat dan asam asetat akan dapat mengiritasi lambung (ingat kan di lambung ada HCl yang dapat menghidrolisis obat-obat bentuk ester). Sehingga karena banyak kekurangannya, obat ini sudah jarang digunakan atau diresepkan.

1.  Dekomposisi Fisika Obat
Misalnya ditandai dengan tablet mengeras, dan ini pun tergantung dari zat aktifnya. Jadi, menjadi formulator itu pun juga diwajibkan pinter! Paham eksipien. Okay!
Tablet bila higroskopis menjadi rapuh karena mudah mengikat air di udara, bila tidak higroskopis bisa mengeras (mengalami anhidrasi) menyebabkan disolusi-disintegrasi di tubuh lama.
Contoh : fenitoin (obat Epilepsi, Na+ channel-Blocker), yang dipakai adalah yang bentuk garamnya karena biasanya untuk obat suntik. Jadi harus benar-benar larut dalam cairan injeksi. Garam fenitoin ini bila mengalami perubahan pH maka akan menjadi asam fenitoin yang mengendap dalam cairan injeksi. Padahal, obat untuk injeksi harus benar-benar jernih, tak boleh ada satu partikel kecil pun tak larut di dalamnya. Karena akan menghambat perjalanannya di pembuluh darah, partikelnya bisa menyumbat pembuluh darah (bahaya!)

source : Drug Stability Lecture with  Dra. Mimiek Murukmihadi, SU., Apt. (March 2011)

Tidak ada komentar: