Minggu, 18 Juli 2010

JIL : dari Niha dan Udin


Di bawah ini adalah hasil observasi saya bersama teman saya Udin. Kami berdua adalah anak baru gedhe yang mencoba dan ingin sekali berkata-kata… hahaha
Apabila kita tahu, orang-orang Liberalis Islam (tokoh JIL), mereka kebanyakan lahir dari pendidikan di pesantren Nahdhatul Ulama. Orang-orang liberalis ini semacam neo-mu’tazilah kata Udin. Mereka memang dekat sekali dengan NU, namun mereka bukan NU (hanya saja berteman baik…begitulah) Pemikiran-pemikiran mereka cenderung ke arah bebas namun cukup fantastik. Menurutku orang-orang JIL ini baik-baik saja, tapi kebanyakan orang-orang awam menganggap ini aliran Islam yang sesat dan mereka tidak disukai. Tokoh-tokoh JIL seperti Ulil Abshar Abdala maupun Cak Nur (Nurcholis Madjid), mereka lahir dari pendidikan pesantren NU yang ilmu agamanya tak bisa dianggap remeh. Mereka semua ahli dalam hal mengaji kitab kuning, kitab para alim ulama, kitab para salafus shalih. Tokoh-tokoh JIL lainnya kebanyakan cendekiawan muslim yang punya pemikiran cukup bebas mengenai Islam dan pemikiran mereka merupakan pemikiran tingkat tinggi. Jadi orang luar yang menganggap JIL salah itu dikarenakan pemikiran mereka nggak bisa dipahami secara jelas oleh orang luar. Karena itulah orang luar cenderung menganggap JIL ini sesat. Tetapi, perlu diingat, klaim sesat hanya berhak disampaikan oleh Allah SWT.
Ada perbedaan persepsi dan kehendak antara yang pro liberalisme dan yang kontra liberalisme. Dari pihak yang kontra, ada semacam ketakutan-ketakutan aqidah agama jadi ternoda . Dari pihak yang  pro, mereka mengharapkan perkembangan pemikiran islam yang universal. Dari titik itu jadi semakin merumitkan pertentangan di awal tadi.
Alhamdulillah saya memahami orang-orang JIL cenderung lebih memakai hati. Lha gimana, orang hati saya menikmati kok, walau kadang akal saya berkata seharusnya nggak begini atau begitu. Mungkin itu karena saya tak punya dasar cukup karena saya bukan lulusan pesantren. Tapi karena hati yang dihuni Tuhan saya berkata bahwa pemikiran dan karya mereka sungguh indah maka saya terus saja menikmatinya. Dan saya bersyukur karena itu. Saya menganggap Tuhan, Allah-ku, telah membukakan pintu hatiku dengan sangat lebar untuk menerima segala ilmu di dunia ini. Allah sangat memberiku kelapangan dalam segala hal, terutama dalam hal ilmu. Dan saya menerimanya dengan senang hati, karena saya menyukai keindahan.

27 komentar:

sitampandarimipaselatan mengatakan...

aha...saya suka. dengan begini penilaian orang atas saya ternyata bisa anda terima, mbaknya :D

Nihaya mengatakan...

wow, ada orang ugm juga di sini..hehe
maksudnya gimana? apa anda setuju dg opini saya?
anda orang JIL juga?? hhe
salam kenal...

ahmad saifuddin mengatakan...

terima kasih banyak telah posting hasil diskusi kita dan pendapat saya... semoga Alloh SWT selalu memberkahi anda....

Nihaya mengatakan...

sami2lah kawan, kita ini sedang sama2 belajar.
Thanks juga sudah sudi jadi partner saya. hehe
hope for a better life*

sitampandarimipaselatan mengatakan...

nggak tau juga :D saya sih suka seenaknya. yang enak buat saya - dari ijtihad mereka - saya ambil, yang kira2nya kurang sinkron sama otak saya ya saya buang juga. tapi ya itu...cap sebagai makhluk jil itu saya dapatkan dari mereka2 yang berada di luar jil, bukan hasil memproklamirkan diri sebagai bagian dari jil itu sendiri :P

Dede Moch. Mahfudh mengatakan...

Iya ya emang pinter itu kang Ulil Abshar Abdalla,Caknur (alm.)dkk. Ampe2 Imam Syafi'i za kalah, coz kata mereka dkk., Imam Syafi'ilah penyebab kejumudan umat Islam skrg (Lih. Fiqh lintas agama), Bahkan mereka dkk lebih pinter dari Allah, Rasul, dan para ulama, coz "katanya" Al-Qur'an dah ga orisinil lagi or otentik kale..bhkn ga boleh jd kajian ilmiah. Ada lg yg mennjukkan kepinteran Ulil (ini baru sdkt z),
Ulil mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember
2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan,
semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang
Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat
dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu.
Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta
jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002,
dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,)
Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antaragama,
yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam
artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak
relevan lagi.”
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang
dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama
lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif
(Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa
terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan
yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain
berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau
“Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.
Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya
Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai
contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama
sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat
roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial
juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda
dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh
karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".” (lih. 3 agama 1 Tuhan)
Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah
Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak
mungkin dilawan atau diingkari." (lih. Islam Doktrin dan Peradaban).
Salut dech ma kang Ulil and Cak (alm.) Tapi sbg org awam, sy mah ikut fatwa haram para sepuh MUI 2005 z ah terhadap penyakit SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme). To neng Niha selamat berpetualang to pindah2 agama (kan sama, so jajalin z smuanya) enak loch nnt dapet kado natal he...

Dede Moch. Mahfudh mengatakan...

Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antaragama,
yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam
artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak
relevan lagi.”
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang
dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama
lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif
(Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa
terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan
yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain
berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau
“Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.
Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya
Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai
contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama
sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat
roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial
juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda
dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh
karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".” (lih. 3 agama 1 Tuhan)
Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah
Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak
mungkin dilawan atau diingkari." (lih. Islam Doktrin dan Peradaban).
Salut dech ma kang Ulil and Cak (alm.) Tapi sbg org awam, sy mah ikut fatwa haram para sepuh MUI 2005 z ah terhadap penyakit SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme). To neng Niha selamat berpetualang to pindah2 agama (kan sama, so jajalin z smuanya) enak loch nnt dapet kado natal he...

Dede Moch. Mahfudh mengatakan...

Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah
Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak
mungkin dilawan atau diingkari." (lih. Islam Doktrin dan Peradaban).
Salut dech ma kang Ulil and Cak (alm.) Tapi sbg org awam, sy mah ikut fatwa haram para sepuh MUI 2005 z ah terhadap penyakit SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme). To neng Niha selamat berpetualang to pindah2 agama (kan sama, so jajalin z smuanya) enak loch nnt dapet kado natal he...

Nihaya mengatakan...

hahahaha kak dede ini, saya kan sudah katakan kalo saya turut menikmati karya2 mereka.
yang sampai ke akal saya, saya serap dan bila kalbu saya menerima maka saya ungkapkan menjadi sebuah makna.
akan tetapi yg tidak sampai pada akal saya ya nggak saya gubrislah.
dikira saya ini jenius darimana...ini juga sedang dalam tahap belajar....

dan apa hak kak dede menilai saya sebagai bagian dari mereka sehingga mengata-ngata saya untuk pindah2 agama??? orang kenal aja belum sampai seumur jagung.

kemudian juga di sini kak dede ikut menyitir kalimat2 mereka secara langsung, okelah...saya akan menerimanya dengan senang hati sebagai sebuah referensi.
dan bila saya berminat mengkajinya lebih lanjut, tentunya yg pertama saya teliti adalah genealogi dasar, riwayat perkataan dan pemikiran pak ulil dan cak nur yaitu, mengapa mereka berhikayat demikian??? ada apa???

nah, menurut saya, mereka ini nggak mendoktrin bahwa merekalah yang paling benar. bagaimana mungkin??? orang mereka aja menyatakan Islam bukan yg paling benar.
jadi juga, bagaimana mungkin mereka bisa dikatakan lebih pintar dari Allah dan Rasul, dari imam Syafi'i pula?
gara2 dianggap menyalahkan?
saya pikir kak dede telah berlebihan menilai mereka.

saya cenderung menganggap pak ulil tidak menyalahkan Hadratus Syaikh Imam Syafi'i atas pemikiran brilliant-nya pada masa itu.
mereka hanyalah mengemukakan pendapat, bahwasannya produk yang dilaunchingkan Imam Syafi'i pada masa itu sudah tidak relevan dengan keadaan umat islam SAAT INI.
anda tahu kak dede? inilah mengapa peradaban Islam sejak abad pertengahan tidak bergerak, merangkak pun nggak!
nggak seperti filsafat barat, setidaknya mereka menunjukkan pergerakan dengan salah satunya dipelopori oleh filsuf besar seperti GALILEO dan COPERNICAN, ada pula macam KEPLER....tentu anda tau siapa mereka.

nah, pak ulil dan para cendekiawan lainnya berusaha memecahkan kebuntuan ini.
mengapa sih kita nggak bergerak??
saya pikir, mereka sedang mencoba mengeksplor metode yang sama dengan yg diambil Imam Syafi'i kala itu, untuk dipakai metodenya agar muncul pemikiran yang revolusioner dalam islam.....agar islam sebagai agama relevan dengan keadaan umat saat ini, hal ini terlepas dengan produk Islam abad itu.

dan mengenai perkataan-perkataan mereka, sebaiknya kalau hendak "mencerca" apa yg dikatakan seseorang anda pelajari dulu "budaya" mereka, entah itu berbicara atau perspektif yg mereka gunakan.
hal ini untuk mengantisipasi supaya lebih intens bila mau menyalahkan atau menganggap benar apa yg mereka katakan.
jangan salah, mereka ini para cendekiawan, nggak gampang mengikuti kuliah para cendekiawan yg pemikirannya sudah di luar akal orang awam macam saya gini.
alhamdulillah ya, saya terlahir dari "budaya" yg lumayan agak sama dari mereka.
jadi saya nggak perlu pakai nada tinggi bila 'hendak' menyetujui atau mengingkari doktrin mereka...biasa saja menurut saya.

Nihaya mengatakan...

oiya kak dede, hendak pula menanggapi apa yg anda sitir di atas mengenai kalimat2 "kontroversial" dari pada ulama liberalis tersebut.

Ulil mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember
2002).

saya pikir kalau kita menganggap agama kita sendirilah yang paling benar rasanya kurang toleran.
bukankah memang benar bahwa semua agama itu mengajarkan kebenaran?
jadi apa yg salah? jadi itulah yg hendak disampaikan, bahwa semua agama mengajarkan kebenaran, bersumber dari satu kebenaran yg abadi dan pasti.
lihat saja, kata rekan saya, di dalam ajaran katholik saja mengharamkan daging babi, [Imamat 11:7-8].

hal ini terlepas dari Al Qur'an yg menyebutkan bahwa Islam adalah agama yg paling diridhoi Allah SWT lhoow yeaa.
karena pak ulil kan orang yg beriman, tentu saja beliau yakin dan percaya dg potongan QS. Al Maidah tersebut.
apa yg beliau sampaikan itu adalah asal muasal, fitrahnya, sebuah kajian yg tidak hanya transenden tapi juga implikasinya pada perspektif manusia penghuni dunia....artinya apa? universality, sesuai fitrah Islam sendiri.

jadi saya hendak menekankan bahwa, tiap2 agama mempunyai budaya cara menyembah Tuhan yang berbeda-beda sesuai keyakinan masing2 gimana benarnya.
jadi bila manusia menyalah-benarkan "satu agama diantara banyak agama" itu sudah nggak pada tempatnya, itu sudah bukan haknya, hanya Gusti Pangeran Allah SWT yang berhak.
dan salah satunya telah difirmankan-Nya di QS. al Maidah itu.
pak ulil memang menganggap "Islam bukan yg paling benar", namun juga tak hendak menganggap Islam itu salah. masakan beliau menyalahkan apa yg diyakininya benar??
sinting namanya...
jadi untuk mencerna satu kalimat itu saja, kita diharuskan berfikir "agama yg disebutkan itu dalam konteks yg bagaimana??"

jadi ini dia, perbedaan pola pikir, budaya penyampaikan teori, dan yang lainnyalah yg menjadikan ini adalah kalimat kontroversial.
namun toh beliau selalu siap dengan segala panel, debat, kritik cercaan yg pasti diterimanya.
namanya juga cendekiawan yg mempunyai dasar dan berfundamental.
Layaknya Galileo yang siap dipenjara demi memegang teguh apa yg diyakininya sebagai kebenaran, dan hasilnya apa? karyanya kini menjadi agung di bidang ilmu, telah kita lihat bukti kebenarannya sendiri.

dan kalau kak dede yakin dengan MUI, maka saran saya ya yakini saja.
nggak salah untuk begitu bila kita belum pasti tau benar salahnya.

satu yang pasti saya setuju, jalan kebenaran di dunia ini memang tak pernah ada ujungnya, kecuali kalau kita sudah sampai di ruang dan waktu di balik sistem kosmos sekarang ini.
hal ini terkait dengan "permulaan manusia berpikir dan kemudian mendoktrin sesuatu"
kepastian dan kemestian itu akan sangat bisa kita jumpai di sana.
karena di sini ini, satu2nya kepastian adalah ketidakpastin itu sendiri.

Nihaya mengatakan...

kak dede, saya menghargai sampeyan lho, benar2 menghargai sampeyan.
ilmu saya masih jauh di bawah kak dede, jujur saya masih bodoh.
yang saya utarakan itu, benar2 dari lubuk kalbu saya yang terdalam.
bila kak dede kurang 'sreg' mohon maaf ya, saya nggak bermaksud mendebat pernyataan maupun keyakinan kakak.
saya hanya menanggapi, sesuai dengan pengetahuan hati saya. itu saja.
wallahu a'lam..

ahmad saifuddin mengatakan...

Cukup bagus pendapat yang dikemukakan oleh saudara Dede. Tetapi, saya lebih sependapat dengan saudari Niha. Kami hanya memberikan apresiasi terhadap paradigma kelompok Jaringan Islam Liberal atas paradigma dan pemikiran yang mereka tawarkan untuk menuju pada kemajuan Islam. Apresiasi tersebut bukan bentuk bahwa kami mengikuti mereka dan setuju juga bukan berarti harus mengikuti pendapat dan paradigma mereka. Karena kami sudah menjadi bagian dari warga Nahdlatul ‘Ulama Syafi’iyyah yang moderat. Dan apresiasi tersebut wajar seperti halnya apresiasi kami terhadap Nabi Muhammad SAW, Imam Muhammad ibn Idris Asy Syafi’I, Imam madzhab lain, dan tokoh serta cendekiawan muslim lainnya. Para tokoh JIl pun juga pintar tetapi bukan berarti kami melebihkan mereka dari siapapun, termasuk Imam Syafi’I, Nabi Muhammad SAW, dan bahkan Alloh SWT Yang Maha Pintar.

ahmad saifuddin mengatakan...

Masalah Al Quran yang tidak original atau tidak autentik lagi, bukan hanya JIL saja yang mempermasalahkan itu. Tetapi para ulama kalam juga ada yang berpendapat demikian. Memang benar firman Alloh SWT pada Q.S. Al Hijr ayat 9 bahwa Allooh SWT akan menjaga kemurnian Al Quran. Namun, definisi autentik dan original itu sendiri apa, masih perlu digali lagi dan kita analisis lagi. Bias saja autentik itu sama dan asli lafadz, bentuk tulisan, makna, tafsir, dan sebagainya. Tetapi bias juga bermakna yang lain dari itu. Misalnya saja, sekarang kita pakai qiyas. Naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang autentik adalah yang ditulis tangan oleh Presiden Ir. Soekarno, yang berasal dari pemikiran para tokoh kemerdekaan waktu itu. Begitu kata para ahli sejarah. Tetapi yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, sudah tidak autentik lagi. Padahal isinya sama-sama dari pemikiran mereka, hanya berbeda ketikan dan tulisan tangan. Begitu juga dengan Al Quran. Ada yang berpendapat (para ahli kalam) bahwa Al Quran yang autentuik hanya satu, yaitu yang ada di Lauh al Mahfudz, seperti firman Alloh SWT pada Q.S. Al Buruuj ayat 21 sampai 22. anda juga pasti tahu itu. Jika Al Quran sekarang memang benar-benar berbahas Arab dari Alloh SWT, maka Alloh SWT berbahasa. Jika Alloh SWT berbahas, maka Alloh SWT berbudaya. Jika ALloh SWT berbudaya, maka Alloh SWT sama dengan makhluk. Padahal mustahil Dia sama dengan makhluk karena Dia mukhalafatul lil hawaditsi. Seperti itu mungkin maksud mereka dengan perkataan Al Quran sudah tidak autentik lagi. Wallaahu a’lam bish shawab.
Kemudian jika Al Quran memang benar berbahasa Arab sejak dari Alloh SWT (karena banyak sekali ayat yang mengatakan bahwa Al Qurean diturunkan dengan bahasa Arab, salah satunya adalah Q.S. Az Zukhruf ayat 2 sampai 3), apakah bentuk tulisan, arti, dan penafsirannya memang benar-benar sama seperti yang dikehendaki oleh Alloh SWT dan sama seperti Al Quran yang pertama atau yang ada di Lauh al Mahfudz? Wallaahu a’lam bish shawab. Apalagi semua serba canggih sekarang yang memungkinkan Al Quran dicetak oleh mesin yang memiliki banyak kelemahan. Sehingga bias saja tidak autentik lagi. Sehingga, bisa juga kemungkinan seperti itu yang dipakai oleh JIL dalam mengatakan Al Quran sudah tidak autentik lagi.

ahmad saifuddin mengatakan...

Mengenai semua agama benar. Kita seharusnya juga berhati-hati mengenai definisi dari kata “benar” sendiri. Kata yang difirmankan oleh Alloh SWT pada Q.S. Ali Imraan ayat 19 memang berarti agama yang paling diridloi oleh Alloh SWT adalah Islam. Tetapi, apakah kata paling diridloi tersebut juga bermakna Islam adalah satu-satunya agama yang benar? Dalam menafsirkan ayat juga harus paham betul mengenai ilmu balaghah, nahwu, sharaf, asbabun nuzul, dan lainnya. Untuk saat ini, agama yang benar memang Islam. Tetapi benar menurut siapa? Agama Kristen juga benar, tetapi menurut Kristen, begitu juga agama lainnya. Tetapi jika dirunut dari fakta sejarah, agama Nasrani dan Yahudi pun juga berasal dari Alloh SWt yang dibawa masing-masing oleh Nabi Isa AS dan Nabi Musa AS sebelum kemudian disempurnakan oleh Alloh SWT lewat Nabi Muhammad SAW. Selain itu, kebenaran masing-masing penganut adalh relative. Sehingga kalimat “semua agama sama” merupakan suatu tesis untuk menghadapi kerelatifan kebenaran tersebut dan mengembangkan toleransi. Toh semua agama juga mengajarkan kepada kebaikan. Apakah kebaikan itu adalah salah, atau benar?
Memang benar jika “semua agama merupakan keluarga besar pecinta jalan menuju kebenaran yang tidak ada ujungnya.” Kebenaran Islam juga relative, karena sudah tercampur penafsiran banyak orang Islam, terutama penafsiran orang-orang yang radikal dan ekstrem. Apalagi kebenaran Yahudi dan Nasrani yang sudah dibengkokkan agamanya oleh para pengikutnya. Kebenaran mutlak hanya milik Alloh SWT, al haq min rabbikum. Jadi, kebanaran mutlak hanya milik Alloh SWT. Kemudian, kebenaran yang lain hanyalah bersifat relative menurut paradigma masing-masing. Dan kebenaran relative itu apakah sebuah kesalahan? Dan juga implementasi kebenaran dari Alloh SWT oleh para pemeluk Islam juga benar-benar 100% sesuai dengan kehendak Alloh SWT padahal Al Quran sendiri banyak sekali terdapat ayat-ayat yang tersirat, apalagi yang tersuruk. Wallaahu a’lam bish shawab.

ahmad saifuddin mengatakan...

Filsafat perennial tersebut juga bukan suatu kesalahan. Memang ada benarnya ibarat pusat roda adalah Tuhan dan jari-jari roda adalah agama-agama. Agama Nasrani yang dibawa oleh Nabi Isa AS, agama Yahudi yang dibawa oleh Nabi Musa AS, agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, semua menuju kepada Alloh SWT, Tuhan yang Maha Esa. Anda juga pasti tahu bahwa setiap umat atau kelompok diutus Nabi atau Rasu;, sehingga ada yang meriwayatkan Nabi berjumlah 125.000 orang dan Rasul berjumlah 315 orang. Alloh SWT juga berfirman pada Q.S. Al Mu’min ayat 78 bahwa Dia menceritakan beberapa Nabi dan Rasul dan juga tidak menceritakan beberapa Nabi dan Rasul, sehingga hanya 25 Nabi dan Rasul yang wajib kita imani. Sehingga, agama yang ada bisa saja menuju kebenaran yang sama.namun, banyak penyelewengan yang dilakukan oleh beberapa pemeluk agama tersebut. Meskipun agama – agama tersebut disesatkan oleh pemeluknya, tetrap saja beberapa ajarnnya mengajarkan pada kebaikan dan ketuhanan, apakah kebaikan dan ketuhanan adalah hal yang salah, atau benar? Kata “relative pada level isoterik” bukan berarti sama 100% isi ajaran, Tuhan, dan sebagainya. Kata “relative” sudah jelas bukan berarti mutlak sehingga jika Anda mengartikan kata “relative sama” itu adalah islam sama dengan agama yang lain, juga tidak benar. Sehingga Anda tidak berhak menyuruh saudari Niha berpindah agama untuk mencobanya.
Selanjutnya mengenai pluralisme yang banyak kalangan mengartikan pluralisme sebagai keaneka ragaman. Padahal banyak kalangan yang kurang memahami penafsiran pluralisme tersebut sehingga ada kesenjangan pemikiran antara dua kubu tersebut. Pemikiran mereka tidak sesederhana itu. Anda juga pasti tahu mereka bukan “anak kemarin sore”. Bahkan DR. Nurcholis Madjid mereupakan alumni dari McGill University. Jadi, pasti jelas dan terlihat kesenjangannya kan jarak pemikiran dan pemahaman Anda dengan pemikiran dan p[emahaman mereka dalam paradgima tersebut. Jika memang pluralisme benar berarti keanekaragaman atau perbedaan, Islam pun mengajarkan hal itu. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW “Khilafu ashhabii rahmatun”, “perbedaan di antara para shahabatku adalah rahmat.” Begitu pula perbedaan di antara pemikiran dan agama ini. Keanekaragaman juga untu toleransi seperti firman Alloh SWT dengan katanya “lita’aarafu”, ”saling mengenal.” Selain itu, “antum bariuuna mimmaa a’malu wa ana bariuuna mimmaa ta’maluun”, “kamu berserah diri atas apa yang saya kerjakan dan saya berserah diri atas apa yang kamu kerjakan”. Itulah toleransi. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan toleransi terhadap pluralisme lewat perlindungannya terhadap kaum Nasrani dan Yahudi di Mekkah dan Madinah, pemberian hak yang seimbang, dan bahkan beliau bersabda bahwa Barangsiapa menyakiti kaum kafir dzimmi, maka dia sama dengan menyakitiku.

ahmad saifuddin mengatakan...

Selanjutnya mengenai pluralisme yang banyak kalangan mengartikan pluralisme sebagai keaneka ragaman. Padahal banyak kalangan yang kurang memahami penafsiran pluralisme tersebut sehingga ada kesenjangan pemikiran antara dua kubu tersebut. Pemikiran mereka tidak sesederhana itu. Anda juga pasti tahu mereka bukan “anak kemarin sore”. Bahkan DR. Nurcholis Madjid mereupakan alumni dari McGill University. Jadi, pasti jelas dan terlihat kesenjangannya kan jarak pemikiran dan pemahaman Anda dengan pemikiran dan p[emahaman mereka dalam paradgima tersebut. Jika memang pluralisme benar berarti keanekaragaman atau perbedaan, Islam pun mengajarkan hal itu. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW “Khilafu ashhabii rahmatun”, “perbedaan di antara para shahabatku adalah rahmat.” Begitu pula perbedaan di antara pemikiran dan agama ini. Keanekaragaman juga untu toleransi seperti firman Alloh SWT dengan katanya “lita’aarafu”, ”saling mengenal.” Selain itu, “antum bariuuna mimmaa a’malu wa ana bariuuna mimmaa ta’maluun”, “kamu berserah diri atas apa yang saya kerjakan dan saya berserah diri atas apa yang kamu kerjakan”. Itulah toleransi. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan toleransi terhadap pluralisme lewat perlindungannya terhadap kaum Nasrani dan Yahudi di Mekkah dan Madinah, pemberian hak yang seimbang, dan bahkan beliau bersabda bahwa Barangsiapa menyakiti kaum kafir dzimmi, maka dia sama dengan menyakitiku.
Memang benar juga pluralisme tidak bisa dilawan atau diingkari, namun untuk ditoleransi dan dikaji lebih dalam demi kemjuan dan kemashlahatan ummat. Asalkan pluralisme tersebut masih berada pada jalan yang benar.

ahmad saifuddin mengatakan...

Alangkah bijaksananya jika kita bisa melihat berbagai persoalan dan paradigma secara kontekstual, tidak dengan tekstual. Jika Anda taqlid dengan MUI juga bukan hal yang salah. Tetapi apakah seimbang jika Anda yang mengaku orang awam mengeklaim kesesatan dan kesalahan JIL padahal para tokoh JIL merupakan cendekiawan? Namun, jika MUI mengeklaim haram ini dan itu, karena memang MUI sudah sangat capable dalam hal tersebut.
Alangkah bijaksana juga jika kita bertoleransi dan menerima niat utama JIL untuk memajukan Islam dan juga bertoleransi pada pihak yang kontra dengan JIL dengan dalih perusakan aqidah. Seperti kata Imam Madzhab kami, Imam Muhammad ibn Idris asy Syafi’I,”Pendapat saya benar tetapi juga mungkin salah, pendapat Anda salah tetapi juga mungkin benar.”
Saran yang penting untuk ummat Islam ada;ah mari mengkaji dan memahami secara detail, menyeluruh, dan kontekstual berbagai pemikiran dan paradigma Islam baik yang klasik maupun yang modern, termasuk JIL ini. Sehingga ummat Islam bisa bangkit kembali dengan munculnya banyaknya pemikiran dan ilmu baru. Islam adalah universal, tetapi bukan berarti metode yang dahulu bisa dipakai sekarang, seperti yang dikatakan oleh saudari Niha. Metode bisa menyesuaikan untuk kemajuan dan kemashlahatan ummat. Sebelum Anda mengadakan klain dan berkata, alangkah baiknya Anda mempelajari terlebih dahulu mengenai budaya, cara berpikir, latar belakang pemkikiran, dan sebagainya secara detail, menyeluruh, dan kontekstual.
Semoga Alloh SWT memberikan barakah-Nya kepada kak Dede. Terima kasih.

Nihaya mengatakan...

For all :

Sekarang memang bagi sebagian orang hal ini belum bisa dibuktikan kebenarannya. Kelak ketika sudah mengalami kematian, barulah mereka akan tahu mana yang benar sesungguhnya.
Sungguh, sayang sekali jika kesempatan luas kita mempelajari ilmu (yang tidak dimiliki oleh sebagian besar orang lain) tidak membuat kita semakin dekat dengan Tuhan, bahkan malah berlari menjauh dari sang Pencipta.

Yang saya alami dari perjalanan saya terkait agama adalah betapa kita bisa membedakan saat dimana ajaran agama yang lurus telah tertambat dalam hati, merasuki sanubari, dan terwujud dalam perilaku. Saat itu, jiwa menjadi begitu lembut..mudah sekali berempati terhadap orang lain..dan tetap tenang menghadapi perbedaan..tidak cuma dimulut menghadapi ketidakbaikkan..namun juga tidak muluk2 mau merubah dunia dan menyeragamkan orang seperti golongannya….
saat seperti ini orang akan begitu tenang menyebarkan kebaikan dengan memberi contoh yang baik pada lingkungan sekitar..

Betapa Tuhan yang Maha Tinggi ilmunya..tak kan pernah terlampaui manusia..
Maka bersyukurlah orang-orang yang tetap berusaha menjadi makhluk yang mengikuti tuntunan-Nya dengan benar. Meskipun “mana yang benar” sekali lagi kembali kepada pilihan kita, namun bertanyalah pada hati yang paling dalam..hati yang membisikkan kebenaran…tanpa perlu menjadi sangat benci terhadap pilihan orang lain…tanpa perlu menyatakan diri sebagai yang paling benar. Karena kebenaran hakiki adalah milik Tuhan.

Bagi saya, tak perlu menunggu saya mati tuk membuktikan kebenaran ajaran Tuhan. Ayat-ayat-Nya yang jelas terlihat di bumi sungguh pelajaran yang bagus akan tingginya kekuasaan-Nya. Lalu nikmat Tuhan yang manakah yang akan kita ingkari?

Dede Moch. Mahfudh mengatakan...

Kebenaran itu standarnya adalah TAUHID (Agama/Islam-Wahyu+'alun salim wa shalih). Mk nilai apapun yg dianggap manusia sebagai sebuah kebenaran (sebagaimana dianggp oleh pemeluk agama lain) yang tidak berlandaskan tauhid bukan merupakan suatu kebenaran. Kita bertauhid? Maka hanya Islamlah yang benar dan mengajarkan kebenaran.

ahmad saifuddin mengatakan...

ya itu memang benar, mas dede.. tetapi apakah kita juga harus memaksakan ketauhidan itu kepada para pemeluk agama lain??? kan Alloh SWT sudah berfirman "laa ikraaha fid diin".. hanya yang bertauhid yang benar memang benar, tetapi masalahnya sekarang bukan pada kebenaran itu sendiri, melainkan pemahaman kita terhadap paradigma mereka itu... terima kasih, mas... :-)

sitampandarimipaselatan mengatakan...

@ Laskar Geledek

ini tentu cuma masalah doktrin dan sudut pandang kok. mari coba kita buang ego keberagamaan kita sebentar saja untuk melihat hal ini.

kita - saya dan juga anda - menganggap islam adalah yang paling benar. karena apa? boleh jadi ini karena doktrin tentang islamlah yang kita terima sejak kecil. tapi jika kita sejak kecil menerima doktrin protestan sebagai kebenaran, maka apa yang terjadi? bisa jadi yang paling benar buat kita bukanlah islam ;)

jadi ya saya pikir ini berlaku juga buat kita kalo mau mempelajari apa yang dibilang sama the-so-called JIL. kalo mau belajar tentang mereka secara obyektif, sama seperti mempelajari agama lain, buang dulu subyektifitas keberagamaan kita.

lebih jauh lagi, jangan semena-mena mengambil kesimpulan terlalu cepat tentang cara bersikap seseorang, apalagi kalo memang belum terlalu kenal dan apabila hal itu menyangkut sebuah keyakinan dasar.

jujur, saya menikmati argumen-argumen anda sampai dengan sebelum anda menulis "To neng Niha selamat berpetualang to pindah2 agama (kan sama, so jajalin z smuanya) enak loch nnt dapet kado natal he...".

itu sebuah fallacy logic, saya rasa :D

Nihaya mengatakan...

terimakasih atas apresiasi dari testimonial kawan2...semoga menambah wawasan kita akan semua ini...dan dapat membuat kita semakin bijak untuk hidup di bumi Allah ini.
semoga kita selalu berada di sirattal mustaqim-Nya..amiin

Dede Moch. Mahfudh mengatakan...

Nampaknya kopi panas buatan sy suasananya sampai ke Klaten-Jogja....he...afwan dah bikin "diskusi kosong" he...I made it! Di awal lembaran baru catatan kehidupan ini (Nisfu Sya'ban), sy mohon maaf lahir batin, suka isenx, ganggu, de-el-el dech he...Oce?!

Dede Moch. Mahfudh mengatakan...

Nampaknya, Syiah lebih dari sekedar sebuah sekte, mazhab, atau aliran apapun itu...Ia nampak seperti sebuah manifestasi dari Islam yang kaaffah. Saya nampaknya mulai, simpati, bahkan empati, atau mungkin jatuh cinta....tak ketinggalan to bang tampan and bang udin dah sama-sama mencicipi sajian kopi hangat saya, semoga bermanfaat...

Dede Moch. Mahfudh mengatakan...

To bang tampan tentang ungkapan saya "To neng Niha selamat berpetualang to pindah2 agama (kan sama, so jajalin z smuanya) enak loch nnt dapet kado natal he...". Kenapa masuk kategori fallacy logic? Pdahl dsitulah "katanya" pluralisme berkutat, memahami menu sebuah konsep sambil mencicipi hidangannya, wah akan terasa mantap.

Nihaya mengatakan...

yang saya ketahui selama ini, orang yg dicap publik bahwa dia seorang pluralis bahkan tak pernah sekali pun pindah2 agama, berpikir pun enggak....bahkan mereka tetap istiqomah dg jalan keyakinannya...itu tandanya apa?silakan dipikirkan sendiri.
atau saya yg kurang tahu akan hal ini ya bahwa mereka pernah pindah2 agama?
pada prinsip saya, sebaiknya saya tak mengurusi wilayah ubudiyyah oranglain.

yang saya perlu dari orang lain adalah saya bisa belajar dari mereka, dan mengambil hikmahnya...karena perjalanan hidup tak akan berarti tanpa mengambil hikmah dari setiap sebab akibat di dunia ini.
bahkan kepada seorang pelacur pun saya bisa belajar darinya, kepada seorang inul dg goyang ngebornya pun saya bisa belajar darinya.
hehehehehe

betapa Maha Besarnya Tuhan saya, Allah SWT yg menciptakan makhluknya beraneka ragam seperti ini.

sitampandarimipaselatan mengatakan...

@ laskar geledek

imho, seperti yang dibilang yang punya blog di bawah pertanyaan anda ke saya, saya pikir memang fallacy dengan alasan sebagai berikut:

1. affirming the consequent: draws a conclusion from premises that do not support that conclusion by assuming Q implies P on the basis that P implies Q.

2. irrelevant conclusion: diverts attention away from a fact in dispute rather than address it directly.

jadi, yang saya tangkap, pertama, anda menyamakan penganut pluralisme cenderung hobi pindah-pindah agama karena anda beranggapan bahwa mereka menganggap semua agama adalah sama (yeah, sebenernya memang bisa sama, sih, dalam beberapa konteks tertentu). ini tidak betul. logika yang seharusnya tidaklah begitu :)

selanjutnya anda juga mengucapkan dalam perkara pindah-pindah agama inilah pluralisme berkutat. menurut saya, ini tidak relevan. pluralisme tidak sesempit itu, sampai harus pindah-pindah agama untuk mempelajari hikmah dari sebuah agama. analoginya, pun tidak harus kena aids dulu kan supaya paham bahayanya aids? solusi kasarnya, baca komiknya aja juga bisa, kok ;)

dan terakhir, anda juga melupakan 1 hal. bagaimana kalo mbak yang punya blog ini kebetulan sedang menjajal pindah ke agama buddha waktu tanggal 25 desember? kado natalnya nggak dapat, kan?

ini mirip sama fallacy legendarisnya laksamana nelson (atau winston churcill, ya? saya lupa), kok. dia bilang, "pilihan kita cuma menang atau mati." dia lupa kalo masih tersedia kemungkinan untuk kalah tapi tetap hidup :D

cmiiw