Di bawah ini adalah hasil observasi saya bersama teman saya Udin. Kami berdua adalah anak baru gedhe yang mencoba dan ingin sekali berkata-kata… hahaha
Apabila kita tahu, orang-orang Liberalis Islam (tokoh JIL), mereka kebanyakan lahir dari pendidikan di pesantren Nahdhatul Ulama. Orang-orang liberalis ini semacam neo-mu’tazilah kata Udin. Mereka memang dekat sekali dengan NU, namun mereka bukan NU (hanya saja berteman baik…begitulah) Pemikiran-pemikiran mereka cenderung ke arah bebas namun cukup fantastik. Menurutku orang-orang JIL ini baik-baik saja, tapi kebanyakan orang-orang awam menganggap ini aliran Islam yang sesat dan mereka tidak disukai. Tokoh-tokoh JIL seperti Ulil Abshar Abdala maupun Cak Nur (Nurcholis Madjid), mereka lahir dari pendidikan pesantren NU yang ilmu agamanya tak bisa dianggap remeh. Mereka semua ahli dalam hal mengaji kitab kuning, kitab para alim ulama, kitab para salafus shalih. Tokoh-tokoh JIL lainnya kebanyakan cendekiawan muslim yang punya pemikiran cukup bebas mengenai Islam dan pemikiran mereka merupakan pemikiran tingkat tinggi. Jadi orang luar yang menganggap JIL salah itu dikarenakan pemikiran mereka nggak bisa dipahami secara jelas oleh orang luar. Karena itulah orang luar cenderung menganggap JIL ini sesat. Tetapi, perlu diingat, klaim sesat hanya berhak disampaikan oleh Allah SWT.
Ada perbedaan persepsi dan kehendak antara yang pro liberalisme dan yang kontra liberalisme. Dari pihak yang kontra, ada semacam ketakutan-ketakutan aqidah agama jadi ternoda . Dari pihak yang pro, mereka mengharapkan perkembangan pemikiran islam yang universal. Dari titik itu jadi semakin merumitkan pertentangan di awal tadi.
Alhamdulillah saya memahami orang-orang JIL cenderung lebih memakai hati. Lha gimana, orang hati saya menikmati kok, walau kadang akal saya berkata seharusnya nggak begini atau begitu. Mungkin itu karena saya tak punya dasar cukup karena saya bukan lulusan pesantren. Tapi karena hati yang dihuni Tuhan saya berkata bahwa pemikiran dan karya mereka sungguh indah maka saya terus saja menikmatinya. Dan saya bersyukur karena itu. Saya menganggap Tuhan, Allah-ku, telah membukakan pintu hatiku dengan sangat lebar untuk menerima segala ilmu di dunia ini. Allah sangat memberiku kelapangan dalam segala hal, terutama dalam hal ilmu. Dan saya menerimanya dengan senang hati, karena saya menyukai keindahan.
Sewaktu kecil saya mempunyai banyak sekali teman dari berbagai kalangan. Contohnya saja Ahmad Saifudin, Muhammad Aminullah, Mas Affif, dan lain-lain.
Sejak kecil kami dididik layaknya seorang santri, karena kebetulan kami dilahirkan di lingkungan yang dekat dengan pondok pesantren Roudlotus Sholihin. Ahmad Saifudin (Udin) dan Muhammad Aminullah (Amik) adalah anak-anak seorang kyai. Yah maksudnya, bapaknya adalah seorang Mubaligh yang sering ngasih materi di pondok pesantren dekat rumah kami, karena bapak-bapak mereka (Drs. Abdullah Jufri dan Drs. Nawawi Syafi’I, keduanya adalah lulusan UIN SuKa dengan IP Summa Cumlaude!) pandai ngaji kitab. Ilmunya sudah nggak bisa diragukan lagi karena sangat mengacu Al Qur’an dan Hadits dengan dibumbui kitab-kitab maestro para Salafus Shalih sampai ada yg hafal di dalam kepala, dan sudah diakui warga maupun pejabat tokoh NU bahwa mereka layak memberikan kajian dan menyalurkan ilmu kepada para santri pondok. Sedangkan saya dan Mas Affif sendiri bukan anak kyai, namun bapak kami menghendaki kehidupan yang islami (bukan islam arabi, namun lebih ke indonesiawi, hehehe apaan tuh!).
Setamat SD, saya dan Udin kemudian menempuh pendidikan formal umum di luar pondok sufi. Sedangkan Mas Affif dan Amik menempuh pendidikan pondok sufi, sampai sekarang. Mas Affif kuliah di Fakultas Ushuludin UIN SuKa, sedangkan Amik masih sibuk dengan kitab seribu bait, Alfiyah-nya (adduhh, mik! Jangan terlalu mencintai ibuku dooonk! XP). Hehehe keliatannya Amik ini hendak jadi Kyai beneran, meneruskan perjuangan Bapaknya mengelola ponpes Raoudlotus Sholihin. Bisa ditebak donk, di mana itu pondok Amik ini? Yang kebanyakan melahirkan lulusan dengan ilmu Nahwu Shorof terhebat se-Indonesia??? Yak benar sekali, jawabannya adalah ponpes Lirboyo, Kediri. Salah satu Alumni-nya adalah Prof. Dr. Said Aqiel Sirodj yang sekarang menjadi Ketua PBNU Pusat.
Nah, kalau mas Affif, dulu sih sewaktu kecil bilang padaku, “Dek Niha, nanti kalau lulus kita mondok bareng ya di Lirboyo. Belajar Nahwu Shorof biar pinter ngaji kitab. Kan kita bisa sama-sama lagi, bisa berangkat bareng dari rumah.” (auuuaaaahhh so sweeeeettt ^__^). “Dengan senang hati mas Affif, tapi apa kita nggak ke Krapyak YasAlMa saja? Kan mas Upid dan mbak Lika sekarang di sana?” kujawablah begitu kira-kira. Namun, nasib berkata lain. Mas Affif malah ke Bahrul Ulum Jombang kemudian disusul kak Zaki (temenku yg satunya), dan saya malah ke SMP 1 Delanggu bersama Udin lalu ke SMA 1 Klaten dan akhirnya mendaratlah di Universitas kebanggaan Indonesia, UGM! Yeah, sama sekali tak mengenyam kehidupan pondok. Namun saya masih harus tetap bersyukur untuk semua ini. Bubye Mas Affif… it was nice to have brother like you. Sedih juga berpisah waktu itu, tapi kita sempat berjanji akan melanjutkan kebersamaan kita di surga nanti, semoga saja. Aamiin.
Kemudian Udin, Udin bernasib sama sepertiku. Namun, walau sampai dewasa ini, Udin tetap istiqomah dengan gaya pesantrennya. Gimana enggak, kuliahnya aja di Psikologi dan memilih untuk stay di UIN SuKa. Dan tidak jarang, dialah teman berdiskusiku selama ini tentang agama, dan juga amik. Bila diskusi dengan Udin, biasanya kami hanya via sms saja atau kadang main ke rumah. Kalau bersama Amik, biasanya kami via email atau kadang main ke rumah karena rumah kami sangat bersebelahan. Udin ini, orangnya cenderung keras dan radikal…hahaha eiitt! Jangan samakan dengan Amrozi dkk lhow yeaa. Maksudnya keras orangnya, cara ngomongnya, bukan pemikirannya. Pemikiran-pemikiran Udin masih tetap sama dengan orang-orang NU lainnya, sangat moderat dan lembut. Sama seperti amik dan…saya. Huekekeke lha gimana, kami ini besar di lingkungan Nahdhatul ‘Ulama jeh…! Dan kami bangga akan itu. Hahaha :p
Sewaktu kecil, kami mendalami agama di sekolah yg sama, Madrasah Ibtidaiyyah yayasan Roudlotus Sholihin. Saya cukup pintar lho waktu itu, selalu mendapat ranking 3 besar, rata-ratanya sih rangkin 2. Lha si Udin itu nggak pernah berhasil kucopot gelar juaranya siih, pinteeeerrr banget waktu itu. Apalagi Mas Affif (waktu itu kakak kelasku), nggak ada yg bisa ngalahin dia sejak kelas 1 sampai kelas 5, selaluuuuu juara. Medeni wis pokoke.!
Tahu nggak sih, Mas Affif ini bukan teman Madrasahku karena kelas kami berbeda, dia dua tingkat di atasku. Namun, beliau ini adalah teman mengajiku di tempat Mbah Salami. Mengaji Qur’an dan Tajwid biasa, bukan Qira’ah. Tiap habis Dzuhur kami berangkat bareng dan mengaji bergantian. Dan itu berjalan sampai 5 tahun sejak saya TK. Selain itu juga teman menghafal Juz ‘Amma waktu itu. Hebat sekali, dia bisa menghafal surat An-Naba’ dalam waktu beberapa jam saja. Ngafalinnya dimana coba? Di kebon belakang rumah bersama saya sambil bermain tanah, hahahaha. Teruuuuuuuussss mengulang-ulang surat An-Naba’ dan beberapa menit hafal, setelah beberapa jam canggih melagukannya. Hebat! Saya jadi berpikir, ini orang seharusnya ngafalin Qur’an aja sejak kecil, pasti sudah dapat beberapa Juz kalau lulus SD. Tapi mas Affif nggak mau, katanya takut. Hmm saya mengerti kok mas.
Mas Affif-lah yang mengajariku segalanya tentang adab membaca Qur’an, gimana tajwid yang benar, gimana kecepatan membaca Al-Qur’an agar enak didengar orang, gimana menghargai orang tua. Dia ini anak kecil namun sholat 5 waktunya selalu di masjid, dan nggak pernah absen 5 kali masuk masjid dalam sehari. Itu dilakukannya sejak kelas 1 SD. Beliau sangat hormat sekali pada orang tua-orang tua dan selalu berbahasa krama. Saya bangga menjadi adik kesayangannya. Dulu saya sering digoda hendak ditinggal pergi dan kemudian saya menangis sejadi-jadinya, main kasti bareng teman-teman rumah lainnya juga. Bersepeda santai sehabis shubuh sampai jauh di hari libur. Saat dia pergi, mondok pesantren ke jombang, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sejak saat itulah saya mengurung diri dan nggak pernah keluar rumah kecuali kalau diajak bermain udin maupun teman lainnya. Suram. (….jadi kaya di film-film, bukan? :D)
Temanku yang multitalenta tuh ya si Udin itu, dia adalah Maestro penulis Kaligrafi (Khot) di Batur. Nggak ada yang bisa ngalahin Udin, tulisannya indah banget. Pakai pensil maupun bolpoint apa saja pasti tulisannya mendapat pujian. Bahkan, pernah waktu itu ditawari buat ngelukis tembok masjid dengan tulisan berbagai macam Khot…atau malah ngukir ya, bukan nulis, aku agak lupa. Trus juga pernah membuatkanku tulisan Khot berisi hadits-hadits sebuku tulisan penuh, FULL! Bukunya dibuat sendiri pakai kertas HVS banyak banget dijilid lalu disampulin pakai kertas kado… Apa nggak capeeek gitu yah? Katanya sebagai hadiah sih. Hehehe… sampai sekarang masih ada, makasih Udin! Sering juga membuatkanku sebuah tulisan Nihayatul Karimah dengan berbagai macam khot dengan berbagai macam kertas dan tinta. Tulisan khot-ku waktu itu sedikit di bawah Udin sih, lebih bagus daripada Amik yang jelas. Ahahahah piss, Am! Udin ini memang suka sekali memberikanku hadiah, pas lulus SD aku diberinya kaset Sherina yang album “My Life”. Wow, senang sekali… sampai sekarang aku masih suka memutarnya bila di rumah. J
Selain jago nulis Khot, Udin juga jago Murattal. Hebat dah pokoknya. Kalau Amik, ini jago nggambar. Pas Ada lomba nggambar masjid se-karesidenan Surakarta, dialah juara satunya. Saya sendiri waktu itu mengikuti lomba cerdas cermat se-karesidenan Surakarta, dan mendapat juara 3 besarlah pokoknya, juara 2. Hehehhe, mau nggak mau para ustadz dan ustadzah mengakui kedalaman berfikirku tentang pengetahuan akan Islam, karena saya sangat suka membaca. Apa pun saya baca, baik itu fiqh, tajwid, hadits, nahwu, shorof, akhlaq, tafsir, tarikh… apalagi yaaa lupa. Pokoknya waktu itu saya jagonya cerdas cermat. Dan ilmu-ilmu seperti itu, setelah sekian lama berjalannya waktu agak terlupakan dari ingatan karena sekarang ini lebih banyak memusatkan pikiran ke dunia pengobatan. Hehehe, tapi tentu saja bila saya sedang perlu dan sedang ingin mengingatnya saya masih suka mempelajarinya kembali.
Itulah mengapa saya seringkali kangen sekali dengan kebersamaan dulu, dengan ilmu-ilmu itu, dengan beragam lagu-lagu shalawat, marawis timur-tengah yang sering kami nyanyikan dulu bersama-sama. Kali menyebutnya lagu-lagu pondok… karena hanya di pondoklah lagu-lagu itu kami peroleh, kami pelajari, dan kami perdengarkan. Lagu-lagunya terasa lembut di hati dan telinga kami. Seperti sudah menyatu dengan jiwa kami. Suara-suara indah santri-santri itu saat menyanyikannya… menggetarkan jiwa. Itulah mengapa saya sekarang ini tak bisa lepas dari pengembangan ilmu-ilmu Islam masa sekarang, seakan-akan saya tengah sedang melanjutkan apa yang saya tempuh di waktu kecil dulu. Indah sekali masa kecilku…
Mereka semua adalah teman-temanku yang terhebat dalam hal ilmu. Tiada duanya.
Pagi ini, di hari Sabtu saya kembali memperoleh pelajaran Tauhid. Seperti biasa Bapak Hanafi menyalakan speaker me-replay DVD pengajian al-Hikam Ibnu Athaillah, dari salah seorang kyai dari ponpes Bahrul Ulum Jombang sana. Dan seperti biasa, saya sedikit mendengarkan sayup-sayup dari kamar di bawah selimut karena tiap pagi saya selalu merasa kedinginan karena penyakit alergi. Ini ada sedikit yang aku tangkap dan mememorikannya kemudian bisa aku tulis di sini. Semoga bermanfaat.
Bismillahirrahmanirrahiim. Alfatihah…
Iman itu indah. Dan sebenar-benarnya keindahan iman itu akan terasa salah satunya bila kita tidak terusik oleh segala perbedaan yang ada di dunia ini.
Janganlah menebangi pohon, jangan merusak gereja dan vihara orang-orang untuk mereka beribadah. Apa hak kita melakukannya? Tidak ada, sungguh kita tidak punya hak melakukannya.
Biar saja orang-orang melakukan segala sesuatu menurut kepercayaan dan keyakinannya masing-masing asal tak mengganggu, melarang, dan membatasi kita. Orang mau berkata apa terserah, bahkan orang mau bertindak atau berbuat apa terserah. Sungguh Tuhan tidak perlu dibela dengan kita melakukan semua itu. Kita hanya perlu membela bagaimana agar kita bisa bebas berekspresi dalam beribadah kepada-Nya di dunia ini. Kita baru boleh melawan bila kebebasan berekspresi dalam beribadah kita dilarang dan dibatasi oleh orang lain.
Mengapa demikian? Karena Tuhan sudah berfirman bahwasannya kebenaran dan kesesatan itu sudah nyata adanya, sudah nyata bagi kaum yang mau berfikir. Hanya mereka yang diberi rahmat dan hidayah-Nya yang mampu melihat kebenaran dan kesesatan itu adalah beda dan bagaimana bedanya. Dan hanya orang-orang yg dikehendaki-Nya yang memperoleh kelebihan itu. Itulah mengapa setiap manusia diberi akal dan hati, untuk menyerap segala yang ada, untuk kita belajar sesungguhnya. Seperti filosofi lebah yang menghisap madu dari berbagai macam bunga, namun yang keluar darinya adalah madu yang bermanfaat. Kita dapat menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai "sebuah" guru. Hukum alam saja tidak mebatasi, mengapa kita membatasi diri dan kemudian berfikiran sempit?
Mengapa? Apakah Tuhan pilih kasih? Tentu tidak. Justru Tuhan menciptakan segala perbedaan di dunia ini karena kebesaran rahmat-Nya bagi makhluk semesta alam.
Jadi, mengapa kita mempersoalkan perbedaan? Inilah latar belakang mengapa umat islam harus bersikap toleransi. Karena sekarang banyak yang mempersoalkan, apakah toleransi berarti pluralisme? Saya sendiri lebih suka mengartikan pluralisme sebagai “melepas formalisme beragama saat kita bercampur dan bergaul dengan mereka yang berbeda agama”, karena kita adalah sama-sama makhluk Tuhan yang dikasihi-Nya.
Seharusnya perbedaan keyakinan tak menjadi persoalan, sama halnya dengan perbedaan budaya antar umat manusia tak menjadi persoalan. Karena ini penting bagi kita umat manusia untuk bisa bersatu membangun peradaban dunia yang lebih maju. Kita tak perlu risih dengan adanya perbedaan. Tak mungkin peradaban di dunia ini maju hanya diprakarsai oleh satu agama saja, misal, oleh agama Islam sahaja. Lha wong dunia ini ditempati oleh macam-macam manusia dari berbagai latar belakang kok yaa…
Coba dan mari kita tengok,
Sekarang ini kita dirisaukan oleh orang-orang yang sibuk ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Apabila itu terjadi, lalu bagaiamana nasib orang-orang yang bukan Islam? Apa mereka disuruh pergi dari Tanah Air Tumpah Darah-nya sendiri? Tak akan mungkin itu terjadi. Waktu Zaman Rasulullah saja tidak ada kok yang namanya Negara Islam. Kita mau membangun Negara Islam darimana? Zaman Rasulullah itu adanya Negara Madinah. Di sana hiduplah bermacam-macam manusia dari berbagai etnis dan kalangan. Orang Yahudi banyak, orang Protestan juga banyak, Orang Tiongkok pun melakukan transaksi berdagang di sana dan tak merasa tak nyaman.
Jadi, janganlah kita merasa terganggu dengan cemooh yang tidak penting yang terlontarkan dari mulut-mulut orang-orang bodoh, dari mereka yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan. Sesungguhnya mereka hidup tidak menggunakan akal dan hati mereka. Mata dan telinga mereka terbuka namun tertutup oleh penyakit hati. Tidak ada gunanya, menghabiskan waktu saja.
Biarkan hati kita dipenuhi oleh iman yang indah, yang Allah anugerahkan kepada kita dengan penuh kasih sayang. ….lillahita’ala. Karena sesungguhnya, kebenaran dan kesesatan itu sudah nyata bagi mereka yang mau berfikir. Dengan begitu, segala yang kita lakukan natinya akan menjadi indah, tidak hanya bila dilihat dari kacamata sendiri melainkan juga dari kacamata orang-orang yang berbeda dari kita. Dan keindahan yang kita lakukan akan dapat membangun peradaban umat manusia yang selama ini kita impikan menjadi nyata, tidak seperti sekarang ini. Peradaban yang baik itu adalah yang mampu menjadikan dunia ini lebih baik. Betapa pentingnya peradaban seperti itu bagi dunia dan seisinya, bagi generasi penerus selanjutnya.
Intinya, persatuan dan kesatuan itu adalah sebagian dari iman.
Dear netters,
tanggal 4 Juli jam 12.30 malam kemaren aku dapat sms.
kupikir kata-katanya bagus, jadi kuputuskan kutulis di sini.
siapa tau dari kalian ada yang setuju.
cinta yang luar biasa adalah saat kamu menangis, kamu masih merindukannya
saat dia melupakanmu, kamu masih peduli padanya
saat dia mencintai orang lain, kamu masih bisa tersenyum dan berkata "aku turut berbahagia untukmu"
karena mencintai bukan dari apa yang kamu lihat tapi apa yang kamu rasakan
bukan apa yang kamu dapatkan tapi apa yang kamu beri
bukan bagaimana cara melupakannya tapi sejauh mana kamu bisa bertahan