Sabtu, 28 April 2012

Cuplikan "Bumi Manusia" (Buru Quartet)


Bila aku mendengarkan cerita-cerita Maha Guru, maka Maha Guru sedang mengarahkanku ke arah vertikal. Ketika aku membaca karya-karya Pram, maka Pram sedang mengarahkanku ke arah horizontal. Ya, Pram memang sedang membahas Bumi Manusia. Namun, segalanya bertujuan sebanding. Beruntungnya aku dapat dipertemukan dan berkesempatan membaca dan hanyut ke dalam Maha Karya manusia legenda ini. Berikut ini cuplikan membekaskan makna ke dalam sanubari :

#
Pengalaman di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang pribumi ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasi juga tinggi. Sebaliknya, ia juga mengakui kehebatan Belanda dalam memilih tenaga perang.
Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa perang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi senapan dan meriam, juga keliru. Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dan dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan kompeni  dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka membela apa yang mereka anggap menjadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
Pikiran Minke dari ucapan Jean Marais. (Bumi Manusia, p. 87)

#
“Apa tidak kau baca koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta pengangkatan jadi bupati? Bupati B.? Tuan Asisten Residen B., Tuan Residen Surabaya, Tuan kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir. Apa mungkin seorang siswa H.B.S. tidak membaca koran? Kalau tidak, apa mungkin tak ada orang lain memberitakan? Nyaimu itu, apa dia tidak bisa membacakan untukmu?”
Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku: pengangkatan, pemecatan, perpindahan, pensiun. Tak ada urusan! Kepriayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.
Minke. (Bumi Manusia, p. 186)

#
Rasa-rasanya aku menjadi pingsan membacai surat-surat resmi dengan bahasa yang dipergunakan bagitu aneh. Sedikit dari isinya dapat kupahami benar: tak mengandung perasaan manusia –menganggap manusia-manusia hanya sebagi inventaris.
Dalam mendengarkan perkataan Mama, terngiang-ngiang kata-kata Bunda: Belanda sangat, sangat berkuasa, namun tidak merampas istri orang seperti raja-raja Jawa. Bunda? Tidak lain dari menantumu, istriku, kini terancam akan mereka rampas, merampas anak dari ibunya, istri dari suaminya, dan hendak merampas juga jerih payah Mama selama lebih dari dua puluh tahun tanpa mengenal hari libur. Semua hanya didasarkan dari surat-surat indah jurutulis-jurutulis ahli, dengan tinta hitam tak luntur yang menembus sampai setengah tebal kertas.
Minke. (Bumi Manusia, p. 487)

Tidak ada komentar: