Setiap saya belajar lewat membaca artikel-artikel di media internet, koran, buku, majalah, dan sejenisnya, otak (dan mungkin hati) saya mengelompokkan bacaan saya itu berdasarkan kelas-kelasnya. Saya akui, saya mengagumi beberapa tokoh yang sangat berperan dalam peningkatan spiritualitas saya. Terlepas dari entah apakah spiritualitas saya sudah meningkat atau belum. Beberapa dari mereka seperti Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, Goenawan Moehamad, dan Gusdur. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi hanya mereka yang mendominasi kepala saya ketika saya menulis ini. Maklum, kemampuan mengingat saya sangat terbatas. Meski begitu, apa yang lebih berharga dari seorang tokoh selain karya-karyanya yang mengisi relung-relung jiwa manusia lain yang membutuhkannya? Tokoh-tokoh itu seperti kereta yang menghantarkan perjalanan seseorang menuju sebuah terminal keabadian.
Ya, mereka yang saya sebut di atas dan yang lainnya telah dan dan sedang menjadi kereta saya. Oleh sebab itu saya sangat mencintai mereka, karena mereka telah begitu ikhlas mengorbankan diri mereka untuk saya dan tentunya untuk orang lain juga selain saya. Sampai mereka dihujat orang-orang yang pendek akalnya, saya tentu sangat sedih. Tidak habis pikir kepada orang-orang yang menghujat tokoh-tokoh yang sangat saya junjung tinggi itu, orang-orang itu tidak berpikir bahwa mereka telah mengorbankan diri mereka demi keluasan sudut pandang cara berpikir manusia, demi kita yang hendak pergi menuju satu tujuan, Tuhan.
Begitu pula dengan mereka yang berjiwa radikal dan keras, saya juga menghargainya. Misalnya saja tokoh NII, saya memahami mengapa mereka ingin mendirikan NII. Meskipun sampai saat ini tidak berhasil. Atau HTI, atau Ikhwanul Muslimin, atau apapun yang lainnya itu.
Semua dari mereka membuat saya belajar untuk selalu memperluas cakrawala saya. Prinsip saya adalah alam saya tidak sesempit visi-visi dan misi-misi organisasi-organisasi itu.
Bukankah hidup memang harus seimbang?
Menghujat tokoh dan menghujat perbedaan adalah upaya merusak keseimbangan. Saya menghargai kritik, namun kritik yang membangun. Saya tidak menyukai perdebatan. Saya menyukai mereka berdiri sendiri-sendiri saling membangunkan, berdiri sendiri sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Tentu saja Gus Dur berbeda dengan Nurcholish Madjid (dengan JIL-nya). Tentu saja Emha Ainun Nadjib (dengan Jamaah Maiyahnya) berbeda dengan Gus Dur (dengan NU-nya) maupun Kyai-Kyai salafi NU lain. Mereka semua juga berbeda dengan W. S. Rendra yang meluaskan cakrawala jiwa manusia lain lewat syair-syairnya.
Bukankah dunia ini diperjalankan olehNya? Semua dari yang kita lihat di dunia ini akan pula kembali kepada Yang Satu, Sang Empunya keabadian.
Saya sangat berterimakasih kepada Jamaah Maiyah, kepada NU, kepada JIL, kepada kelompok-kelompok radikalis agama dan kepada Scientists. Mereka, tentu saja, telah membangunkan saya, membuat saya berdiri, dan berjalan ke suatu tujuan sesuai nurani saya. Mereka semua adalah kekuatan eksternal saya, selanjutnya, nurani sayalah yang lebih saya ikuti sebagai kekuatan internal jiwa saya. Oleh karenanya, saya lebih banyak diam, karena tidak mampu berbicara panjang lebar yang tidak praktis. Saya tidak bisa mengikuti salah satu dari mereka secara 100%. Itulah kelemahan saya. Saya tidak mampu berbuat banyak dalam membalas kebaikan mereka yang telah secara ikhlas menjadikan dirinya sebagai kereta. Tapi saya sungguh berusaha untuk dapat memberikan apa yang saya punyai saat mereka semua membutuhkan diri saya.
Saya hanya berharap dapat mengamalkan apa yang telah dan sedang mereka ajarkan, lalu membagikannya kepada yang membutuhkan dan mau menerimanya.
Begitulah hidup saya selama ini…