Kamis, 18 Juni 2009

Know is Better

Ketika aku tidak tahu,
aku ingin tahu
Dan setelah aku tahu,
aku menyesal
Namun begitu aku tetap harus tahu.

Karena aku tidak mau,
ketidaktahuanku lebih membuatku menyesal.

Jadi,
Bantulah aku untuk tahu
sampai batas itu
dimana dimensiku tak lagi mampu
memberi sejuta titik untuk aku tahu.


Yang di atas itu lebih tepat disebut syair atau sajak yah?

Yang jelas kata-kata di atas terinspirasi dari dua orang, mereka adalah abah Hanafi dan mas Ijeps yang baru sebulan lalu aku mengenalnya.

Dari sewaktu aku kecil dan besar di rumah abah Hanafi, beliau selalu berkata akan petuah-petuah hebat yang tidak semua orang mau dan mampu buat mengatakannya padaku. Umumnya yang beliau katakan itu adalah sebuah hal yang berhubungan dengan tasawuf. Sewaktu aku kecil, mana aku tau tasawuf itu apa?.

Walau begitu, ketika sedang duduk sambil menyulut rokok di kursi, bersama anak-anaknya abah Hanafi selalu berkata. Berkata….dan berkata. Ntah didengar ntah tidak. Ntah ditanggapi ntah tidak. Yang beliau katakan itu bukanlah sebuah kritikan atas segala tingkah anaknya yang nakal-nakal dan tak mengerti aturan hidup, pun bukan pula sebuah larangan-larangan untuk tidak melakukan ini atau itu, (atau mungkin malah sindiran ya? :D).

Tetapi yang beliau katakan adalah lebih tentang sesuatu untuk kami tahu.

Dan akhirnya aku membuat suatu kesan tersendiri mengenai abah Hanafi, tak lain dan tak bukan adalah “He’s a great father”, I say.

Abah Hanafi pernah berkata, “Wong sing salah gara-gara rangerti kui ra dosa. Wong sing salah tur ngerti, kui dosa banget. Ana meneh, Wong sing dasare wegah ngerti lan ra nduweni usaha nggo ben ngerti, kui jenenge wong sing rugi.”

Dan abah Hanafi menjelaskan lagi kalau orang yang rugi itulah orang-orang yang hatinya jarang bersyukur. Sudah diberi hidup kok malah nggak pengen hidup..hahaha Beliau menjelaskan hadits dengan bahasa jawa-arab yang kira-kira bunyinya dalam bahasa indonesia seperti ini,

“Mencari ilmu di mata Allah lebih baik ketimbang salat, puasa, haji, umrah, jihad di jalan Allah”

Entah perawi-nya siapa aku tak ingat. Yang ingin ditegaskan hadits disitu adalah betapa pentingnya ilmu bagi seorang muslim, apalagi mukmin, apalagi muttaqin. Sampai-sampai Rosululloh bersabda demikian.

Aku mengerti, abah Hanafi ingin menjadi ayah yang baik di mata anak-anaknya (walaupun terkadang anaknya tak menyadari hal itu, I’m sorry pha...), terlebih juga abah Hanafi ingin menjadi manusia yang baik di mata Tuhan-Nya.

Karena itulah, aku ingin menjadi anak yang baik pula bagi abah Hanafi...semoga.

Abah Hanafi tiap pagi sehabis shubuh selalu membaca buku yang tak aku mengerti bahasanya, entah beliau belajar darimana karena aku tahu beliau tak sekolah tinggi sebagaimana profesor dan para kyai itu. Tapi beliau menegaskan bahwa siapa saja bisa menjadi gurunya. Tak harus seorang profesor di kampus-kampus tua. Yang penting ada kemauan untuk ’tahu’ agar tak menjadi orang yang merugi hidupnya. Guru bagi para penuntut ilmu di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada ”mantan-guru”. Yang ada adalah ”yang sedang menjadi guru” dan ”yang akan menjadi guru”. Itu prinsip, katanya.

Saya akui, abah Hanafi adalah manusia dan ayah yang bijaksana... subhanallah.

Dan sifat itu menurutku didapatkannya dari kajian tasawuf dalam buku-bukunya.

Sebagaimana yang pernah dikatakan abah Hanafi, bahwa seseorang yang telah mengaku muslim hendaknya tak bisa lepas dari ilmu tasawuf. Tidak harus seorang sufi yang mengerti tasawuf, tapi muslim biasa pun harusnya mau mempelajarinya. Tasawuf bukan bagian dari Rukun Islam, tetapi ia merupakan bagian dari rukun akhlaq. Dan ’Abdurrahman Al Qina’i pernah ngendiko ”Islam adalah agama ilmu, pekerjaan, dan akhlaq. Barangsiapa meninggalkan salah satunya, ia akan tersesat jalannya”. Suatu laku tasawuf, itu seharusnya tak menghalangi seorang muslim untuk melakukan aktifitas usaha maupun dagang (pekerjaan) sebagaimana yang dilakukan Baginda Nabi SAW.

Hloooh yang dibahas disini ilmu apa tasawuf sih? Maaf jadi nglantur. Kalau menurutku, mensikapi tentang ”adanya ilmu” itu sendiri adalah suatu perilaku tasawuf. Hal-hal mengenai tasawuf yang ada di tulisan ini adalah penjelasan saja sebagaimana abah Hanafi mengajari anak-anaknya bagaimana hidup itu dengan suatu pendekatan tasawuf agar apa yang disampaikan menjadi bijaksana dan penuh hikmah.

Intinya, marilah kita memperbanyak ilmu agar tidak menyesal dan menjadi orang yang merugi. Setelah mendapatkannya, jangan lupa mengamalkannya. Dan dalam mengamalkannya, jangan lupa berlaku tasawuf. Supaya hidup kita sempurna di mata Yang Maha Sempurna.

InsyaAllah...