Bertolak dari Tembalang aku naik ANGkutan KOTa dua kali menuju Stasiun Poncol. Trus jalan kaki… bagus deh, sekalian jalan-jalan pagi plus burning fat (padahal belum sarapan T_T). Hari itu panas banget… hari terakhirku di Semarang. Aku dan temanku telah memperkirakan rencana-rencana kami nanti. Yaitu sesampai Poncol nunggu satu jam naik Blora Express trus di kereta, setengah perjalanan nanti kan akan ada ibu-ibu jualan pecel yang kata kawanku rasanya sangat leuzaaatz, trus dibeli buat sarapan. Haha… siip dah. Selama satu jam di stasiun, aku bergemelutuk dalam hati dan kepada Titis (kawan perjalananku) karena stasiun Poncol ini kok nggak terawat banget, mana keretanya jelek-jelek semua, nggak ada yang bagus, kotor lagi dalemnya.Bentuk keretanya nggak keruan, yang dibilang eksekutif menurutku kayak bisnis, yang dibilang bisnis serupa ekonomi, trus apa jadinya yang ekonomi yah?? Hmhmhm Titis seperti bisa membaca pikiranku, bahwa apakah kita nanti akan naik kereta macam ini?? Dia langsung berkata, “Jangan kuwatir, Tul. Saksikan 10 menit lagi kendaraan penjemput kita akan datang dengan sapaan klaksonnya dari timur sana. Kemudian aku akan menunggu komentarmu selanjutnya. Tunggu saja. Hahaha”. Kalimat Titis membuatku penasaran.
Akhirnya datanglah kereta penjemput kami. Dan… tak percayalah penglihatanku, yang benar saja, kereta penjemput kami serupa densha-densha di Eki Negeri Sakura sono, hanya saja yang ini belum electric. Pintu-pintunya aja terbuka secara otomatis, dalemnya bersih, dan ada jam digitalnya gitu deh di tiap gerbong. Begitulah kereta Semarang – Cepu. Kontras sekali dengan penampilan kawan kereta lain yang ada di kanan-kirinya.
Hmmm, sepanjang perjalanan aku tak mau melewatkan suguhan sceneries yang sungguh sugoooii…! Mataku tak bosan melihat hijau, kuning, biru, putih, coklat, abu-abu yang tersaji di balik bingkai jendela, sebagai sajian dari tanah merah ibu pertiwi. Benar-benar sangat Indonesia. Di jauh ke utara ada bukit-bukit memanjang ke timur dan katanya dibalik bukit itulah perairan Laut Jawa bersinggasana. Jadi nih cerita, kereta kami ini bergerak menyisir pesisir Laut Jawa. Nah sesampai di suatu stasiun Randu Blatung, setengah perjalanan, sesuai prakira rencana datanglah ibu-ibu penjual pecel langganan Titis, kami beli deh beserta keripik-keripiknya buat sarapan. Heheheh (kebiasaan sarapan jelang siang)… Aku heran, kata Titis, ibu penjualnya selalu tiba-tiba nongol di depan tempat duduk Titis dekat pintu kereta. Gimana bisa tau Titis ada di tempat duduk gerbong nomer berapa? kan nggak tetep. Seperti sebuah misteri saja, absurd.
Stasiun Cepu
Oke then, kami sampai di stasiun Cepu pukul 11.44 a.m. dan di sana telah ada ayahmaminya Titis. Ternyata begitulah suasana Cepu, tak panas yang panas. Aku sudah bertemu ayahmami Titis berkali-kali karena dulu sering stay di kos Waroka sewaktu anaknya dulu ber-SMA di Klaten. Jadi bisa langsung akrab deh. Selama berada di Cepu, aku tak banyak keluar jalan-jalan karena…… PANAS rek!! Hahaha… Percaya nggak sih, hari Sabtu itu aku sempat tidur siang karena ngantuk tak tertahan, dan bangunnya, aku mendapati keringatku meleleh deraaaasss dan berlanjut sampe menjelang sore nggak mau stop. Sungguh sangar nian panasnya… Sampai-sampai saat itu juga aku menobatkan Klaten sebagai kota paling bersahabat nomor satu sedunia! Trust me!
Kesan yang menempel dalam anganku selain panas, Cepu bagiku juga sangat misterius. Sewaktu jalan-jalan ke daerah SMP 3 Cepu (sekolahnya Titis doeloe) di sekitar perumahan Migas sana, aku seperti seorang putri raja yang sedang jalan di atas catwalk beraspal. Sepi disaksikan penyaksi-penyaksi bisu. Pikirku, ini desa berpenghuni nggak sii?? Dan lagi, bangunan-bangunan rumahnya itu looh, kaya udah ratusan tahun satjah. Pagarnya udah karatan, halaman berilalang lebat, namun rumah-rumahnya gedong pake jendela-jendela jadoel serta melihara pohon-pohon sebesar beringin. Teduh sih iya, sejuk juga, tapi… such a severely scary!. Kata Titis sih, sebenarnya itu ada manusianya, tapi pada keluar kota semua dan udah puluhan tahun nggak balik. Kebanyakan dulu mereka bekerja di Migas. Olala! Siapa yang berminat nyewa rumah-rumah itu? Atau mungkin membelinya? Jangan lupa tiap malam mbakar kayu manis biar tambah terasa horornya! Hahaha… di daerah kawasan perumahan migas itu aku juga diajak melihat-lihat suasana Cepu lewat pinggir-pinggir lapangan golf. Yaa hanya pinggirnya doank sih, karena security di situ sangat sensi dan cinta ilalang. Masak mau mendaki bukit aja pake nggak boleh nginjek ilalang. Lihat donk Pak, ilalang aja kan bukan bonsai… dianya aja mau aku injek. Yasudalah daripada rame brabe! *masih sebel nggak jadi ndaki bukit*
Dan tahu nggak sih, di dekat situ juga ada makam pahlawan, makam tua (iyalah namanya juga pahlawan meninggalnya nggak di jaman modern).
Perjalanan berangkat dan pulangnya, kami melewati taman kota seribu lampu.
2 komentar:
Thanks ya kak udah komen tentang CEPU, BLORA.. kota tercinta ku yang tak kan terlupakan... hehehe salam kenal ja ya.... mf, td browsing ja... e trnyata da yg lg crita perjlananya ke cepu. hehe
thank kak atas komenya ya.... kota cepu, kota BLORA tercinta...
Posting Komentar